Jejak Karya

Jejak Karya

Wednesday, July 21, 2010

Al-Qanitat

Wednesday, July 21, 2010 0 Comments

Selasa, 20 Juli 2010. Ya Allah, ternyata waktu berjalan begitu cepatnya. Sudah memasuki bulan Juli. Hari ke-20 malah! Sebentar lagi bulan Ramadhan, sebentar lagi tahun 2010 berakhir, sebentar lagi 24 tahun!! Kembali teringat tema besar di 2010 : “MERANGKAI KARYA”. Alhamdulillah, tema itu sudah terimplementasikan dengan baik, tapi memang masih harus ditingkatkan lagi. Prestasi kerja, amanah di lembaga, tulisan-tulisan, dan yang tak kalah urgennya adalah kontribusi pada masyarakat adalah sebentuk karya yang harus terus ditingkatkan, baik kualitas maupun kuantitasnya. Hmm, sembari mempersiapkan tahun 2011 yang mengangkat tema : “MEMBANGUN KISAH PENUH MAKNA”. Mmm, kisah seperti apakah itu? (Yang jelas semoga tahun 2011 sudah menemukan ending dari kisah yang sedang saya tulis).
Kembali ke pembukaan kalimat di atas. Hehe... malah ngelantur ke mana-mana. Selasa, 20 Juli 2010. Pukul 07.00 seperti biasa sudah keluar dari RedZone untuk menuju Jalan Otista Raya. Sepanjang perjalanan ternyata banyak sesuatu yang menarik dan tak sekedar melintas di benak saya. Pertama, saya melihat seorang ayah yang hendak berangkat ke kantor. Sang istri mendudukkan anaknya di jok belakang sepeda motor ayahnya. Inilah salah satu cara agar sang anak tidak rewel ketika ayahnya pergi ke kantor. Jadi teringat dengan cara Ustadz Salim A Fillah saat meninggalkan anaknya tanpa membuat anaknya rewel (cari tulisan saya di blog archive bulan Agustus 2009 berjudul “INSPIRASI PENGEMBARA CINTA”). Kedua, saya melihat seorang ibu yang sedang menyuapi anaknya dalam gendongannya. Ibu itu membujuk agar anaknya bersedia memasukkan makanan ke mulut sambil memanggil seekor kucing yang bertengger di atas genteng. Yang membuat saya agak terkejut adalah mata si kucing yang demikian menyilaukan, kayak pakai lensa kontak. Hehe... (Boleh tersenyum kok setelah baca ini.. Lha wong saya juga senyum-senyum waktu menyimpulkan analisis yang rada ngaco di atas). Ketiga, saat saya sedang melintas di depan sebuah SD Muhammadiyah, tampak murid-murid begitu semangatnya mengaji di dalam kelas. Subhanallah. Sayangnya, beberapa orang tua mereka (ibu-ibu) malah asyik ngrumpi di depan pintu gerbang sekolah sambil menunggui anaknya. Saya jadi teringat salah satu tips manajemen waktu ala penulis dari Mbak Ifa Avianty, yakni : memanfaatkan waktu luang untuk menulis, termasuk saat menunggu anak di sekolah. Daripada ngrumpi, mending ngantar anak sambil bawa laptop, trus menulis deh! (Pikir saya). Hmm, kayaknya tiga aja pengamatannya. Sebenarnya banyak, kalau ditulis bisa berlembar-lembar nih. Btw, kok judul tulisan ini AL-QANITAT sih? Sebentar kawan, tunggu deretan huruf yang akan lewat selanjutnya.
Sekitar 10 menit berjalan kaki (udah biasa jalan kaki dari kost sampai gedung FMIPA UNS zaman kuliah dulu... jadinya ya ga capek! Itung-itung sembari olahraga), sampai jualah di Jalan Otista Raya. Menyeberang dan berjalan sampai depan ATM BRI. Alhamdulillah langsung ada Kopaja 502. Alhamdulillah lagi, masih tersisa beberapa bangku kosong. Akhirnya memilih duduk di deret ke dua dari belakang, bersebelahan dengan seorang mbak-mbak yang tengah terkantuk-kantuk. Sudah menjadi kebiasaan dan memang ada unsur ketersengajaan, setiap kali keluar rumah, pasti membawa buku dan membacanya di waktu luang atau di kendaraan. Kali ini buku yang saya bawa adalah buku “10 Sifat Bidadari Surga”. Buku kecil yang ditulis Dr. Aidh Al-Qarni dan Muhammad Khair Yusuf ini menjadikan bunga mawar sebagai sampul depannya. Jadi semangat membaca nih! Saat membaca di dalam kendaraan seperti itu, saya selalu membuka bukunya lebar-lebar atau terangkat ke atas, dengan harapan penumpang di dekat saya yang berdiri juga turut membacanya. Hehe... semangat membaca! Selain itu saya akan sangat senang jika bisa berdiskusi dengan penumpang di dekat saya tentang buku yang saya baca tersebut. Alhamdulillah, saat pulang kantor (ba’da Maghrib) juga mendapat tempat duduk di Kopaja 502 sehingga bisa merampungkan buku ini.
Berikut inspirasi yang saya dapat dari buku “10 SIFAT BIDADARI DUNIA”
Al-Qanitat adalah wanita yang tidak tergoda gemerlapnya perhiasan dunia di tengah banyaknya wanita yang tergoda. Akan tetapi tidak sembarang wanita di dunia ini bisa menggapainya. Tidak pula bagi wanita yang dipandang oleh masyrakat, ia secara otomatis disebut Al-Qanitat.
Al-Qanitat adalah salah satu istilah yang digunakan Al-Qur’am untuk merepresentasikan BIDADARI DUNIA. Mereka adalah wanita-wanita yang shalihah. Sebuah predikat yang diidam-idamkan seorang ayah kepada putri-putrinya, seorang suami kepada ibu dari anak-anaknya, bahkan impian dari seorang wanita muslimah itu sendiri. Hanya wanita yang mempunyai sifat-sifat tertentulah yang berhak meraih gelar tersebut. Ada sepuluh sifat yang dimiliki BIDADARI DUNIA bergelar Al-Qanitat ini.

1.Beriman kepada Allah Tabaraka wa Ta’ala yang senantiasa menyertainya siang dan malam, ketika mukim (di rumah) maupun di perjalanan. Ketika sedang berdiri, duduk, atau berbaring.
Iman-lah yang menjadikan pengawasan Allah lebih dekat kepada dirinya dari urat lehernya. Dia selalu mengingat Allah pada saat sendiri atau bersama, pada saat rahasia atau terbuka, pada saat sedih atau gembira.
Setiap wanita muslimah hendaknya selalu menjaga iman di dalam hatinya, menyiraminya dengan dzikir, ibadah-ibadah sunnah, tafakkur, dan tadabbur terhadap ayat-ayat Allah
2.Berdiam di rumah dan tidak bertabarruj (bersolek untuk orang lain).
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah terdahulu (Q.S. Al-Ahzab : 33).
Berdiamnya seorang wanita di rumahnya, seorang wanita yang mampu menjaga kehormatan dan kemuliannya, maka pahala baginya lebih besar di sisi Allah. Orang Arab berlata, ‘Tidak ada yang menjaga seorang wanita kecuali tiga : suaminya, rumahnya, atau kuburnya”
3.Menundukkan pandangan dan menjaga dirinya.
Allah berfirman, “Katakanlah kepada wanita yang beriman, ‘Hendaknya mereka menahan pandangannya’ “ (Q.S. An Nur : 31).
“Wanita yang shalihah adalah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada karena Allah telah memelihara dirinya.” (Q.S. An-Nisa :34)
4.Menjaga lisannya dari ghibah (menggunjing) dan namimah (adu domba).
“Dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya.” (Q.S. Al-Hujurat : 12)
Wanita harus menjaga lisannya dari dosa-dosa tersebut, karena hal itu bisa menjerumuskannya ke dalam neraka.
5.Menjaga pendengarannya dari nyanyian-nyanyian, ucapan kotor, dan yang sejenisnya.
“Dan di antara manusia ada yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah.” (Q.S. Luqman :6).
Nyanyian-nyanyian yang tiada berguna juga sebaiknya dihindari oleh muslimah karena bisa menimbulkan penyakit di dalam hati.
6.Menghormati suami, menunaikan haknya, berusaha membuatnya tentram, dan mentaatinya dalam ketaatan kepada Allah SWT.
“Apabila seorang wanita menunaikan sholat lima waktu, berpuasa di bulan puasa, dan taat kepada suaminya, niscaya dia masuk surga Tuhannya.” (H.R. Ahmad)
Di antara ketaatan kepada suaminya adalah membuatnya merasa nyaman jika dia pulang. Tersenyum untuknya, menenangkan pikirannya, tidak memicu persoalan dengannya, tidak menuntut uang belanja yang memberatkan, menjaga amanatnya jika dia tidak ada, diam ketika dia berbicara, mendidik anak-anaknya di atas Islam dan tidak menyelisihi perintahnya
7.Hemat dalam kehidupan, tidak boros dalam makanan, pakaian dan tempat tinggal
“Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan dan setan itu sangat ingkar kepada Tuhannya.” (Q.S. Al-Isra : 27)
Wanita muslimah wajib berhemat dalam segala urusannya dan urusan rumah tangganya. Jangan membebani suami di luar batas kemampuannya, hanya karena alasan-alasan remeh. Wanita muslimah hendaknya menginfakkan kelebihan hartanya di jalan Allah, di mana Allah menyimpan pahala di sisi-Nya.
8.Tidak menyerupai laki-laki.
Hendaknya setiap muslimah berusaha untuk tidak meniru laki-laki dalam cara berjalan, berpakaian, atau urusan yang menjadi kekhususan bagi laki-laki. Jangan mengubah ciptaan Allah, di mana Allah telah menciptakannya di atasnya.
“Allah telah melaknat para wanita yang menyerupai laki-laki.” (HR. Bukhari)
9.Berusaha menjaga shalat-shalat, puasa-puasa, dan sedekah sunnahnya.
Wanita mempunyai setumpuk kesibukan di rumah khususnya terhadap anak-anak.Akan tetapi, hendaknya dia tidak melupakan bagiannya, terutama Al Qur’an dan dzikir. Karena keduanya itu adalah ringan di lisan tapi berat di timbangan. Selain itu juga amalan-amalan sunnah lainnya tetap diusahakan untuk dilaksanakan.
10.Hendaknya dia menjadi seorang da'iyah di kalangan para wanita, menyeru pada kebaikan, dan melarang dari kemunkaran.
Laki-laki ada kalanya tidak bisa berdakwah di kalangan wanita. Ada masalah yang sensitif di kalangan wanita yang terkadang sosok wanita jualah yang mampu mengatasinya. Oleh karena itu, seorang da’iyah di kalangan wanita sangat dinanti perannya. Dia bisa memberi pengaruh di kalangan wanita dan menarik mereka pada kebaikan.
Semoga kita bisa mendapatkan gelar Al-Qanitat, aamiin...
***
Ternyata sudah hampir jam 6.00 pagi! Saatnya bersiap menjemput rizki. Tapi sebelum mengakhiri tulisan ini, saya ingin menulis sesuatu untukmu, saudariku...

Apa kabar saudariku?

Apa kabar saudariku? Mungkin hari-hari yang kau lalui penuh dengan ujian dan rintangan. Tapi jangan putus asa ya! Allah bersamamu selalu. Betapa pun dalam setiap sujud panjangmu kau tak pernah lalai memohonkan hidayah untukmu, keluargamu dan saudaramu, terkadang dengan deraian air mata. Tapi kau selalu tersenyum, ceria, dan penuh semangat di tengah saudarimu yang lain. Seolah tak pernah ada duka menghampiri kehidupanmu. Kau terlihat begitu tegar, bahkan kau kerap menghadiahkan taushiyah yang mampu menguatkan saudarimu yang lain. Bersama kesulitan selalu ada kemudahan, janji Allah itu membuat engkau begitu kuat dan tegar.

Apa kabar saudariku? Kulihat kau begitu bersahaja, sederhana, dan anggun dengan jilbab panjang tanpa motif dan baju muslimah sederhana yang tak banyak kau miliki. Kau tak pernah iri melihat saudarimu mengenakan jilbab dan baju beraneka model dan motif, bahkan selalu berganti setiap hari. Selalu rasa syukur yang tergambar dari teduh wajahmu, kau tidak ingin menggunakan pakaian hanya untuk terlihat modis. Sutera hijau nan indah menjadi impianmu kelak di surgaNya.

Apa kabar saudariku? Hari-harimu terlewati penuh dengan kesahajaan. Tilawah Al-Qur'an nan syahdu selalu kau sempatkan. Dzikirullah tak pernah terlepas dalam setiap harimu. Sering terdengar alunan ayat-ayat Al-Qur'an dari bibirmu ketika kau menghapalkan surat cinta dari Illahi. Ketika banyak saudarimu lebih semangat menyenandungkan bait-bait nasyid yang begitu banyak mereka hapal, kau tak pernah tergoda. Subhanallah, kudengar sudah beberapa juz Al-Qur'an tersimpan di memorimu.

Apa kabar saudariku? Sudahkah engkau menyempatkan diri membaca lara yang menimpa saudaramu di belahan bumi lain? Di Afghanistan, Palestina, Kashmir, Moro, Maluku, Poso, dan belahan bumi lainnya. Sudahkah kau membaca koran dan majalah hari ini? Ataukah kau masih suka membaca buku cerita dan serial cantik yang menjadi santapanmu ketika jahiliyah dulu? Pernahkah kau baca Tafsir Al-Qur'an di rumah ketika tilawah, menekuni buku Fiqh Dakwah, Petunjuk Jalan, dan buku-buku Islam lainnya. Ataukah kau masih menunggu ta'limat murabbiyah untuk sekedar membukanya?

Apa kabar saudariku? Begitu banyak kewajiban dakwah yang belum tersentuh tanganmu, saudariku. Bagaimana kabar dakwah di kampusmu, di keluargamu, di lingkungan rumahmu, di tempat kerjamu? Sudahkah kau memberikan kontribusi berarti untuk membangun peradaban Islami ataukah kau lebih suka menjadi penonton? Pasif, diam, tidak percaya diri, takut menghadapi dunia luar, dan sibuk dengan diri sendiri? Saatnya bangkit dan berjuang, saudariku. Mari bersama berjuang membangun peradaban. Jangan tunggu lagi!
REDZone, 21 Juli 2010_05:59
Aisya Avicenna

Tuesday, July 20, 2010

Ketika Cinta Dirahasiakan

Tuesday, July 20, 2010 1 Comments

Cinta adalah hal fitrah yang tentu saja dimiliki oleh setiap orang, namun bagaimanakah membingkai perasaan tersebut agar bukan cinta yang mengendalikan diri kita, tetapi diri kita yang mengendalikan cinta. Mungkin cukup sulit menemukan teladan dalam hal tersebut di sekitar kita saat ini. Walaupun bukan tidak ada. Barangkali, kita saja yang tidak mengetahui saking rapatnya dikendalikan. Subhanallah…
Tapi, kebanyakan justru yang tampak ke permukaan adalah yang justru seharusnya tidak kita contoh. Kekurangan teladan? Mungkin..
Inilah fragmen dari khalifah ke-4, suami dari putri kesayangan Rasulullah tentang membingkai perasaan dan bertanggung jawab akan perasaan tersebut. Kisah di bawah ini diambil dari buku Jalan Cinta Para Pejuang, buah pena Ustadz Salim A.Fillah. Chapter aslinya berjudul “Mencintai Sejantan Ali”
Ada rahasia terdalam di hati Ali yang tak dikisahkannya pada siapapun. Fathimah.
Karib kecilnya, puteri tersayang dari Sang Nabi yang juga sepupunya itu, sungguh mempesonanya. Kesantunannya, ibadahnya, kecekatan kerjanya, parasnya.
Lihatlah gadis itu pada suatu hari ketika ayahnya pulang dengan luka memercik darah dan kepala yang dilumur isi perut unta. Ia bersihkan hati-hati, ia seka dengan penuh cinta. Ia bakar perca, ia tempelkan ke luka untuk menghentikan darah ayahnya. Semuanya dilakukan dengan mata gerimis dan hati menangis. Muhammad ibn ’Abdullah Sang Terpercaya tak layak diperlakukan demikian oleh kaumnya! Maka gadis cilik itu bangkit. Gagah ia berjalan menuju Ka’bah.
Di sana, para pemuka Quraisy yang semula saling tertawa membanggakan tindakannya pada Sang Nabi tiba-tiba dicekam diam. Fathimah menghardik mereka dan seolah waktu berhenti, tak memberi mulut-mulut jalang itu kesempatan untuk menimpali. Mengagumkan! Ali tak tahu apakah rasa itu bisa disebut cinta.
Tapi, ia memang tersentak ketika suatu hari mendengar kabar yang mengejutkan.
Fathimah dilamar seorang lelaki yang paling akrab dan paling dekat kedudukannya dengan Sang Nabi. Lelaki yang membela Islam dengan harta dan jiwa sejak awal-awal risalah. Lelaki yang iman dan akhlaqnya tak diragukan; Abu Bakar Ash Shiddiq, Radhiyallaahu ’Anhu.
”Allah mengujiku rupanya”, begitu batin Ali. Ia merasa diuji karena merasa apalah ia dibanding Abu Bakar. Kedudukan di sisi Nabi? Abu Bakar lebih utama, mungkin justru karena ia bukan kerabat dekat Nabi seperti Ali, namun keimanan dan pembelaannya pada Allah dan Rasul-Nya tak tertandingi. Lihatlah bagaimana Abu Bakar menjadi kawan perjalanan Nabi dalam hijrah
sementara Ali bertugas menggantikan beliau untuk menanti maut di ranjangnya.
Lihatlah juga bagaimana Abu Bakar berdakwah. Lihatlah berapa banyak tokoh bangsawan dan saudagar Mekah yang masuk Islam karena sentuhan Abu Bakar ; Utsman, ’Abdurrahman ibn ’Auf, Thalhah, Zubair, Sa’d ibn Abi Waqqash, Mush’ab. Ini yang tak mungkin dilakukan kanak-kanak kurang pergaulan seperti Ali. Lihatlah berapa banyak budak muslim yang dibebaskan dan para faqir yang dibela Abu Bakar; Bilal, Khabbab, keluarga Yassir, ’Abdullah ibn Mas’ud.. Dan siapa budak yang dibebaskan Ali? Dari sisi finansial, Abu Bakar sang saudagar, insyaallah lebih bisa membahagiakan Fathimah. Ali hanya pemuda miskin dari keluarga miskin.
”Inilah persaudaraan dan cinta”, gumam Ali. ”Aku mengutamakan Abu Bakar atas diriku, aku mengutamakan kebahagiaan Fathimah atas cintaku.”
Cinta tak pernah meminta untuk menanti. Ia mengambil kesempatan atau mempersilakan. Ia adalah keberanian, atau pengorbanan. Beberapa waktu berlalu, ternyata Allah menumbuhkan kembali tunas harap di hatinya yang sempat layu. Lamaran Abu Bakar ditolak.
Dan Ali terus menjaga semangatnya untuk mempersiapkan diri. Ah, ujian itu rupanya belum berakhir. Setelah Abu Bakar mundur, datanglah melamar Fathimah seorang laki-laki lain yang gagah dan perkasa, seorang lelaki yang sejak masuk Islamnya membuat kaum muslimin berani tegak mengangkat muka, seorang laki-laki yang membuat syaithan berlari takut dan musuh-musuh Allah bertekuk lutut. Umar ibn Al Khaththab. Ya, Al Faruq, sang pemisah kebenaran dan kebathilan itu juga datang melamar Fathimah. Umar memang masuk Islam belakangan,
sekitar 3 tahun setelah Ali dan Abu Bakar. Tapi siapa yang menyangsikan ketulusannya? Siapa yang menyangsikan kecerdasannya untuk mengejar pemahaman? Siapa yang menyangsikan semua pembelaan dahsyat yang hanya Umar dan Hamzah yang mampu memberikannya pada kaum muslimin? Dan lebih dari itu, Ali mendengar sendiri betapa seringnya Nabi berkata, ”Aku datang bersama Abu Bakar dan Umar, aku keluar bersama Abu Bakar dan Umar, aku masuk bersama Abu Bakar dan Umar..”Betapa tinggi kedudukannya di sisi Rasul, di sisi ayah Fathimah.
Lalu coba bandingkan bagaimana dia berhijrah dan bagaimana Umar melakukannya.
Ali menyusul sang Nabi dengan sembunyi-sembunyi, dalam kejaran musuh yang frustasi karena tak menemukan beliau Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam. Maka ia hanya berani berjalan di kelam malam. Selebihnya, di siang hari dia mencari bayang-bayang gundukan bukit pasir.
Menanti dan bersembunyi. Umar telah berangkat sebelumnya. Ia thawaf tujuh kali, lalu naik ke atas Ka’bah. ”Wahai Quraisy”, katanya. ”Hari ini putera Al Khaththab akan berhijrah. Barangsiapa yang ingin isterinya menjanda, anaknya menjadi yatim, atau ibunya berkabung tanpa henti, silakan hadang Umar di balik bukit ini!” Umar adalah lelaki pemberani.
Ali, sekali lagi sadar. Dinilai dari semua segi dalam pandangan orang banyak, dia pemuda yang belum siap menikah. Apalagi menikahi Fathimah binti Rasulillah! Tidak. Umar jauh lebih layak.
Dan Ali ridha.
Cinta tak pernah meminta untuk menanti. Ia mengambil kesempatan. Itulah keberanian.
Atau mempersilakan. Yang ini pengorbanan. Maka Ali bingung ketika kabar itu meruyak. Lamaran Umar juga ditolak. Menantu macam apa kiranya yang dikehendaki Nabi? Yang seperti Utsman sang miliarder kah yang telah menikahi Ruqayyah binti Rasulillah? Yang seperti Abul ’Ash ibn Rabi’ kah, saudagar Quraisy itu, suami Zainab binti Rasulillah? Ah, dua menantu Rasulullah itu sungguh membuatnya hilang kepercayaan diri. Di antara Muhajirin hanya ’Abdurrahman ibn ’Auf yang setara dengan mereka. Atau justru Nabi ingin mengambil menantu dari Anshar untuk mengeratkan kekerabatan dengan mereka? Sa’d ibn Mu’adz kah, sang pemimpin Aus yang tampan dan elegan itu? Atau Sa’d ibn ’Ubadah, pemimpin Khazraj yang lincah penuh semangat itu?
”Mengapa bukan engkau yang mencoba kawan?”, kalimat teman-teman Ansharnya itu membangunkan lamunan.
”Mengapa engkau tak mencoba melamar Fathimah? Aku punya firasat, engkaulah yang ditunggu-tunggu Baginda Nabi..”
”Aku?”, tanyanya tak yakin. ”Ya. Engkau wahai saudaraku!”
”Aku hanya pemuda miskin. Apa yang bisa kuandalkan?”
”Kami di belakangmu, kawan! Semoga Allah menolongmu!”
Ali pun menghadap Sang Nabi. Maka dengan memberanikan diri, disampaikannya keinginannya untuk menikahi Fathimah. Ya, menikahi. Ia tahu, secara ekonomi tak ada yang menjanjikan pada dirinya. Hanya ada satu set baju besi di sana ditambah persediaan tepung kasar untuk makannya. Tapi meminta waktu dua atau tiga tahun untuk bersiap-siap? Itu memalukan! Meminta Fathimah menantikannya di batas waktu hingga ia siap? Itu sangat kekanakan. Usianya telah berkepala dua sekarang. ”Engkau pemuda sejati wahai Ali!”, begitu nuraninya mengingatkan. Pemuda yang siap bertanggungjawab atas rasa cintanya. Pemuda yang siap memikul resiko atas pilihan-pilihannya. Pemuda yang yakin bahwa Allah Maha Kaya.
Lamarannya berjawab, ”Ahlan wa sahlan!” Kata itu meluncur tenang bersama senyum Sang Nabi. Dan ia pun bingung. Apa maksudnya? Ucapan selamat datang itu sulit untuk bisa dikatakan sebagai isyarat penerimaan atau penolakan. Ah, mungkin Nabi pun bingung untuk menjawab. Mungkin tidak sekarang. Tapi ia siap ditolak. Itu resiko. Dan kejelasan jauh lebih ringan daripada menanggung beban tanya yang tak kunjung berjawab.
Apalagi menyimpannya dalam hati sebagai bahtera tanpa pelabuhan. Ah, itu menyakitkan.
”Bagaimana jawab Nabi kawan? Bagaimana lamaranmu?” ”Entahlah..” ”Apa maksudmu?”
”Menurut kalian apakah ’Ahlan wa Sahlan’ berarti sebuah jawaban!” ”Dasar tolol! Tolol!”, kata mereka, ”Eh, maaf kawan.. Maksud kami satu saja sudah cukup dan kau mendapatkan dua!
Ahlan saja sudah berarti ya. Sahlan juga. Dan kau mendapatkan Ahlan wa Sahlan kawan! Dua-duanya berarti ya!”
Dan Ali pun menikahi Fathimah. Dengan menggadaikan baju besinya. Dengan rumah yang semula ingin disumbangkan kawan-kawannya tapi Nabi berkeras agar ia membayar cicilannya. Itu hutang.
Dengan keberanian untuk mengorbankan cintanya bagi Abu Bakar, Umar, dan Fathimah. Dengan keberanian untuk menikah. Sekarang. Bukan janji-janji dan nanti-nanti. Ali adalah gentleman sejati. Tidak heran kalau pemuda Arab memiliki yel, “Laa fatan illa Aliyyan! Tak ada pemuda kecuali Ali!”
Inilah jalan cinta para pejuang. Jalan yang mempertemukan cinta dan semua perasaan dengan tanggungjawab. Dan di sini, cinta tak pernah meminta untuk menanti. Seperti Ali. Ia mempersilakan. Atau mengambil kesempatan. Yang pertama adalah pengorbanan.
Yang kedua adalah keberanian. Dan ternyata tak kurang juga yang dilakukan oleh Putri Sang Nabi, dalam suatu riwayat dikisahkan bahwa suatu hari (setelah mereka menikah) Fathimah berkata kepada Ali, “Maafkan aku, karena sebelum menikah denganmu. Aku pernah satu kali merasakan jatuh cinta pada seorang pemuda” Ali terkejut dan berkata, “kalau begitu mengapa engkau mau manikah denganku? dan Siapakah pemuda itu” Sambil tersenyum Fathimah berkata, “Ya, karena pemuda itu adalah Dirimu”
Kisah ini disampaikan di sini, bukan untuk membuat kita menjadi mendayu-dayu atau romantis-romantis-an Kisah ini disampaikan agar kita bisa belajar lebih jauh dari Ali dan Fathimah bahwa ternyata keduanya telah memiliki perasaan yang sama semenjak mereka belum menikah tetapi dengan rapat keduanya menjaga perasaan itu. Perasaan yang insya Allah akan indah ketika waktunya tiba.
***
" Jika belum siap, cintai ia dalam diam"
Bila belum siap melangkah lebih jauh dengan seseorang, cukup cintai ia dalam diam..
Karena diammu adalah salah satu bukti cintamu padanya..
Kau ingin memuliakan dia..dengan tidak mengajaknya menjalin hubungan yang terlarang,
Kau tak mau merusak kesucian dan penjagaan hatinya..
Karena diammu memuliakan kesucian diri dan hatimu
Menghindarkan dirimu dari hal-hal yang akan merusak izzah dan iffahmu..
Karena diammu bukti kesetiaanmu padanya..
Karena mungkin juga..orang yang kamu cintai adalah juga orang yang telah Allah SWT pilihkan untukmu..
Ingatkah kalian tentang kisah Fatimah dan Ali? Yang keduanya saling memendam apa yg mereka rasakan...Tapi pada akhirnya mereka dipertemukan dalam ikatan suci nan indah.
Karena dalam diammu tersimpan kekuatan..
Kekuatan harapan.. Hingga mungkin saja Allah akan membuat harapan itu menjadi nyata hingga “cintamu yang diam” itu dapat berbicara dalam kehidupan nyata..
Bukankah Allah tak akan pernah memutuskan harapan hamba yang berharap pada-Nya?
Dan jika “cinta dalam diammu” itu tak memiliki kesempatan untuk berbicara di dunia nyata, biarkan ia tetap diam..
Jika dia memang bukan milikmu, Toh ALLAH.. melalui waktu akan menghapus “cinta dalam diammu” itu dengan memberi rasa yang lebih indah dan orang yang tepat..
Biarkan “cinta dalam diammu” itu menjadi memori tersendiri dan sudut hatimu, menjadi rahasia antara kau dengan Sang Pemilik hatimu...

(sebuah kiriman dari seorang saudariku..)

Terinspirasi dari sebuah dialog kemarin siang. Buat seorang sahabat => Ukhti, yakinlah suatu saat kau akan mendapatkan yang TEPAT dan TERBAIK… untukmu… Untuk kita ^^v.

Jakarta, 20 Juli 2010
Aisya Avicenna

Monday, July 19, 2010

Dialog di Ujung Malam

Monday, July 19, 2010 0 Comments

Jam dinding merah berdetak
Pukul 01.00 dini hari...
Sesekali terdengar suara seekor cecak yang berdecak
Setelah itu diam... membisu!

***
Berubahkah aku.. hanya bila ada sesuatu
Terus aku pulang pada sikap di mana ku berubah
Hanya sekedar sesuatu tak berapa lama pun itu
Jalanku terpendam dalam sikap di mana ku berubah
Tuhan... aku hanya manusia
Mudah berubah lagi dalam sekejap
Tuhan... aku ingin berubah
Dan ku bertahan dalam perubahanku

Satu bait nasyid yang didendangkan Edcoustic di atas mengiringi jemari ini menulis rangkaian huruf yang melaju mengikuti sebuah perenungan mendalam pada dini hari yang sangat sunyi ini.
Di setiap langkah membawa hikmah
Di setiap peristiwa ada rahasia
Di setiap kejadian ada pelajaran
Semua adalah proses pendewasaan
Dialah Sang Murobbi Tertinggi kita.
Yang menuntun, membimbing dengan limpahan cinta dan kasih sayang...

Allah sering mentarbiyah ruhiyah kita. Dia ingin tahu sebesar apa cinta kita pada-Nya. Dia selalu menguji di tempat yang sama. HATI. Mungkin di sinilah letak kelemahan kita (saya menggunakan kata ‘kita’ karena saya yakin, tidak hanya saya yang mengalami dan merasakannya). Allah akan selalu menguji di titik kelemahan hamba-Nya, sampai ia benar-benar sembuh, pulih dari sakitnya. Hati kita memang sering berada dalam kondisi ‘payah’. Jadi Allah memberi obat dengan ujian-Nya. Semoga saja kita termasuk hamba-Nya yang lulus ujian dengan nilai terbaik dan penyakit hati kita akan pulih tanpa bekas. Hilang, lenyap. sembuh, benar-benar sembuh. Dia memang Maha Tahu kondisi hamba-Nya. Dia Maha Tahu kapan harus memberi ujian dan kapan menyelesaikan. Dia menunggu saat yang tepat dan terbaik untuk mengakhiri ujian-Nya.
Saat hati itu mulai lapang, ikhlas, dan siap menerima keputusan-Nya, saat itulah ujian berakhir. Lega....semua telah lewat. Masa-masa tegang mengerjakan ujian telah berlalu. Masa kritis dan sakitpun telah terlampaui. Sekarang yang ada hanya ucapan syukur tak terhingga. Kecintaan yang semakin bertambah. Cita-cita yang semakin tinggi. Ikhtiar yang semakin besar, untuk menjadi hamba-Nya yang terbaik, terbaik, dan terbaik! Di dunia dan akhirat.
Semoga semua ini memberi hikmah yang begitu dalam pada kita. Mencoba untuk bangkit. Menatap masa depan. Menyusun rencana ke depan. Menata hati, memperbaiki diri! Menyiapkan bekal dan kado terbaik untuk dakwah, untuk Islam. Mencapai target, membenahi kekurangan. Terus! Menatap ke depan! Jangan selalu menoleh ke belakang. Yang telah lalu adalah pelajaran. Proses pendewasaan. Semakin hari semakin mengerti tentang arti kehidupan. Belajar, belajar, dan belajar.
Diri kita harus semakin kuat dan semakin tangguh menghadapi rintangan. Hadapi saja, Allah-lah sebaik-baik penolong. Serahkan semua pada-Nya. Intinya, dekatkan selalu diri kita pada-Nya. Jangan tertipu dengan cinta semu. Cinta-Nya lebih berharga dari apapun! Lebih besar dari siapapun! Lebih indah dari segala yang ada! Apapun yang terjadi, jangan menjauh dari-Nya. Jangan melupakan-Nya. Tegar, Tabah, Istiqomah..
***
Rabb...terima kasih atas semua yang Kau berikan pada hambaMu yang hina ini. Engkau memang Maha Pengasih. Nikmat ilmu, rizqi, kemudahan segala urusan, nikmat bersabar dan tawakkal, nikmat mencintai-Mu dan memperoleh cinta-Mu...Sungguh hamba tak mampu untuk membalasnya. Air mata ini tak sanggup tuk menebusnya. Amal dan ibadah seumur hidupku pun tak cukup untuk membayarnya.

Di setiap masa ada untaian cerita
Di setiap cerita ada penggalan episode
Di setiap penggalan episode ada hikmah
Di setiap hikmah ada cinta, cinta, dan hanya cinta yang tersisa...
Rabb...ajak aku untuk bangkit saat ku terjatuh
Raih tanganku saat ku terhempas
Dekap aku dengan kasih-Mu
Genggam aku dalam kuasa-Mu
Bawa aku berlari, berlari dan terus berlari mengejar cinta-Mu
Hingga ku temukan Kau, menungguku...menatapku...
Di ujung masaku, setelah habis pencarianku
Ku kembali menghadap-Mu dengan membawa berjuta rindu
Dan cinta di qalbu..
Terimalah persembahanku....

Ya Allah,
Aku hanyalah sebutir pasir di gurun-Mu yang luas
Aku hanyalah setetes embun di lautan-Mu yang meluap hingga seantero samudera
Aku hanya sepotong rumput di padang-Mu yang memenuhi bumi
Aku hanya sebutir kerikil di gunung-Mu yang menjulang menyapa langit
Aku hanya seonggok bintang kecil yang redup di bentang langit-Mu yang tanpa batas

Ya Allah...
Hamba yang hina ini menyadari tiada artinya diri ini di hadapan-Mu
Akan tetapi, hamba terus menggantungkan segunung harapan pada-Mu

Ya Allah...
Baktiku pada-Mu tiada arti, ibadahku hanya sepercik air
Bagaimana mungkin sepercik air itu dapat memadamkan api neraka-Mu yang berkobar?
Betapa sadar diri ini begitu hina di hadapan-Mu
Jangan jadikan diri ini hina di hadapan makhluk-Mu
Diri yang tangannya banyak maksiat ini...
Mulut yang banyak maksiat ini...
Mata yang banyak maksiat ini…
Hati yang telah terkotori oleh noda ini…memiliki keinginan setinggi langit
Mungkinkah hamba yang hina ini menatap-Mu yang mulia???

Ya Allah...
Kami semua fakir di hadapan-Mu
Tapi juga kikir dalam mengabdi kepada-Mu
Pintaku...
Ampunilah aku dan saudara-saudaraku yang telah memberi arti dalam hidupku
Mungkin tanpa kami sadari, kami pernah melanggar aturan-Mu
Bahkan sering!
Ampunilah kami...
Pertemukan kami dalam jannah-Mu..
Dalam bingkai kecintaan kepada-Mu...

Ya Allah...
Siangku tak selalu dalam iman yang teguh
Malamku tak senantiasa dibasahi air mata taubat
Pagiku tak selalu terhias oleh dzikir pada-Mu
Begitulah si lemah ini dalam upayanya yang sedikit
Janganlah kau cabut nyawaku dalam keadaan lupa pada-Mu
Atau…. dalam maksiat kepada-Mu
Ya Allah, cabut nyawaku dalam khusnul khatimah...

Aamiin Ya Rahman...
Aamiin Ya Rahim..
Aamiin Ya Rabbal ‘alaamiin..

***

Desiran di lubuk hati pada kesaksian
Merambah merayu diri pada kepastian
Semua akan direkatkan, akan diredupkan cahayanya
Semua akan dipulangkan dan dikembalikan
Ya Allah.. Ya Ghaffar... Ya Rabbi...

Bisikan di palung hati pada keinsyafan
Mengalir percik nurani pada kerinduan
Semoga Allah memberikan, Allah membukakan pintu rahmat-Nya
Semoga Allah melimpahkan lautan ampunan
***
Mengakhiri tulisan kali ini dengan beriring nasyid “Kau Tiada Terdua”-nya Rakhmat Fajar. Semoga semangat untuk berubah menjadi lebih baik senantiasa memenuhi rongga jiwa kita. Semangat berubah yang diselimuti rasa optimis! Optimisme yang mengantarkan kita pada keyakinan yang sangat, bahwa apapun yang terjadi dalam hidup kita adalah hadiah terindah dari Allah SWT.

Kumandang cinta
Mewarnai bergantinya hari
Bukanlah hari-hari biasa

Kepada-Mu Tuhan
Bersama bintang ku pun bertasbih
Merindu siang malam penuh keberkahan

Dalam doa penuh cinta ini
Ku tak akan lagi sendiri
Malaikat pun menaungi
Sujud malamku

Di tengah tunduknya hati ini
Mohon tanamkan iman di sini
Agar tiada ragu ku berkata
Kau tiada terdua

I’m praying
You’ll always watching me
Always loving me
And protecting me
Help me to put a side the doubt
Allah Ya Hadii…

***
Diri ini memang sering merasa sendiri..
Apakah itu bagian dari kefuturan??
Padahal jelas nyata Kau selalu ada Ya Rabb!!
Semoga rasa ‘sendiri’ itu tak lagi menghantui
Karena Engkau selalu menemani
Karena Engkau selalu menjaga
Karena Engkau TIADA TERDUA!!!!!!!!!!!
Ya Rabb… hamba mencintai-Mu…semakin mencintai-Mu!!!

Sering ku merasa bertakwa pada-Mu
Tapi itu hanya perasaan saja
Sering ku berdosa pada-Mu Illahi
Tapi sering ku mengingkarinya...
Sering ku mengingat cinta-Mu Illahi
Tapi lebih sering ku menjauhinya
Sering ku terlena dengan dunia ini
Hingga menjadi hamba yang merugi
Hari demi hari terus kulalui
Dalam keadaan sepinya hati ini
Ku mengharap cinta Illahi
Dapat bersemi di hati
Hari ini ku ingin berubah
Ke arah yang lebih baik lagi
Ku akan mengabdi pada Illahi
Agar cinta-Nya terus di hati...



Jakarta, 19 Juli 2010_01:13
Seorang hamba yang mencintai-Mu…
Seorang hamba yang ingin terus berubah...
Menjadi lebih baik dan lebih baik lagi!!!
Istiqomahkan hamba Ya Rabb...

Aisya Avicenna