Jejak Karya

Jejak Karya

Wednesday, September 24, 2014

Momwriter’s Diary, Extra Ordinary Book for Emak-Emak

Wednesday, September 24, 2014 0 Comments


Foto milik Octaviani
Every Mom Can Be A Writer!Wow! Kalimat super ngawu-awu, kan? (ngawu-awu is the same meaning with ‘amazing’). Xixixi. Hasil nyomot bahasa planet tetangga. Yupz, itupun yang saya rasakan. Kalimat itu menjadi bab terakhir dari buku karya Dian Kristiani (selanjutnya saya panggil Ce’Dian) dengan judul yang penuh ruh karena ‘based on true story’ : “MOMWRITER’S DIARY”. Buku terbitan Bhuana Ilmu Populer ini layak dan kudu bin wajib dimiliki oleh emak-emak yang notabene pengin mendedikasikan dirinya untuk berkecimpung di dunia tulis-menulis, bahasa kerennya dunia literasi. So, tunggu apalagi? Yang udah punya, diaplikasikan tuh isinya. Yang belum punya, silahkan beli ke toko buku terdekat atau bisa pesan langsung ke penulisnya. Siapa tahu bisa dapat diskon spesial. Hihi. Promosi di awal. Oke, lanjut…
Covernya gue banget!
Dari covernya aja udah mampu memberikan visualisasi keremphongan emak-emak masa kini. Ada gambar karikatur Ce’Dian dengan gaya kenes-nya (baca yang teliti ya, kenes, bukan ngenes. Hihi). Ya, Ce’Dian dengan muka baby face-nya, dengan ciri khas kaca matanya, tampak bergaya dengan settingbagian-bagian dari ‘kesemrawutan’ dunia rumah tangga. Kostum Ce’Dian cukup unik, mengenakan celemek, tangan kiri pegang sotil buat masak, tangan kanan sibuk menarikan jari di laptopnya. Wah… wah… apakah saat menulis buku ini gaya nulis Ce’Dian juga gitu, ya? Hihi. Dan itu semua, gue bangeeet! Terkadang, saat setrikaan udah numpuk, saat isi kulkas udah kosong, saat cucian udah segunung, saat itu pula banyak deadline naskah yang harus segera diselesaikan. Tapi… tapi… di halaman-halaman selanjutnya, khususnya di bab “Manajemen Waktu”,saya kembali berikrar untuk diri sendiri. Salah satu kunci sukses seorang penulis adalah disiplin terhadap waktu. 24 jam dalam sehari harus bisa dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Kapan ngurus rumah, kapan harus nulis, kapan manjain diri sendiri, kapan manjain anak mertua, kapan menuntut ilmu, kapan jalan-jalan, hihi… pokoknya sekarang harus lebih disiplin! Titik!

Menulislah, Maka Kau Akan Kaya!
            Kalimat provokatif ini benar-benar saya rasakan dan berusaha untuk terus saya perjuangkan. Bab “Menjadi Penulis Sejahtera” di buku “Momwriter’s Diary” ini menjadi salah satu bab favorit saya. Dalam hal ini Ce’Dian bagi-bagi tips agar karya-karya kita bisa terus diterima, oleh media, penerbit, dan juga pasar. Uhuy, resep yang cespleng banget dah! Setelah membaca buku “Momwriter’s Diary” ini pun sedikit demi sedikit ke-32 tips Ce’Dian itu saya lakukan. Alhamdulillah, saya sudah berhasil menyusun beberapa outline bakal calon buku saya plus lagi asyik nulis naskah buku yang dijadwalkan terbit Desember 2014 nanti. Hatur nuhun, Teteh… *eh, malah ganti Sunda bahasanya. Ce’Dian kan berwajah oriental (xixixi), seharusnya ngomongnya gini, Ganxie nin, yinwei nindezuopin neng rang wo dedao geng duode linggan…Artinya apa hayo??? *nggak perlu buka kamus ‘Bahasa Panda’, terus saja baca tulisan saya ini.
Ya, menulis bisa bikin kita kaya dan sejahtera. Kaya dan sejahtera dari segi materi (jadi pundi-pundi uang maksudnya, yups jadi penulis kudu matre, matre yang positif tentu saja!) juga kaya dan sejahtera dari segi spiritual.
Ce’Dian menyuntikkan semangatnya dengan sebuah kalimat saat temannya bertanya kenapa Ce’Dian bisa produktif sekali dalam menulis. Apa jawaban Ce’Dian? Anda penasaran? Saya juga! *Ups, nggak usah kepo-kepoan segala, karena di buku ini dengan jujur Ce’Dian menjawab pertanyaan itu, “Bayangkan saja uang yang akan kamu terima. Pasti produktif!” Sumpah, dan itu yang sekarang saya lakukan. Bayangkan saja, jika karya kita banyak, semuanya bisa jadi best seller, banyak yang beli, diundang kemana-mana buat ngisi seminar atau bedah buku, whuaaa… bakalan tebel tuh dompet! Eits, tapi tetaplah jadi penulis yang rendah hati, suka menabung, dan ringan tangan dalam membantu sesama. Ada kepuasan batin saat karya kita pun mampu memberikan inspirasi bagi orang lain. Coba bayangin, jika satu kalimat saja bikin orang lain jadi lebih baik, berapa tabungan pahala kita yang bakalan Allah SWT kasih. Bahkan jika kita mampu bersedekah lebih banyak dari hasil penjualan buku kita. Wah, Allah SWT bakal makin sayang sama kita! Akhirnya, nggak pa-pa jadi ‘penulis matre’ asalkan kita niatkan untuk ibadah. *pasang tampang paling alim.

Buku inspiratif yang bikin produktif berkarya. Kamuh kuduh punyah!

Buku super komplit gaya emak-emak
Selanjutnya, bab yang saya suka itu bab agak pungkasan, “Tanya dongg…” Question sama Answer-nya banyak yang bikin ngakak tapi sarat akan ilmu. Saya sukaaa!
Ke-keren-an buku ini selanjutnya adalah pada setiap pergantian bab ada selipan komik satu halaman yang asli bikin ngikik salto-salto. Komik dengan tokoh keluarga Ce’Dian sendiri. Banyak adegan seru, aneh bin ajaib. Hihi. Baca aja sendiri, yaw!
Penampakan komik yang lucu bingiiitz!
Ce’Dian pun menyertakan bonus daftar nama majalah/koran lengkap dengan alamat pengiriman naskah plus jenis naskah yang dibutuhkan. Chipiriliii banget dah!
Hmm, meminjam judul buku Pak Bambang Trim, “Tak Ada Naskah yang Tak Retak”, di buku “Momwriter’s Diary” ini pun pasti mempunyai kekurangan. Satu hal yang cukup membuat saya syok (hihi lebaaay!), di buku ini tidak ada daftar isinya. Saya sadarnya saat mau baca lagi. Jadi, ketika saya ingin membaca ulang, saya harus membuka satu demi satu untuk mencari bab yang saya ingin baca saat itu. Karena terkadang, gaya membaca saya ‘gaya kodok’ yang suka melompat-lompat tergantung kebutuhan. Tapi, nggak pa-pa ding, kan buku ini memang sengaja dibentuk layaknya diary(catatan harian). Saya juga suka menulis catatan harian sejak kuliah dulu bahkan sampai sekarang dan saya nggakpernah ngasih daftar isi di buku catatan harian saya. Hihi *nabok pantat kucing tetangga. Selain itu, ada beberapa tulisan typo:
ü Halaman 29 : baris ke-13 dari atas, boros kata “ilmu” pada kata “ilmunya ilmu” yang seharusnya kata “ilmu” tidak perlu ada.
ü Halaman 64 : penulisan kata “saya” pada baris ke-9 dari atas, seharusnya “aku”. Biar konsisten dengan kalimat sebelumnya yang menggunakan kata “aku”.
Overall, buku “Momwriter’s Diary” ini memberikan warna tersendiri di kancah perbukuan yang dapat dikonsumsi dan dinikmati oleh emak-emak. Bisa melepas beragam penat sekaligus membangkitkan semangat. Ce’Dian menuturkan setiap kisah dan pengalamannya menjadi seorang penulis profesional secara lengkap dengan bahasa yang santai, kriuk-kriuk,komplit dengan beraneka tips dari cara menemukan ide sampai naskah bisa diterbitkan jadi buku serta melakukan promosi biar buku kita makin laku. Wow! Mantap pisan, euy!
Akhirnya, ayo terus menulis, terus mengasah keterampilan agar tulisan kita menjadi lebih berkualitas dan janganlah cepat berpuas diri. Ce’Dian sudah bisa membuktikan bahwa semua orang bisa menjadi penulis profesional, termasuk ibu rumah tangga. Ce’Dian, ibu rumah tangga dengan dua anak keren-keren nan cakep-cakep, Edgard dan Gerald, pasti memiliki keremphongan aktivitas kerumahtanggaan yang bejibun dengan segala tetek bengeknya. Tapi Ce’Dian berjuang dengan sungguh-sungguh untuk menjadi Ce’Dian yang sekarang, seorang ibu rumah tangga profesional sekaligus penulis profesional, dan pastinya Ce’Dian akan terus berjuang untuk menjadi lebih baik, saya yakini itu. Hmm, Ce’Dian aja bisa berjuang dengan totalitas hingga menjadi penulis profesional! Sudah lebih dari seratus buku anak yang ditulisnya, belum lagi buku remaja, dan karya-karyanya yang lain. Keren bingiiitz, asli bikin ngileeer! Nah, sekarang giliran kamu! Ya, kamuuu! *nunjuk muka sendiri.
Terima kasih, Ce’Dian.
Terima kasih karena karya Cece’ telah menginspirasi saya untuk semakin produktif dalam berkarya…
Peluuuk dan sun sayang… muach-muach-muach…

[Keisya Avicenna]
Twitter : @keisyaavicenna
FB : Norma Keisya Avicenna

Tuesday, August 19, 2014

OYAKO NO HANASHI (Based on True Stories “Mom vs Kids @Japan” by Aan Wulandari)

Tuesday, August 19, 2014 0 Comments

Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?

Setiap dua pekan sekali saya punya kegiatan rutin yakni berkunjung, membaca, sekaligus meminjam buku di perpustakaan daerah (jalan Sriwijaya). Duluuu… waktu saya masih berstatus mahasiswi di UNS dan sering main ke Semarang gegara sahabat-sahabat dekat saya waktu SMA banyak yang diterima di UNDIP, saya juga sering diajak sahabat saya itu wisata baca di perpusda. Kalau udah nongkrong di perpustakaan, kami sangat betah. Nah, pekan kemarin saya ‘menemukan’ harta karun yang tak biasa. Asyik milih dari rak ke rak, akhirnya tangan saya menjatuhkan pilihan pada sebuah buku yang penulisnya sudah saya kenal.

Sebuah buku yang menuturkan kisah yang kadang membuat saya tertawa, merenung, mengambil pelajaran, memetik hikmah, sambil menguatkan sebuah keinginan suatu saat nanti kaki saya akan menciptakan jejak istimewa di sana! Ya, di sebuah negara impian yang menjadi setting beberapa kisah yang terdokumentasi dalam buku itu. Makanya, saya termasuk Doraemonholic dan mupeng sangat sama hal-hal yang berhubungan dengan Jepang! Bisa dibilang saya kolektor Doraemon sejak kuliah. Banyak pernak-pernik Doraemon yang menghiasi kamar saya. Saat wisuda pun, di kala beberapa sahabat menanyakan pengin dikasih bunga apa? Dengan santainya saya jawab, saya tidak suka bunga lebih baik boneka Doraemon. Hihi. Alhasil, saat teman-teman wisudawati seangkatan saya pada pegang bunga, saya yang pegang boneka Doraemon sendiri. Xixixi. Waktu itu, boneka Doraemon kesayangan saya, saya kasih nama KAIZENEMON. Panggilannya Zen. Saya sangat suka dengan salah satu prinsip hidup orang Jepang : KAIZEN. Perbaikan diri secara terus-menerus.

Koleksi Doraemon saya saat di kampus dulu...
Koleksi Doraemon saya saat kuliah dulu...
Nah, seorang sahabat saya, Diah Cmut, pernah mengirimkan sebuah SMS… “Yakin Nung mau nikah? Calon suamimu tahu kan kamu masih terobsesi sama Doraemon, choki-choki, n permen sunduk? Semoga dia tabah menghadapimu.” Hahahaha. SMS tergila yang saya dapatkan saat hari H pernikahan saya. Sebelumnya calon suami saya sempat menanyakan ukuran lingkar jari saya (untuk cincin mas kawin) sekaligus beliau menyampaikan ingin memberikan hadiah saya gelang. Ntah apa yang terlintas dalam pikiran saya, saya balas SMSnya, “Afwan, saya tidak suka pakai gelang. Lebih baik hadiahnya boneka Doraemon yang guede saja!” Hahaha. Selesai prosesi ijab qabul dan walimah sederhana di rumah saya, suami saya beneran ngasih hadiah gelang. Tapi, beliau sukses membuat surprise untuk saya, tatkala kami berdua sampai di kostan kecil kami di Bogor, ada sebuah boneka besar Doraemon yang beliau hadiahkan untuk saya. Aaaah, so sweet! Langsung tak kasih nama SISEMON. Panggilannya SISEM. Wkwkwk. Sampai sekarang pun jangan heran jika rumah kami atau bahkan kamar cinta kami penuh dengan pernak-pernik atau gambar Doraemon.

Ya, itulah! Doraemon dan Jepang, menjadi  bagian yang tak terpisahkan seperti halnya Doraemon yang tergila-gila dengan Michan atau lahapnya dia saat makan kue Dorayaki. Saya cinta Doraemon dan sangat terobsesi pengin mbolang ke Jepang. Semoga Allah SWT perkenankan suatu saat nanti impian ini menjadi kenyataan. Aamiin.

Oyako No Hanasi
Oyako No Hanasi

Kembali ke bahasan awal. Hmm, buku yang ingin saya ceritakan itu berjudul OYAKO NO HANASHI. Sebuah buku catatan keseharian ibu dengan putra-putrinya saat di Jepang. Mbak Aan Wulandari, penulis buku ini, menyampaikan bahwa hidup di negeri orang selalu penuh kenangan. Jujur, beberapa bagian benar-benar membuat saya ngikik guling-guling. Apalagi kejadian awal-awal di Jepang yang lucu, terkadang norak, dan tentu saja sedikit memalukan (Mbak Aan ngakuin sendiri, lho!). Wakakak. Tokoh utama dalam buku ini ada 4, yakni Mama (Mbak Aan), Abah, Syafiq, dan Shofie. Kisah keluarga ini dimulai tatkala Abah (suami Mbak Aan) beasiswa untuk studi S3-nya diterima. Surprise yang sungguh luar biasa! Kejadian konyol sudah dimulai tatkala penerima beasiswa harus mengikuti pelatihan Bahasa Jepang di Bandung. Mama sekeluarga (Shofie belum lahir) nekat berangkat ke Bandung tanpa tahu nanti bisa langsung dapat kontrakan atau nggak. Tapi, Allah SWT memudahkan. Mama sekeluarga berhasil mendapatkan kontrakan yang bagus.

Tiga bulan berlalu, tibalah saatnya Abah meninggalkan Indonesia menuju negeri Doraemon. Mama dan Syafiq mengantar Abah sampai bandara. Beberapa hari setelah moment perpisahan itu…
“Abaaah…!” teriak Syafiq, setiap kali ada pesawat lewat. Pesawat bagaikan Abah bagi Syafiq. Hihi. Lucu nian kau, Nak!

Rencana awal, keluarga penerima beasiswa baru boleh “diboyong” ke Jepang setelah 6 bulan, tapi takdir berkata lain. Baru ditinggal dua minggu, Mama dan Syafiq akhirnya boleh menyusul ke Jepang karena ada istri temannya Abah yang lagi hamil dan ingin bisa melahirkan di Jepang. Karena kalau menunggu anaknya lahir, nanti semakin lama lagi ditambah repot bawa-bawa bayi. Akhirnya, Mama dan Syafiq pun naik burung besi menuju Negeri Sakura. Ups, Mama ngaku kalau itu kali pertama Mama naik pesawat. Hihi. Tentu saja tertulis beberapa kejadian ‘norak’ yang Mama alami (hahaha. Ngikik guling-guling deh gue!)
“Tit… tit… tit!” alarm berbunyi ketika Mama dan Syafiq melewati semacam penjagaan.
“Wuaaa…,” parno Mama kumat lagi. “Jangan-jangan ada yang memasukkan heroin ke dalam tas Mama?”
Tapi, untung kekhawatiran itu terobati. Lalu, apa penyebab bunyi itu? (hihi. Penasaran? Tanya Mama aja, ya!)

Kejadian konyol berikutnya saat awal-awal menjalani kehidupan di Jepang. Prinsip “Max Irits” benar-benar sangat diterapkan. Ada kejadian lucu dengan boncengan sepeda, ada juga tentang ‘koyok ajaib, koyok penambal ban’, itung-itungan ongkos bus dan bersepeda ria, edisi ngirit dengan berburu “sale”, dll. Iyups, kata sahabat saya yang udah pernah numpang hidup di sono, hidup di Jepang tuh kudu super irit.

Episode kedua dari buku ini berkisah tentang celoteh Syafiq. Paling ngakak saat ada percakapan :
“Mama…! Byouin e itte…!” (Mama, pergi ke rumah sakit sana!)
“Hee? Ngapain?”
“Tazkia o umarette…!” (Tazkia dikeluarin!)
Alamaaak! Hamil juga belum, disuruh ke rumah sakit buat mbrojolin bayi.

Ya, Tazkia itu adik bayangan versi Syafiq. Selalu saja Syafiq menghubungkan banyak kejadian dengan Tazkia. Saat mau beli jaket, saat Mama ngasih tahu foto sepupu Syafiq, dan masih banyak lagi. Konyol juga ni bocah!

Setelah dua setengah tahun penantian di Jepang, akhirnya Mama positif hamil. Dan akhirnya, bye-bye Tazkia, Abah sekeluarga memutuskan adik Syafiq ya Shofie namanya, itupun atas usulan Mama. Syafiq pun setuju. Hihi.

Di saat usia kehamilan enam bulan, Mama sekeluarga harus berucap “Sayonara Nihon!” Mama sekeluarga harus kembali ke Indonesia. Selanjutnya, banyak kejadian lucu abis gegara Syafiq mengalami problem bahasa dalam percakapan keseharian. Saya kutipkan kisahnya dan mari ngakak bersama.

Kejadian ini terjadi ketika kami baru dua hari di Indonesia. Syafiq masih malu-malu sama semua orang. Walaupun malu, kalau masalah makanan, dia paling penasaran. Selalu ingin mencoba. (Keturunan dari siapa lagi, kalau bukan dari emaknya!) Seperti kali ini, ada pothil (makanan khas Muntilan) di atas meja.
“Mama, kore tabetai,” katanya.
“Ya. Ambil aja.”
Nggak tanggung-tanggung, bukan sebiji-dua biji dia ambilnya. Tapi segenggam, bo!
Oishii (enak).”
Mama menyengir.
“Nomitai, Ma!” kata Syafiq beberapa saat kemudia. Dia minta minum. Iyalah, makan gorengan keras gitu perlu digelontor air putih.
“Ambil saja. Di belakang sana.”
Tiba-tiba, “Opo to kui ‘tai…tai’ wae, njelehi (apa sih itu, tai… tai saja. Bikin geli)!” adik Mama nyeletuk.
Hah? Mama kaget dan terbelalak. Tapi kemudian ngakak habis.
“Hahaha… Lagian yang didengar yang belakang saja, sih” kata Mama. “Tai itu seperti akhiran, artinya ingin. Tabetai ingin makan. Nomitai, ingin minum.”
“Walah… !” adik Mama ternganga. “Ingin… tai? Hih!”
“Siap-siap saja mendengar tai lagi, karena setiap kali ingin sesuatu, pasti dia nanti bilang tai…,” Mama ngakak lagi.
Njelehiii (menjijikkan),” kata adik Mama.
Nani (apa)?” Syafiq bingung.
“Sini, Mama kasih tahu. Tai… ne, imi wa unchi…!” kata Mama menerangkan arti ‘tai’.
“Hiiihhh!” Syafiq bergidik jijik.

Dan beragam kekonyolan lainnya, termasuk kejadian yang “absurd” (paling lucu saat Syafiq kemah sehari), terus ada kejadian “nyleneh” saat Syafiq belum juga bisa tidur sedangkan Shofi setelah dinina-bobokan pakai nyanyian Mama langsung bisa pules. Waktu itu, Mama meminta bantuan Abah agar memberi “soal pengantar tidur” buat Syafiq. Awal-awal berjalan normal. Lama-lama, mulai kelihatan seperti orang nggak sadar. “20-17 berapa?” kata Abah dengan kalimat nggak jelas, seperti orang mengigau.
“20-17?” Syafiq bertanya menegaskan.
“Betul! Pintar! Terus 5x4 berapa?”
Waduh…
“Abah, bangun!” Mama menyenggol Abah.
“Eh, ya?”
Beberapa menit pun normal kembali. Abah memberi soal, Syafiq menjawab. Dan, tetap nyambung.
Tiba-tiba…
“Berapa besar massa proton?”
Hah?
“Hahaha, Abah ki ra nggenah (Abah nggak benar),” kata Syafiq ngakak.
“Huss, nggak boleh bilang gitu! Nggak sopan!” Mama mendelik, walaupun dalam hati juga ngikik-ngikik. Ups!

Episode ketiga dalam buku ini berkisah tentang Celoteh Shofie. Banyak kejadian seru juga antara Mama dan Shofie. Penasaran? Pinjem aja bukunya! Atau suruh Mama Aan cerita… Hihi. Perut saya sudah sakit akibat banyak kekonyolan dalam buku ini.

Pada akhirnya saya sangat bersyukur, Allah SWT mempertemukan saya dengan Mbak Aan dalam komunitas IIDN Semarang. Pemilik nama lengkap Aan Wulandari Usman ini nama akun facebooknya Aan Diha. Setelah saya todong, akhirnya ngaku kalau Diha itu singkatan nama suaminya, uDI Harmoko. Semoga senantiasa menjadi pasangan yang humoris dan harmonis, plus romantis bersama Syafiq, Shofie, dan adik-adik Syafiq-Shofie selanjutnya… (Hihi. Aamiin…)

[Keisya Avicenna, 19 Agustus 2014]

SEBUAH KOLABORASI dan PERJALANAN HATI untuk MEMUJUDKAN MIMPI

Tuesday, August 19, 2014 0 Comments


Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?

Jum’at, 15 Agustus 2014

Inilah sore yang berbeda dari biasanya. Ada satu undangan yang sayang untuk dilewatkan. Uhuy, HALAL BIHALAL (Halbi) Ibu-Ibu Doyan Nulis (IIDN) Semarang sekaligus kopdaran. Bertempat di Resto Nglaras Rasa Jl. MH Thamrin. Tempat itu cukup bersejarah bagi saya. Pengalaman pertama buka bersama keluarga besar suami di Ramadhan tahun lalu. So romantic moment! Dan saya ingin mengecap kembali romantisme dengan orang-orang tercinta, IIDN Semarang, di tempat ini.

Berangkat dari rumah ba’da Ashar, langsung naik angkot oranye yang lewat samping gang rumah. Turun dekat ADA, langsung naik mikrolet. Menikmati suasana sore kota Semarang. Turun di Tugu Muda, dijemput Mas Sis. Lumayan ngirit coz suami kerja di Jl. Pandanaran. Hihi. Dianterin deh sampai lokasi. Sampailah di Nglaras Rasa. Sudah ada Mak Winda cs., Mak Wuri, Mak Aan Diha cs., Mak Fenty cs., Mak Watik, menyusul Mak Dedew, Mbak Taro, Mak Mirma, Mak Uniek, Mbak Qudsi, Mak Rahmi. Dalam moment istimewa itu Mak Aan nitipin sebuah buku keren untuk Denis. Makasih ya, Mak Aan! Muaaah! Hm, akhirnya memutuskan untuk pesen jus alpukat dan menetapkan pilihan pada soto ajah (sambil lirik isi dompet. Hihi)

Pada edisi special sore itu, digelar konferensi pers jejak prestatif Mak Winda dalam mengikuti lomba Tulis Nusantara 2014 (selengkapnya klik tulisan Mak Dedew :http://www.dewirieka.com/2014/08/sharing-winda-oetomo-penulis-piring.html) dan jejak inspiratif lahirnya komik Max Irits ala Mak Rahmi. Semoga bisa menjadi pelecut untuk terus berkarya dan berprestasi. Tapi sayang seribu sayang, saya tidak bisa mengikuti pertemuan hati yang penuh cinta itu sampai selesai. Karena sudah janji sama suami sebelum Maghrib mampir beli Alquran n beli buku di Toga Mas. Ya sudah, sebelum ngacir kabur, foto-foto dulu sama mbak n mbak kece IIDN Semarang.

Inilah hasilnya…

Halbi IIDN SemarangHalbi IIDN Semarang

*Baru nyadar kalau sehati dominan biru euy!


Sabtu, 16 Agustus 2014

Betapa bersyukurnya seorang perempuan yg berkesempatan menempati ruang hati laki-laki yang serupa itu... Hati yang terus mendekapmu dengan hangat. Hati yang selalu menyimpan setiap irama detak jantungmu. Hati yang selalu ada selaras dengan helaan nafasmu. Hati seorang laki-laki yang selalu menjaga hatimu dan memenuhinya dengan segenap cinta yang dia punya serta doa yang tulus kepada-Nya.
#‎HatikuHatimu 

Pagi yang sangat bersahaja. Pagi ini pun kami mendokumentasikan episode kerja sama buah dari pertalian hati kami dan implementasi sebuah ikrar suci. Dulu sebelum menikah, idelisme saya berkata : “memasak itu bukan hanya tugas seorang istri, tapi aktivitas itu bisa dilakukan bersama-sama”. Maka, terseliplah doa dalam hati saya kala itu, “saya merindukan seorang suami yang bisa masak dan peka dengan urusan dapur (seperti Babe saya)”. Alhamdulillah, Allah kabulkan! Dan pagi itu, Mas Sis asyik motong-motong kangkung (inisiatif sendiri) dan nyiapin bumbunya plus nyiapin bahan telur dadar. Sedangkan saya, ada tugas menyelesaikan rekapan pemesanan buku ODOJ yang harus saya email pagi itu. Setelah selesai, gantian saya yang melanjutkan memasak sampai semuanya siap di atas meja makan, Mas Sis sibuk menyiapkan bahan rapat PROMAS ODOJ yang juga harus diemail ke Mbak Thicko pagi ini. Aktivitas sederhana memang, tapi kita belajar untuk mengerti amanah satu sama lain. Terima kasih, Ya Allah… ^_^
Setelah semuanya siap, jam 06.30 kita berangkat, dengan tujuan mbolang kita hari ini : SOLO. Asyiiik…

Alhamdulillah, bersyukur punya partner mbolang yang seneng kulineran. Tempat paling berkesan saat mampir sarapan itu di soto Mbok Giyem, Boyolali. Mas Sis sudah tahu pasti saya akan pesan menu : soto daging, lemon tea hangat, plus nyemil tahu bakso. hihi. Perhatian sekali, cakep! Kita sama-sama penyuka soto, es dawet atau es degan (ponakan-ponakan kami sampai hafal), plus makanan khas daerah tertentu yang kita singgahi.
Alhamdulillah, bersyukur punya partner mbolang yang siap "nyasar" saat cari alamat tujuan. Hihi. Singkat cerita, sampailah kami di Toko Kue Lezati. Yups, istana cinta Ust. Hatta Syamsuddin dan Bunda Robiah Al-Adawiyah.

Kali pertama masuk istana cinta beliau, kami langsung disuguhi buku-buku yang terpajang rapi di rak. Huaaa, langsung deh. Saat Bunda Vida izin ke belakang, kami asyik mengamati satu per satu buku-buku yang berderet itu. Bisik-bisik sama Mas Sis, kalau nanti boleh pinjem, adik mau pinjem ah… (sambil nunjukin buku yang bakal jadi target sasaran). Mas Sis ngangguk, berencana pinjam buku juga ternyata. Hihi.
Eh, ada dik Farwah. Putra ketiganya Bunda Vida. Dia sempat bilang ke Umminya kalau Mas Sis mirip pakdhenya dan dia jadi kangen sama pakdhenya. Ah, so romantic little boy!

Obrolan yang hangat dengan Bunda Vida, Ustadz Hatta tidak bisa membersamai karena ada agenda rapat. Tema besar diskusi kita siang ini adalah pembentukan “Sekolah Pra Nikah” dan “Kajian Parenting”. Ya, ada sebuah impian dan ‘amanah’ yang harus segera kami realisasikan khususnya di kota Semarang. Dan Mas Sis saya tunjuk untuk mengawali maksud dan tujuan kami silaturahim siang itu. Hihi. Ya, silaturahim ke istana cinta Bunda Vida dan Ustadz Hatta ini menjadi salah satu bagian dari realisasi “action plan” atas impian yang tengah kami perjuangkan di kota Semarang.

Oh ya, Bunda Vida adalah perintis Komunitas Peduli Perempuan dan Anak (KPPA) Benih. Salah dua program unggulan komunitas ini adalah SPN (Sekolah Pra Nikah) dan SIMAK (Sekolah Ibu Mengasuh Anak). Saya dulu pernah ikut SPN selama 2x pertemuan. Pertemuan pertama tanggal 27 Agustus 2012 dengan pemateri Bunda Vida. Kita membahas materi “Lajang Produktif” (Persiapan to be WIFE). Pertemuan kedua di bulan September dengan pemateri Ust. Hatta, membahas fiqh munakahat dan visi-misi pernikahan. Waktu itu saya ingat banget, disuruh baca visi misi pernikahan saya di kelas. Hihi. Dan semua peserta SPN mengaamiinkan. Abiz itu saya vakum, nggak lulus Sekolah Pra Nikah. Gara-gara keburu praktek. Akhir September dapat biodata ikhwan, 7 Oktober ta’aruf, 28 Oktober khitbah keluarga, 10-11-12 menikah. Akselerasi ceritanya!

Uhuy, pengin kenal lebih dekat dengan KPPA Benih? Bisa berkunjung kemari…
http://kppabenih.blogspot.com/

Mungkin apa yang saya dapatkan dalam pertemuan istimewa siang itu tidak semua saya tuliskan. Tapi saya sangat terkesan ketika Bunda Vida menyampaikan, bahwa persiapan pra nikah itu sangat penting. Menikah dan menjalani kehidupan rumah tangga itu tidak bisa  semuanya “learning by doing”. Harus ada polanya, harus didasari dengan ilmu, melakukan sesuatu yang didasari dengan kepahaman. Nah, itu dia yang benar-benar dibutuhkan! Apalagi sekarang kita hidup di zaman yang semakin canggih. Kita hidup di era digital dengan keragaman majemuk dalam kehidupan masyarakat kita. Tantangan dakwah pun semakin keren. Lalu, apa menikah itu hanya sekedar menyatukan dua hati? Justru menikah itu bagian dari dakwah, dengan menikah para pelaku dakwah itu semakin kuat karena ada keterikatan “saling” di sana. Suami dan istri bisa saling membantu, saling menyemangati, saling menguatkan, saling menanggung beban, dst. Pun ketika menikah, harusnya menjadikan pribadi kita semakin produktif. Dan itu semuanya harus benar-benar dipersiapkan sebelum menikah.

Mungkin kalau pernah ikut kajian pra nikahnya Bunda Vida, pasti akan ada satu pertanyaan terlontar. “Kamu nanti setelah menikah mau jadi ibu rumah tangga atau bekerja di ranah publik?” Nah, itu semua bagian dari pilihan yang penuh dengan konsekuensi.

Bunda Vida sangat idealis dalam menentukan kriteria pendamping hidup. Salah satunya, bukan ikhwan Solo. Karena ada hal prinsipil yang ada pada “idealisme” beliau itu. Hihi (keren deh denger ceritanya). Alhamdulillah, idealisme Bunda Vida, Allah SWT perkenankan menjadi nyata. Bunda Vida tidak menikah dengan ikhwan UNS. Dalam hal ini, hampir mirip dengan prinsip saya. Saya nggak mau suami saya orang yang sudah saya kenal sebelumnya (termasuk “bukan orang UNS”). Hihi. Dapatlah Mas Sis, sosok yang semula asing dalam kamus hidup saya.

Ada cerita menarik yang berhasil saya rekam juga dari Bunda Vida, saat awal menikah beliau langsung “LDR-an” dengan Ustadz Hatta, Indonesia-Sudan euy! Waktu itu Ust Hatta “sedikit membatasi” ruang gerak istrinya, terutama terkait mengisi kajian dengan peserta ada ikhwannya selama Ust Hatta di Sudan. Bunda Vida merasa inilah bagian dari “TAAT”. Sampai akhirnya, Bunda Vida merasa, Ust. Hatta benar-benar membuka seluas-luasnya ruang aktualisasi di ranah publik setelah melahirkan anak ketiga. Karena Ust Hatta sudah beranggapan, Bunda Vida telah lulus dalam mata kuliah “TAAT” itu. Hihi. Kereeen! Hm, taat itu bagian dari belajar ikhlas, lho! Kata Ust. Hatta, suksesnya sebuah rumah tangga itu sangat ditentukan oleh dua hal : KESABARAN SEORANG SUAMI dan KETAATAN SEORANG ISTRI.

Ya, ketaatan merupakan poin terberat dalam mengarungi biduk rumah tangga. Ketaatan akan membawa keberkahan jika disadari dan dilakukan atas dasar kepahaman, kepercayaan pada pasangan, dan keikhlasan. Sebaiknya, ketaatan hanya menjadi bara dalam sekam, sandiwara, dan omong kosong saat ia dipaksakan, tanpa kesadaran, dan hanya karena “takut” pada suami. Ketaatan yang hanya bersumber pada “ketakutan”, hanya akan melahirkan rasa tertekan dan minder.

Ikhlas menaati suami sebagai seorang pemimpin rumah tangga bukanlah sebuah persoalan mudah. Namun sebenarnya, naluri taat itu dikaruniakan oleh Allah SWT pada seorang istri saat ia yakin bahwa pasangan hidupnya akan menjadi pangeran kunci surganya kelak. Dan sungguh, ketaatan seorang istri dan kesabaran seorang suami hanya bisa dihidupkan oleh hati yang dipenuhi CAHAYA IMAN. Bukan begitu?

Ada lagi bahasan menarik. Saat percakapan ini berlangsung saya langsung ingat 20 lembar biodata/ proposal nikahnya Mas Sis dan 11 lembar biodata “For The A.M.A.N.A.H of My Life” saya itu. Saya ingat, Mas Sis menulis secara lengkap impiannya pasca menikah secara detail, impian yang ingin dan akan diwujudkan bersama istrinya kelak (dan yang beruntung itu : saya! Wkwkwk). Dan satu yang pasti, di 11 lembar itu tertulis motto hidup saya “IPK” [Inspiratif-Prestatif-Kontributif] dan Mas Sis di antara 20 lembarnya itu tertulis impian ingin mendirikan istana IPK [Inovatif-Produktif-Kontributif]. Maka, hati saya dulu langsung “klik” sama pemilik biodata 20 lembar itu dan petunjuk dari Allah SWT itu bernama “IPK”. Ya, kita punya kesamaan di huruf K dengan kata “Kontributif” di sana. Saya sangat bersyukur saat ta’aruf 7 Oktober 2012 silam, saya sampaikan keinginan-keinginan serta impian-impian saya pasca menikah. Alhamdulillah, Mas Sis selalu memberi ruang untuk mengembangkan potensi dalam diri saya sampai saat ini dan semoga seterusnya. Demikian halnya yang dilakukan oleh Ust. Hatta kepada Bunda Vida. Apalagi jika sejak awal menikah, ada komitmen bahwa dakwah, melayani masyarakat, menyinergikan potensi masing-masing adalah spirit yang mewarnai pernak-pernik kehidupan berumah tangga. Saya selalu suka saat Mas Sis menasehati saya tentang banyak hal, termasuk ketika saya bertanya, “…ada yang ‘tanya tarif’ ngundang adik nih…”. Mas Sis selalu bilang, “… jadikan “amanah” itu sebagai sarana kontribusi adik dalam dakwah (ingat “KONTRIBUTIF”!), sarana pemberat timbangan amal adik di akhirat kelak,” kata Mas Sis. So, jangan pernah tanya ‘berapa tarif ngundang SUPERTWIN’ ya! Hihi. Kami bisa datang memenuhi undangan, diajak kulineran, apalagi bonus jalan-jalan itu sudah cukup membuat kami jingkrak-jingkrak kegirangan. Wkwkwk *nglunjak.

Oke, mengenai pembahasan di atas, saya kutipkan apa yang Bunda Vida tuliskan dalam buku beliau, “BUKAN SEPASANG MALAIKAT”. Simak, yuk! Dan ambil ibrohnya…

“…Saya melihat di sekitar saya, mendengar banyak keluh kesah yang terpendam bernada sesal di kalangan istri bahwa pernikahan memupuskan, bahkan memadamkan segala cita-cita mereka untuk mengembangkan diri. Banyak para suami yang mengatasnamakan ‘ketaatan’ dan rasa egois membiarkan istri-istri mereka terpuruk dalam rutinitas yang menjemukan. Para istri yang jenuh itu mungkin tidak memiliki akses sosial, akses teknologi, akses komunikasi, akses kesehatan yang mestinya bisa sedikit meluaskan wawasan mereka. Padahal ‘rehat sejenak’ justru dapat mengembalikan semangat mereka mengurus rumah tangga, suami,dan anak-anak.

Saya juga melihat akibat tidak ter-upgrade-nya potensi para AKTIVIS DAKWAH perempuan pasca menikah. Beban dakwah ini sering hanya dipikul oleh orang-orang yang sama. Perempuan-perempuan hebat di masa kampus seolah “turun mesin” dan tidak mampu memompa kreativitasnya. Lelah jiwa dan raga serta kejumudan dalam rutinitas, memenjara daya kreatifitas dan daya juang mereka sebagai kader dakwah. Menyedihkan.

Menanyakan harapan pasangan atas pernikahannya dengan kita melahirkan motivasi yang luar biasa. Apalagi memberikan fasilitas dan kesempatan untuk beraktualisasi diri dengan tulus, justru melahirkan kepercayaan dan kemampuan memanage diri.”

Catatan untuk para suami dan calon suami : yuk, berikan kepercayaan dan ruang untuk para istri. Dukunglah dan minimal tanyakan apa yang masih ingin mereka raih dalam kehidupan ini. Berilah kepercayaan dan yakinlah bahwa istri Anda mampu tetap melakukan kewajibannya sebagai istri dan ibu saat jiwa dan pikirannya pun Anda berikan hak untuk meluaskan wawasan dan berkarya! (Alhamdulillah, saya pun sering menanyakan impian dan cita-cita suami, begitupun sebaliknya!)

Bunda Vida sempat bilang, semoga semakin banyak lagi pasangan yang bisa bersinergi seperti Nungma dan masnya (hihi). Sukses itu berpasangan! Sukses itu bersama-sama. Banyak kasus, konflik rumah tangga dipicu karena penghasilan istri yang jauh lebih tinggi dibanding suami. Istri yang “melejit”, suami yang “melempem”. Atau sebaliknya, istri merasa dieksploitasi dalam rumahnya sendiri (karena jenuh dengan rutinitas pekerjaan rumah) sedangkan sang suami sangat cuek. So, jadilah pasangan yang selalu “MOVE ON!”(nasihat Bunda Vida). Istri yang tegar itu di belakangnya ada suami yang care. Suami yang sukses itu di belakangnya ada istri yang taat. Ah, saya masih berjuang dan akan terus berjuang!
Bunda Vida pun berkisah sedikit tentang pengalamannya menyeleksi ART (Asisten Rumah Tangga) dan berinteraksi sehat dengan mereka serta pola asuh pada kelima buah hatinya. Lima anak itu berarti lima cara berkomunikasi, lima cara berinteraksi, dst… Hmm, kereeen! Ternyata masih banyak “PR” yang harus saya selesaikan dan persiapkan. Dan saya makin haus akan ilmu dan sharing pengalaman.

Menikah memang sebuah jejaring sosial yang penuh berkah jika kita mau memasukinya dengan tulus. Sebelum menikah, kita dan pasangan telah memiliki lingkungan sosial, lingkungan pekerjaan, relasi, dan sahabat, dan juga kerabat. Setelah menikah, semua itu menjadi sebuah jaringan yang semakin luas dan mempererat silaturahim. Begitulah sepertinya yang saya rasakan, dulu sebelum saya menikah saya masih “bebas” bisa mbolang kemana-mana asalkan mengantongi izin dari orang tua. Setelah menikah, segala aktivitas saya harus atas izin dan ACC suami. Setelah menikah pun, saya menyandang status “tante” dengan 20an ponakan. Wah… Tapi yang pasti, menikah adalah jalan halal bagi hubungan laki-laki dan perempuan. Menikah juga menjadi harapan untuk menyambung generasi, melahirkan anak-anak sebagai investasi akhirat. Dan kini, saya dan suami masih terus berjuang untuk mewujudkan program “investasi generasi” itu dan bagi saya ini menjadi bagian dari “pembuktian tawakal” atas jargon hidup yang sangat saya suka, “Allah SWT pasti akan menjawab semuanya dengan sangat indah pada saat yang TEPAT dan TERBAIK” karena saya  NORMA (5 huruf : TEPAT) dan suami saya SISWADI (7 huruf : TERBAIK). Mari saling memotivasi dan berserah pada Allah SWT sampai pada sebuah keyakinan bahwa Allah Maha Tahu amanah yang diberikan pada kita tepat pada waktunya. Sekali lagi, Allah SWT tidak akan memberikan keputusan-Nya yang nomor dua, keputusan-Nya pastilah yang nomor satu dan itu pasti yang TEPAT dan TERBAIK!

Bareng Bunda VidaBareng Bunda Vida

camilan khas india n pakistan. misoa pake kuah susu. mak nyuuuz.camilan khas india n pakistan. misoa pake kuah susu. mak nyuuuz.


Terima kasih buat Bunda Vida atas semua yang telah Bunda sharingkan, termasuk camilan khas India-Pakistan yang Bunda suguhkan bagi dua “musafir cinta” siang itu. Hihi. Mak nyuuuz banget, Bund! Juga atas pinjaman buku “Financial Revolution”-nya TDW (buat Mas Sis) dan buku lama terbitan Mizan “Permata Rumah Kita” yang bisa menjadi bagian dari inspirasi atas judul buku yang telah kami rancang sebelumnya, “Permata Hati Ibunda”. Semoga lancar dan bisa launching saat Hari Ibu Desember 2014 nanti. Aamiin Ya Rabb…

dik caca-nya defidik caca-nya defi

dik caca cantik... shalihah, ya Nak!dik caca cantik... shalihah, ya Nak!

Pada kesempatan mbolang itu, kami berdua sempat silaturahim ke rumah Mas Andika (sosok berpengaruh dalam sejarah kehidupan saya dan Mas Sis) serta nengokin Defi (adik ipar Mas Andika, teman saya di MIPA) yang baru saja melahirkan dedek Caca shalihah. Senang dan bahagiaaa banget! Mungkin rasa semangat yang semakin membara dalam dada adalah bagian dari berkah silaturahim kita hari ini. DNA! Dream ‘N Action!
Jam 17.00, perjalanan balik ke Semarang pun dimulai. Perjalanan pulang yang so awesome. Sering ketemu orang-orang bawa carier n perkap muncak. Ah, moment keren jelang 17 Agustus.

Perjalanan hati itu...
Saat kita bergandengan tangan lebih lama.
Saat hati kita belajar lebih banyak.
Saat doa melangit membawa hati yang penuh impian dan harapan diiringi tekad dan semangat untuk mewujudkan...

[Keisya Avicenna, 18 Agustus 2014] 

“Diary Ramadhan : Beginilah Cara Allah Mencintai”

Tuesday, August 19, 2014 0 Comments


July 23, 2014 at 1:11pm
Di balik hingar-bingar  pengumuman hasil Pilpres, terjadi pula hingar-bingar yang tak kalah gayeng-nya yang saya alami. Begini ceritanya... *huum.

Piye Perasaanmu?
Hihihi. Kalimat tanya itu akhir-akhir ini tengah populer antara tante (baca : saya) dan para ponakannya (baca : Ani, Desi, dan Nur). Tiap ada kejadian “unik bin nyleneh” yang menimpa kami, pasti terucap kalimat tanya itu. Mereka bertiga udah pada mudik duluan ke Klaten, sih. So, saya nggak akan memunculkan nama mereka lagi di kalimat-kalimat selanjutnya... *opo sih?

Ada cerita menarik yang membuat saya harus bertanya “Piye Perasaanmu?” pada diri saya sendiri. Ya, serius! Pada diri saya sendiri.

Kemarin sore, sepulang dari kantornya, Mas Sis ngajakin saya ke Kedai Punokawan. Ada acara buka bersama dengan para Murobbi dan Murobbiyah Banyumanik. Dalam kesempatan emas itu, saya bisa ngobrol lebih dekat dan lebih hangat dengan para ustadzah yang notabene biasanya beliau-beliau yang suka ngisi ceramah (ngasih taushiyah) dan saya yang ndengerin sambil menyerap ilmunya.

Pada akhirnya, duduk di dekat saya seorang ustadzah yang sangat saya kagumi. Ustadzah SM (main inisial aja, ya?!) Sejak pertama saya melihat ceramah beliau saat beliau mengisi seminar kemuslimahan di UDINUS, saya langsung jatuh cinta dengan gaya beliau berceramah. Sapa tahu bisa saya contoh. Hmm, copy the master, lah! Sumpeh loh, saya sempat canggung, mati gaya, mendadak kelu dan membisu... otak saya serius berpikir gimana ya biar obrolan nggak garing. Beliau orang keren di mata saya! Jam terbang ceramahnya sungguh di atas rata-rata. All out untuk umat! Uhuy, saya mendadak ingat kalau buku terbaru beliau (tentang muslimah) sudah nangkring dengan sangat elegan di rak “new arrival” Toko Buku Gramedia. Alhamdulillah, pas! Detik berikutnya saya beneran nggak nyangka kalau kita jadi terlibat obrolan yang begitu hangat terkait dunia kemuslimahan, remaja, dakwah, dan tentu saja kepenulisan.

Selanjutnya, beliau memperkenalkan keempat putrinya. Subhanallah, semuanya “calon hafidzoh”. Yang nomor tiga, masih seusia SMA sempat duduk di dekat saya. Dan dia sudah hafal 21 juz. Piye perasaanmu? *makjlebpartone! Selanjutnya, adiknya yang paling kecil kelas 2 SMP, tanggal 19 Ramadhan kemarin udah khatam 9 juz. Lha sekarang? Saya nggak berani nanya. Pasti lebih dari itu. Huaaa, piye perasaanmu? *makjlebparttwo!

Selanjutnya, ada adegan tebak-tebakan surat dan ayat dalam Alquran saat saya terlibat obrolan dengan Ustadzah SM. Ya, sering banget ketika beliau ngisi ceramah pasti ngasih tebakan surat apa dan ayat berapa berkaitan tentang sesuatu hal yang dibahas. Waktu itu, pernah sekali saya bisa jawab dan Alhamdulillah dapat doorprize parcel. Haha. Tapi prestasi saya dalam menghafal memang layak untuk lebih ditingkatkan dan diperjuangkan lebih berdarah-darah lagi. Wkwkwk. Beliau sempat tanya, “Norma, hafal doanya Nabi Musa? Coba di surat apa dan ayat berapa?” Glek! *nelenludah. Tapi, cling! Saya sempat inget apa yang pernah ditulis ustadz Yusuf Mansur dalam bukunya. “Emm... surat 28, bu. Tapi saya lupa ayat berapa?” *berasapengennelensendok. “Nanti dibuka dan dibaca lagi ya mushafnya. Itu doa yang sangat penting. Ketika kamu menginginkan sesuatu saat ini, perbanyak baca doa itu. Nih, mumpung lagi buka puasa...” Ustadzah SM kemudian menyebutkan nama surat dan ayat lengkap dengan bacaan dan artinya. Huaaa... *penginmelukAlquran. Piye perasaanmu? *makjlebpartthree.

Selesai buka bersama, saya tercenung dalam ke”cenung”an saya yang teramat dalam. Introspeksi diri. Saya belum sibuk, ya saya belum sibuk dengan keremphongan sedemikian rupa. Saya harus malu dengan seorang ibu yang anaknya lebih dari 4 tapi sepak terjangnya di dunia dakwah luar biasa, dengan tetap memproritaskan urusan rumah tangga dan keluarganya, seorang ibu yang tetap berjuang menjaga dan meningkatkan hafalan Qurannya, seorang ibu dengan mobilitas tinggi dengan seabrek aktivitasnya. Hah, saya harus malu dengan ketersiaan waktu yang saya habiskan percuma bukan malah saya manfaatkan untuk hal-hal kebaikan. Lebih banyak waktu saya habiskan untuk hal-hal nggak penting daripada menyibukkan diri ngapalin Quran, ngapalin hadits Arba’in, baca buku agama, dll. Piye perasaanmu, Nung? “Urip iku gur mampir ngombe, Nung!” Ya Rabb... faghfirlii... faghfirlii... *makjlebpartfour.

Keremphongan episode kedua masih di hari yang sama dan hari berikutnya...
Dengan gelora semangat meraih Lailatul Qadr, seperti malam-malam sebelumnya, Allah SWT masih mengizinkan saya untuk melaksanakan salah satu sunah di 10 hari terakhir Ramadhan, yakni I’tikaf. Selama ini, saya dan Mas Sis beda masjid. Saya di Masjid Kampus UNDIP, Mas Sis di Masjid As-salam bersama bapak-bapak yang lain.

Malam itu terasa berbeda. Saya bertemu Ania. Kita terlibat obrolan seru terkait pilpres dan masih banyak lagi. Sampai akhirnya kita sibuk dengan aktivitas masing-masing. Sebelum saya tidur, saya sempat baca status BBM teman yang mengatakan kalau “Prof. Eko meninggal dunia.” Innalillahi wa inna ilaihi raji’un. Semoga khusnul khotimah. Selamat jalan, inspiratorku! T_T

Sempat tertidur 2 jam, lanjut khusyuk dalam munajat panjang dan selanjutnya makan sahur bareng-bareng. Setelah wudhu dan persiapan sholat Subuh, saya sempat baca SMS masuk. Tertulis “Mbak Messy”. Huuuat? Ada apa ini? Tumben Mbak Messy SMS. Beliau adalah tetangga depan rumah. Perasaan saya mengatakan ada yang tidak beres. Saya baca SMSnya dengan kondisi hati yang tak karuan sambil terus istighfar... *hihilebaydehgue.

“Assalamualaikum. Maaf mb norma, tadi air kran dari dalam rumah luber sampai airnya ngalir ke teras. Tapi sudah dimatikan dari depan sama bu heri. Makasih.”

Huaaa, pikiran saya langung kemana-mana. Saya langsung telp Bu Heri. Dan ternyata benar. Anaknya jadi saksi mata ada air yang keluar dari dalam rumah. Huaaaaat... Frekuensi detak jantung saya sudah di atas ambang batas normal. Istana 77 tercintaku banjir lokal? Apa kran kamar mandi belum saya matiin? Perasaan udah deh! Apa kran di bak cucian piring, ya? Di pikiran saya langsung berkecamuk bayangan macem-macem. Mencoba menganalisa. Kalau yang luber bak kamar mandi sepertinya nggak bakal sampai keluar rumah deh. Kan batasnya dengan pintu kamar mandi cukup tinggi. Kalau yang dari bak cuci piring bisa jadi. Saya sudah mbayangin daerah yang basah mana saja. Termasuk yang saya bayangin kamar saya dan kamar ponakan saya. Kamar saya bednya masih di bawah cuman dialasi karpet. Ada laptop lama saya di bawah meja juga. Sedangkan kamar ponakan, ada kasur kapuk yang cuma beralas tikar, baju-bajunya yang belum sempat disetrika *dah keburu mudik, dan mungkin kardus tempat biasa dia nyimpan fotokopian materi kuliahnya. Dah, saya nggak bisa bayangin kalau aset berharga rumah tangga itu basah kuyup karena banjir lokal. Masih ada lagi di ruang perpustakaan, ada beberapa kardus yang isinya “titipan buku CCI” nya Bunda Darosy sama buku Beauty Jannaty yang mau saya “return” ke TS karena cacat.

Oh ya, di perumahan kami (saya masih ngontrak), air baru ngalir sekitar jam 21.00/22.00 sampai jam 08.00 pagi. Analisa saya, air yang mengalir dari bak cucian piring itu (soalnya ni bak agak bocor, padahal udah ditambal dengan semen), bakalan ngalir kalau ke kanan ke ruang makan, yang di sana ada kulkas, meja, dll. Kalau ke kiri ke kamar saya! Kalau nganan dikit terus lurus masuk kamar para ponakan. Saya menjerit histeris dalam hati. Hihi. Oh, nooooo! Tapi kemudian saya mencoba menenangkan diri bersamaan dengan adzan berkumandang. Saya perbanyak istighfar dan menyempatkan tilawah beberapa ayat untuk menghilangkan rasa kalut. Saya perkaya hati saya dengan berkali-kali mengucapkan, “Laa yukalifullahu nafsan illa wus’aha...” (Allah tidak akan menguji seseorang di luar kesanggupannya!)

Sebelum iqomat, saya sempat SMS Mas Sis mengabarkan “huru-hara pagi” kabar dari tetangga saya itu. Biasanya beliau ada kajian dulu sampai jam 6. Tapi saya minta abiz sholat Subuh langsung menjemput saya dan kita pulang. Sehabis sholat Subuh saya terus merapalkan doa. Semoga yang ada di bayangan saya tadi tidak terjadi.

Mas Sis njemput saya jam 5 lebih. Saya lihat bagian bawah celana panjangnya agak ditekuk dan udah berganti sandal jepit. Saya langsung tanya, “Mas Sis udah pulang, ya? Gimana, basah semua?” Mas Sis mengiyakan. Huaaa... kamarkuuuuu... yang di bayangan saya, kamar kami juga basah kuyup. Biasanya kalau pas di boncengan Mas Sis, kita gayeng-gayengan. Tapi kondisi saat itu tidak memungkinkan. Nggak mungkin saya main tebak-tebakan juga. Bisa garing nantinya.

Saya sibuk dengan pikiran kalut saya sambil terus berdoa. Saya sudah mau bilang, “Mas Sis, maafin adik ya. Mas Sis boleh marah kok sama adik. Tapi adik benar-benar minta maaf. Entah apa yang terjadi nanti, kita anggap semuanya bagian dari ujian Allah, ya?!” Hihi. Tapi saya tahu Mas Sis nggak bakal marah sama saya palingan cuma ngambek. Hahaha *ketokkepalapakecottonbud. Nggak ding. Mas Sis tuh baik hati kok. Palingan nanti saya digelitikin sampai kapok.
 “Kalau di hati Fatimah ada Ali. Di hati adik ada Mas Sis, lhoooh...”*ngegombalgayakorbanbanjir. Hahaha.
Singkat cerita, sampailah kami di istana 77. Beberapa kardus buku yang basah udah teronggok dengan sangat memelas di luar rumah. Sempat ada tukang rongsokan lewat dan meminta izin untuk mengambil kardus-kardus yang pantatnya basah semua itu. Saya dan Mas Sis kompakan bilang, “Iya, Bu. Silahkan diambil!”

Semua karpet di ruang perpus dan keset-keset sudah dijemurin. Beneran banjir lokal! Lantai depan buasah kuyup semuaaa. Iya, sumbernya dari air kran cucian piring. Saya bergegas ke kamar. Hiks... hiks... saya hampir nangis melihat apa yang terekam di indera penglihatan saya. Kamar saya kering! Nggak ada setetes air pun yang mengalir masuk. Kamar ponakan juga, meski bagian pinggir agak basah tapi Alhamdulillah nggak parah. ALLAHU AKBAR! Padahal saya sempat menyakini, kamar saya kebanjiran dan parah tergenang air. Tapi aliran air memilih ke kanan, tapi juga ke kiri tanpa memasuki kamar saya langsung menuju ruang bagian depan. Yang basah kardus-kardus berisi piring dan gelas yang saya letakkan di bawah meja makan dekat kulkas, lanjut melewati ruang depan (daerah perpustakaan). Di situ hanya beberapa buku yang basah. Yang berkardus-kardus itu masih bisa diselamatkan, termasuk buku BEAUTY JANNATY saya.

Hmm... Saya masih terheran-heran, aliran air itu bisa sampai ngalir and luber ke luar rumah melewati daerah perpustakaan, yang bersebelahan dengan kamar, tapi kenapa bisa nggak masuk kamar, ya? Padahal nggak ada keset tebal di depan pintu kamar. Sampai sekarang pun saya masih mikir gaya atau model arah aliran air penyebab banjir lokal itu. Saya masih takjub dengan apa yang saya alami. Mungkin Allah SWT mengirimkan “bala tentara-Nya” untuk membelokkan arah aliran air itu hingga kamar tercinta saya yang penuh dengan gambar dan koleksi DORAEMON itu tidak terkena air setetes pun. ALLAHU AKBAR! Semuanya atas kuasa Allah...

Terjadilah aksi kerja bakti yang sangat seru. Hihi. Gubrak! Para tetangga yang jadi saksi mata pun turut menyemangati. Hehe.

Okelah, sekian catatan dokumentasi “DIARY RAMADHAN” saya. Ramadhan sebentar lagi melambaikan tangan perpisahan. Jujur, saya sangat sedih dan nggak mau berpisah dengannya. Masih ada beberapa waktu yang tersisa, mari kita manfaatkan lebih maksimal agar jika nanti Ramadhan berlalu, semuanya tak jadi sesal.

[Keisya Avicenna, 24-25 Ramadhan 1435 H]

Mencintai Perempuan Berarti Mencintai Surga

Tuesday, August 19, 2014 0 Comments
Peran Perempuan #ArtiPerempuan

Perempuan adalah sosok yang sangat istimewa. Perempuan memiliki peran yang sangat penting dalam membangun masyarakat dan bangsa. Peran tersebut diantaranya :  

1.      Perempuan sebagai pendidik para calon generasi masa depan. 
Para generasi muda membawa peran sangat penting dalam mewarnai wajah bangsa ini di masa depan. Sehingga mereka sering disebut sebagai Agent of Change. Dalam hal ini, perempuan membawa peran yang sangat strategis dan sangat penting. Mengapa demikian? Sebagaimana kita ketahui bahwa para generasi muda mendapatkan pendidikan pertama kali dari keluarga dan disini ibu sebagai guru dan pendidik pertama dan utama. Ibu berperan memberikan pendidikan kepada anak-anaknya yang kelak akan tumbuh dan berkembang menjadi generasi muda yang dapat membawa perubahan dan perbaikan di tengah masyarakat. Pendidikan dasar sudah harus dimulai olah seorang ibu ketika sang bayi masih berada di dalam kandungannya.
Setelah anak itu dilahirkan ternyata peran ibu sebagai pendidik tidak berhenti sampai disitu. Tibalah masa dua tahun dimana seorang anak membutuhkan perlindungan dan asupan gizi utama dari ibunya (ASI). Dalam masa ini pun ibu memberikan peran sangat penting dimana anak akan diberikan pendidikan-pendidikan awal ke dalam memori otaknya oleh sang ibu. Dan setelah masa ini berakhir masuklah anak ke tahap-tahap perkembangan selanjutnya dimana dalam setiap tahap perkembangannya ibu membawa peran yang sangat penting tentang pengetahuan apa saja yang akan diterima oleh sang anak. 
Dengan demikian peran ibu sebagai pendidik untuk putra-putrinya bisa dikatakan mulai dari awal sebelum para ‘calon generasi muda penerus masa depan bangsa’ ini membuka matanya di dunia sampai mereka siap untuk memberikan kontribusi guna membangun bangsa. 
Begitu pentingnya peran seorang ibu tentunya diperlukan pengetahuan yang sangat besar sehingga seorang perempuan dapat memfungsikan perannya dengan baik sebagai sumber ilmu dan pendidikan bagi putra-putrinya.

2.      Perempuan sebagai Manager Operasional Rumah Tangga. 
Kalau diibaratkan rumah tangga sebagai sebuah perusahaan, tentunya adanya pembagian peran yang harus dibawakan oleh komponen-komponen di dalamnya. Jika seorang ayah diibaratkan sebagai fungsi pimpinan tertinggi yang akan memegang kendali kemana perusahaan (rumah tangga) akan digerakkan, maka posisi operasional tentunya lebih cocok diperankan oleh seorang ibu. Ibu akan berperan sebagai seorang Manager Operasional yang akan mengatur bagaimana operasional rumah tangga dijalankan. Untuk itulah pentingnya seorang perempuan menyiapkan diri dengan bekal pengetahuan manajerial agar dapat memerankan fungsinya dengan baik.
3.      Perempuan sebagai Marketer Kebaikan (dalam bahasa jawa : ‘Gethok Tular)
Sudah sejak jaman dulu kala, bahkan sebelum adanya dunia internet budaya promosi mulut ke mulut atau dalam bahasa jawa gethok tular atau bahasa kerennya ‘word of mouth marketing’ menjadi senjata yang sangat efektif untuk berpromosi. Biasanya dalam dunia bisnis, pelanggan yangmenghubungi kita karena rekomendasi pribadi dari temannya atau rekannya yang pernah menggunakan jasa/produk kita lebih sering jadi membeli daripada batal membeli. Sebab itulah iklan dari mulut ke mulut yang positif menjadi idaman setiap pengusaha. 
Dan yang lebih dahsyat adalah bahwa promosi gethok tular ini sangat efektif diterapkan di kalangan kaum hawa. Sudah menjadi fitrahnya bahwa perempuan lebih mudah curhat atau membicarakan sesuatu yang pernah dialami kepada komunitasnya. 
Melihat fenomena ini tentu tidak berlebihan jika seandainya potensi tersebut diarahkan pada hal positif yaitu menjadikan kebiasaan gethok tularsebagai sarana dalam menyebarkan kebaikan di tengah masyarakat. Sebuah kontribusi positif peran kaum hawa dalam membangun masyarakat yang lebih baik dan lebih maju.

Perempuan adalah Tiang Keluarga 
“Pondasi perbaikan bangsa adalah perbaikan keluarga, dan kunci perbaikan keluarga adalah perbaikan kaum perempuannya. Karena perempuan adalah guru dunia. 
Dialah yang menggoyang ayunan dengan tangan kanannya dan mengguncang dunia dengan tangan kirinya.
(Hasan Al Banna) 

 ‘Perempuan adalah tiang negara’. Kala tiang tiada daya, bangunan pun roboh rata. Tak heran jika ada yang mengatakan, “Ibulah yang melahirkan sebuah bangsa!”  Karenanya seorang perempuan yang akan menjadi ibu harus memiliki bekal yang banyak, tidak hanya dalam kerumahtanggaan tapi juga seni mendidik anak, merawat diri, seni mengelola keuangan, dll.
Pembentukan generasi pewaris negeri mempunyai dua faktor pendukung. Pertama, berhubungan dengan pembentukan kepribadianKedua,peningkatan kualitas, karena perempuan (yang kelak akan menjadi seorang ibu) adalah madrasah pertama bagi anaknya (Al-ummu madrasatul ‘ula).
Dalam lingkup keluarga, pepatah ‘perempuan adalah tiang negara’ bisa disederhanakan menjadi ‘perempuan adalah tiang keluarga’. Karena, peran perempuan dalam keluarga (sebagai istri dan ibu) adalah peran yang sangat sentral, terutama dalam hal mental kepribadian dan bidang spiritual semua anggota keluarga. Oleh karena itu, kepribadian seorang perempuan akan mewarnai kepribadian keluarga selanjutnya akan mengokohkan kehidupan di masyarakat dan ruang lingkup yang lebih luas. 

Mencintai Perempuan Berarti Mencintai Surga
Ada sebuah kisah...
Suatu ketika, ada seorang anak laki-laki yang bertanya kepada ibunya, "Ibu, mengapa Ibu menangis?"
 Ibunya menjawab, "Sebab, Ibu adalah seorang perempuan, Nak".
 "Aku tak mengerti," kata si anak lagi.

Ibunya hanya tersenyum dan memeluknya erat. "Nak, kamu memang tak akan pernah mengerti..." Kemudian, anak itu bertanya pada ayahnya, "Ayah, mengapa Ibu menangis? Sepertinya Ibu menangis tanpa ada sebab yang jelas?"

Sang ayah menjawab, "Semua perempuan memang menangis tanpa ada alasan". Hanya itu jawaban yang bisa diberikan ayahnya.

Waktu terus berlalu, si anak tumbuh menjadi remaja dan tetap bertanya-tanya, mengapa perempuan menangis.
 Pada suatu malam, ia bermimpi dan bertanya kepada Tuhan. "Ya Allah, mengapa perempuan mudah sekali menangis?"

Dalam mimpinya, Tuhan menjawab, "Saat Kuciptakan perempuan, Aku membuatnya menjadi sangat utama. Kuciptakan bahunya, agar mampu menahan seluruh beban dunia dan isinya, walaupun juga, bahu itu harus cukup nyaman dan lembut untuk menahan kepala bayi yang sedang tertidur. Kuberikan perempuan kekuatan untuk dapat melahirkan, dan mengeluarkan bayi dari rahimnya, walau, seringkali pula, ia kerap berulangkali menerima cerca dari anaknya itu. Kuberikan keperkasaan, yang akan membuatnya tetap bertahan, pantang menyerah, saat semua orang sudah putus asa. Pada perempuan, Kuberikan kesabaran, untuk merawat keluarganya, walau letih, walau sakit, walau lelah, tanpa berkeluh kesah. Kuberikan perempuan, perasaan peka dan kasih sayang, untuk mencintai semua anaknya, dalam kondisi apapun, dan dalam situasi apapun. Walau, tak jarang anak-anaknya itu melukai perasaannya, melukai hatinya. Perasaan ini pula yang akan memberikan kehangatan pada bayi-bayi yang terkantuk menahan lelap. Sentuhan inilah yang akan memberikan kenyamanan saat didekap dengan lembut olehnya. Kuberikan perempuan kekuatan untuk membimbing suaminya, melalui masa-masa sulit, dan menjadi pelindung baginya. Sebab, bukankah tulang rusuklah yang melindungi setiap hati dan jantung agar tak terkoyak? Kuberikan kepadanya kebijaksanaan, dan kemampuan untuk memberikan pengertian dan menyadarkan, bahwa suami yang baik adalah yang tak pernah melukai istrinya. Walau, seringkali pula, kebijaksanaan itu akan menguji setiap kesetiaan yang diberikan kepada suami, agar tetap berdiri, sejajar, saling melengkapi, dan saling menyayangi. Dan, akhirnya, Kuberikan ia air mata agar dapat mencurahkan perasaannya. Inilah yang khusus Kuberikan kepada perempuan, agar dapat digunakan kapanpun ia inginkan. Hanya inilah kelemahan yang dimiliki perempuan, walaupun sebenarnya, air mata ini adalah air mata kehidupan".
 Maka, dekatkanlah diri kita pada sang Ibu jika beliau masih hidup, karena di kakinyalah kita menemukan surga. Ya, SURGA! Jadi, mencintai perempuan berarti mencintai surga!

[Keisya Avicenna]
“Terima kasih, Indosat!” #ArtiPerempuan #HariPerempuan

Nama asli : Norma Ambarwati
Nama pena : Keisya Avicenna
Alamat : Jalan Damar Barat III No.77, Banyumanik, Semarang.
Twitter : @keisyaavicenna




Saturday, February 01, 2014

Hari Pertama Februari, Setahun yang Lalu

Saturday, February 01, 2014

Kereta Argo Parahyangan membawaku dari kota kembang. Sejak pukul 15.00, kereta itu sudah bergerak meninggalkan Stasiun Bandung menuju Jakarta. Alhamdulillah, aku sampai di Stasiun Jatinegara sekitar pukul 18.30, agak terlambat dari jadwal yang seharusnya.

Rencananya, suami akan menjemput. Aku tunggu di pintu keluar. Setengah jam berlalu, belum ada tanda-tanda pangeranku datang. Aku SMS, dijawab “sebentar ya, masih otw”. Aku bisa memaklumi, hari jumat dan jam pulang, pasti volume kendaraan meningkat. Aku duduk di atas koper besar milikku sambil menunggu. Selain koper besar, aku juga membawa tas jinjing yang cukup besar. Ya, ‘mudik’ku ke Jakarta kali ini memang bertujuan menempati rumah kontrakan untuk pertama kalinya. Aku baru melihat wujud rumah kontrakan itu dari foto yang dikirim suami beberapa waktu lalu. Tampak depan, sangat menarik! Pintu gerbang, pintu depan, dan kusen jendela berwarna merah, warna favoritku ^__^.