Jejak Karya

Jejak Karya

Friday, September 14, 2012

EPISODE PELANGI MANTU: “KALA CINTA TERLABUHKAN”

Friday, September 14, 2012 0 Comments
by Norma Keisya Avicenna on Sunday, September 9, 2012 at 10:52pm ·

Senin Ngangenin di bulan September lembar ke-10.
Ada agenda istimewa apa hari ini?
Jadi, pagi ini saya harus izin kuliah dan saya harus menemani "kakak Pelangi" saya dalam prosesi yang luar biasa dahsyat dan istimewa. Menemaninya saat "laki-laki asing" itu berikrar suci untuk menjadi sang nahkoda dalam biduk rumah tangga di samudera kehidupan berbenderakan sakinah, mawaddah, warohmah untuk selamanya. Hm, "MITSAQON GHALIZA". Do'akan semoga semuanya lancar... #Indah, mudah, full barokah... :)
"EPISODE PELANGI MANTU"
[status FB pagi ini]

Berangkatlah saya pagi ini dengan mengenakan gamis coklat kesayangan yang khusus saya pakai untuk agenda-agenda walimahan Pelangi (Hihi. Biar kesan episode “sunnah bersejarah nan indah” dengan gamis ituh selalu melekat di hati. Awawaw… Walaupun kalau pas sesi foto kesannya, kok bajunya itu-itu terus. Hahaha… whatepperlah…yang penting khusus Pelangi!)

Eits, ada cerita seru. Alhamdulillah, Kak Dodoy –kakak saya yang cakep ituh- akhirnya bersedia mengantarkan saya ke Songgorunggi, Nguter, Sukoharjo (tempat ijab qabul dan resepsi pernikahan mbak Avisa Guritna –Mbak Anik Pelangi-). Meski harus pake rayuan ala Cenung dan akhirnya setelah pasang muka paling memelas dengan mengungkit-ungkit kejahilan dia waktu membajak FB saya dengan kalimat “Mendadak gaLau nih…”, ugh akhirnya tu kakak mau juga jadi tukang ojek saya! Horeee… (Cuman nganterin doing sih, ntar pulangnya ya pulang sendiri. Maklumlah! Hihihi)

Setelah menempuh perjalanan yang cukup ngawu-awu sekali, akhirnya sampailah saya di lokasi acara. Setelah turun dari vega merah dengan sangat elegan dan cium tangan kakanda tercinta, saya pun melangkahkan kaki dengan sangat mantap memasuki sebuah istana yang sudah banyak hiasan janur kuningnya. Hm, kemungkinan besar anak-anak Pelangi pada datang pas resepsi siang nanti jam 13.00, beberapa juga ada yang izin nggak bisa datang. Yasudah deh… HUMAS tetap harus menjalankan amanahnya! Hehe. Eh, ketemu Mas Cowie dan kita berdua pun nongkrong di rumah tetangganya Mbak Anik yang dijadikan tempat rias calon pengantinnya. Ada sekitar 10 meter dari tempat resepsi. Jalan dulu melewati pinggir jalan raya…

Ketemu sama Mbak Anik yang benar-benar cantik dan bikin pangling. Cipika-cipiki dan iseng saya tanya bagaimana perasaannya. Hihi. Mbak Anik-nya cuman tersenyum, “Sudah kehabisan kata-kata untuk mengungkapkan semua rasa…” (Mungkin kalimat inilah yang mampu saya terjemahkan dari senyumannya. Hehe)

Prosesi ijab qabul mundur sekitar setengah jam dari jadwal semula yang seharusnya jam 09.00. Pak penghulunya baru datang sekitar jam 09.30. Setelah dapat kode dari pihak keluarga, kedua calon pengantin yang waktu itu memakai kostum putih nan elegan bersiap. Mbak Anik memanggil saya, beliau meminta saya menggandeng tangannya menuju lokasi ijab qabul. Toeeeng… Berjalanlah iring-iringan itu. Mbak Anik dan saya di baris terdepan, saya pegang erat tangan beliau yang mulai berkeringat dingin. Di belakang kami, rombongan pengiring dari pihak keluarga serta calon pengantin pria serta yang mendampinginya.

Waktu jalan itu, Mbak Anik sempat berbisik ke saya, “Nung, aku pengin nangis…”. Saya coba menenangkan beliau, “Tenang Mbak. Banyakin do’a dan dzikir. Yakin, Insya Allah semuanya lancar.”

Memasuki lokasi “sakral” itu, berasa kayak rame paparazzi. Hihi. Gubrak! Waduh, bener-bener deh… Kamera membidik dari berbagai penjuru. Lha otomatis saya jadi salting sendiri. Wkwkwk. Cenung… Cenung! (mbayangin apa jadinya kalau ada Ayu’ dan Cmut? Apalagi Mbak Santi dan Mbak Ummi. Hadeeeuh… *tepokjidat!)

Pak penghulu dan rombongan serta para saksi pun berdiri kemudian mempersilahkan kedua calon mempelai untuk menempatkan diri di posisi masing-masing. Mendadak saya jadi “speechless” saat pak penghulu menyuruh saya duduk tepat di sebelah kiri Mbak Anik. Subhanallah… Satu meja dengan dua orang saksi, pak penghulu, ayah dan ibu mbak Anik, pendamping calon pengantin pria dan kedua pasangan calon pengantin. Ya Rabb, setiap detik rasanya berlalu penuh berkah… Semoga!

Setelah pak penghulu mengucap basmalah dan serangkaian prosesi pra akad nikah (checking administrasi, checking mas kawin, dsb), kemudian beliau mengajak seluruh yang menjadi saksi mata episode istimewa itu untuk membaca Al-Fatihah bersama-sama, dilanjutkan istighfar 3x dan syahadat. Kemudian ayah Mbak Anik mengucapkan syahadat dan artinya, calon mempelai pria juga mengucapkan syahadat dan artinya demikian juga dengan calon mempelai wanita. Ada getaran bergemuruh mahadahsyat di hati ini. Alhamdulillah, ada tissue di tas saya dan saya berikan ke Mbak Anik yang saat itu sudah tidak mampu lagi membendung kristal bening yang sudah memberontak untuk menciptakan jejak di kulit pipinya. Sesekali saya genggam tangannya, isyarat untuk menguatkan dan mengokohkan hatinya. Sebentar lagi… ya sebentar lagi… (Saya jadi terkenang dengan prosesi akad nikah saudari kembar saya. Saat itupun saya duduk pas di kiri dia. Seketika air mata tumpah saat Kak Febri melantunkan hafalan Ar-Rahman yang saat itu menjadi mahar terindah dari beliau untuk saudari kembar saya… dan mereka pun SAH menyandang amanah sebagai suami dan isteri. TOBI, mumumu…)

Setelah khotbah nikah singkat yang disampaikan oleh pak penghulu, ayah Mbak Anik pun menggenggam erat tangan Mas Saiful (calon suami Mbak Anik). Ada kesalahan pengucapan di kata “mas kawin” dan akhirnya diulang lagi… pengulangan yang kedua langsung dijawab dengan suara yang bergetar oleh Mas Saiful. Tapi saksi meminta untuk diulangi karena pengucapan “anak Anik…” dirasa kurang pas. Kemudian “kertas contekan” ayahnya Mbak Anik pun ditambahi “…anak perempuan saya, Anik…dst…”. Saya benar-benar ikutan deg-degan. Hadeuh, yang nikah siapa yang deg-degan siapa. Toeeeng! Tidak berkedip mata saya saat menyaksikan ayah Mbak Anik mengucapkan lafal ijab itu lanjut kemudian Mas Saiful yang menjawab qabul-nya dengan sangat tegas dan mantab. Dan Alhamdulillah, SAH??? SAH!!! Barokallahulakumma wabaroka’alaikumma wajama’a bainakumma fii khoir… Alhamdulillah, Ya Rabb…

Seketika saya merasa banyak malaikat berada di sekitar kami. Menghujani kami dengan doa-doa terindah…untuk sebuah pernikahan yang barokah dalam menuju gerbang keluarga yang sakinah, mawaddah, warohmah… Saya pun berpelukan dengan Mbak Anik, “Selamat mengemban amanah yang baru ya mbak! Jadilah ISTRI SHALIHAH!” (Sambil mbatin dan berdoa, semoga amanah itu pun bisa segera saya sandang. Awawaw… ^_^ berlaku juga untuk para single bahagia di keluarga Pelangi. Hm, istri yang shalihah itu jika diperintah suaminya ia patuh, jika dipandang membuat suaminya merasa senang, jika suaminya bersumpah membuatnya merasa adil, jika suaminya pergi ia akan menjaga dirinya dan harta suaminya.) Yukz, semangat untuk terus mempersiapkan diri!

Subhanallah, inilah “MITSAQAN GHALIZA” euy…, perjanjian yang berat. Dari seluruh perjanjian antara Allah dengan manusia, hanya tiga yang disebut Allah sebagai “Mitsaqan Ghalizha.”

Pertama, perjanjian Allah dengan Bani Israil. “Dan kami angkat ke atas kepala mereka bukit Thursina untuk menerima perjanjian yang telah kami ambil dari mereka dan kami perintahkan kepada mereka: masukilah pintu gerbang itu sambil bersujud. Dan kami perintahkan pula kepada mereka: janganlah kamu melanggar peraturan mengenai hari Sabtu. Dan Kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang berat, mitsaqan ghalizha.” (QS. An-Nisa: 154). Apa yang terjadi ketika sebagian mereka melanggar perjanjian berat ini? Allah Swt berfirman: “Dan sesungguhnya telah kalian ketahui orang-orang yang melanggar diantaramu pada hari Sabtu. Lalu Kami berfirman kepada mereka: jadilah kamu kera yang terhina.” (QS. Al-Baqarah: 65)

Kedua, Allah Swt menyebut Mitsaqan Ghalizha ketika berbicara tentang perjanjian Dia dengan para utusan-nya yang mulia. Allah Swt membuat perjanjian bukan hanya dengan para Nabi as, tetapi secara khusus dengan Nabi-nabi besar yang dikenal sebagai Ulul Azmi. Dia bersabda, “Dan ingatlah ketika Kami mengambil perjanjian dari Nabi-nabi dan dari engkau sendiri, dari Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa putra Maryam, dan Kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang berat, Mitsaqan Ghalizha.” (QS. Al Ahzab: 7)

Ketiga, Allah Swt menyebut akad nikah antara dua orang anak manusia sebagai Mitsaqan Ghalizha. Allah Swt  menegur suami-suami yang berbuat zalim, yang merampas hak istrinya dengan berfirman, “Bagaimana kalian akan mengambilnya kembali, padahal kalian sudah berhubungan satu sama lain sebagai suami istri. Dan para istri kalian sudah melakukan dengan kalian perjanjian yang berat, Mitsaqan Ghalizha.” (QS. An-Nisa: 21)

Karena itu, akad nikah adalah sebuah perjanjian yang sama beratnya dengan perjanjian Bani Israil dengan bukit yang berada di atas kepala mereka, sama agungnya dengan perjanjian para Rasul di hadapan Allah SWT. Bila ada yang melanggar perjanjian itu, seperti Bani Israil, Allah Swt akan mengutuk menjadi kera yang hina dina. Bila mampu memikul perjanjian ini dengan tulus, Allah Swt pasti akan memuliakan dan membuat kedua pasangan halal itu dalam lingkungan para kekasihNya, sebagaimana Allah Swt memuliakan para Rasul as dan mencintai mereka.

“Dan di antara tanda-tanda keagungan Allah ialah Dia menciptakan untuk kalian dari jenis kalian juga pasangan-pasangan kamu supaya kamu hidup tentram bersamanya dan Tuhan menjadikan di antara kamu cinta dan kasih sayang. Sesungguhnya pada hal yang demikian itu ada tanda-tanda bagi orang-orang yang berpikir.” (QS. Ar-Rum: 21)

Hari ini menjadi hari yang sangat istimewa dan luar biasa dalam lembar catatan kehidupan seorang Keisya Avicenna. Banyak sekali ilmu dan hikmah yang bisa didapat. Segala Puji bagi Allah atas kala yang kaya rasa cinta.

Dan untuk semuanya  yang masih saja bertanya “KAPAN” kepada saya pasti akan saya jawab: Insya Allah, di masa yang TEPAT dan TERBAIK menurut-Nya... Ia takkan datang terlalu cepat hingga kita harus terburu-buru, tapi juga takkan terlalu lama hingga kita lelah menunggu. SIAPA YANG AKAN MENJADI PEMILIK TULANG RUSUK SAYA TIDAK AKAN TERTUKAR!" Allah knows BEST! :D”

Buat para jejaka thing-thing dan para single bahagia di Pelangi tak perlulah kita risau apalagi galau (jangan tiru-tiru papah kita yaa. haha): “Kalau telah kuat tekad  kita dan Allah Swt menganggap kita telah ‘pantas’,  mudah-mudahan Allah Swt menyegerakan terlaksananya pernikahan yang barakah dan dipenuhi ridha-Nya. Aamiiin... Karena MENIKAH itu IBADAH dan MENIKAH itu AMANAH! Maka, BERJUANGLAH!”

Menikah adalah pondasi awal membangun sebuah peradaban madani. Bagaimana dua potensi yang Allah Swt satukan untuk saling menguatkan satu sama lain. Jika belum sampai kepada peradaban madani, ya setidaknya, menikah merupakan salah satu sarana perbaikan diri. Saling mengingatkan. Karena dari pernikahan itu yang diinginkan adalah keberkahan dan Allah Swt kumpulkan dalam kebaikan.

Bagaimanapun, menikah berarti siap membangun sebuah peradaban. Karena sangat sempit rasanya jika sebuah pernikahan hanya dimaknai dengan menyatunya cinta, hal-hal romantis, dsb. Dan dalam membangun peradaban itu, pasti diperlukan pondasi yang kuat agar bangunannya tak goyah. Apa pondasi yang kuat itu? Tauhid. Di dalam Al-Quran banyak sekali tercantum kisah penanaman tauhid oleh seorang bapak kepada anaknya. Simaklah kisah Ibrahim. Simaklah kisah Yaqub. Simaklah kisah Luqman. Maka, ketika kita ingin peradaban yang akan kita bangun tak goyah, pondasi tauhid penyusunnya sungguh tak boleh sembarang. Ya, maka dari itu, perhatikan dengan siapa kita akan membangun pondasi itu. Maka, sungguh indah sang Nabi bersabda: “Pilihlah karena agamanya, maka kau akan bahagia.” Rupawan, kaya dan dari keturunan terpandang hanyalah pelengkap.

Hm… dan ketika masih dalam masa penantian, teruslah perbaiki diri agar “pantas” di mata Allah Swt dan bukan di mata makhluk-Nya. Senantiasa LURUSKAN NIAT!
“Dan jika menikah adalah menggenapi jiwa, semoga Allah Swt pertautkan jiwa-jiwa yang haus akan cinta-Nya untuk bertemu dalam ketaatan, bersetia dalam kebaikan, genap-menggenapkan: dua menjadi satu, satu menjadi lompatan tak berhingga…”

[Pesan ini disampaikan penuh cinta oleh Humas FLP Pelangi ^^b_dari berbagai sumber inspirasi]

Buat Mbak Avisa Guritna (Anik Setyowati) semoga menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah, warohmah dan segera dikaruniai momongan yang sholeh dan sholihah… Aamiin Yaa Rabbal’alamiin…

[Keisya Avicenna, 10 September 2012 *reportasesanghumas. Dan ingatlah jargon kita:  “PENULIS ADALAH MANTU IDAMAN SEPANJANG MASA” hihihi]

RESEP KUE ONGOL-ONGOL PANDAN

Friday, September 14, 2012 0 Comments

Bahan:
  1. 25 gram tepung kanji
  2. 50 ml air
  3. 125 ml air mendidih
  4. 125 gram gula pasir
  5. 275 gram tepung kanji
  6. 375 ml air suji pandan
  7. 2 tetes pasta pandan
  8. Bahan yang dicampur jadi satu dan dikukus:
  9. ½ butir kelapa agak muda, parut
  10. ½ sendok teh garam
  11. 2 lembar daun pandan


Cara Membuat Resep Kue Ongol-ongol Pandan:

  1. Campur tepung kanji dengan air mendidih, Aduk rata
  2. Campur gula pasir, tepung kanji, air suji, pasta pandan
  3. Campur larutan tepung kanji dengan larutan kanji pandan
  4. Tuang ke loyang . Kukus sampai matang
  5. Potong-potong. Tabur kelapa parut

MENDISIPLINKAN ANAK TANPA KEKERASAN

Friday, September 14, 2012 0 Comments


by Nunik Nurhayati on Tuesday, September 11, 2012 at 11:08pm ·

Materi SIMAK (Sekolah Ibu Mengasuh Anak)
Tanggal : 5 September 2012
Pembicara : Ibu Endang Widiastuti
Tema : Mendisiplinkan Anak
Tempat : KPPA Benih Parenting Center, Sangkrah, Pasar Kliwon.

Ada kalanya orang tua merasa anak tidak menurut apa yang dikatakannya. Padahal bisa jadi bukan karena anaknya yang tidak nurut, tapi bisa jadi orang tua nya yang belum memahami cara yang efektif untuk mendisiplinkan anak. Berikut adalah beberapa tips dalam mendisiplinkan anak tanpa kekerasan:

1.  Gunakan kata halus tapi tegas, kunciny konsisten. Efeknya anak akan hormat tapi bukan takut. Ketegasan membuat anak tenang krn dia yakin itu adl sesuatu yg baik untuknya dari org tua yg kokoh. Kata yg tegas bkn teriakan atw pukulan. Cara nya bisa dengan mengajak ngobrol, duduk sejajar dengan memegang bahunya, tatap matanya dan jelaskan.

2. Orang tua tenang dan menjaga ketenangan diri. Ketenangan dapat mengöntrol mulut dalam berbicara. Karena setiap kata yg dkatakan ibu adalah doa yg diaminkan malaikat. Menenangkan diri dengan duduk, wudhu, sholat. jika pulang ke rumah dlm keadaan capek, maka lbh baik masuk kamar dulu untuk menenangkan diri.

3.Buat aturan dan konsisten dalam menegakkannya . Jika anak sudah bisa diajak bernegosiasi, kira-kira minimal usia kelas 2 SD, maka akan lebih baik jika aturan yg dbuat didiskusikan antara orang tua dan anak. Oleh karena itu orang tua juga harus disiplin dlm menegakkan aturan tersebut.

4.Ajak anak memahami aturan yang sudah dibuat dan mentaati konsekuensi. Namun, konsekuensi yg dbuat jangan sampai membuat anak trauma misalnya memberikan anak hukuman dengan membaca atw menghafal quran. Karena hal yang baik tsb akan menjadi terekam dlm benak anak dan hal yang baik itu menjadi kesan yang tidak baik untuknya karena yang ia ingat itu adalah hukuman. Konsekuensi atau hukuman bisa dgn memotong uang jajan atau menulis janji tidak akan mengulangi.

5.Beri anak pilihan. Jangan sampai anak selalu mjd terdakwa. Contohnya saat anak bermain bola didalam rumah,maka diberikan pilihan terlebih dahulu, apakah mau untuk bermain bola drmh atau dilapangan. Jika dirumah konsekuensinya apa, dan jika dilapangan konsekuensinya apa.

6.Memberikan kesempatan anak berargumentasi. Jika anak melanggar aturan ditanyakan dulu alasannya. Argumentasi akan membuat pola pikir berkembang, kritis,dan terarah.

7.Jangan melibatkan diri untuk konflik dengan anak. Mendidik anak tidak sekedar menuntut anak baik. Orang tua jangan sampai terpancing emosinya. Dan saat org tua sudah terpancing emosi, usahakan untuk tetap tenang namun jangan dekati anak sebelum ia minta maaf dan menyadari kesalahannya.

8.Pahami kegiatan anak agar tidak bentrok dengan jadwal atau aturan yang dibuat.

9.Kenali dan pahami tahapan perkembangan anak. Karena perkembangan tiap anak berbeda. Oleh karena itu setiap ibu adalah pembelajar seumur hidup

10. Orang tua bisa melakukan refreshing, misal dengan melakukan hobi. Agar psikis menjadi rileks dan menambah ketenangan dalam mendidik anak.

Friday, August 24, 2012

Wahai Kekasihku [Kun Geia]

Friday, August 24, 2012 0 Comments
by Kun Geia on Saturday, August 18, 2012 at 8:03pm ·
dalam 3 jam kedepan engkau kan melangkah
pergi menjauhiku yang masih disini
menyuguhkan kesepian
menyisakan kesendirian

maka berkabunglah hati karenanya
datanglah kesedihan bersama perpisahan
duhai kekasih yang belum bisa sempurna kubahagiakan
duhai cinta yang hanya sekejapan dalam kebersamaan

akankah kita dipertemukan kembali
bersatu dalam keceriaan dan keberkahan
mengulang ketaatan dalam indahnya malam-malam
mengukir kesabaran dalam untai terangnya siang

kehangatan kita masih terasa dalam dekapan
keintiman kita masih terbayang dalam ingatan
namun engkau sudah sempurna berkemas 
siap melangkah tuk pergi dari sisiku

sesaklah dada ini
beratlah beban ini
tapi engkau tak bisa dihentikan
keputusan tak bisa dibantahkan

sungguh aku akan merindukanmu
selalu menunggumu kembali kesisiku
wahai kekasih
wahai tercinta

andaikata Tuhan bersedia mengabulkan
kan kuminta Dia menjadikan seluruh bulan
digantikan oleh dirimu
wahai penghulu seluruh bulan

selamat jalan untukmu penyandang kesucian
selamat jalan bagimu pembawa keagungan
selamat jalan padamu penebar keberkahan
selamat jalan ya ramadhan

terima kasih untuk semua keceriaan
terima kasih untuk semua kehangatan
terima kasih untuk semua kebersamaan
terima kasih untuk semua yang telah kita jalani bersama

wahai kekasihku wahai ramadhanku
janganlah jemu menyebut-nyebut namaku di langit sana
ceritakanlah apa-apa yang telah kita kerjakan bersama
kepada seluruh penduduk alam atas dan alam bawah
serta kepada Raja Yang Bersemayam di Arsy-Nya

kuucapkan salam perpisahan untukmu
dengan alunan tertulus yang bisa kuciptakan
"Allahu Akbar... Allahu Akbar... Allahu Akbar..."
"laa ilaa ha illallahu wa Allahu Akbar..."
"Allahu Akbar wa lillahilham..."


Garut, menjelang kepergian Ramadhan dan kedatangan 1 Syawal

Proses Kreatif dibalik Pembuatan THE LOST JAVA

Friday, August 24, 2012 0 Comments
by Kun Geia on Sunday, July 8, 2012 at 7:18pm ·

Saat itu, tanpa angin atau hujan, terlebih terik, ada comment di blog pribadiku; komunitaspenaripena.blogspot.com, isinya berupa iklan lomba novel tingkat Nasional di Yogyakarta, kejadiannya di bulan Januari 2010. Aku tak begitu menghiraukannya, hanya membaca sekilas, tapi ternyata setelah melihat nominal hadiah dari lomba itu, bibirku tersenyum. Batinku mulai berbisik, aku harus juara.

Dead line penutupan lomba tinggal 1 bulan. “Bukan masalah,” cuapku dengan arogan.

Kubeli kertas karton putih, kemudian kutorehkan tulisan besar dan tebal di karton itu: MENGHAJIKAN ORANG TUA. Setelahnya, kutempel karton itu di dinding kamar yang tepat menghadap tempat tidur, sehingga setiap kali terbangun, aku akan menemui tulisan itu sebagai charger semangat.

Maka, mulailah scouting ide.
Nggak ketemu.
Membaca-baca buku berharap dapat inpirasi.
Nihil.

Kau tak boleh menjadi follower, ciptakan tulisanmu sendiri yang berbeda dengan novelis-novelis yang sudah ada di Indonesia. Begitu ucap batin di sela kekosongan ide.

Suatu ketika, tatkala mengikuti perkuliahan kimia lingkungan di Pascasarjana Kimia UGM, Prof. Eko Sugiharto membahas tentang global warming.
Deal.
Ideku untuk novel yang akan ditulis adalah: GLOBAL WARMING.

Indah nian sketsa alur yang disiapkan Tuhan.

Kusebar SMS ke rekan-rekan di KOMUNITAS PENARI PENA (KPP): Tolong carikan berbagai data mengenai pemanasan global.
Sent to 7 people.

Aku pun mulai membuka laptop dan menulis “ala orang kesetanan”. Maksudnya begini, metodeku menulis adalah dengan menutupkan separuh layar laptop setelah kujalankan microsoft word yang siap ketik, dengan begitu aku tak bisa melihat apa yang kuketik. Sehingga, para hakim, juri, editor, dan komentator di dalam kepalaku, tak bisa menghambat kreativitas aliran tulisanku.

Selanjutnya, kupakai keyboard eksternal untuk mengetik. Gerakan jari-jemari pada ketikanku dibuat secepat mungkin, tanpa ada jeda untuk beristirahat sampai semua yang ingin dituliskan—yang mengendap di dalam isi tempurung kepala—benar-benar kering. Habis. Satu jam, dapat satu bab.

Istirahat.
Mengetik lagi.
Hingga akhirnya, dengan metode itu, kuhabiskan seminggu dan menghasilkan 7 bab.
Pernah suatu hari, selama 24 jam full, tanpa rehat kecuali untuk makan, shalat, dan kebutuhan primer, kerjaanku hanya menulis di dalam kamar. Autis. Tanpa tidur pula. Alhasil dalam 24 jam itu lahirlah hingga 5 bab bagian dari novel THE LOST JAVA.

Setiap kali semangatku mulai menurun, maka segera kulihat tulisan MENGHAJIKAN ORANG TUA di dinding kamar, seketika itu juga aku terlahir kembali dengan semangat menggebu.

Sebelum 3 minggu habis, telah rampung 20 bab.

Selanjutnya, sudah menanti sebuah pekerjaan yang akan lebih menguras otak. Pesanan data-data yang diminta pada KPP sudah berdesakkan di email.
Dibuka.
Dibaca.
Ditelaah satu persatu.
Kemudian, data-data yang kuanggap penting dan akan berpotensi memperseksi novel ini, mulai kucoba untuk diharmonisasikan dengan naskah yang sudah ada menjadi satu kesatuan tubuh cerita yang utuh.

Di minggu ketiga, selesailah pekerjaan menulis naskah novel.

Setelahnya, tibalah waktuku tidur. Adrenalin habis karena dipakai untuk kerja paksa dalam 3 minggu demi 3 kata: MENGHAJIKAN ORANG TUA. Dua hari terlewati tanpa kegiatan kepenulisan.

Kun Geia benar-benar TEPAR.

Kemudian, pekerjaan editing/revisi mulai dilaksanakan. Dalam 5 hari. Naskah sebanyak 200 halaman A4 itu selesai direvisi dari halaman pertama hingga titik terakhir sebanyak 5 kali.

CUKUP! Ucapku waktu itu.

Kukirimkan novelnya pada panitia lomba yang saat itu hanya menyisakan satu hari waktu sebelum penutupan. Naskah THE LOST JAVA dilombakan bersama 2 naskah novelku yang sebelumnya sudah jadi duluan, sekitar 1 tahun lalu: HITAM PUTIH PENANTIAN dan RARA PENGIKHLAS.

Waktu bergulir, penjurian berlangsung.
Dari sekian ratus naskah yang masuk panitia lomba, THE LOST JAVA  dan PARA PENGIKHLAS ternyata lolos seleksi hingga 30 besar.

Waktu berlalu, penjurian kembali berlangsung.
Akhirnya, meski tak juara di akhir lomba, tanggal 30 november 2010, THE LOST JAVA menduduki peringkat ke-4. Sayang, hadiah cuma sampai di peringkat ke-3. Dan peringkat ke-4 hanya dapat piagam dan JANJI akan diterbitkan.

Sementara, selesai sampai di situ.

Enam bulan berlalu dari janji penerbitan tanpa ada hasil konkrit. Naskah itu kucabut dari penerbit yang sudah mengiyakan untuk diterbitan.

Novel itu kuikutkan lagi lomba menulis tingkat Nasional di Solo Raya. Tak juara sih, tapi dapat menghargaan sebagai novel dengan ide terbaik dari sekian ratus naskah yang masuk ke panitia lomba. Itu terjadi 24 januari 2011.

Ada lagi lomba tingkat Nasional di Yogyakarta.
Kuikutkan lagi.
Di sini, THE LOST JAVA yang sudah berkali-kali mengalami revisi, ternyata menjadi juaranya.

Alhamdulillah. Diterbitkan.

Bulan bergulir. Aku baru tahu kalau buku itu ternyata diterbitkan indie dan dijual hanya on line saja.
Mengelus dada dan menghela napas panjang....

Kubiarkan THE LOST JAVA mengandap di penerbit itu. Hingga setahun, ya... hasilnya gitu-gitu aja. Tidak banyak orang yang menikmati isinya, tidak banyak orang yang membelinya, atau lebih tepatnya mungkin tidak banyak orang yang tahu bahwa buku itu ada di muka bumi. Tapi, beberapa progres cukup lumayan. Buku ini masuk ke dalam catalogue national library of Australia, display di Amazon.com dan beberapa international online reseller serta nangkring di google book. Beberapa ada yang mengulas di media nasional secara on line. Harian lokal dari Sumatera pun meresensi, hingga tak ketinggalan dikomentari pada blog-blog pribadi.

Dalam kurun 2010 hingga 2012, dengan serius kusempurnakan THE LOST JAVA. Riset yang dilakukan mengenai hal prihal ilmiah yang ditanamkan dalam novel itu menjadi prioritas. Beberapa orang yang (kuanggap) ahli di bidang keilmuan geofisika, komputer, dan statistik, berhasil kugandeng. Bahkan hingga dosen skripsi S1 dulu, turut  dimintai bantuan menganai hal ikhwal berbau kimia melalui wawancara.

Dalam kurun waktu itu, kuhitung telah mengkhatamkan novel THE LOST JAVA dalam proses revisi hingga 20 kali. Halamannya pun bertambah dari yang tadinya 200 A4 menjadi 300 A4. Sebanyak kurang lebih 20 penikmat sastra kuberikan naskah itu untuk dikomentari. Termasuk penulis Hafalan Shalat Delisa (meski beliau membacanya, tapi ternyata  belum berkenan memberi endorsement karena alasan genre tulisan kita yang berbeda). Alhasil, berdatanganlah saran-saran untuk penguatan di detail setting, karakter tokoh, dan penyempurnaan logika cerita.

Untuk alur dan konflik sudah ok.

Hingga akhirnya aku dipertemukan (dengan orang-orang hebat) dengan IG Press. Mereka menjanjikan untuk membumingkan buku THE LOST JAVA. Setelah mempelajari strategi marketing mereka, hak penerbitan buku ini berpindah tangan.

Indah nian sketsa alur yang disiapkan Tuhan.

Dan, jadilah THE LOST JAVA yang sekarang ada di tangan para pembaca. Tersebar hingga di seluruh toko buku di Indonesia yang terjangkau distribusi IG Press.

Seminggu setelah selesai cetak, buku ini telah terjual hingga 150 eksemplar, padahal ia belum display di toko buku, baru penjualan gerilya. Dan setelah dua hari display,  ada satu dua toko buku yang langsung kehabisan stock hingga di gudangnya. Sold out.

Acara-acara bedah buku mulai di gelar. Lombok, Solo Raya, dan menyusul Yogyakarta serta Purwokerto.
Kota-kota lain di Indonesia, tunggu giliran selanjutnya.

Great marketing dari IG Press.

Ada 5 hal yang kugaransikan pada para pembaca dari novel THE LOST JAVA: Alur cepat (menguras adrenalin dengan adegang-adegan penuh ketegangan), Konflik Bertubi-Tubi (mengaduk-aduk emosi), Detail Setting (membawa nyatanya tempat ke kepala pembaca), Sains (menawarkan banyak ilmu pengetahuan), dan tentu saja Romantika Cinta (melengkapi harmonisasi cerita).

THE LOST JAVA dipersiapkan dengan sangat matang, sebagai persembahan dan seorang anak negeri bagi para pemburu novel science fiction dan thriller.


Minggu, 8 Juli 2012
Kun Geia

Cinta dan Benci [Kun Geia]

Friday, August 24, 2012 0 Comments
by Kun Geia on Saturday, August 18, 2012 at 10:47am ·
“Menjadi sebuah kecintaan tak terukur saat angin mengantarkan kabar ke gendang telinga bahwa, Ramadhan akan segera memeluk tanah Indonesia. Semoga tuan segera kembali ke sini, ujar seekor Anjing di pojokan rumah besar nan kosong, di perumahan Suci Permai, Garut.

Enzo, nama itu disematkan pada si Anjing oleh tuannya sepuluh tahun yang lalu, ketika mereka masih hidup bersama dalam rekatnya persahabatan dua mahluk berbeda spesies. Beberapa tahun ke belakang, sang tuan pergi tanpa mengajaknya ikut serta, Aku akan menjalankan misi ke Antartika demi kelanjutan hidup umat manusia, kau tunggu aku kembali di rumah ini. Sejak perpisahan itu, sang tuan tak pernah kembali, dan hingga kini si Anjing masih setia menungguinya pulang.

“Dalam kesendirian, aku berusaha menceburkan diri, berkhalwat bersama Ramadhan. Aku tak makan di siang hari. Aku tak mengais-ngais di tempat-tempat sampah komplek ini, bahkan aku sejenak bisa menekan kerinduanku akan kedatangan tuan dari ujung bumi selatan.”

Senyuman ringan terkembang di bibirnya. Anjing itu mencoba mencari rangkaian kalimat terbaik untuk melukiskan Ramadhan, namun setiap kali matanya berlinang karena kesyukurannya bisa merasakan bulan nan agung ini, saat itu pula ia menyerah dalam pencarian kalimat yang sepadan untuk melukiskan kecintaannya dengan Ramadhan.

[ ]

Bumi terus berputar.
Waktu tak hendak beristirahat disela derasnya arus zaman.

“Ramadhan hendak menemui ujung.”
Wajah Enzo redup.
“Adakah kesempatan lagi aku bertemu dengannya?”

Kini, dua kerinduan menelikung bersamaan. Menelusup dengan membawa ketakutan untuk kehilangan. Anjing itu merasa akan semakin rindu menanti Ramadhan kembali, juga rindu menunggu tuannya datang membawa janji untuk pulang.

Cinta, inikah rasanya?

Setelah adzan maghrib selesai berkumandang di mesjid Perum Suci Permai, Enzo melangkah menjauhi gundukan sampah, ia baru saja memakan sesuatu sebagai penanda makannya yang pertama seharian ini. Langkahnya menuju ke tempat yang lebih dekat dengan mesjid. Baginya, ada keasyikan sendiri melihat orang-orang hilir mudik masuk dan keluar dari mesjid itu untuk sebuah ketaatan.

“Hey Enzo! Ada sisa makanan untukmu. Ayo Sini!” teriak satu dari lima orang yang duduk di pos ronda, seratus meter jaraknya sebelum mesjid.

Anjing itu menghentikan langkah, ia menatap ke arah lima orang yang duduk di dalam pos ronda.

Kartu. Tumpukan uang seribuan. Botol-botol.

Melihat semua itu, dalam hitungan detik, kebencian berhasil menguasai hati Enzo. Merayap memenuhi seluruh isi selaksa rongga dada.

Seharian aku melihat mereka tak beranjak dari sana, tak lepas dari barang-barang itu semua. Batin Anjing itu membara. Ramadhan kan segera pergi, tapi pembangkangan mereka pada titah Langit tak jua sirna.

Lebih dari itu, kebencian telah berhasil menyulamkan kesumat tatkala dalam keseharian ia menyaksikan mahluk-mahluk yang bernama manusia, acuh tak acuh dengan Ramadhan.
Tak ada ketaatan untuk kebaikan. Tak ada keingkaran pada kemungkaran. Enzo meneruskan langkahnya.

“Aku benci mereka. Kenapa aku yang hanya seekor anjing, mahluk yang selalu dinajis-najiskan, ciptaan yang diharamkan untuk dimakan, bisa merasakan kecintaan pada bulan ini, kerinduan untuk selalu bersamanya. Sementara mahluk-mahluk bernama manusia itu...” gigi enzo gemeretak. Saling beradu.

“Tuan, kapan engkau kembali dari Antartika? Aku rindu Melewati Ramadhan bersamamu, seperti dulu.”

Benci, beginikah rasanya? [ ]


Garut, 18 Agustus 2012 (sehari menjelang berakhirnya bulan suci.)

CERMIN TERAKHIR [Kun Geia]

Friday, August 24, 2012 0 Comments
by Kun Geia on Sunday, August 12, 2012 at 8:42am ·
Pernahkah mendengar bunyi napas yang diseret? Bukan tarikan napas, tapi seretan napas. Jika tarikan napas bisa saja sama dengan desah napas biasa, tapi seretan napas terdengar lebih buruk dan lebih memprihatinkan ketimbang suara napas orang yang sedang terserang asma akut.

Tahukah rasana bagaimana ditatap oleh mata yang polos? Bukan tatapan kosong, bukan pula tatapan lugu, tatapan polos. Tak ada rasa, tak ada citra, tak ada apa-apa?

Baiklah, teruskan membaca tulisannya.

Hari ini, 12 agustus 2012, tidaklah aku memejamkan mata dari tadi malam untuk tidur kecuali hanya beberapa menit saja, yaitu ketika jam menunjukkan pukul 03.00 dini hari. Saat itu kutinggalkan mesjid menuju rumah, tujuannya untuk makan sahur dengan keluarga.

Selesainya dengan sahur dan berwudhu, aku kembali ke mesjid. Iqamah subuh dikumandangkan. Imam kami maju kedepan, mulailah takbir.

Ketika fatihah terlantun, pendengaranku sedikit terusik, yang lama kelamaan memang aku merasakan sesuatu yang mengusik. Awalnya kudengar suara tarikan napas yang cepat, pendek, berkejaran. Semakin suasana hening kecuali suara bacaan imam, semakin tarikan napas itu kurasakan seperti suara seretan udara di hidung.

Aku bisa merasakan bagaimana sulitnya paru-paru untuk menarik oksigen, aku tau itu karena aku punya penyakin asma, jadi sudah sangat kenal dengan yang namanya kesulitan menarik napas.

Semakin lama, tak ada kekhusuakan dalam shalatku, tak ada kekhidmatan dalam mendengar lantunan imam. Yang ada adalah pikiranku terkait terus pada suara yang datang dari saf pertama paling ujung sebelah kiri, sementara posisiku berada di saf pertama paling kanan.

Terus dan terus, seretan napas itu terdengar, hingga spontan kepalaku tak lagi berusaha mendengarkan bacaan imam, tapi malah berputar. Aku berpikir bahwa nanti setelah selesai shalat, akan kutarawarkan orang yang kesulitan bernapas itu obat ventolin inhaler, itu obat spray yang bisa menanggulangi asma dalam hitungan detik.

Kutunggu rakaat pertama usai, tapi yang terjadi adalah suara seretan napas orang di ujung sana sepertinya berasa lebih mengerikan daripada asma terakut yang pernah kurasa. Aku jadi berpikir itu seperti suara endusan napas harimau setelah keletihan mengejar-ngejar mangsangya. Selanjutnya aku malah berpikir mungkinkah orang itu kesurupan Jin? Ah tidak, toh dia tidak membuat kegaduhan, saat rukuk, saat sujud, aku tau dia mengikutinya dari tarikan dan hembusan napas yang terpantul di karpet mesjid. Tinggi rendahnya kurasakan.

Semakin jauh shalat, semakin suara itu terdengar lebih berat, terus berkejaran. Aku sampai merasa sesak sendiri. Terlebih ketika sujud, sangat kurasakan kesulitannya bernapas, karena napas yang ditarik dan dihembuskannya terpantul sangat dekat ke karpet mesjid dan posisi kepalaku pastinya sejajar dengan dia karena keningku sedang menempel di karpet, sehingga itu membuat seretan napasnya terdengar lebih jelas.

Salam pun berakhir ke sebelah kiri. Aku segera mengambil ventolin inhaler dari dalam kantong.
 Aku dekati dia.

“Dek ...”
 Kupanggil dia begitu karena terlihat usianya belum melebihi kepala dua. Aku tak kenal dia, sepertinya memang bukan orang sini, atau aku yang tak pernah bertemu karena sembilan tahun terakhir domisiliku di luar tanah kelahiran ini.

“Kamu asma?”
 Dia menggelengkan kepala

“Sesak napas?”
 Dia kembali menggelengkan kepala. Kemudian aku sentuh pundaknya.

Dia mengangkat kepala, dan wajahnya berputar ke arahku, ia memandangku.
Saat itu juga bulu di tengkuk perlahan berdiri.

Tatapannya itu ... tidak kosaong, tidak tajam, tidak mengerikan, tapi ... ah aku tak menemukan kata untuk menggambarkannya selain;  tatapannya polos, tak berasa.

“Coba pakai obatku ini, insya Allah bisa menanggulangi sesak napasmu.”

“Tidak,” jawabnya pelan disela kesulitan menarik napas. Para jama’ah sudah sedari tadi melihat-lihat dia, bertanya ini itu, tapi karena aku yang paling dekat posisi duduknya dengan dia, wajahnya pun hanya tertuju padaku.

“Panggilkan ibu kak, tolong panggilkan ibuku,” pintanya lemah.

“Ibumu siapa? Rumahmu di mana?”

“Panggilkan saja, cepat panggilkan.”

Belum aku bertanya lagi, pintu mesjid ada yang membuka, dan masuk seorang ibu seusiaan ibuku, usianya kutaksir 50 tahunan.

“Ayo pulang nak, ayo ke rumah,” ucap si ibu pada anak yang sedari tadi menyeret napasnya itu dengan susah, payah.

“Nggak, aku mau disini.”

“Ayo pulang saja, kamu istirahat di rumah.”

“Nggak mau, aku mau di sini.”

Ibunya pun memeluk dia, dan si anak berujar lemah, “Maafin aku bu, aku minta maaf untuk semua salahku.”
 Aku semakin merinding mendengarnya.

“Anaknya kenapa Bu? Punya peyakit asma?”
 Si ibu memandangku karena pertanyaan itu.

“Sudah dua hari ini dia muntah-muntah, mengeluh kepalanya pusing, tidak bisa tidur.”
 Ibu itu memalingkan pandangan dariku ke anaknya. “Ayo kita pulang nak ....”

“Nggak, aku mau disini.”

Aku sentuh tangannya ... sedikit lebih dingin dari suhu tubuhku.

Napasnya semakin cepat. Semakin jelas terdengar. Lama-lama aku ngeri sendiri dengan kondisi ini.

Akhirnya aku berinisiatif untuk memberikan ventolin inhaler itu tanpa peduli dia mengatakan tak sesak atau tak asma, karena jelas-jelas dia kesulitan memasukkan udara ke paru-parunya.

“Buka mulutnya ya,” ucapku perlahan. “Nanti hisap napas panjang dan akan kutekan obat ini, setelah itu tahan sejenak di dada, baru keluarkan lagi napasnya.”

Dia menggelengkan kepala tanpa suara. Menolak.

Aku masa bodoh.
Kuhampirkan saja ujung obat itu ke mulutnya, dia pun membuka mulut itu. Kutekan ventolin-nya. Oksigen dari dalamnya terhembus di dalam mulutnya. Dia menahan napas, kemudian dikeluarkan.

Kutunggu reaksinya ... tak membaik juga. Kuulangi lagi. Tetapi tidak ada perubahan. Padahal sesak napas terparahku saja akan reda dalam semprotan obat kedua kalinya. Tapi, dia tidak.

“Pulang yuk, kita pulang saja,” Ibu itu kembali merajuk, dan jawaban serupa dilontarkan anaknya.

Astaghfirullah ... astaghfirullah,” lirih ucap mulutnya.

Ia kemudian memandangku.
Tatapannya polos.

“Kak, maafin aku, maafin aku.”
Ia mengambil tanganku dan menyalaminya.
Dingin. Tangannya jauh lebih dingin. Suhunya tidak seperti beberapa saat yang lalu saat kupegang. Sekarang jauh lebih dingin.

Ia kemudian menoleh ke jama’ah di belakangnya.
“Pak, maafin aku ....”

Terus memandangi semua jama’ah yang ada di mesjid.
“Semuanya, aku minta maaf.”

“Sudah dimaafkan, sekarang pulang dan istirahatlah di rumah, biar ibumu panggilkan dokter,” semua menjawab sama.
Ia menggelengkan kepala.

Anak itu lantas mendekati imam kami dan mencium tangannya, “Maafin aku pak Haji, maafin.”
Ia terisak. Bersujud di hadapan imam kami.

“Iya, sekarang pulanglah,” itu kalimat kesekian yang serupa dari imam kami.

Anak itu pun kembali dibujuk ibunya pulang, tetap tak mau.
Dia bangkit dari sujudnya, napasnya masih diseret, berat. Kemudian ia melihat ke pojok mesjid dimana tangga menuju lantai dua mesjid ada di sana.

“Kak siapa itu?” Ia menunjuk ke sudut mesjid sambil bertanya padaku.
“Mana? tak ada siapa-siapa di sana!” jawabku bingung.
“Itu yang disitu siapa?”
Ibunya pun mengatakan hal yang serupa dengan ucapanku.

Anak itu kemudian sujud lagi dan berulang-ulang membaca istighfar.

Apa ini?
Kenapa dengannya?
Apakah dia ...
Ah, aku tak berani berandai-andai. Tak lama berselang, kerabatnya datang dari luar mesjid, membujuk, merayu, dan memaksa dia keluar dari mesjid untuk pulang ke rumah sebelum dipanggilkan doketer.

Dia tidak mau. Dia terus bersujud sambil beristighfar.

“Dari semalam dia memaksa ingin shalat di mesjid, sebelumnya tak pernah, tapi sekarang dia memaksa ibu untuk mebawanya ke mesjid,” ucap ibu itu.

Kerabatnya pun berhasil mencengkeram tangan dan pundaknya. Dengan dibantu jama’ah yang lain , anak itu pun terangkat dari sujudnya. Kusaksikan warna kulit wajahnya membening. Bukan memutih, tapi membening. Lebih bersih.

Napasnya semakin cepat, berkejaran.
Diseret. Pendek. Berat.
Sepertinya udara seolah-olah berserat bagi hidung dan paru-parunya.

Dan ...
Ending kisah ini tak mampu kutuliskan.
Tak kuasa kugambarkan, karena kusaksikan sendiri ia dengan mata kepala ini.

Tak bisa, cukup sampai di sini saja.
Yang jelas ia terlentang di atas karpet mesjid.

Tubuhnya melemah.
Matanya sayu, meredup.

Aku menangis menyaksikannya.
Meski aku tak mengenalnya, tapi batinku ciut  melihat kejadian apa yang dialaminyai.

Cukup selesai sampai di sini.
Berakhir.
[ ]

Apakah kalian berfikir aku menulis cerita fiksi?
Apakah kalian menyangka kisah di atas hanya omong kosong belaka?

Bacalah sekali lagi dari atas, perhatikan apakah aku membumbui tulisan ini dengan bahasa-bahasa hiperbola ala khayangan?

Apakah penggamabaran setting tempat begitu detail kulukiskan?
Apakah nama-nama tokoh kumunculkan dengan karakter masing-masing?
Apakah konflik yang ada terkesan diada-adakan?
Maka kalian akan menemukan jawabannya adalah, TIDAK!

Lantas untuk apa kutulis ini?
Apa sekedar untuk menghibur kalian?
Atau untuk menakuti-nakuti para?

Demi Allah, tidaklah aku tulis ini semua, kecuali ketakutanku mendapatkan pertanyaan serupa ini nanti di akhirat:

Apakah engkau menyaksikan pelajaran berujungnya kehidupan di tanggal sekian, bulan sekian, tahun sekian, jam sekian, atas seorang anak di mesjid Al-Hidayah, Garut?
Aku pasti menjawab “Iya, saya menyaksikan.”

Apakah engkau bisa mengambil pelajaran dari kekuasaan Tuhanmu pada kejadian itu?
“Ya, saya memahaminya?”

Lantas, kenapa engkau tidak menyampaikan pelajaran itu pada orang-orang di sekitarmu?
Kenapa engkau tidak memberikan peringatan atas kejadian itu sebagai pelajaran bagi mereka yang masih diberi kesempatan hidup di dunia?

Maka, jika tak kutuliskan ini, aku khawatir mendapat pertanyaan seperti itu dan tak dapat menjawabnya. Sungguh, pertanggungjawaban di akhirat beribu kali lipat lebih berat dari pada di dunia.
Maka ingin kugugurkan kewajiban penyampaian itu lewat tulisan ini.

Dan sekarang, tahukan bagaimana rasanya ditarik ruh dari jasad?

Jawabannya pasti tidak, karena aku (kalian) belum merasakannya, tapi Allah memberikan gambarannya lewat-orang-orang yang selesai masa hidupnya di dunia untuk menuju alam setelahnya. Salah satunya,  ketika Rasulullah shalallahu alaihi wassalam dicabut nyawa;

... ....
Malaikat Maut pun mulai mencabut nyawa Rasulullah. Ketika roh baginda sampai di pusat perut, baginda berkata: “Wahai Jibril, alangkah pedihnya maut.”

Mendengar ucapan Rasulullah itu, Fatimah terpejam, Ali yang disampingnya menunduk semakin dalam, Jibril as memalingkan mukanya.

Lalu Rasulullah SAW bertanya: “Wahai Jibril, apakah engkau tidak suka memandang mukaku? Jibril menjawab: “Wahai kekasih Allah, siapakah yang sanggup melihat muka baginda, sedangkan baginda sedang merasakan sakitnya maut?”
... ....

Itu gambaran kesakitan bagaimana proses dicabutnya ruh, Rasulullah saja yang notabene mahluk paling dicintai dan disayangi Allah, merasakan sakit tak terperi, apatah lagi aku (kalian) yang ... ah tak ada apa-apanya dibandingkan Rasulullah dalam ketaatan, kemuliaan, kedudkannya dihadapan Allah. Beliau shalallahu alaihi wassalam dicabut ruh nya dengan sangat pelan, lembut, berhati-hati, penuh kasih sayang, merasakan sakitnya begitu hebat. Lantas, seperti apakah yang akan aku (kalian) rasakan? Adakah dicabut dari ubun-ubun dengan kasar tanpa belas kasihan?

Oleh karena itu, aku berharap tulisan ini memberi manfaat, bisa dijadikan CERMIN untuk diriku (kalian) dalam usaha mempersiapkan diri, karena aku (kalian) tidak pernah tahu kapan napas TERAKHIR itu tiba.

Bisa jadi tahun depan, mungkin bulan depan, bisa saja beberapa jam lagi, atau mungkin setelah selesai membaca tulisan ini? Wallahu a’lam bishawab.

Maka dari itu ...

“Wahai orang-orang yang beriman, jagalah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (At-Tahrim: 6)

“Setiap kali nyala api Jahannam itu akan padam, Kami tambah lagi nyalanya bagi mereka.” (Al-Isra’: 97)

“Setiap kali kulit mereka hangus, Kami ganti kulit mereka dengan kulit yang lain, supaya mereka terus merasakan azab.” (An-Nisa’: 56)

“Mereka tidak dibinasakan dengan siksa yang dapat mengantarkan mereka kepada kematian (mereka tidak mati dengan siksaan di neraka bahkan mereka terus hidup agar terus merasakan siksa) dan tidak pula diringankan azabnya dari mereka.” (Fathir: 36) [Al-Khuthab Al-Minbariyyah fil Munasabat Al-‘Ashriyyah, Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan, dengan sub judul Fit Tahdzir minan Nar wa Asbab Dukhuliha, 2/164-165]

Sekian.
Wassalamu ‘alaikum warahmatullah wabarakatuh.

Catatan: Jika tulisan ini memberi manfaat dan pelajaran, sampaikanlah pada orang disekitarmu, karena tidak semua orang punya kesempatan dan mau membaca.

Rabb, aku mohon maaf atas terbaginya hati dan pikiranku dalam shalat. Aku memohon padamu untuk memberikan anak itu akhir yang baik, dan tempat tepuji di sisi-Mu
Garut, 12 Agustus 2012,
Kun Geia.

CATATAN KUN GEIA

Friday, August 24, 2012 0 Comments

MELATI [29]: “SEMAKIN DEKAT TUNTASKAN PENANTIAN…”

Friday, August 24, 2012 0 Comments


by Norma Keisya Avicenna on Saturday, August 18, 2012 at 10:42am ·
Jika Allah  masih mentakdirkan kita bersama melewati hari-hari berharga di Bulan Ramadhan, terimalah sekelumit pesan ini, sebagai persembahan tanda cinta dan bukti pemenuhan kewajiban kepada saudaranya.

          Saat sahur pertama pada Bulan Ramadhan lalu, siapa yang ada di sekeliling kita, saudara, ayah, ibu, kakek, nenek, mungkin bersama keluarga besar. Tapi saat ini, masihkah semua berkumpul utuh seperti kemarin? Siapa yang pergi dan siapa yang tinggal?
“Sungguh setiap jiwa itu akan merasakan kematian.” [Q.S. Ali Imran [3] : 185]. “Dan tidak satu jiwa pun yang mengetahui di bumi mana ia akan mati.” [Q.S. Luqman [31] : 34]. Jika tidak ada apapun yang menjamin kita akan tetap hidup hingga esok hari, masihkah ada pilihan untuk menyia-nyiakan kesempatan emas ini?
          Jika Ramadhan ini adalah jatah terakhir di usia kita, semoga kesungguhan dalam beramal, kekhusyukan dalam ibadah dan keikhalasan yang menyertai semua aktivitas, serta jalan meraih taqwa, menggapai ridho Rabbul Izzati.
          Dan akhir dari hari-hari yang penuh kemuliaan, teriring ucapan selamat. Sambut kegembiraan dan kesyukuran pada hari raya yang agung. Hari kemenangan untuk orang-orang yang menang, yang memang layak untuk bergembira.
          “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah  disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam syurga, maka sungguh ia telah beruntung.” [QS. Ali Imran [3]: 185].

          Kepada Allah SWT semata kita berharap dan hanya kepada-Nya pula semua kembali. Salam serta shalawat kepada uswatun hasanah kita Rasulullah Shalallahu'alaihi wassalam, keluarga, sahabat, dan orang-orang yang mengikuti jalannya. Semoga masih ada usia untuk bersua kembali dengan Ramadhan tahun depan yang semoga jauh lebih istimewa… Aamiin Ya Rabb…

 “Akhir penantian itu adalah seumpama kupu-kupu yang siap terbang menikmati taman bumi dengan bunganya yang indah dan harum mewangi. Ia hanya akan muncul setelah melalui proses metamorphosis. Dimulai dengan wujud “TELUR” sebagai “potensi”, lalu berubah menjadi “LARVA”, yang harus bekerja keras untuk mengumpulkan bekal –makanan- sebab tanpa bekal ia akan mati. Setelah itu, ia masuk ke fase penantian akhir yaitu menjadi “KEPOMPONG”. Lalu dengan satu usaha untuk membongkar kulit kepompong, muncullah ia menjadi “KUPU-KUPU” yang siap menjelajahi taman. Ketika ia menjadi telur, larva, dan kepompong, ia tahu wujud akhirnya kupu-kupu yang indah itu. Tetapi tentu saja ia tidak bisa memaksakan fase-fase itu untuk dilewati sehingga tiba-tiba sampai di titik akhir."
[Novel “Rembulan di Langit Hatiku” karya Dan’s (SEISMIC)]

Semoga Allah Yang Maha Menyaksikan senantiasa melimpahkan inayah-Nya sehingga setelah 'kepompong' Ramadhan ini kita masuki, kita kembali pada ke-fitri-an bagaikan bayi yang baru lahir. Sebagaimana seekor ulat bulu yang keluar menjadi seekor kupu-kupu yang teramat indah dan memesona. Aamiin.

 “Selamat datang wahai jiwa-jiwa yang bercahaya. Kita ‘kan raih fajar kemenangan dengan qolbu yang bening, bersinar, dan berenergi untuk melanjutkan perjuangan menuju-Nya, merengkuh jannah-Nya. Ya Rabbi, jiwaku takkan lelah menghitung lembaran yang telah terlewati, hati takkan risau, jua tak ingin berkeluh…” 

TAQOBALALLAHU MINNA WA MINKUM... 

[Keisya Avicenna, lembar ke-29 Ramadhan… T_T]

MELATI [28]: "INI CERITA LEBARANKU, MANA CERITA LEBARANMU?"

Friday, August 24, 2012 0 Comments
by Norma Keisya Avicenna on Saturday, August 18, 2012 at 8:54am ·
Berhubung kemarin saya tidak bisa menulis (beneran, hanya bisa terkapar tak berdaya.hehe) karena harus berjuang untuk satu kata: SEMBUH. Nah, di MELATI [28] ini saya hanya ingin mengenang kembali episode LEBARAN saya tahun lalu yang pastinya akan sangat berbeda dengan lebaran tahun ini. Berbeda karena mbah Kakung sekarang sudah dipanggil Yang Maha Kuasa, berbeda karena lebaran kali ini keluarga kita sudah bertambah (saya punya kakak ipar, saya punya keponakan mungil yang bernama "Keisya Restu Ramadhani"), berbeda karena lebaran tahun ini tanpa kehadiran mysupertwin karena ia lebaran di Bengkulu... Sipp, simak ya. Ada harunya, ada ketawanya, dan yang pasti semoga dapat diambil manfaatnya...

LEBARAN 1432 H
Episode Seharu BIRU
Akhirnya, setelah merenung semalam suntuk, Nungma nemu juga singkatan BIRU buat melengkapi tema KYDEN di hari Lebaran. Kenapa BIRU? Karena setelah tahun kemarin kita kompakan pake baju Lebaran warna merah marun, tahun ini kita kompakan pake kostum warna BIRU. Kalau MERAH MARUN tahun kemarin juga ada maknanya. MERAH MARUN: “[ME]nuntun ke a[RAH] mata angin bahagia : sebuah [M]et[A]mo[R]fosa kehid[U]pa[N]”.
Hehe…(agak maksa dikit tak apalah)

Kalau BIRU tahun ini:
[B]erpendar cahaya kemenangan
[I]ringi gema takbir berkumandang
[R]aih kebahagiaan sejati di hari nan fitri
[U]cap kata MAAF dari kami, tulus dari hati…
Yah, kami keluarga besar dari Istana 5 Cinta, KYDEN, mau ngucapin
Taqabalallahu minna waminkum…
Selamat Hari Raya Idul Fitri 1432 H
Mohon maaf lahir dan batin

Tanggal 31 Agustus 2011, Lebaran euy! Sedih juga karena harus berpisah dengan bulan mulia, bulan yang akan senantiasa kita rindukan setiap tahunnya. Semoga semangat Ramadhan senantiasa membara dalam hati-hati kita pasca Ramadhan. Dan semoga kita bisa bertemu lagi dengan Ramadhan tahun depan dalam kondisi yang lebih “ISTIMEWA”. Semoga…

Setelah sholat Ied, saatnya Halal Bihalal sederhana di rumah Pak RT. Nung sempat menangkap 2 pasang mata yang sembab. Duh, benar-benar ada yang menderas di hati. Sepasang mata dari seorang laki-laki paruh baya yang Nung yakin ada kerinduan mahahebat melanda hatinya. Kerinduan pada anak laki-laki bungsunya yang 3 bulan lalu meninggal dunia karena kecelakaan. Sepasang mata lagi dari seorang ibu paruh baya yang tengah menggandeng seorang anak perempuan dengan rok muslim yang Nung kira dulu gak bakalan cukup, ternyata cantik sekali setelah Denis –nama anak kecil- itu kenakan. Ah, Nung yakin ada kerinduan mahahebat pula yang melanda hati ibu itu. Kerinduan pada anak perempuan yang setahun lalu pergi untuk selamanya menjemput kehidupan abadi (Almh.Erna). Erna adalah sahabat kecilnya SUPERTWIN. Anak yang tengah digandeng ibu itu adalah anaknya Erna. Denis, yang belum sempat mengenal lebih dekat sosok ibu kandungnya. Denis yang kini menjadi anak yatim, wajahmu mengingatkan kami dengan mendiang ibumu, teman sepermainan kami dulu… Hikzhikz, lagi-lagi ada yang harus menderas di hati.

Suasana haru episode perdana, seharu BIRU episode selanjutnya saat KYDEN saling “sungkeman”. Seperti tahun-tahun sebelumnya, urutan perdana Ibuk sungkem Babe, Mas Dhody-Babe-Ibu, Mbak Thicko-Babe-Ibuk-Mas Dhody, dan yang terakhir si bontot lah… Huaaa, nangis kenceng banget!!! ^^v.

Terus sarapan part 2 di rumah Budhe (mbaknya Ibuk) dengan menu yang khas: sambel goreng ati sapi’i. Mantabz! Silaturahim ke rumah beberapa tetangga deket rumah, tyuz foto-foto berlima di depan rumah. Guayeng puol! Full ketawa-ketiwi. KYDEN memang kompak konyolnya. Hihi…

Episode Pulang Kampung KYDEN
Jam 08.45 semuanya dah siap. Para pengantar (keluarga Pakdhe Sastro, likes: anak, menantu, putu) sudah siap di depan rumah dengan sepeda motor masing-masing (kayak arak-arakan aja. Hehe). SUPERTWIN sama Babe ‘n Ibuk dianter sampai cegatan bis. Sempat foto-foto dulu. Haha, dasar! Tak perlu nunggu lama, kami ber-4 pun dapat minibus yang akan membawa kami menuju Terminal Baturetno. Duduklah kami di deretan jok paling belakang dan kemudian asyik dengan kesibukan masing-masing. SUPERTWIN seperti biasa tangan kiri pegang HP tangan kanan ngemil. Babe dan Ibuk juga asyik ngobrol kadang-kadang ikutan ngemil juga. Haha, seru banget lah! Kalau Mas Dhody lebih memilih mudik dengan si Vega Merah kesayangannya.

Kurang lebih satu jam-an kemudian, sampailah kami ber-4 di Terminal Baturetno. Sudah ada ponakan yang njemput di sana. Uhuy… perjalanan pun dilanjutkan dengan mobil jemputan menuju sebuah desa kecil sebelah selatan Kota Wonogiri. Namanya Desa Nawangan, Platarejo. Medan yang kami lalui tidak seberat tahun-tahun sebelumnya. Duluuu banget masih nggronjal-nggronjal gitu sekarang dah lebih alusan.

Catatan Lebaran Hari Pertama di Rumah Simbah
 Alhamdulillah, sampai juga di halaman depan rumah simbah. Rumah simbahnya SUPERTWIN (bapak dan ibuknya Babe Alhamdulillah masih komplit lho!) itu letaknya pualing puojok puol. Dikelilingi perbukitan, gunung, dan alas (hutan). Sekitar 5 meter dari depan rumah ada sungai kecil tapi kali ini sedang kering. Banyak pohon buah di pekarangan simbah. Romantisme alam raya yang sungguh eksotis!

Simbah sekarang dah gak punya sapi, ternaknya tinggal beberapa ekor kambing, ayam, burung perkutut, dan dua ekor kucing. Hm, pasti salah satu namanya si Manis. Hehe. Si mbek juga tengah berbahagia karena habis melahirkan dua ekor anak mbek yang warnanya sungguh awesome. Hitam legam, cuma ada bagian putih di dekat bantalan kakinya. Kayak bersepatu gitu… Trus ada warna putih juga di jidatnya (tapi bukan bekas sujud.. hehehe)

Lanjut deh sungkeman dengan simbah berdua, om-om, bulik-bulik (cantik-cantik dengan jilbab model kembaran ^^v), main-main dengan para ponakan. ‘n adegan paling favorit pas nggendhong dedek bayi. Dah patut, ya? Babe ‘n Ibuk pun bilang ‘n minta doa kepada semua yang ada di situ, semoga lebaran tahun depan anggota keluarga KYDEN dah bertambah. (huaaaaa…Aamiin. Ngamininya banter banget ‘n penuh semangat. Hehe)

Seru-seruan selanjutnya pas makan siang bareng. Lauk spesial olahan daging enthog hasil ternak sendiri buah karya kolaborasinya Babe ‘n Ibuk. Mantabz dah... (keuntungan luar biasa punya babe ‘n ibuk yang jago masak, kalau anaknya jago nyicip soalnya bakat “master chef”-nya belum maksimal terexplore ^^v).

Sore hari, kita door to door silaturahim ke keluarga dekat sambil menghirup aroma sore menjelang senja, menikmati suasana pedesaan. Uhuy! Foto-foto bergaya “aneh”… :)

Satu lagi hal unik, di tempat simbah tu sinyal IM3 masih sulit, kadang ada kadang nggak (kenapa ya tadi pas berangkat gak beli sinyal dulu?). Haha, sangat mempengaruhi keterbalasan sms yang masuk serta keupdatean dunia facebook. Yadah, dinikmatin saja. Malah lebih tenang bisa jauh-jauhan bentar ma HP. Kalau Mas Dhody ribut cari sinyal dengan naruh HP-nya di atas genting rumahnya Om Moel (depan rumah simbah). Emang bener jadi ada sinyal ogh! Haha. Ada satu cara lagi yang konon dipercaya oleh penduduk desa itu kalau bisa manggil sinyal (hah, kayak apa aja). HP ditaruh di dalam gelas dengan posisi terbalik. Percaya gak percaya, ternyata cara ini pun kadang ampuh juga. Dan kakak SUPERTWIN yang super jangkung itu pun berhasil membuktikannya. So, bisnis pulsanya tetap jalan meski kita sedang “naik gunung”. Ckikik… sinyal oh sinyal…

Ohya, jadwal nonton film hari ini: Laskar Pelangi, Rumah Tanpa Jendela, dan Rindu Purnama. Wah, mantabz!

Catatan Lebaran Hari Kedua di Rumah Simbah
Ada rutinitas pagi pasca semua sudah shalat Subuh, tepatnya jam 05.00 pagi. “Wedangan”. Semuanya berkumpul di meja makan yang terletak di dapur. Ada perapian di sana alias simbah masih pake “blarak” (daun kelapa kering) dan kayu bakar sebagai bahan bakar di pawon. Padahal sudah ada subsidi kompor gas. Tapi lebih suka pake kayu bakar.
 Si Manis lagi asyik menghangatkan diri sambil duduk di potongan kayu. Damai gitu tampangnya. Nungma colek deh tu kucing. Kaget! Hahaha…(tampang damainya jadi semrawut…)

Setelah semua ngumpul, ditemani gelas-gelas yang berisi teh panas, beberapa toples berisi penganan khas Lebaran, dan mulailah bercerita. Simbah bernostalgia tentang masa lampau.

Nung baru tahu kalau Mbah Kakung itu lahir tahun 1925. Nungma rekam dengan manis dan rapi di memori buat nambah referensi penulisan novel Istana Lima Cinta ^^v. Mbah Putri pun cerita tentang kehidupan sebelum kemerdekaan saat terjadi “bencana pagebluk” yang mengakibatkan saudara-saudaranya meninggal dunia secara bersamaan dalam tempo yang cukup singkat. Babe pun tak mau kalah urun suara. Selalu saja Babe bikin suasana pagi itu heboh dan penuh gelak tawa. Babe cerita tentang perjuangan hidupnya di masa kecil, tentang keusilan dan kenakalannya yang masih dikenang orang (teman-temannya) sampai sekarang. Pokoknya seruuu bangeeeeet!!!

Kelar obrolan pagi jam 06.00, semuanya bangkit dari tempat duduk masing-masing dan mulai beraktivitas. SUPERTWIN bersih-bersih rumah, sarapan, dan bersiap silaturahim ke rumah Gestin di Giritontro. Sambil nunggu kakanda tercinta bersiap ‘n sepupu yang mau njemput, akhirnya SUPERTWIN pun asyik cari obyek yang unik dan cocok buat mengabadikan moment alias poto-poto. Paling seru ya pas poto bareng bayi mbek yang warnanya item itu. Lucu banget deh! ^^v

Episode silaturahim di Giritontro pun tak kalah hebohnya. Hm, akhirnya banyak SMS masuk, bisa update status karena sinyal full. Bernostalgila bareng Gestin dan keluarga Kepala Suku sampai jam 13.30. Pulangnya mampir toko di pinggir jalan, beli es krim. Pas mantabz dah, apalagi cuaca panas…
Makan sore bareng dan lanjut baca novel 5 cm…

Catatan Lebaran Hari Ketiga di Rumah Simbah (Episode Huru-Hara)
Ngeteh sambil ngobrol bersama lagi dengan topik yang berbeda.
Pagi ini KYDEN packing karena hari ini harus kembali ke rumah. Sarapan pagi bareng kemudian pamit-pamitan. Heuheu… pasti bakal kangen semua, bakal kangen sambel terasinya Mbah Putri, kangen nasihatnya Mbah Kakung, kangen olok-olokan sama Om-Om, kangen ledek-ledekan sama Bulik-Bulik, kangen gojekan sama para sepupu ‘n ponakan, kangen ma si mbek item, banyak deh yang bakalan dikangenin.

Mbah Kakung dan Mbah Putri pun duduk di kursi bambu depan rumah saat SUPERTWIN bersalaman, minta doa restu, dan pamitan. Heuheu…

Inget pesen Mbah Kakung, “Sopo sing temen bakal tinemu, sing tekun bakale tekan. Sing eling lan waspodo! Ojo melik barang sing melok. Kesusu selak muluk malah keselak.” Huah, so filosofis dan berbobot. Pas Mas Dhody nasihatnya ditambah juga, “jejodhoan kie angel, nek wis wancine bakal ketemu jodhone.” Kalau Nung dulu juga dapat nasihat soal jodoh, “Sing penting imane. Ojo nganti bedho agama!”. Siiip, siap Mbah! Yang penting sholeh dan AMANAH… ^^v Kalau versi mbak Thicko : SMART! Uhuy!

SUPERTWIN salut banget dengan simbah, meski usianya dah 86 tahun beliau sangat rajin sholat, puasanya Ramadhan kemarin sama sekali gak bolong, Mbah Kakung dan Mbah Putri yang sangat inspiratif!

Akhirnya, saatnya berpisah. Ups, ada satu tas berisi “bekal SUPERTWIN” yang masih tertinggal di depan TV. Buru-buru Nung melepas sandal dan mengambil tas itu. Bergegas keluar rumah, pake sandal, salaman dengan Bulik Ruli dan Om Moel kemudian mbonceng sepupu yang dah siap di motor. Uhuy…

Nung sempat menangkap salah seekor dari mbek item (yang belum sempat kita namain) duduk manis di samping kandang. Kayaknya tu bayi mbek pengin ngungkapin sesuatu, namun tak terucap. “Kelayu” alias berat berpisah mungkin. Ngik!
Terjadilah iring-iringan super heboh menuju rumah Bulik Asih sebelum nyegat mini bis. Lha pada mainin klakson sepeda motor je… (termasuk Babe.haha)
***
Dan kehebohan pun terjadi…

Babe, Ibuk dan Om Wid -yang bantu bawain travel bag- dah sampai di rumah bulik dan duduk-duduk di teras. Suasana yang semula datar-datar saja mendadak hebring setelah Bulik Asih berdiri kemudian tanya sambil menunjuk ke arah Nungma. “Kui thik sandale bedho?”. (Baca : Kok itu sandalnya beda?)

 Nung pun melihat ke arah bawah. Sontak semuanya ketawa ngakakngikikngukukngekekngokok. Ngik! Semuanya kepingkel-pingkel. Tak terkecuali Nungma. Sumpah, sandal yang Nung pake selen, sodara-sodara! What is the meaning about “SELEN”? Selen is ketuker, kebalik, bukan pasangannya. Begitu arti yang terdapat dalam kamus bahasa gaul karangan Tatang Sutarman. Gek selen-e parah! Masak “sandal cantik” selen sama sandal jepit warna merah. Selen-nya di sebelah kanan tapi selen-an sandal yang Nung pake malah sandal sebelah kiri. Suer sodara-sodara, Nung sejak awal bener-bener gak nyadar. Nung baru inget pasti kejadian ini bermula pas Nung buru-buru ngambil tas yang ketinggalan tadi.

Mbak Thicko dan Mas Dhody pun ikutan ketawa meskipun ketawa mereka telat! Gara-garanya mereka tadi agak jauh dari rombongan yang datang awal karena harus ngambil barang Mas Dhody yang ketinggalan. (Nah, di episode ngambil barang yang ketinggalan ini, berdasarkan cerita dari Mbak Thicko, Mas Dhody pun bikin kekonyolan waktu markir si vega merah. Tu motor dia parkir bukan di tempat yang “wajar” namun malah di dekat kandang kambing. Kakaknya SUPERTWIN itu memang punya kekonyolan di atas rata-rata, di ambang batas normal ^^v).

 Hah, pagi-pagi dah bikin heboh orang sekampung! Babe aja ketawa gak berhenti-berhenti. Wah, nambah koleksi cerita konyol pas Lebaran nih! Apalagi saat Putut –sepupu SUPERTWIN- yang didelegasikan ngambil sandal yang sebelah, balik lagi ke rumah Simbah (yang jaraknya lumayan jauh). Dia cerita kalau di rumah Simbah pun jadi heboh banget, simbah juga mpe kepingkel-pingkel. Haha… Seruuuuu! Tragedi “sandal selen” ini pasti bakalan kita kenang setiap tahunnya. Tahun depan pasti bakal jadi salah satu topik dan bahan obrolan pagi di rumah simbah. Sendal oh selen... Uhuy…
***

Permudikan yang super asoy geboy dah…
Akhirnya, perjalanan KYDEN sampai juga di Istana 5 Cinta setelah sebelumnya mampir nge-bakso bareng-bareng dulu di warung baksonya Pak Doel depan Pom Bensin Mawar.
Hm… Lapeeeeer! (bergaya ala bocah rambut keriting di iklan minyak goreng).

Hyaaaaaaa, ini cerita lebaranku…mana cerita lebaranmu?

[Keisya Avicenna, personil paling bungsu-nya KYDEN]
Pembaca Pertama + Editor : Aisya Avicenna personil “E” –nya KYDEN ^^v

Kangen petuah bijak Mbah Kakung... T_T