Jejak Karya

Jejak Karya
Showing posts with label resensi. Show all posts
Showing posts with label resensi. Show all posts

Tuesday, March 22, 2016

[Resensi Ayat-Ayat Cinta 2] : KEAGUNGAN CINTA DAN CITA-CITA MULIA DALAM SEBUAH KARYA SASTRA PEMBANGUN JIWA

Tuesday, March 22, 2016 0 Comments

KEAGUNGAN CINTA DAN CITA-CITA MULIA DALAM SEBUAH KARYA SASTRA PEMBANGUN JIWA

Judul         : Ayat-Ayat Cinta 2
Penulis       : Habiburrahman El Shirazy
Editor        : Syahruddin El Fikri dan Triana Rahmawati
Penerbit      : Republika
ISBN        : 9786020822150
Tebal Buku   : vi + 690 hal; 13.5 x 20.5cm
Tahun Terbit : 2015
Harga        : Rp 95.000,00

Ayat-Ayat Cinta yang Melegenda
Sosok Fahri Abdullah, seorang pemuda berdarah Jawa yang menempuh kuliah di Mesir, sempat menggemparkan kancah perfilman Indonesia tahun 2008. Kehidupannya juga kisah cintanya yang unik, penuh cobaan namun dirangkai sangat manis. Ia adalah tokoh fiksi kreasi Habiburrahman El Shirazy, novelis produktif dengan label BEST SELLER di setiap karyanya. Novel beliau yang cukup ‘meledak di pasaran’ adalah AYAT-AYAT CINTA yang terbit tahun 2003, dengan Fahri sebagai tokoh utamanya. Novel ini kemudian diangkat ke layar lebar dengan judul yang sama, disutradarai oleh Hanung Bramantyo. Film Ayat-Ayat Cinta kala itu mendapatkan sambutan yang luar biasa khususnya oleh masyarakat Indonesia, berisi kisah percintaan yang mengharu-biru, juga sarat nilai-nilai keislaman yang sangat mengena. Tentu saja, tetap ada perbedaan yang cukup mencolok antara film dan novelnya terutama dari segi cerita, penyajian dalam novel jauh lebih lengkap.
Novel Ayat-Ayat Cinta sekilas mengangkat kisah ‘poligami’ dan ending dari novel ini sangat manis meskipun berbalut kesedihan karena Maria (istri kedua Fahri) meninggal dunia karena sakit yang dideritanya. Maria meninggal dalam keadaan sudah memeluk agama Islam.
Hadirnya novel Ayat-Ayat Cinta (AAC) membuat saya semakin jatuh cinta dengan novel-novel bergenre religi. AAC memberikan inspirasi dan bahkan menjadi trandsetter kemunculan novel-novel religi yang lain. AAC memang novel yang penuh berkah dan sarat akan cinta karena Kang Abik –panggilan akrab Habiburrahman El Shirazy-  menulis novel ini dengan cahaya cinta untuk MAHAR menyunting belahan jiwanya (Ibu Muyasaratun Sa’idah). So sweet, kan?

Ayat-Ayat Cinta 2
Dua belas tahun kemudian, Kang Abik melanjutkan kisah perjuangan dan kehidupan Fahri dan orang-orang di sekelilingnya.
Pada halaman pertama kita akan berjumpa dengan judul yang langsung membuat diri penasaran : “Bayang-bayang Maria, Puisi Aisha, dan Gesekan Biola Kiera”. Kalau Maria dan Aisha saya sudah tahu. Sedikit mengupas AAC 1, Aisha adalah gadis keturunan Jerman-Turki, yang kaya, pintar, juga cantik jelita. Akhirnya, Fahri pun menikah dengan Aisha meski kehidupan mereka penuh cobaan namun romantisme antara Fahri dan Aisha digambarkan dengan sangat istimewa. Sedangkan Maria,  tetangga Fahri, gadis penganut Kristen Koptik, namun hafal beberapa surat dalam Al-Qur’an. Maria, yang ternyata sangat mencintai Fahri dan berharap bisa menikah dengannya, namun rasa itu hanya ia pendam dalam hati. Lalu, siapa Kiera? Saya pun semakin penasaran kelanjutan kisah kehidupan Fahri dan Aisha, juga orang-orang yang ada di sekitarnya.

Lika-Liku Kehidupan Fahri
Cerita dibuka dengan latar kota Edinburgh, sebuah kota di Skotlandia. Fahri dikisahkan sedang menempuh jenjang post-doc di University of Edinburgh, Skotlandia. Setting kota Edinburgh digambarkan sangat detail. Bangunan-bangunan kuno, terkesan klasik, tertata rapi dan megah, menjadi visualisasi yang indah untuk membuka cerita. Fahri sekarang tinggal di kawasan rumah mewah Stoneyhill Grove di Edinburgh. Pernikahannya dengan Aisha banyak mengubah kehidupannya. Selain menjadi dosen pengganti di University of Edinburgh, Fahri juga menjalankan beberapa bisnis, seperti butik, restoran, supermarket, yang ia kelola bersama Ozon, sepupunya Aisha.
Di bagian pertama ini, Kang Abik sudah menyuguhkan menu yang unik tentang sebuah prinsip dalam menjalankan amanah. Adegan saat Fahri menjadi dosen pengganti Prof. Charlotte untuk sementara waktu. Kala itu, Fahri mengeluarkan mahasiswa dari kelas kemudian menyuruhnya masuk kembali. Lalu, saat di akhir kelas, Juu Suh –mahasiswa itu- melontarkan sebuah pertanyaan untuk Fahri, “…kenapa  orang muslim suka bom bunuh diri?” Dan Fahri menjawabnya dengan analogi yang sangat mudah dimengerti. Saya pun ikut manggut-manggut sendiri. Baru bagian awal saja sudah dapat ilmu super keren. Saya pun semakin bersemangat membuka lembar-lembar berikutnya.
Kening saya mulai berkerut saat Fahri menampakkan sosok melankolisnya.
Dan setiap kali merampungkan Surah Maryam, lalu membaca basmalah dan memulai Surah Thaha, pasti tangisnya pecah tak tertahan. Itu surah yang menggetarkan seorang Umar bin Khattab yang masih jahiliyah sehingga akhirnya masuk Islam. Itu juga surah yang dibaca Maryam menjelang ia wafat. (halaman 17)
Saya benar-benar penasaran, ketika sampai di bagian ini…
Fahri lalu mengirim doa untuk Maria. Kemudian terisak-isak mengingat Aisha. Apakah Aisha telah menyusul Maria? (halaman 17)
Hah, di mana Aisha? Saya pikir, Kang Abik akan mengawali novel setebal 690 halaman ini dengan kehidupan rumah tangga Fahri dan Aisha yang sangat romantis dan harmonis. Mereka sudah punya anak-anak yang sangat lucu, cerdas, dan menggemaskan. Dugaan saya salah! Setelah lembar itu, semangat saya semakin meluap-luap untuk segera menemukan jawaban di mana Aisha?
Fahri hanya hidup berdua dengan asisten rumah tangga sekaligus sopir pribadinya yang bernama Paman Hulusi. Lelaki setengah baya yang selalu memanggil Fahri dengan sebutan ‘Hoca’. Sebuah panggilan yang digunakan orang Turki untuk guru dan ulama yang dimuliakan.
Sudah lebih dari dua tahun Fahri berduka dan tenggelam dalam usaha  pencarian istri yang sangat dicintainya itu. Ia pun memutuskan untuk pindah ke Edinburgh karena merupakan kota yang sangat dicintai Aisha yang terletak di dataran Inggris.
Aisha menghilang seperti ditelan bumi. Aisha dan sahabatnya yang bernama Alicia –seorang jurnalis- pergi ke Palestina pada tanggal 2 November 2007. Mereka ingin melihat dan merasakan secara langsung bagaimana kondisi di Palestina. Namun, setelah tanggal 4 November Aisha hilang dan tanggal 29 Januari 2008 jasad Alicia ditemukan dalam kondisi yang sangat mengenaskan karena kekejaman Israel (halaman 118-119). Keluarga Aisha pun mengganggap Aisha sudah meninggal. Mereka beranggapan mungkin nasib Aisha tidak jauh berbeda dengan Alicia. Tapi, Fahri sangat yakin kalau Aisha masih hidup, karean itu ia sangat rajin bersedekah dan membantu orang-orang di sekitarnya yang membutuhkan. Meskipun terkadang Fahri masih menangis saat mengingat kenangan-kenangannya bersama Aisha. Untuk menghilangkan rasa sedih dan nelangsanya itu, Fahri menyibukkan diri dengan pekerjaan, penelitian, mengajar, dan bisnis yang dulu dikelola bersama Aisha.

Seni Hidup Bertetangga dan Kedermawanan Fahri
Kehidupan Fahri di Edinburg sebagai seorang muslim pun penuh dengan ujian. Ada beberapa tetangga yang tidak menyukainya. Keira dan Jason, kakak beradik yang begitu membenci Islam. Mengapa Keira dan Jason sangat membenci Fahri? Teror dan perbuatan seperti apa yang mereka lakukan? Lalu, bagaimana cara Fahri membuktikan bahwa muslim itu baik dan Islam itu bukan teroris seperti yang mereka anggap selama ini? Selain Keira dan Jason, Fahri juga bertetangga dengan Nenek Catarina –seorang Yahudi- yang hidup sebatang kara dan ditinggal pergi oleh anak tirinya (Baruch) yang bertugas sebagai tentara Israel. Awalnya, Nenek Catarina juga membenci Fahri yang seorang muslim karena itu yang diajarkan oleh agamanya. Fahri adalah salah satu Amalek yang harus dibenci. Namun, pada akhirnya ia pun tak luput dari pertolongan Fahri. Bagaimanakah cara Fahri menyampaikan ‘Islam yang sebenarnya’ pada tetangganya itu?
Fahri juga berbuat baik pada tetangga yang lain, namanya Brenda. Dikisahkan saat Fahri menolong Brenda yang hilang kesadaran karena mabuk berat. Brenda dijatuhkan begitu saja oleh sopir taksi di depan rumahnya. Lalu, Paman Hulusi dan Fahri memindahkan Brenda dengan menyelimutinya agar tidak bersentuhan fisik, lalu memindahkan Brenda di beranda rumahnya sebelum hujan deras.
Selain itu, Fahri juga berbaik hati kepada sahabatnya ketika di Mesir dulu yang bernama Misbah. Fahri akan memberikan beasiswa pada Misbah untuk menyelesaikan kuliahnya sampai mendapatkan gelar Ph.D Ekonomi.
Kedermawanan Fahri tidak hanya itu saja, ia menampung seorang wanita tunawisma yang pingsan. Wanita berhijab dan berwajah rusak itu sempat mendapatkan perhatian publik karena pernah masuk surat kabar karena mengemis di pelataran masjid sehingga mencoreng nama baik Islam. Sebagai seorang muslim, Fahri merasa punya kewajiban untuk menolong wanita tersebut. Fahri membawa wanita itu ke rumah sakit, dirawat hingga sembuh dan ia bawa pulang untuk membantu Paman Hulusi mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Wanita itu bernama Sabina.

Cinta di Sekeliling Fahri
Dalam sekuel kedua novel Ayat-Ayat Cinta ini, diceritakan Fahri adalah sosok yang sukses baik dalam karir maupun bisnisnya. Namun tidak selaras dengan kehidupan rumah tangganya. Fahri masih mengharapkan Aisha hadir kembali dalam kehidupannya. Itu pula yang menyebabkan ia belum mau menikah, meskipun sudah didesak oleh keluarga Aisha untuk mencari pengganti Aisha. Kehadiran Sabina entah kenapa selalu mengingatkan Fahri pada sosok Aisha. Siapakah Sabina sebenarnya? Gadis buruk rupa dan memiliki suara serak itu mengapa banyak kemiripan dengan Aisha? Lalu, bagaimana cara Fahri mengatasi kesendiriannya? Apakah Fahri akan memilih Heba, seorang muslimah yang ayahnya sudah ia kenal baik di Edinburgh atau menerima tawaran Syaikh Utsman untuk menikah dengan cucunya yang bernama Yasmin? Ataukah Fahri akan menikah dengan Hulya, keponakan Aisha  yang juga menyukai Fahri? Apakah Fahri akan menikah lagi? Ataukah tetap menunggu Aisha? Lantas, apakah Kang Abik akan kembali mengusung tema poligami dalam novel ini? Daripada penasaran, segera miliki saja buku ini dan temukan jawabannya!
[*]
Novel Ayat-Ayat Cinta 2 ini sangat mengaduk-aduk emosi saya. Kang Abik sangat berhasil membuat saya –sebagai pembacanya- terlarut dalam setiap kejadian yang dialami tokohnya. Ada beberapa alasan yang membuat saya merekomendasikan novel ini untuk para pembaca yang rindu novel-novel religi berkualitas :
v  Tema
Tema bernafaskan Islam mampu dikemas Kang Abik dengan sangat luar biasa. Saya mendapatkan banyak ilmu baru baik dari narasi maupun saat percakapan antar tokoh. Ada beberapa dialog Fahri yang mampu menunjukkan kalau Islam bukanlah teroris, tapi Islam itu agama yang dirahmati Allah, penuh cinta dan kasih sayang, serta memiliki rasa toleransi yang tinggi. Jika ada kejadian teror ataupun bom bunuh diri itu adalah tindakan dari orang-orang atau oknum yang tidak bertanggung jawab.
Fahri, selain dihadapkan dengan permasalahan pribadinya sendiri, tantangan juga datang dari luar. Isu ISLAMOPHOBIA dan PALESTINA diangkat ke forum perdebatan ilmiah. Debat pertama berlangsung di auditorium tempat Fahri mengajar. Fahri mematahkan anggapan orang-orang Yahudi fanatik yang menganggap seorang Muslim sebagai amalek (orang-orang bodoh yang seperti keledai. Penjelasan Fahri sangat mencengangkan dan sangat gamblang (halaman 437-438). Keren sekali! Debat kedua berlangsung dalam skala yang lebih luas dengan menghadirkan dua orang pembicara dari kalangan akademisi. Pembicara pertama menyampaikan pendapatnya bahwa semua agama adalah sama, sementara pembicara kedua mengemukakan pendapatnya tentang atheis. Dan Fahri pun tampil dengan mematahkan kedua pendapat itu dengan penjelasannya tentang Islam (halaman 574).

v  Setting/Latar Cerita
Kang Abik begitu detail menggambarkan setiap lokasi sehingga menciptakan semacam sensasi yang menyenangkan, seolah pembaca turut menjejakkan kaki di tempat tersebut. Fantastis! Jadi pengin ke Skotlandia suatu hari nanti… Aamiin.

v  Karakter Tokoh
Budi baik Fahri menjadi sebaik-baik contoh bagaimana seharusnya sikap dan perilaku seorang muslim. Apalagi saat ini dunia Barat digoncang oleh virus ‘Islamophobia’. Di dalam novel ini Fahri benar-benar membuktikan bahwa agama yang dianutnya (Islam) adalah rahmat bagi seluruh alam, yang dibuktikan lewat segala kebaikan Fahri pada tetangganya. Kecintaan Fahri pada Allah dan Rasulnya tercermin dari kegiatan sehari-harinya. Ia masih tetap menjalankan tilawah dan muroja'ah Al-Qur’an sebagai dzikir tiap harinya.
Tokoh yang lain seperti Paman Hulusi, Keira, Johan, dan yang lain, menunjukkan kelihaian sang penulis menghidupkan karakter-karakter tokoh tersebut.

v  Plot
Dalam sebuah novel, plot merupakan kerangka dasar yang sangat penting. Plot mengatur bagaimana tindakan-tindakan harus berkaitan satu sama lain, bagaimana suatu peristiwa mempunyai hubungan dengan peristiwa lain, serta bagaimana tokoh digambarkan dan berperan dalam peristiwa itu. Dalam buku “How to Analyze Fiction”, Kenny mengemukakan kaidah-kaidah plot yang meliputi plausibility (logis, dapat dipercaya); suspense (ketegangan yang membangkitkan rasa ingin tahu pembaca); surprise (kejutan); dan unity (keterpaduan). Dalam AAC 2 ini Kang Abik mengemas plot dengan sangat jenius. Jalan cerita sangat logis bahkan ada beberapa yang sesuai dengan fenomena masa kini, ritme suspense-nya sangat terasa sejak awal saya membuka lembar pertama, banyak kejutan-kejutan dan twist-twist yang istimewa, dan semua unsur pendukung cerita mulai dari tema, latar, konflik, peristiwa, klimaks, penokohan semuanya melebur menjadi keterpaduan yang manis.

v  Amanat Cerita
Karya Kang Abik ini jauh lebih berani, berani mengangkat isu-isu lokal dan global. Novel ini juga syarat makna, dan banyak memberika pelajaran dan solusi mengenai berbagai masalah mulai dari bab fiqh hingga sosial. Banyak hikmah dan pelajaran yang bertebaran di novel ini. Lewat Fahri, kita belajar seimbang dalam kehidupan dunia dan akhirat. Lewat Aisha, sebagai muslimah, saya belajar menjadi pribadi yang tangguh dan tegar. Semua tokoh dalam setiap adegannya memberikan pelajaran tersendiri, baik secara tersirat maupun tersurat. AAC 2 ini memberikan banyak nasihat tanpa menggurui pembaca. Referensi-referensi yang diambil Kang Abik dari berbagai kitab juga menambah kayanya ilmu dalam novel ini. Selain itu banyak quote bertebaran :
“Menasihati orang lain itu mudah, tetapi mengamalkan pada diri sendiri tidak mudah.” (halaman 401)
“Islam mengajarkan kita untuk bersikap adil dan baik kepada siapa saja, apalagi tetangga.” (halaman 668)
Quote yang paling bikin sedih :
"… Dan kelak di akhirat nanti, jika engkau, juga ayah dan ibu, sudah masuk surga lalu kalian tidak menemukan aku, maka carilah aku. Carilah aku ke neraka, aku khawatir sekali kalau terpeleset ke sana. Lalu mintalah kepada Allah agar memasukkan aku ke dalam surga. Kalian jadilah saksi bahwa aku pernah shalat bersama kalian, pernah membaca Al-Qur'an, dan pernah menyebut nama Allah bersama kalian." (halaman 660)

v  Point of View (Sudut Pandang)
Ada yang cukup unik di novel AAC 2 ini. Jika di novel AAC 1 Kang Abik menggunakan sudut pandang orang pertama (“Aku”), di AAC 2 ini Kang Abik tidak menggunakan tokoh “Aku” sebagai sudut pandangnya, melainkan sudut pandang orang ketiga. Makin penasaran, kan? Hmm, kereeen pokoknya!

v  Cover
Covernya sangat cantik dan memikat, ada kitab yang terbuka dan setangkai bunga mawar di atasnya. Sangat menarik!

Dari semua kelebihan itu, tetap saja “TAK ADA KARYA YANG TAK RETAK”. Saya masih menjumpai beberapa kesalahan dan kekurangan dalam novel AAC 2.
*      Banyak typo, mungkin karena novel ini terlampau tebal jadi ada beberapa bagian yang luput dari sang editor, seperti sapaan ‘mas’, yang seharusnya ditulis menggunakan awalan huruf kapital ‘Mas’.
“Benar, mas. Dan terpaksa, saya kayaknya akan pulang tanpa membawa gelar Ph.D Ekonomi Islam di UK. Mau bagaimana lagi? Saya ini diktiers, mas.” (halaman 73)
*      Tidak konsisten dalam panggilan atau sapaan. Ada bagian dimana Sabina memanggil Fahri dengan sebutan Tuan Fahri (halaman 229), namun pada halaman 398, Sabina memanggil Fahri dengan sebutan Hoca, pada bagian akhir, Sabina kembali memanggil Fahri dengan Tuan Fahri.
*      Ending cerita mudah ditebak, karena clue-clue yang diberikan cukup kelihatan. Tapi, memang ada twist-twist yang tidak terduga. Hal ini yang membuat pembaca ketagihan untuk terus melanjutkan sampai ending.
*      Setting atau latar tempat yang ditampilkan dengan sangat detail sebaiknya juga dilengkapi dengan peta lokasi atau foto latar tempatnya seperti novel Negeri 5 Menara, jadi pembaca ada gambaran yang lebih jelas.
*      Novel ini teramat sangat tebal. Hehehe. Kadang merasa tidak nyaman saat membacanya.

Terlepas dari beberapa kekurangan tersebut, akhirnya, novel ini membuat saya semakin bersyukur menjadi seorang Muslim. Novel ini layaknya sebuah pengingat bagi saya, tertampar dengan pertanyaan untuk diri sendiri, “sudahkah saya berperilaku baik pada tetangga-tetangga saya?”. Novel ini juga menjadi motivasi untuk terus berjuang menjadi seorang muslim sejati, yang tidak menutupi cahaya keindahan Islam. Saya sangat kagum dnegan penuturan Kang Abik dalam novel ini. Banyak romantisme, perjuangan, dan konflik juga pelajaran sarat hikmah yang disajikan begitu luar biasa di dalam Ayat-Ayat Cinta 2. Barokallahu fiik Kang Abik…

Kabar baiknya, novel Ayat-Ayat Cinta 2 akan difilmkan. Karena itu, segera baca novelnya dan rengkuh sebanyak-banyaknya hikmah yang tersaji di dalamnya. Saya sudah membuktikan, novel ini adalah novel pembangun jiwa. Sekarang, giliran Anda!

Tuesday, March 15, 2016

[Resensi Buku] : DALAM DEKAPAN UKHUWAN (Salim A Fillah)

Tuesday, March 15, 2016 0 Comments

MENGASAH CAKRAWALA RASA DALAM DEKAPAN UKHUWAH
*Norma Keisya Avicenna

Judul Buku          : Dalam Dekapan Ukhuwah
Penulis                 : Salim A. Fillah
Penerbit               : Pro-U Media, Yogyakarta
Tahun Terbit        : 2010
Jumlah Halaman  : 472
ISBN                   : 979-1273-66-9

Alangkah syahdu menjadi kepompong; berkarya dalam diam, bertahan dalam kesempitan. Tetapi bila tiba waktu untuk jadi kupu-kupu, tak ada pilihan selain terbang menari; melantun kebaikan di antara bunga, menebar keindahan pada dunia. Dan angin pun memeluknya, dalam sejuk dan wangi surga.

Kalimat pembuka yang manis dan sarat makna. Rangkaian kalimat yang menyiratkan sebuah perjalanan hidup manusia, sebuah metamorfosis kehidupan.

Ustadz Salim mengawali bahasan dalam buku Dalam Dekapan Ukhuwah ini dengan prolog ‘Dua Telaga’. Prolog yang menggambarkan dua kisah sarat hikmah. Telaga pertama adalah air telaga yang wanginya semerbak melebihi wangi kasturi. Telaga yang rasanya lebih lembut dari susu, lebih manis dari madu, dan lebih sejuk dari salju. Di telaga itu, ada seorang lelaki yang kerap memberi minum mereka yang kehausan. Wajahnya selalu berseri dan selalu menanti kedatangan umatnya. Telaga dengan segala keistimewaannya itu adalah Al-Kautsar dan lelaki itu adalah Muhammad, namanya terpuji di langit dan bumi. Telaga yang kedua berkisah tentang Narcissus yang selalu bercermin di telaga untuk mengagumi pesona dirinya, mengagumi bayangannya. Narcissus menggambarkan sosok jiwa manusia yang hanya takjub pada dirinya sendiri.

Kisah dua telaga ini, mengajak pembaca untuk berhijrah dari kecintaan pada diri sendiri menjadi cinta sesama yang melahirkan peradaban cinta. Awal untuk memulainya adalah IMAN. Iman yang akan menjadi ukuran kualitas hubungan kita dengan sesama.

Ukhuwah disebut juga persaudaraan. Persaudaraan ini tidak dibangun atas dasar darah, nasab, dan keluarga, tetapi atas dasar keimanan dan ketaqwaan kepada Allah.

Dalam buku ini, Ustadz Salim memilah bahasan besar tentang ukhuwah menjadi beberapa bab dengan judul-judul yang sangat menggugah, yang menjelma menjadi bata demi bata yang akan menyusun menara cahaya. Dalam setiap bab itu masih dibagi lagi menjadi beberapa judul tulisan.

‘Ambil Cintamu di Langit, Tebarkan di Bumi’ menjadi judul di bab pertama. Bab ini menjelaskan tentang ukhuwah, kedudukan ukhuwah dalam Islam, serta pentingnya bekerja dan beramal karena keduanya adalah bentuk kesyukuran terindah.

Bab selanjutnya adalah Tanah Gersang’. Salah satu judul yang menarik dalam bab ini yaitu ‘Segalanya adalah Cermin’ (halaman 83). Kita akan belajar dari kisah Mu’awiyah dan ‘Uqail ibn Abi Thalib. Darinya kita belajar setiap saudara adalah tempat kita bercermin untuk melihat bayang-bayang kita. 

Bab berikutnya adalah  ‘Sebening Prasangka’. Prasangka adalah batu bata cahaya dalam membangun menara ukhuwah. Salah satu nikmat terbesar dalam dekapan ukhuwah adalah keberanian untuk menerima penilaian atau kritikan dari orang lain sebagai masukan yang sangat berharga. Itu sikap agung yang telah diambil oleh Az-Zubair (penjaga setia Sang Nabi), Thalhah, ‘Ali, Sa’d ibn Abi Waqqash, ‘Abdurrahman ibn ‘Auf, dan juga ‘Utsman ibn ‘Affan (halaman 215).

Bahasan selanjutnya, Selembut Nurani’. Kita bicara tentang ruh-ruh yang diakrabkan iman, bicara tentang cinta, tentang jiwa yang mendamba naungan Allah SWT dalam mencintai sesamanya.

‘Sehangat Semangat’, menjadi judul bab selanjutnya. Semangat menjadi modal untuk terus bergerak menuju kebaikan dan ber-fastabiqul khoirot. Seperti upaya-upaya ‘Umar untuk mengungguli Abu Bakar yang terus berlangsung dalam setiap kesempatan. Cinta di antara mereka telah saling menyengat dalam bentuk gelora untuk mempersembahkan yang terbaik bagi Allah dan Rasul-Nya.

Selanjutnya, kita akan semakin memahami indahnya persaudaraan yang Senikmat Berbagi’.  Berbagi bagaikan cinta yang dapat menawarkan luka.

Batu bata lain dalam menara cahaya ukhuwah ini adalah ikrar. Kita membangun menara ukhuwah dalam ‘Sekokoh Janji’.  Membangun rasa saling percaya adalah puncak tertinggi kualitas hubungan.

Bagian epilog, kita diberikan jamuan sebuah kondisi yang Gelap, Tapi Hangat’. Kita harus terus saling bercermin tanpa lelah hingga bisa saling memahami dan mencintai saudara kita.

Buku ini membuat kita lebih banyak merenung, lebih banyak menangis, dan gelisah karena kita belum bisa menjadi saudara yang terbaik, belum bisa memahami urgensi ukhuwah yang sebenarnya. Ustadz Salim mengemas semuanya dengan bahasa yang akrab dan indah. Kombinasi kisah-kisah para sahabat, ditambah pula dengan penelitian dari buku-buku seperti ‘Winning With People’ (John C. Maxwell), ‘Every Word Has Power’ (Yvonne Oswald) dan sebagainya, semakin memperkaya bahasan dalam buku ini. Selain itu, hampir di setiap pergantian judul baru, juga diselingi puisi yang mampu membuat diri ini menutup buku sejenak lalu berpikir dan merenung.

Saya sangat kesulitan dalam mencari letak kekurangan buku ini. Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliya berkata, “Temukan tujuh puluh dalih untuk menganggap benar perilaku saudara yang tampak keliru di matamu. Dan jika setelah tujuh puluh alasan terasa tak masuk akal juga, maka katakan pada dirimu: ’Saudaraku ini punya ‘udzur yang tak kutahu.’” Memang, ‘tak ada karya yang tak retak’. Ada satu hal yang menjadi kekurangan. Ustadz Salim dan buku Dalam Dekapan Ukhuwah ini telah membuat pembacanya tidak tenang; setiap kali pembaca membuka halaman pertama, akan muncul rasa penasaran untuk segera membaca halaman-halaman berikutnya hingga akhir.

Buku yang dapat mengasah ‘cakrawala rasa’ ini, sangat saya rekomendasikan untuk dibaca dan dikoleksi bagi siapapun yang berharap dan menginginkan kebaikan ukhuwah dalam cinta-Nya. Buku ini juga sangat layak dibaca oleh para pejuang dakwah, para remaja dan para orang tua yang ingin selalu menggelorakan semangat untuk berlomba-lomba menyemai hikmah, memelihara ukhuwah, memetik barokah, menjadi pribadi yang merindu dan dirindu Jannah.

*Resensi ini mendapatkan JUARA 1 dalam Lomba Resensi yang diselenggarakan oleh Perpustakaan Nuruh Huda UNS







Tuesday, January 18, 2011

Mawar-Mawar Padang Pasir

Tuesday, January 18, 2011 0 Comments

Judul Asli : Masyahir an-Nisa’ al-Muslimat
Penyusun : Ali bin Nayif Asy-Syuhud
Penerbit naskah berbahasa Arab : www.Saaid.Net disetujui oleh Wizarah al-I’lam (Departemen Penerangan)
Penerjemah : Irwan Raihan
Judul Terjemahan : Kisah Shahabiyah; Mawar-Mawar Padang Pasir
Penerbit : Afra Publishing
Terbit : April 2009
Tebal : 280 halaman
Harga : Rp 55.000,-
***
Buku ini menceritakan kisah muslimah terkemuka sepanjang sejarah Islam. Di dalamnya terkandung kisah menakjubkan dari kehidupan mereka yang patut dijadikan teladan oleh setiap wanita beriman. Buku ini mengurai 62 kisah shahabiyah yang luar biasa, di antaranya:
1.Sang Ibunda (Hawa’)
2.Ibu Ananda yang Hendak Disembelih (Hajar)
3.Wanita yang Berhijrah (Sarah)
4.Perempuan yang Bertawakal (Ibu Musa as.)
5.Istri yang Ahli Firasat dan Pemalu (Istri Musa as.)
6.Permaisuri yang Beriman (Asiyah binti Muzahim)
7.Masyithah
8.Istri yang Memiliki Komitmen (Istri Ayyub as.)
9.Sang Ratu (bilqis)
10.Ibu yang Masih Gadis (Maryam)
11.Penghulu Wanita Qquraisy (Khadijah binti Khuwailid)
12.Wanita yang Behijrah, Janda dari Pria yang Berhijrah (Saudah binti Zam’ah)
13.Ummul Mukminin yang Tercinta (Aisyah binti Abu Bakar)
14.Pemegang Rahasia Rasulullah saw. (Hafshah binti Umar)
15.Ibunda Orang Miskin (Zainab binti Khuzaimah)
16.Teman yang Cerdas dan Konsultan Handal (Ummu Salamah)
17.Wanita Mulia (Zainab binti Jahsy)
18.Sang Pembebas Seratus Budak (Juwairiyah binti Harits)
19.Cucu Para Nabi (Shafiyyah binti Huyayy)
20.Ummul Mukminin yang Bertakwa (Ummu Habibah Ramlah binti Abu Sufyan)
21.Wanita yang Bercita-Cita (Maimunah binti Harits)
22.Ummu Ibrahim dari Mesir (Mariyah Al-Qibthiyyah)
23.Sang Pemilik Kalung (Zainab binti Rasulullah saw.)
24.Wanita yang Berhijrah Dua Kali (Ruqayyah binti Rasulullah saw.)
25.Yang Kedua dari Dua Cahaya (Ummu Kultsum binti Rasulullah saw.)
26.Bunga yang Harum (Fathimah az-Zahra’ binti Rasulullah saw.)
27.Ibu Susuan (Halimah as-Sa’diyyah)
28.Bibi Rasulullah (Shafiyyah binti Abdul Muththalib)
29.Sang Penolong (Arwa binti Abdul Muththalib)
30.Sang Pelindung (Ummu Hani’)
31.Ibunda Keimanan (Fathimah binti Asad)
32.Ibunda al-Habib saw. (Ummu Aiman)
33.Syahidah Pertama dalam Islam (Sumayyah binti Khayyath)
34.Wanita dari Kalangan Bidadari Bermata Jelita (Ummu Ruman, Istri Abu Bakar)
35.Sang Pemilik Dua Sabuk (Asma’ binti Abu Bakar)
36.Adinda Al-Faruq (Fathimah binti Khathab)
37.Tentara Wanita, Ibunda Seluruh Tentara Islam (Nusaibah binti Ka’ab)
38.Wanita yang Sabar, Maharnya adalah Islam (Ummu Sulaim binti Milhan)
39.Penjelajah Samudera (Ummu Haram binti Milhan)
40.Orator Wanita (Asma’ binti Yazid)
41.Sang Pemilik Kemah (Ummu Ma’bad)
42.Wanita yang Benar dan Dibenarkan (Ummu Dzarr)
43.Gadis yang Berhijrah (Ummu Kultsum binti Uqbah)
44.Pemilik Warisan (Ummu Kujjah)
45.Wanita yang Berkurban (Laila binti Abu Hatsmah)
46.Syahidah yang Masih Hidup (Ummu Waraqah)
47.Sang Pemilik Kebun (Atikah binti Zaid)
48.Wanita Dermawan Putri Sang Dermawan (Safanah binti Hatim Ath-Tha’i)
49.Wanita Penyair Ibunda Syuhada (Al-Khansa’)
50.Perempuan di Bawah Naungan (Hindun binti Utbah)
51.Sang Pembunuh Tujuh Orang (Ummu Hakim)
52.Perempuan Penghuni Surga (Ummu Zufar)
53.Saudara Perempuan Nabi saw. (Syaima’)
54.Wanita yang Menjaga Kehormatan Dirinya (Musaikah at-Taibah)
55.Dokter dan Terapis Wanita (asy-Syifa’ binti Abdullah)
56.Pemberi Nasihat (Hujaimah binti Huyyay, Ummu Darda’)
57.Wanita yang Teguh Hati (Nailah binti Farafishah)
58.Pemilik kafan (Hafshah binti Sirin)
59.Wanita yang Baik (Ummu Amarah binti Sufyan)
60.Wanita Ahli Ibadah (Rabi’ah al-Adawiyyah)
61.Nafisah si Pemilik Ilmu (Nafisah binti Hasan)
62.Ahli Al-Quran (Zubaidah, Istri ar-Rasyid)
Penjabaran kisah dalam buku ini sangat runtut meski ada beberapa kata yang kurang bisa dipahami, karena memang buku ini adalah buku terjemahan. Terlepas dari kekurangannya tersebut, buku ini layak untuk dibaca para muslimah pada khususnya sehingga bisa menjadi inspirasi dalam kehidupannya mengingat pada era globalisasi seperti sekarang ini, banyak dari kaum muslimah yang cenderung memfigurkan tokoh-tokoh yang malah jauh dari nilai Islam. Sehingga sangat disayangkan jika para muslimah malah melupakan sejarah dan kurang meneladani wanita-wanita luar biasa (baca : shahabiyah) yang beberapa kisahnya terangkum dalam buku ini.


Selamat membaca!
REDZone, 18 Januari 2011_04:26
Aisya Avicenna

Friday, December 24, 2010

Dalam Mihrab Cinta

Friday, December 24, 2010 2 Comments


Stasiun Pekalongan. Itulah permulaan setting dari film ini. Berlanjut diarahkan ke dalam kereta yang akan menuju Kediri, dan kisah itu pun dimulai. Di dalam kereta itu, duduklah seorang muslimah cantik berjilbab ungu yang sedang menangis. Selang berapa lama, masuklah sosok pemuda berambut gondrong sebahu. Pemuda gondrong itu mencocokkan tiket dan tempat duduknya di kereta itu, dan ternyata ia duduk bersebelahan dengan muslimah itu.

Kehadiran pemuda gondrong itu mengejutkan sang muslimah. Buru-buru pemuda itu mengatakan kalau ia adalah orang baik-baik, kebetulan ia duduk di situ dan ia menawarkan kepada sang muslimah untuk memilih duduk di dekat jendela atau tetap di tempatnya sekarang. Muslimah cantik itu akhirnya bergeser. Sang pemuda meletakkan tasnya di bagasi atas kemudian ia duduk di samping sang muslimah.

Saat kereta masih melaju, pemuda gondrong itu berpindah tempat di bangku sebelah yang sudah kosong karena penumpangnya sudah turun. Baru beberapa saat memejamkan mata, pemuda gondrong itu melihat seorang bapak yang hendak mengambil tas milik sang muslimah. Si pemuda gondrong langsung menghardik sang pencuri. Muslimah berjilbab ungu itu terbangun. Tambah kaget ketika sebilah pisau terarah padanya.
Ya, pencuri itu mengancam akan menusuknya kalau pemuda gondrong itu berbuat macam-macam.

Terjadi perkelahian. Telapak tangan sang pemuda sempat terkena pisau. Berdarah. Pencuri berhasil kabur. Muslimah itu segera membebat tangan pemuda gondrong yang terluka dengan sapu tangannya. Pemuda gondrong itu bercerita kalau ia akan nyantri di Pesantren Al-Furqon, Kediri yang ternyata pesantren tersebut adalah milik ayah sang muslimah berjilbab ungu. Subhanallah...

Sampailah mereka di Stasiun Kediri. Di pintu keluar, mereka saling menyebutkan nama. Pemuda gobdrong itu bernama Syamsul Hadi (Dude Herlino) dan sang muslimah berjilbab itu bernama Zidna Ilma atau Zizi (Meyda Sefira). Zizi pulang ke Kediri karena mendapat kabar kalau ayahnya meninggal dunia.

Kehidupan pesantren sangat dinikmati oleh Syamsul, sampai akhirnya ia dituduh sebagai pencuri oleh sahabatnya sendiri, Burhan (Boy Hamzah). Waktu itu, Syamsul dan Burhan hendak makan bersama, tapi dompet Burhan ketinggalan di kamarnya dan ia meminta Syamsul untuk mengambilnya. Syamsul akhirnya mengambil dompet Burhan di dalam almari, saat itu ternyata teman-teman pesantren yang bertugas sebagai bagian keamanan tengah berjaga di dalam kamar Burhan. Syamsul dituduh mencuri. Ia diarak, dipukuli, dan dimasukkan ke dalam gudang. Hilangnya beberapa uang di pesantren memang menimbulkan keresahan, sehingga saat Syamsul ketahuan membuka almari Burhan dan mengambil dompetnya, anggapan mereka Syamsul-lah pencuri yang tengah dicari selama ini.

Saat dimintai menjadi saksi, ternyata Burhan mangkir kalau dialah yang menyuruh Syamsul mengambil dompetnya. Syamsul bersumpah bahwa dia bukan pencurinya. Burhan juga bersumpah bahwa apa yang dikatakannya barusan adalah benar. Padahal maksud Burhan, yang dikatakannya barusan adalah : “Penjahat pasti akan melakukan segala cara untuk menutupi kejahatannya.” (kalau yang sudah baca novelnya, pasti ngeh saat adegan ini).

Digundhuli. Itulah hukuman yang dijatuhkan pada Syamsul. Tak hanya itu, Syamsul didepak dari pesantren. Ayahnya (El Manik) datang menjemput. Marah-marah. Sampai di rumah, Syamsul masih dihujani kemarahan oleh sang ayah dan kakak-kakaknya. Hanya ibu (Ninik L. Karim) dan adik perempuannya, Nadia (Tsania Marwah) yang membela.

“Ya Allah, kalau keluarga sendiri sudah tidak percaya... Apa gunanya hidup?” Begitulah kira-kira doa Syamsul dalam keterpurukannya. Keesokan harinya Nadia menemukan sepucuk surat yang ditinggalkan Syamsul. Syamsul pergi dari rumah. Ibundanya syok. Tetapi, sang ayah membiarkannya.
Syamsul pun sampai di kota Semarang. Ia makan di pinggir jalan.. Pada adegan inilah lagu berikut terlantun manis...

Terhempas aku dalam fitnah
Yang mendera jiwa dan mencebik sukma
Tetapi ku tak tentu arah
Hingga sebekas menguntum langgaku
Dalam mihrab cinta ku regup firman-Nya
Terangi jalanku ku sujud pada-Nya
Dalam mihrab cinta prahara dan asa
Putus duka lara ku pasrah pada-Nya
Ku berdiam dendam yang membara
Ku pasrahkan semua pada yang kuasa
Ku yakin tiada satu jua hentikan kuasa-Nya
Untuk mengubah segalanya
Dalam mihrab cinta ku regup firman-Nya
Terangi jalanku ku sujud pada-Nya
Dalam mihrab cinta prahara dan asa
Putus duka lara ku pasrah pada-Nya
(Rino – Prahara dan Asa)


Uang di dompet Syamsul tinggal beberapa ribu rupiah. Akhirnya, ia nekat mencopet di dalam bus. Ketahuan. Ia dikejar-kejar penumpang dan beberapa orang yang berada di sekitar lokasi. Syamsul dihajar dan diserahkan ke kantor polisi. Ia menginap di hotel prodeo. Wajahnya menghias koran lokal. Dan sampai jua di Pekalongan. Keluarganya membaca koran tersebut. Sang ayah merutukinya. Ibunda dan Nadia masih belum percaya, karena nama pencuri yang disebut dalam koran itu bukan Syamsul, tapi Burhan.
Di hotel prodeo itulah, Syamsul mendapatkan ‘petuah bijak’ dari dua orang yang katanya ‘pencopet handal’. Salah satu dari mereka berkata, “Kalau mau jadi pencopet itu mentalnya harus kuat. Terus, jangan mencopet lebih dari dua kali pada hari yang sama.” Hihi, lucu banget waktu bagian ini... Dalam mencopet juga ada ‘rumus’nya ternyata.

Nadia menjenguk Syamsul di penjara. Nadia masih tak percaya kalau kakaknya benar-benar menjadi pencopet sekarang. Syamsul menjelaskan pada Nadia kalau hal itu dilakukannya karena terpaksa. Atas permintaan Syamsul, akhirnya Syamsul dibebaskan Nadia. Syamsul akhirnya menghirup udara kebebasannya. Saat tengah asyik berjalan bersama Nadia, tiba-tiba Syamsul berlari dan naik ke sebuah angkot, meninggalkan Nadia. Nadia menangis dan terduduk di pinggir jalan. Dari pintu angkot, Syamsul sempat berteriak menyuruh Nadia pulang saja.

Patung selamat datang... Ternyata Syamsul merantau ke Jakarta.. Pada adegan ini, lagunya Afgan terlantun...

Demi cinta ku pergi
Tinggalkanmu relakanmu
Untuk cinta tak pernah
Ku sesali saat ini
Ku alami ku lewati
Suatu saat ku kan kembali
Sungguh sebelum aku mati
Dalam mihrab cinta ku berdoa semoga

Suatu hari kau kan mengerti
Siapa yang paling mencintai
Dalam mihrab cinta ku berdoa pada-Nya

Karena cinta ku ikhlaskan
Segalanya kepada-Nya
Untuk cinta tak pernah
Ku sesali saat ini
Ku alami ku lewati

Suatu saat ku kan kembali
Sungguh sebelum aku mati
Dalam mihrab cinta ku berdoa semoga

Suatu hari kau kan mengerti
Siapa yang paling mencintai
Dalam mihrab cinta ku berdoa padaNya
(Afgan – Dalam Mihrab Cinta)


Di ibukota, Syamsul tinggal di sebuah kontrakan kecil. Ia mencoba melamar pekerjaan, tapi gagal dan gagal lagi. Akhirnya, terpaksa ia mencopet. Uniknya, Syamsul mencatat identitas dan jumlah uang yang dicopetnya pada sebuah buku khusus. Sampai akhirnya, ia juga menemukan foto gadis yang dicopetnya (Silvy – Asmirandah) bersama Burhan (teman pesantren yang memfitnahnya). Mengetahui hal itu, Syamsul pun memiliki niat untuk “membongkar” rahasia Burhan pada Silvy.

Bermodal KTP Silvy, dengan mengenakan sepeda motor yang dipinjamnya, Syamsul menuju perumahan elite. Saat mau memasuki lokasi perumahan, Syamsul diduga sebagai ustadz (guru ngajinya Della) oleh satpam yang menjaga. Ya, karena waktu itu Syamsul memang mengenakan peci putih dan sangat santun.
Seharusnya, Syamsul akan ke rumah Silvy. Tapi ia memilih untuk mengunjungi rumah si kecil Della. Tak disangka, Syamsul diterima sebagai guru ngajinya Della. Tambah terkejut lagi, ternyata Silvy adalah guru privat Matematikanya Della.

Sampai di sini, aku senyum-senyum sendiri. Yang satu jago matematika, yang satu jago ngaji... Hihihi... (dasar Thicko! –sensor-)

Silvy akhirnya tahu siapa Burhan sebenarnya. Ia menolak lamaran Burhan. Burhan ternyata sudah dikeluarkan dari pesantren karena ternyata ia adalah seorang pencuri dan dengan keji memfitnah Syamsul.
Syamsul bertaubat. Ia sungguh-sungguh berdoa pada Allah agar mengampuninya. Kehidupan Syamsul berubah. Ia menjadi ustadz yang cukup terpandang. Hasil copetannya ia pulangkan kepada pada pemiliknya via pos. Tak lupa ia juga membelikan jilbab buat ibu dan Nadia. Pada Silvy, Syamsul akhirnya mengaku kalau dialah yang mencuri dompetnya. Silvy menangis saat mengetahuinya, tapi ibunya (Elma Theana) tetap menyukai Syamsul dan mengharapkan Syamsul bisa menjadi menantunya.

Syamsul menjadi ustadz yang cukup dikenal. Ia masuk TV, keluarganya melihatnya. Bahagia... bersyukur...Akhirnya, sang ibu dan adiknya menemui Syamsul ke Jakarta. Zizi dan kakaknya (pimpinan pesantren) juga turut serta. Saat itulah keluarga Silvy juga datang. Pada waktu Zizi hendak pulang, tasnya ketinggalan di rumah Syamsul, saat itulah Zizi mendengar penuturan Ayah dan ibu Silvy yang berniat menjadikan Syamsul sebagai menantunya. Zizi patah hati...

Syamsul akhirnya akan menikah dengan Silvy. Beberapa hari sebelum hari bahagia itu datang, Allah berkehendak lain. Silvy mengalami kecelakaan. Ia meninggal. Syamsul sangat syok. Ayah Silvy (Izur Muchtar) sempat meminta Syamsul menikahi jasadnya. Oh...

Syamsul  kembali ke Pekalongan. Ia masih belum bisa melupakan Silvy. Suatu hari Zizi datang dan membawakan oleh-oleh dari Kediri. Zizi turut prihatin dengan kondisi Syamsul. Beberapa hari kemudian, kakak Zizi datang untuk menyampaikan maaf sekaligus mengundang Syamsul untuk datang ke pesantren di Kediri, selain itu juga meminta Syamsul bersedia menikah dengan Zizi.
Akhirnya, Syamsul datang ke Kediri. Saat itu, Syamsul bilang.. “Saya datang ke sini dengan dua misi...” Hihi, aku geli juga mendengar penuturan Syamsul. Ya, misi pertama adalah silaturahim ke ‘mantan’ pesantren yang sempat mengeluarkannya. Dan misi kedua adalah untuk melamar Zizi...

Happy Ending deh...

Film ini memang diadaptasi dari novel “Dalam Mihrab Cinta” karya Habiburahman El-Shirazy (Kang Abik). Ada yang berbeda dengan film ini dibanding film-film sebelumnya yang juga diadaptasi dari novel Kang Abik (Ayat-ayat Cinta, Ketika Cinta Bertasbih 1 dan 2). Pada film ini, tokoh utama (Syamsul Hadi), tidak tercermin sebagai tokoh yang ‘sempurna’ (seperti Fahri dan Azzam). Film yang juga disutradarai Kang Abik ini menampilkan kisah yang begitu bagus dan memang mencerminkan realitas sosial di sekeliling kita. Nasihat yang ada dalam film ini juga menyentuh sekali.

Beberapa hikmah yang bisa didapat dari film ini :
1. Tetap berkata jujur apapun keadaan kita. Meski kita difitnah, yakinlah bahwa Allah Maha Tahu segalanya. “Becik ketitik olo ketoro”. Setiap perbuatan pasti ada konsekuensinya.
2. Apa yang kita dapatkan adalah implikasi dari apa yang telah kita berikan. Jika kita memberikan ‘kebaikan’, maka ‘kebaikan’ pulalah yang kita dapatkan.
3. Saat kita sudah sukses, jangan melupakan orang-orang yang berada di balik kesuksesan kita, terlebih keluarga kita.
4. Tak hanya saat melakukan kesalahan, sebaiknya kita senantiasa memohon ampunan pada Allah Swt. Karena bisa jadi saat kita menilai perbuatan kita sudah baik (dalam pandangan kita), ternyata perbuatan itu tidak ada nilainya di hadapan Allah. Istighfar, itulah salah satu obat hati.
5. Tentang jodoh, memang belum tentu seseorang yang ‘baru akan’ menikah dengan kita, itu benar-benar jodoh yang dipilihkan Allah. Jodoh itu misterius, hadirnya tak terduga. Semua sudah diatur-Nya sedemikian rupa. Tidak akan datang terlambat atau terlampau cepat, jodoh kita akan datang pada saat yang tepat!
6. “Karena sebaik-baik rencana, tetap rencana-Nya yang terbaik”. Begitulah kata Syamsul Hadi dalam film itu. So, selalu positive thinking yuk pada Allah...
7. Dll.... Bagi yang sudah nonton, silakan ditambahkan sendiri... ^^v

NB : Buat saudari-saudariku yang rebutan tissu saat menonton ini, jangan lupa kisah kita hari itu ya...Semoga kita bisa mengambil hikmah dari film ini (Kalibata, 24 Desember 2010)

Tak pernah terlintas di benakku
Saat pertama kita bertemu
Sesuatu yang indah
Tumbuh dalam gundah
Harum dan merekah
Tulus hatimu membuka mataku
Tegar jiwamu hapus raguku
Membuncah di hati
Harapan yang suci
Menyatukan janji
Bunga-bunga cinta indah bersemi
Di antara harap pinta pada-Nya
Tuhan tautkanlah cinta di hati
Berpadu indah
Dalam mihrab cinta...
(Asmirandah dan Dude Herlino – Bunga-Bunga Cinta)


Aisya Avicenna

Monday, October 25, 2010

Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin

Monday, October 25, 2010 1 Comments

Pukul 02.00 dini hari aku kembali terjaga saat “For The Rest of My Life”-nya Maher Zain terlantun dari ‘mesin ketik mini’ kesayanganku. Ah, tertanya netbook itu lupa dimatikan oleh seseorang. Seseorang yang waktu aku terbangun tadi, dia masih terlelap. Pulas. “Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin”-nya Tere Liye masih terpegang di kedua tanganku. Tapi kini posisinya sudah telungkup. Ternyata aku ketiduran saat tengah membacanya semalam. Membaca sambil tidur, bukan kebiasaanku memang, tapi jangan ditiru!
Teringat petualangan kemarin. Pukul 09.00 aku menjemput seseorang di stasiun Jatinegara. Setelah itu, dia kuajak ke kost kemudian kami berdua bertandang ke Masjid Amir Hamzah, Taman Ismail Marzuki. Pertemuan dengan rekan-rekan FLP Jakarta memang selalu berbuah kesan. Termasuk pertemuannya kali ini, untuk pertama kalinya pula! Setelah dari situ, kami menyempatkan diri untuk makan siang. Baru setelah cukup energi, kami melanjutkan perjalanan ke Gramedia Matraman. Inilah program bulananku : BBG (Baca Buku Gratis). Dia kubiarkan berkeliling mencari buku pilihannya. Oh ya, "dia" adalah saudari kembarku. Kini, kami tengah dipertemukan-Nya dalam sebuah perjalanan hidup yang kelak entah akan membawa kami ke kisah yang seperti apa. Hanya Allah yang Maha Tahu kelanjutan dari kisah yang tengah kami lakoni ini.
Aku bergerilya dari satu rak ke rak lainnya untuk mencari sebuah buku yang tepat untuk kubaca siang itu. Penasaran dengan sinopsis yang tertulis di halaman permulaannya, terambillah sebuah novel baru karya Tere Liye. Judulnya "Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin”. Berikut rentetan tulisan yang kumaksud di atas :

Dia bagai malaikat bagi keluarga kami. Merengkuh aku, adikku, dan Ibu dari kehidupan jalanan yang miskin dan nestapa. Memberikan makan, tempat berteduh, sekolah dan janji masa depan yang lebih baik.
Dia sungguh bagai malaikat bagi keluarga kami, Memberikan kasih sayang, perhatian dan teladan tanpa mengharap budi sekalipun. Dan lihatlah aku membalas itu semua dengan membiarkan mekar perasaan ini.

Ibu benar, tak layak aku mencintai malaikat keluarga kami. Tak pantas. Maafkan aku, Ibu. Perasaan kagum, terpesona, atau entahlah itu muncul tak tertahankan bahkan sejak rambutku masih dikepang dua.

Sekarang, ketika aku tahu dia boleh jadi tidak pernah menganggapku lebih dari seorang adik yang tidak tahu diri, biarlah.. Biarlah aku luruh ke bumi seperti sehelai daun dan yang tidak pernah membenci angin meski harus terenggut dari tangkai pohonnya.
***

Aku penasaran. Tertarik, lantas mengambil novel yang sudah terbebas dari plastik pembungkusnya. Aku menuju ke tempat baca, ternyata kursi baca sudah ditempati semua. Tersisalah sebuah dinding kaca di dekat kursi baca itu. Punggung ini kusandarkan pada dinding, kemudian bab pertama novel bersampul hijau itu aku buka.
Saat sedang khusyuk membaca, ada pengumuman dari operator,
"Kepada segenap pengunjung yang berada di areal buku, diharapkan untuk tidak duduk di lantai"
Beberapa pengunjung yang duduk di lantai langsung berdiri. Aku yang tengah bersandar di dinding kaca (jadi inget lagu masa kecil : thicko.. thicko di dinding... hehehe, salah ding!) dan masih asyik dengan novel itu mendadak terusik dengan gerak-gerik seseorang yang berada 1 meter sebelah kiriku. Awalnya dia duduk di lantai, setelah ada peringatan itu, dia memang beralih posisi. Dari duduk menjadi JONGKOK! Dia jongkok dan kembali fokus membaca. Cuek! Ahihihi... jadi tertawa dalam hati.
Menjelang pukul tiga sore, novel setebal 256 halaman itu belum jua kubaca sampai setengahnya! Lha baca novelnya sambil YM-an sih! Kebetulan waktu asyik baca, ada YM yang masuk, dari seseorang yang baru saja membuka blogku. Seorang akhwat. Namanya Kartika. Mirip namaku. Biasa dipanggil Twika. Serasa buku-buku yang terbujur kaku di rak-rak itu menjadi saksi terkoneksinya kami. Ukhti Twika ternyata lolos ujian tertulis CPNS Kementerian Perdagangan RI. Beliau diskusi denganku terkait pengalamanku saat psikotes dan wawancara. Jadinya ya baca buku sambil YM-an deh. Alhamdulillah, lewat blog, aku jadi punya banyak saudara baru.
Berhubung ada urusan yang harus kami selesaikan, aku pun mengembalikan novel yang diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama itu ke singgasananya semula. "Suatu saat aku ke Gramedia Matraman lagi saja, merampungkan novel ini. Toh, hampir tiap bulan aku ke sini", batinku. Akhirnya, aku membeli "Bidadari-Bidadari Surga"-nya Tere Liye. Saudari kembarku membeli sebuah buku juga. Setelah kami turun ke lantai 1, sempat aku membeli beberapa peralatan kantor yang aku butuhkan. Saat itulah ada yang berkecamuk dalam hatiku, PENASARAN! Ya, aku masih penasaran dengan kelanjutan kisah Tania dalam novel yang tadi belum selesai kubaca. Setelah bayar di kasir, aku bergegas ke lantai 3, tempat novel itu. Akhirnya, "Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin" resmi menjadi penghuni baru di Al-Firdaus, perpustakaan pribadiku. Menjadi rencanaku, bahwa aku ingin mengoleksi semua novelnya Tere Liye. Aku masih penasaran dengan penulisnya juga. Sampai detik ini belum ada kesempatan untuk bertemu!

Pulang dari Gramedia Matraman, saat sang mentari hampir sampai di tempat peraduannya, kami masih mencari rental komputer yang bisa mencetak warna. Hasilnya NIHIL!

Selang beberapa saat kemudian...
"Ada mbak..." sebuah SMS balasan dari seorang adik mahasiswi STIS saat kutanya apakah di kostnya ada yang punya printer warna dan malam ini bisa digunakan. Sehabis Maghrib, aku dan saudari kembarku langsung meluncur ke kostnya. Subhanallah, sambutan yang luar biasa dari adik-adik STIS karena mereka 'terkejut' dengan kehadiran duplikatku. Hmm... heboh! ^^v
Misi supertwin sukses!
Menjelang tidur, ada rasa penasaran yang masih belum terjawab. Akhirnya aku membaca novel Tere Liye yang sempat 'terpending' sore tadi. Ternyata, malah tertidur saat tengah membacanya. Alhamdulillah, novel itu selesai setelah sahur keesokan harinya!
***

Novel itu berkisah tentang sepasang kakak beradik yang sehari-harinya bekerja sebagai pengamen jalanan, Tania dan Dede. Suatu hari, saat sedang mengamen di sebuah bus, mereka bertemu dengan seseorang yang kemudian menjadi malaikat dalam kehidupan mereka. Dia menolong Tania yang kakinya tertusuk paku payung. Seterusnya, dialah penopang kehidupan Tania, Dede dan ibunya. Pertemuan dengan seseorang itu juga mengajarkan Tania sebuah perasaan baru. Tania yang saat itu berusia 11 tahun tanpa sadar sudah berkenalan dengan rasa cemburu saat seseorang itu mengenalkannya dengan Ratna.
Hari-hari setelah kehadiran seseorang itu merupakan sebuah awal baru dalam kehidupan Tania. Dia dan adiknya bisa bersekolah kembali, mereka bisa tinggal di tempat tinggal yang lebih layak, dan ibunya bisa memulai usaha yang dulu diidam-idamkannya. Sayangnya kebahagiaan itu terganti dengan duka. Dua tahun berselang, ibu Tania meninggal dunia. Ada sebuah pesan ibu Tania yang sekaligus menjadi janji yang terpatri dalam diri Tania. Janji apakah itu???
Setelah 'resmi' menyandang status sebagai yatim piatu, Tania dan Dede kembali diselamatkan oleh seseorang yang menjelma menjadi malaikat bagi mereka.
Seseorang itu ternyata penulis, penyuka warna biru, dan pengunjung setia sebuah toko buku. Sosok yang misterius. Aku sangat suka dengan karakter misterius seperti seseorang dalam novel ini. Keren!!
Waktu terus berjalan. Tania yang cerdas berhasil mendapat beasiswa untuk bersekolah di Singapura. Kok bisa? Lantas, bagaimana dengan nasib Dede dan seseorang itu? Apa ia jadi menikahi Ratna? Bagaimana akhir kisah cinta Tania? Apa ia berani berkata jujur bahwa ia mencintai seseorang bak malaikat itu? Ada rahasia terpendam yang akhirnya terungkap. Rahasia apakah itu???
Untuk urusan bercerita, Tere Liye memang tak perlu diragukan lagi. Dilihat dari segi sudut pandang, penokohan, alur, setting, ahhh... pokoknya jadi tak mau berhenti membaca kelanjutan dari setiap bab. Rasa penasaran mendera untuk segera meloncat ke bab berikutnya. Secara keseluruhan, novel ini cukup menarik untuk dibaca. Sayang, rasa penasaran itu masih saja menggelayut sampai akhir kata dalam novel ini. Tere Liye masih menyisakan pertanyaan di akhir novel seharga Rp 32.000,00 tersebut.

Apa ya kalimat yang dibisikkan seseorang itudi telinga Tania di akhir cerita itu?


***
Beberapa baris tulisan yang mengesankan bagi saya.

“Tania, kehidupan harus berlanjut. Ketika kau kehilangan semangat, ingatlah kata-kataku dulu. Kehidupan ini seperti daun yang jatuh... Biarkanlah angin yang menerbangkannya...” (70)
“Dalam urusan perasaan, di mana-mana orang jauh lebih pandai ‘menulis’ dan ‘bercerita’ dibandingkan saat ‘praktik’ di lapangan. (174)
“Daun yang jatuh tak pernah membenci angin. Bahwa hidup harus menerima... penerimaan yang indah. Bahwa hidup harus mengerti... pengertian yang benar. Bahwa hidup harus memahami... pemahaman yang tulus. Tak peduli lewat apa penerimaan, pengertian, dan pemahaman itu datang. Tak masalah meski lewat kejadian yang sedih dan menyakitkan. Tak ada yang perlu disesali. Tak ada yang perlu ditakuti. Biarkan dia jatuh sebagaimana mestinya. Biarkan angin merengkuhnya, membawanya pergi entah ke mana. Dan kami akan mengerti, kami akan memahami... dan kami akan menerima” (197)
“Lebih baik menunggu. Kau tidak ingin terjebak oleh kebaikan itu sendiri. Ada banyak kebaikan yang justru berbalik menikam, menyakitkan pemberinya.” (213)
“Pria selalu punya ruang tersembunyi di hatinya. Tak ada yang tahu, bahkan percayakah kau, ruang sekecil itu jauh lebih absurd daripada seorang wanita terabsurd sekalipun.” (213)
“Dia memandang lamat-lamat sepotong kehidupan itu. Menjahitnya. Membuat pakaian masa depan yang rapuh dari semua masa lalu yang getas" (221).
“Orang yang memendam perasaan sering kali terjebak oleh hatinya sendiri. Sibuk merangkai semua kejadian di sekitarnya untuk membenarkan hatinya berharap. Sibuk menghubungkan banyak hal agar hatinya senang menimbun mimpi. Sehingga suatu ketika dia tidak tahu lagi mana simpul yang nyata dan mana simpul yang dusta" (227)

***
Novel ini memang betul-betul akan mengaduk perasaan. Terharu dan bisa memecah benteng pertahanan air mata kita! Sama sekali tidak ada rasa kecewa saat berhasil menyelesaikan novel ini dalam waktu yang tak lama. Novel yang menyuguhkan sebuah kisah cinta yang sederhana, dibalut dengan gaya tulisan yang sangat indah, serta jalan cerita yang tak mudah ditebak. Tentang cinta, kepedulian, optimisme, dan kasih sayang pada sesama.

Kalau ingin menyelami kisah "CINTA DALAM DIAM", belilah novel ini! Kemudian, bacalah! Kalau tak mau membeli, pinjam ke aku juga boleh! ^^v

Selamat membaca dan terinspirasi karena novel ini!

Jakarta, 251010_15:57
Aisya Avicenna