Jejak Karya

Jejak Karya

Monday, March 16, 2015

“Melalui Anak-Anak, Saya Belajar…”


Have you seen, my Childhood?
I’m searching for the world that I come from
‘cause I’ve been looking around
In the lost and found of my heart …
No one understands me
(Michael Jackson)

Lagu yang dinyanyikan Michael Jackson (MJ) tersebut  menggambarkan betapa  pedihnya kehidupan  yang dirasakan penyanyi itu di masa kecilnya. Semua masalah yang dihadapi Michael Jackson ketika dewasa bermula dari ketidakbahagiaannya di masa kecil. Tidak hanya kekerasan fisik yang dirasakan karena tindakan ayahnya, tapi juga kekerasan verbal yang membuatnya trauma dan luka mental. Sang ayah menampar dan mencambuk saat MJ kecil latihan, juga saat akan naik ke panggung. Sang ayah juga kerap mengenakan topeng monster untuk memastikan MJ kecil tidak lupa menutup jendela kamarnya. Ayah MJ juga sering menghina dan mengancam anaknya sendiri. Julukan ‘big nose’ (hidung besar) dari ayahnya membuat MJ –ketika dewasa- sering mengubah penampilan dengan operasi plastik hingga berkali-kali. Sejak usia lima tahun, waktu MJ habis untuk berlatih dan tampil di berbagi pertunjukan. Ah, sangat menyedihkan ...
[*]

Fatiyya Azfa Nafisa. Nama yang sangat indah pemberian orangtuanya. Nama yang memiliki arti seorang wanita yang berjiwa muda, tangkas, cantik dan indah akhlaqnya.  Nama panggilannya Azfa. Anaknya moody, cerdas, suka baca, suka IPA, dan hobi nulis. Azfa baru duduk di kelas 5 SD. Azfa adalah keponakan saya. Setelah menikah, saya harus menyandang status sebagai ‘Tante’ dengan 22 ponakan. Wow! Rameee, jelas! Heboooh, selalu! Tapi saya sangat bersyukur karenanya.

“Tante, aku sedih. Aku nggak lolos lomba nulis …”
“Tante, kok aku kalah terus, sih? Aku jadi malas nulis lagi!”
“Tante, aku cuma dapat juara 2. Seharusnya aku bisa juara 1 lomba nulis cerpen di sekolah… Aku juga gagal jadi juara olimpiade. Hiks …”
“Tanteee, aku sebel sama temenku di kelas! Dia bikin gosip aneh-aneh tentang aku …”

Beberapa keluhan itu pernah Azfa sampaikan ke saya dengan muka memelas, penuh emosi, bahkan pernah sambil nangis. Azfa sering belajar nulis dan persiapan olimpiade IPA di rumah saya. Ya, kita cukup dekat. Ketika sifat moody-nya kambuh (mood jelek), sosok yang biasanya ceria dan terlihat cukup dewasa dibandingkan anak seusianya itu bisa sedih berlarut-larut. Terutama saat ia harus mengalami kejadian yang tidak sesuai dengan apa yang diharapkan.

Apakah saya akan mengucapkan kalimat ini?
“Kamu sih Kak, belajarnya nggak sungguh-sungguh!” (*mata melotot)
“Latihan  nulisnya kurang serius tuh!” (*mimik menghakimi dan menyalahkan)
Dan beragam kalimat lain yang justru tanpa disadari membangun mental negatif dalam pribadi si anak. Kita seolah menjadi hakim atas kejadian yang menimpanya. Atau saya akan mengucapkan kalimat ini …

“Kak, dalam sebuah kompetisi itu ada yang menang dan ada yang kalah. Kalau kamu siap menang, kamu juga harus siap untuk kalah. Kekalahan jangan membuatmu terlalu sedih. Jadikan itu sebagai pelajaran. Berarti Kakak harus belajar lebih sungguh-sungguh lagi, harus berlatih lebih giat lagi. Kakak pasti bisa! Ingat Kak, kegagalan itu keberhasilan yang tertunda. Mungkin Kakak juga kurang berdoa atau masih malas-malasan beribadah. Hayooo … Hmm, Allah tuh sayang banget sama anak-anak shalihah yang selalu optimis dan nggak mudah nyerah! Kakak mau kan semakin disayang Allah?” (*pasang mumancer_muka manis ceria)

Tentu saja saya akan memilih mengucapkan kalimat yang di bawah. Karena ‘didengarkan’ adalah kebutuhan seorang anak. Di saat Azfa ‘down’ saya berusaha menjadi sahabatnya. Mendengarkan segala keluh kesahnya. Dan yang terpenting, saya mencoba memberikan motivasi.
“Children Believe Everything You Say!” Hohoho.

Sampai akhirnya Azfa pun berkata … 
“Iya sih, Tant. Kakak kadang masih malas-malasan kalau disuruh Abi sholat. Masih suka ngambek kalau dinasehati Ummi. Mood-moodan waktu belajar… dst (-pengakuan dosa- hihihi). Ya, AKU PASTI BISA!” (*Azfa pasang muka optimis sambil jingkrak-jingkrak bahagia).

Dan setelah itu, kita toast, ketawa-ketiwi bersama, lalu bermain sepuasnya. Tebak-tebakan konyol, main games di HP (banyak-banyakan nilai), dan kegiatan lain yang Azfa suka. Azfa pun kembali ceria dan belajar untuk mengambil hikmah atas kejadian yang ia alami. Saya pun belajar untuk menciptakan sebuah kebahagiaan kecil yang bisa menghapus kesedihan dan kekecewaan di hatinya. Hati seorang anak-anak.

“Terima kasih ya, Tanteee!” (*katanya kemudian, lalu bergaya ala Teletubbies)
“Iya, Kak. Sama-sama…”  (*sambil ngelap mata yang berembun)

Kembali merenungi penggalan kisah hidup Michael Jackson yang saya tulis di atas, saya akhirnya menarik sebuah pelajaran bahwa melalui kegembiraan, anak-anak dapat membangun masa depannya. Masa depan yang diraih dengan penuh semangat, bahagia, dan rasa percaya diri yang kuat. Anak-anak dengan mental yang selalu siap menghadapi masalah dan mampu menyelesaikannya dengan baik.

Kebahagiaan di masa kecil mungkin kelihatan sepele, namun ternyata dampaknya sangat luar biasa. Kita juga bisa berkaca dari pola asuh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallamyang dikenal sebagai sosok yang sangat mengutamakan kebahagiaan anak-anak. Beliau memperlama sujud untuk memberi kesempatan Hasan dan Husein (cucu-cucunya) bermain di atas punggungnya. Inilah salah satu contoh tindakan sederhana tapi terlihat betapa Rasulullah memberikan tempat istimewa untuk membuat anak-anak senang, bahagia, bahkan saat melakukan ibadah.

“Melalui anak-anak, saya belajar…”
Bukankah seharusnya seperti itu, bunda-bunda shalihah? Karena anak-anak bisa menjadi tiket kita untuk mengetuk pintu surga.

*Keisya Avicenna
Tulisan ini dikutsertakan dalam  STORY CONTEST "ANAKKU TIKET SURGAKU" yang diselenggarakan oleh Penerbit Tiga Serangkai
[Alhamdulillah, LOLOS!]




Hari-hari melukis pelangi bersamamu...Hari-hari melukis pelangi bersamamu...




1 comment:

Terima kasih sudah berkunjung. Mohon untuk tidak meninggalkan link hidup.


Salam,


Keisya Avicenna