Jejak Karya

Jejak Karya

Tuesday, September 18, 2012

GENERASI RABBANI LAHIR DARI BIBIT YANG UNGGUL

Tuesday, September 18, 2012 0 Comments



Bismillahirrohmannirrohiim....

Berdiskusi dengannya sangat mengasyikan dan ia pun memberikanku artikel berikut: 

selamat membaca ^_^


--------------

Generasi Rabbani adalah generasi manusia yang beriman kepada Allah, Rasulullah Shallahu 'Alaihi Wasallam, menjadikan al Qur’an dan al Hadist sebagi rujukan hidupnya dalam segala aspek kehidupan. Kemudian generasi ini diteladani oleh generasi berikutnya (Tabi’ien), kemudian dicontoh lagi oleh generasi berikutnya lagi (Tabi’ut tabi’en). Rasulullah Shallahu 'Alaihi Wasallam menyebutnya sebagai generasi manusia terbaik

 “Sebaik-baik qurun (abad atau generasi) adalah generasi aku (generasi beliau dan sahabat-sahabatnya), kemudian generasi setelah mereka, kemudian generasi sesudah mereka. (HR.Bukhari)

Wahai muslimah, tentu anda dan saya pasti ingin mempunyai anak-anak yang Rabbani, yang sholih sholihah , yang menjunjung tinggi nilai-nilai alquran dan hadits, anak yang berbalut akhlak alquran, sebagaimana akhlaknya Rasulallah. Ketika Aisyah ditanya mengenai akhlak Rasulallah, beliau menjawab akhlak beliau (Rasulullah) adalah Alquran.” (HR Abu Dawud dan Muslim). 

Namun tidaklah mudah untuk mendidik anak-anak kita menjadi berkepribadian Rabbani apalagi di akhir zaman seperti ini. Generasi Rabbani, lahir dari rahim seorang wanita yang sholihah, yang juga memegang teguh Alquran, dan juga terbentuk dari jenis sperma yang berkualitas dari seorang laki-laki sholih yang sangat kuat ketaatannya kepada Allah. Karena itu mari kita belajar dari kisah Rasulallah dan Khodijah sehingga lahirlah wanita yang paling di kasihi Allah, dia adalah Fathimah Az Zahra, dia menjadi wanita teladan sepanjang masa karena keshalihannya dan kecerdasannya.

Fathimah Az Zahra adalah seorang anak dari dua manusia agung yang tidak kita ragukan lagi kesholihannya. Karena itu memilih pasangan (suami/isteri) dengan bibit yang unggul kesholihanya sangatlah berpengaruh akan hadirnya generasi Rabbani. Bahkan tidak hanya sebatas sholih akan tetapi pilih lah pasangan (suami) yang benar-benar terjaga dari memakan harta yang haram, dan syubhat. Karena sperma yang dibuahi di rahim yang akan menjadi janin berkembang dari darah yang dihasilkan dari proses pencernaan makanan. Jadi, sangatlah berbeda sperma yang merupakan hasil dari memakan daging babi, dan meminum minuman keras dengan sperma yang memakan daging sapi, unta, kurma,madu dan jenis makanan yang halal dan membuat ketenangan saraf serta jiwa.

Allah berfirman: dan makanlah makanan yang halal lagi baik (thayib) dari apa yang telah dirizkikan kepadamu dan bertaqwalah kepada Allah dan kamu beriman kepada-Nya”  (terjemah Qur'an Surah Al Maidah: 88)

Dari ayat di atas dapat di simpulkan bahwasanya tidak hanya cukup halal, akan tetapi thoyyib (baik), karena makanan yang halal belum tentu thoyyib. Misalnya: daging kambing adalah makanan yang halal, akan tetapi jika daging ini didapatkan dari hasil rampasan atau mencuri tentunya akan merusak manusia. Jadi makanan yang dimakan oleh orang tua (ibu dan ayah) sangat berpengaruh besar pada masa depan anak kita.

Mari kita simak kisah Rasulallah ketika menerima perintah Allah untuk menjauhi Khodijah selama 40 hari. 
Ketika itu Jibril turun dan berkata kepada Rasulallah: Hai Muhammad, Yang Maha Tinggi mengirimkan salam Nya untukmu dan memerintahkan dirimu untuk menahan diri dari Khodijah selama 40 hari. Sungguh kita mengetahui perasaan Rasulallah yang sangat mencintai Khadijah, pasti sukar untuk melakukan hal itu, tetapi karena demi ketaatannya kepada Allah, Rasulallah melewati 40 hari dengan puasa dan shalat malam. Sementara Khodijah Ridho dengan ketetapan Allah. Inilah ciri-ciri wanita sholihah, ia ridho dan mendukung suami nya selagi dalam ketaatan. Selama 40 hari di tinggal oleh suaminya Khodijah sangat menjaga kesuciannya, ketika malam datang dia mengunci pintu dan menghabiskan malamnya  dengan mendirikan shalat. Pada akhir hari ke 40, Jibril turun dan berkata kepada Rasulallah: Wahai  Muhammad Yang Maha Tinggi mengirimkan salam untuk mu dan memerintahkanmu bersiap untuk penghormatan dan hadiahNya. Pada saat itu Jibril turun membawa pinggan dan berkata: Hai Muhammad, Tuhanmu memerintahkan untuk membatalkan puasamu dengan makanan ini. Lalu beliau membuka pinggan nya dan menemukan setandan kurma dan seikat anggur, beliau makan dan minum secukupnya. Setelah itu Rasulallah bersiap diri untuk melaksanakan shalat, lalu Jibril berkata: sholat terlarang bagimu hingga engkau pergi ke rumah Khodijah dan berhubungan denganya karena Allah hendak menciptakan keturunan mulia darimu malam ini. Maka di malam itupun Rasulallah menyalurkan spermanya di rahim Khodijah. Sperma yang berkualitas  dihasilkan dari makanan langit (Surga), dan terlahir dari sperma itu seorang Fathimah Az Zahra.

Dari kisah ini, dapat kita simpulkan Allah memerintahkan Rasulallah agar menjauhi Khodijah agar kerinduan dan hasrat beliau pada khodijah meningkat, Rasulallah lebih banyak ibadah dan berdoa agar mendapat kesucian lebih tinggi , karena itu pengaruh makanan dan suasana kejiwaan orang tua selama berseggama berpengaruh besar pada perilaku sang anak kelak. Dan hasrat yang tulus, akhlak dan kesabaran orang tua berpengaruh pada penampilan  serta kecerdasan anak.

Generasi Rabbani,lahir dari bibit yang unggul, dari rahim seorang muslimah yang mencintai Allah, KekasihNya dan alquran, tidak harus mencari pasangan yang hafizh atau hafidzah. Yang penting sesorang itu sangat mencintai Alquran, punya komitmen bersama alquran, lisannya, akhlaknya, jiwanya terpelihara oleh alquran, belum ada jaminan hafizh/hafizah sudah melekat alqurannya sampai mendarah daging. Ya Allah kami berlindung dari hafalan alquran yang hanya sebatas kerongkongan padahal kami membaca kitab MU…Semoga semakin banyak generasi Rabbani yang terlahir. Aamiin……
 ------------

 Tulisan oleh :  Annisa_insan dhoif

[dari blog mbakku cinta, Purnama Madinah]

Saturday, September 15, 2012

Menggagas Fiqh Kepenulisan : Uji Nyali Penulis Fiksi ?

Saturday, September 15, 2012 0 Comments

Menggagas Fiqh Kepenulisan: 
Uji Nyali Penulis Fiksi?[1]
oleh: Hatta Syamsuddin, Lc[2]


Mukaddimah : Antara Lisan dan Tulisan
Islam sebagai syariat yang komprehensif tidak pernah memisahkan antara ‘produk’ lisan dan tulisan.  Ketika kita terbiasa dengan bahasan ‘menjaga lisan’ dalam kajian hadits maupun akhlak, maka pada saat yang sama kita juga dituntut untuk ‘menjaga tulisan’ kita. Adapun mengapa banyak riwayat yang ada masih berkutat tentang penjagaan lisan saja, itu semata karena tulis menulis belum menjadi ketrampilan umum setiap orang dan belum menjadi budaya yang mengakar pada waktu itu. Hal lain yang menyebabkan komunikasi lisan begitu mendominasi pada saat itu adalah : minimnya sarana untuk tulis menulis, serta masih banyaknya kaum yang buta huruf.

Namun dunia kini berubah, sarana komunikasi bukan lagi lisan semata tapi juga tulisan, gambar, video dan lain sebagainya. Seiring dengan perkembangan zaman maka komunikasi dengan tulisan pun mulai menunjukkan taringnya. Jika dahulu hanya sebatas artikel di Koran dan majalah, maka saat ini kita dapati tulisan menjadi media komunikasin andalan, baik bersifat umum seperti situs,blog,  maupun yang bersifat khusus seperti sms, chat, BBM, dan yang semacamnya. Maka hari ini kita menjadi saksi, setiap detik berapa kalimat yang telah tertuliskan baik melalui papan ketik laptop, maupun keyboard Qwerty dalam perangkat genggam. 

Pada kondisi saat ini, jika ada yang bertanya bagaimana seharusnya adab dan etika kita dalam menulis, maka menganalogikannya dengan adab-adab lisan adalah hal yang sudah semestinya.  Hal-hal yang jika kita ucapkan adalah salah, maka dengan qiyas aula jika dituliskan tentu akan lebih salah lagi. Mengapa qiyas aula dan mengapa lebih salah ?  Mudah saja menjawabnya, jika kesalahan lisan maka hanya mereka yang mendengar saja yang terganggu atau terpengaruhi. Namun jika kesalahan itu dituliskan dan tersebar, maka sangat mungkin mempengaruhi banyak orang yang lainnya. Pada sisi ini, sungguh kita tidak mengharapkan royalty sama sekali bukan ? 

Maka mari kita renungi sejenak bahwa perintah syariat  dalam  penjagaan atas lisan –dan pada saat yang sama tulisan-  bukan sesuatu yang main-main. Jangankan satu buku, satu lembar, satu halaman atau rangkaian beberapa kalimat, bahkan satu kata pun akan diminta dipertanggung jawabkan. Rasulullah SAW bersabda :
إِنَّ الرَّجُلَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ سُخْطِ اللهِ ، لاَ يَرَى بِهَا بَأْسًا ، فَيَهْوِي بِهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ سَبْعِينَ خَرِيفًا.
 “Sesungguhnya seorang hamba berbicara dengan satu kalimat yang dibenci oleh Allah yang dia tidak merenungi (akibatnya), maka dia terjatuh dalam neraka Jahannam.” (HR Bukhori)
Hadits di atas begitu meyakinkan kita untuk menjaga setiap kata yang terucap, dan juga setiap kalimat yang tertuang dalam karya-karya kita. Karenanya, upaya memunculkan kembali  ‘fiqh penulisan’ bukan lagi sebuah pengingatan kepada kita, tetapi pada hakikatnya adalah ‘penyelamatan’ bagi kita semua sebagai komunitas yang setiap saat siap merangkai kata dan berkarya.

Apa & Bagaimana Semangat Fiqh Kepenulisan ?
Sungguh teramat jarang literatur klasik yang menulis secara khusus tentang adab menulis atau bahasa tegasnya “ fiqh kepenulisan”. Yang tercatat cukup awal adalah kitab “ adabul katib” yang ditulis oleh Abu Muhammad  Abdullah bin Muslim Ibnu Qutaibah ad-dainuri (213-276 H). Sayangnya, kitab tersebut pun tidak membahas etika penulisan, namun lebih banyak mengungkap kaidah-kaidah bahasa dalam penulisan yang baik.  Pada saat ini pun, ketika disebut tentang ‘adab menulis’ dihadapan mesin pencari Google misalnya, maka yang segera muncul biasanya adalah metode-metode dan tips kepenulisan, baik menulis ilmiah, cerpen, dan yang semacamnya. Ada satu dua yang menuliskan tentang adab penulis kaitannya dengan fiqh atau aturan syariat, namun biasanya hanya berupa point-point sederhana yang laa yuth’imu walaa yughni min juu’.  

Karenanya, untuk menggambarkan sebuah fiqh penulisan saya memilih untuk mengikuti kaidah umum dalam dakwah, - mengingat motivasi dan semangat menulis kita adalah karena dakwah – yaitu Firman Allah SWT :
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik “ (QS An-Nahl : 125)
Dari ayat di atas, setidaknya dalam sebuah aktifitas dakwah kepenulisan kita membutuhkan dua hal yang harus saling menunjang, yaitu kejelasan konten ( al-hikmah) dan ketepatan sarana dan metodenya (al-mauidhoh hasanah). Dari sisi inilah kita akan mengembangkan fiqh kepenulisan, yaitu menjaga kualitas syar’I sebuah tulisan sisi konten dan penyampaian atau penggunaan bahasanya.

 Adapun sisi kejelasan konten perlu kita lihat dari beberapa sisi :
a)    Apakah yang kita tulis sudah selaras dengan ajaran syariat Islam yang wasatiyah, tawazun dan komprehensif? sehingga tidak membuat masalah resah dan memecah belat umat.
b)    Apakah yang kita tulis cukup mempunyai dalil argumentasi yang syar’I atau tidak ?  Atau setidaknya mempunyai periwayatan yang baik ? Sebaimana kita sudah diperingatkan oleh Rasulullah saw, beliau  menjelaskannya dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra beliau bersabda :
إنّ الرّجل ليتكلّم بلكلمة مايتبيّن فيها يزلّ بها في الناّرأبعدمابين المشرق والمغرب
Seseorang berbicara dengan suatu kalimat tanpa disertai kejelasan (bukti) oleh karena ucapannya itu, maka ia akan dijatuhkan ke dalam neraka yang jaraknya lebih jauh dari jarak timur dan barat. " (HR Muslim)

Adapun dari sisi menjaga kualitas sarana atau penyampaian, maka sebuah tulisan hendaknya menjaga beberapa kriteria syar’I sebagai berikut :
a)    Menggunakan bahasa yang Indah dan membekas. Firman Allah SWT : “dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka.” (QS An-Nisa :63)
b)    Menggunakan bahasa yang mudah dan  praktis , Firman Allah SWT : “maka katakanlah kepada mereka ucapan yang mudah .” (QS Al-Isra 28)
c)    Menggunakan bahasa yang Lembut. Firman Allah SWT : “maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut".(QS Thoha 44)
d)    Menggunakan bahasa dengan tepat waktu dan  sasaran.  Imam Ali mengatakan : “ bicaralah kepada orang-orang dengan apa yang mereka pahami, apakah engkau ingin mereka mendustakan Allah dan rasul-Nya ? (HR Bukhori)
Disamping karena dua hal di atas, tingkat kualitas syar’I sebuah tulisan juga dilihat dari cara pandang penulisnya. Ini masalah niat, visi dan misi dalam menggores pena.

Visi & Misi Menulis
Mari sedikit bicara tentang hati dan niat, sesuatu yang membuat karya kita akan menjadi besar dalam timbangan akhirat kita. Namun juga bisa berarti sebaliknya, yaitu kerja-kerja berat kita misalnya menulis siang dan malam tanpa henti, akan menjadi tanpa makna dengan niatan yang salah dan menyimpang. Kita semua sepakat, bahwa niat berawal dari kebersihan hati dan cara pandang yang benar. Niatan menulis sebagai sarana untuk mendekatkan derajat kita kepada Allah dengan mendapatkan ridhonya tentulah bukan hal yang bisa ditawar-tawar lagi.  Mari merenungi ungkapan Rasulullah SAW : “Sesungguhnya seorang hamba berbicara dengan satu kalimat dari apa yang diridhai Allah yang dia tidak menganggapnya (bernilai) ternyata Allah mengangkat derajatnya karenanya.” (HR. Al-Bukhari)

Setelah manata niatan mendapatkan ridho Allah SWT, semestinya kita bisa menyusun visi kepenulisan yang memotivasi sekaligus sesuai dengan aturan syariah. Diantara visi kita dalam menulis, setidaknya terwakili dalam tiga hal berikut :
1.    Nasyrul Fikrah wa Dakwah, yaitu menyebarkan fikroh Islam dan berdakwah kepada masyarakat secara umum.
2.    Tanmiyatul Kafaah wa tarbiyah dzatiyah: yaitu sebagai sarana mengasah dan mengembangkan potensi diri, selain itu dengan menulis juga menjadi kontrol bagi seseorang dalam sikap dan perilaku.
3.    Kasbul Maisyah wa Syabakah : yaitu mendapatkan penghasilan dan jaringan, keduanya sungguh saling berhubungan satu sama lain.

Setelah visi kepenulisan kita telah terasah dengan baik, saatnya mengkaji misi kita dalam penulis. Apa yang kita tulis dengan semangat dakwah, semestinya tidak lepas dari beberapa fungsi berikut ini.
1. Fungsi Bayan / Penjelas ( Hukum atau suatu masalah dalam Islam)
Ini memang tergolong serius dan berat. Yaitu menulis seputar tema-tema kajian Islam dan pernik-perniknya. Tulisan jenis ini tentu saja melibatkan dalil, pendapat ulama, dan juga argumen yang perlu hati-hati dan teliti dalam menuliskannya. Tentu tidak semua penulis muslim harus menuliskan tema berat semacam ini. Semua mengambil bagian sesuai dengan kapasitasnya masing-masing.

2. Fungsi Tausiyah dan Motivasi beramal
Sudah menjadi karakter orang yang sukses dalam surat Al-Ashr adalah membudayakan saling menasehati dalam kebenaran dan kesabaran. Ini berarti saling memotivasi untuk beramal shalih sekaligus menghilangkan kesedihan. Begitu pula dalam berkarya, bisa berfungsi  khusus sebagai sarana tausiyah, bertukar dan berbagi nasehat-nasehat kebaikan. Tidak harus bingung mencari dalil, karena setiap kebaikan mempunyai dalil fitrahnya dalam hati masing-masing dari kita. Meskipun tentu saja, bukan berarti dalil tidak penting dalam fungsi ini.

3. Fungsi Pelurus Anggapan salah / wacana yang salah di masyarakat
Yaitu meluruskan hal-hal yang telah mewacana dan mendarah daging dalam masyarakat. Dari mulai mitos, hingga budaya yang tidak selaras dengan ajaran kemuliaan Islam. Ini adalah kategori tulisan yang benar-benar 'membumi'. Tidak bicara terlalu berlebihan tentang gagasan-gagasan idealis, yang bisa saja dilihat sebagai mimpi oleh sebagian lain yang membaca tulisan kita.

4. Fungsi Pengarah Alternatif Islami ( Ta'shiil)
Yaitu memberikan alternatif Islami dalam banyak hal kehidupan masyarakat. Kita tidak sekedar menyalahkan atau meluruskan, tetapi juga memberikan solusi Islami yang benar dan teruji. Misalnya ketika membahas gaya hidup (life style), kita bisa menghadirkan bagaimana Islam mempunyai banyak variasi dalam 'menikmati' hidup, bukan sekedar agama 'akhirat' saja tetapi juga agama kebahagiaan dunia. Bagaimana kita memberikan 'rambu-rambu' penjaga dalam banyak aktifitas modern agar tidak bertentangan dengan Islam.

5. Fungsi Informasi, Inspirasi & Ibroh
Yaitu memberikan informasi baik berita, peristiwa, kisah dan pengalaman hidup untuk memotivasi dan menginspirasi pembaca blog kita. Kita harus meyakini, bahwa setiap kejadian pastilah menyimpan beragam hikmah, dan setiap hikmah harus kita ambil sebagai charger optimisme dalam menyambut masa depan.
Mungkin sebagian kita mengernyitkan dahi dan mulai bertanya-tanya ; bagaimana dengan penulisan Fiksi ? apakah mampu mengusung misi dan fungsi dakwah di atas ? Sebelum bicara lebih lanjut tentang penulisan fiksi dan dakwah, lebih baik kita sedikit mengulang bahasan tentang pandangan syar’I dalam masalah penulisan fiksi. 

Hukum Menulis Cerita Fiksi
Cerita fiksi adalah cerita rekaan dan khayalan yang bisa diambil dari kejadian, pengalaman sehari-hari, maupun berdasarkan tokoh dan peristiwa sejarah yang ada.Para Ulama berbeda pendapat dalam menentukan hukum penulisan cerita Fiksi. Dalam khasanah fikih tentu saja ini menjadi aroma yang biasa, namun dalam prakteknya tentu saja kita harus memilih salah satu.
Yang memfatwakan pengharaman penulisan cerita fiksi, diantaranya adalah Syeikh Sholih bin Fauzan, Lannah Daimah Saudi yang dipimpin oleh Syeikh Abdullah bin Baz.
1.    Cerita fiksi adalah bentuk kedustaan (bohong), sementara  Rasulullah bersabda : “Celaka bagi orang-orang yang berbicara(mengabarkan) sedangkan dia dusta (dalam pembicaraannya) supaya suatu kaum tertawa maka celakalah bagi dia, celakalah bagi dia.”(HR Hakim & Tirmidzi).
2.    Cerita fiksi tidak dapat dijadikan wasilah dakwah karena sifatnya yang tidak ada contohnya pada masa Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wa salam.
3.    Cerita fiksi hanya membuang-buang waktu dan melalaikan dari Al-Qur’an dan As-Sunnah serta kisah-kisah nyata lainnya, sementara kaum muslimin diminta untuk menjaga waktunya.

Sebagian ulama lain berfatwa tentang kebolehan penulisan kisah fiksi, tentunya dengan syarat dan ketentuan tertentu.  Mereka yang membolehkan diantaranya  Syeikh Ibnu Jibrin, Ibnu Utsaimin, Sholih Showy dan Syeikh Muhammad Mazrul.  Beberapa hujjah yang diajukan mereka yang membolehkan antara lain :
1.    Bahwa dalam cerita tersebut tidak ada yang disebut kedustaan, karena pembaca pun mengetahui jika hal tersebut tidak terjadi. Maka lebih tepat disebut dengan pengandaian atau perumpamaan, yang bahkan juga menjadi metode al-Quran dalam menjelaskan sesuatu. Diantaranya Allah SWT berfirman :
وَضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا رَجُلَيْنِ أَحَدُهُمَا أَبْكَمُ لَا يَقْدِرُ عَلَى شَيْءٍ وَهُوَ كَلٌّ عَلَى مَوْلَاهُ أَيْنَمَا يُوَجِّهْهُ لَا يَأْتِ بِخَيْرٍ هَلْ يَسْتَوِي هُوَ وَمَنْ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَهُوَ عَلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
Dan Allah membuat (pula) perumpamaan: dua orang lelaki yang seorang bisu, tidak dapat berbuat sesuatu pun dan dia menjadi beban atas penanggungnya, ke mana saja dia disuruh oleh penanggungnya itu, dia tidak dapat mendatangkan suatu kebajikan pun. Samakah orang itu dengan orang yang menyuruh berbuat keadilan, dan dia berada pula di atas jalan yang lurus? (QS An-Nahl : 76)

2.    Sebuah riwayat dari Rasulullah SAW, beliau bersabda :  “Sampaikanlah cerita-cerita yang berasal dari Bani Israil dan itu tidaklah mengapa” (HR Ahmad, Abu Daud dll). Dalam Mushannaf Ibnu Abi Syaibah terdapat tambahan, “Karena sesungguhnya dalam cerita-cerita Bani Israil terkandung cerita-cerita yang menarik”. Tambahan Ibnu Abi Syaibah ini dinilai sahih oleh Al Albani. Mereka mengatakan bahwa hadits ini menunjukkan bolehnya mendengarkan cerita-cerita Bani Israil yang menarik sekedar untuk hiburan, bukan untuk berdalil. Dengan kata lain, hanya untuk menghilangkan kegundahan hati, bukan untuk berdalil dan beramal dengan isi kandungannya.
Hadits di atas dijadikan dalil oleh sebagian ulama untuk menunjukkan bolehnya mendengarkan cerita-cerita yang unik dan menarik dengan tujuan hiburan dengan syarat cerita tersebut tidak diketahui secara pasti kebohongannya. Sedangkan jika cerita tersebut sudah diketahui secara pasti kebohongannya maka boleh diceritakan dengan syarat maksud dari membawakan cerita tersebut untuk membuat permisalan, sebagai nasihat dan menanamkan sifat berani baik tokoh dalam cerita tersebut manusia ataupun hewan asalkan semua orang yang membacanya pasti faham bahwa cerita tersebut hanya sekedar imajinasi atau karangan semata. Inilah pendapat Ibnu Hajar al Haitaimi, seorang ulama bermazhab syafii

3.    Para ulama (terdahulu) membolehkan kisah-kisah fiktif yang ada dalam buku Maqamat karya Badiuz Zaman al Hamdzani dan al Maqamat karya al Hariri dan buku-buku sejenis, dan tidak ada dari mereka menentang dan mengkritisi karya tersebut.

Realita Penulisan Fiksi dan Dakwah : Uji Nyali ?
Status mubah atau bolehnya penulisan fiksi nampaknya bisa menjadi celah yang baik sekaligus jebakan yang berbahaya. Terlampau berlebihan dalam hal mubah pun akan menjadikan sensitifitas waro’ seorang muslim berkurang. Karenanya, pembolehan tersebut harus ‘ditunggangi’ dengan misi dan kepentingan yang jelas, yang dalam hal ini adalah penyebaran  dakwah dan motivasi kebaikan.

Jadi misi ini harus melekat kuat bagi mereka yang menekuni fiksi Islami, yaitu tidak lah membuat sebuah kisah atau perumpaan, kecuali mentargetkan ibroh dan pelajaran yang jelas di dalamnya. Inilah rahasia pengungkapan kisah-kisah dalam Al-Quran, sebagaimana disebutkan dalam surat Yusuf, Allah ta’ala berfirman :
لَقَدْ كَانَ فِي قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لأُوْلِي اْلأَلْبَابِ مَاكَانَ حَدِيثًا يُفْتَرَى وَلَكِن تَصْدِيقَ الَّذِي بَيْنَ يَدَيْهِ وَتَفصِيلَ كُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً لِّقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ
Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al Quran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman. ( QS Yusuf : 111.)

Dari misi inilah setiap penulis Fiksi harus menguji nyalinya, karena bisa jadi ia menuliskan hal yang ‘terlampau’ fiktif dan imajinatif, mendalami hal-hal yang justru tidak bisa dijadikan perumpamaan yang mudah untuh diterima, atau menuliskan hal-hal tanpa target pembelajaran dan dakwah yang jelas, atau menuliskan hal-hal yang justru mengundang kontroversi dan kebingungan, maka pada saat itu niatan awal menulis Fiksi sebagai sebuah alternatif dakwah layak untuk kembali dipertanyakan. Wallahu a’lam bisshowab.



[1]Makalah disampaikan dalam acara Upgrading Nasional Forum Lingkar Pena di Kaliurang Jogjakarta, 5 Februari 2011
[2]Pengajar Mahad Abu Bakar UMS, blogger indonesioptimis.com

Friday, September 14, 2012

EPISODE PELANGI MANTU: “KALA CINTA TERLABUHKAN”

Friday, September 14, 2012 0 Comments
by Norma Keisya Avicenna on Sunday, September 9, 2012 at 10:52pm ·

Senin Ngangenin di bulan September lembar ke-10.
Ada agenda istimewa apa hari ini?
Jadi, pagi ini saya harus izin kuliah dan saya harus menemani "kakak Pelangi" saya dalam prosesi yang luar biasa dahsyat dan istimewa. Menemaninya saat "laki-laki asing" itu berikrar suci untuk menjadi sang nahkoda dalam biduk rumah tangga di samudera kehidupan berbenderakan sakinah, mawaddah, warohmah untuk selamanya. Hm, "MITSAQON GHALIZA". Do'akan semoga semuanya lancar... #Indah, mudah, full barokah... :)
"EPISODE PELANGI MANTU"
[status FB pagi ini]

Berangkatlah saya pagi ini dengan mengenakan gamis coklat kesayangan yang khusus saya pakai untuk agenda-agenda walimahan Pelangi (Hihi. Biar kesan episode “sunnah bersejarah nan indah” dengan gamis ituh selalu melekat di hati. Awawaw… Walaupun kalau pas sesi foto kesannya, kok bajunya itu-itu terus. Hahaha… whatepperlah…yang penting khusus Pelangi!)

Eits, ada cerita seru. Alhamdulillah, Kak Dodoy –kakak saya yang cakep ituh- akhirnya bersedia mengantarkan saya ke Songgorunggi, Nguter, Sukoharjo (tempat ijab qabul dan resepsi pernikahan mbak Avisa Guritna –Mbak Anik Pelangi-). Meski harus pake rayuan ala Cenung dan akhirnya setelah pasang muka paling memelas dengan mengungkit-ungkit kejahilan dia waktu membajak FB saya dengan kalimat “Mendadak gaLau nih…”, ugh akhirnya tu kakak mau juga jadi tukang ojek saya! Horeee… (Cuman nganterin doing sih, ntar pulangnya ya pulang sendiri. Maklumlah! Hihihi)

Setelah menempuh perjalanan yang cukup ngawu-awu sekali, akhirnya sampailah saya di lokasi acara. Setelah turun dari vega merah dengan sangat elegan dan cium tangan kakanda tercinta, saya pun melangkahkan kaki dengan sangat mantap memasuki sebuah istana yang sudah banyak hiasan janur kuningnya. Hm, kemungkinan besar anak-anak Pelangi pada datang pas resepsi siang nanti jam 13.00, beberapa juga ada yang izin nggak bisa datang. Yasudah deh… HUMAS tetap harus menjalankan amanahnya! Hehe. Eh, ketemu Mas Cowie dan kita berdua pun nongkrong di rumah tetangganya Mbak Anik yang dijadikan tempat rias calon pengantinnya. Ada sekitar 10 meter dari tempat resepsi. Jalan dulu melewati pinggir jalan raya…

Ketemu sama Mbak Anik yang benar-benar cantik dan bikin pangling. Cipika-cipiki dan iseng saya tanya bagaimana perasaannya. Hihi. Mbak Anik-nya cuman tersenyum, “Sudah kehabisan kata-kata untuk mengungkapkan semua rasa…” (Mungkin kalimat inilah yang mampu saya terjemahkan dari senyumannya. Hehe)

Prosesi ijab qabul mundur sekitar setengah jam dari jadwal semula yang seharusnya jam 09.00. Pak penghulunya baru datang sekitar jam 09.30. Setelah dapat kode dari pihak keluarga, kedua calon pengantin yang waktu itu memakai kostum putih nan elegan bersiap. Mbak Anik memanggil saya, beliau meminta saya menggandeng tangannya menuju lokasi ijab qabul. Toeeeng… Berjalanlah iring-iringan itu. Mbak Anik dan saya di baris terdepan, saya pegang erat tangan beliau yang mulai berkeringat dingin. Di belakang kami, rombongan pengiring dari pihak keluarga serta calon pengantin pria serta yang mendampinginya.

Waktu jalan itu, Mbak Anik sempat berbisik ke saya, “Nung, aku pengin nangis…”. Saya coba menenangkan beliau, “Tenang Mbak. Banyakin do’a dan dzikir. Yakin, Insya Allah semuanya lancar.”

Memasuki lokasi “sakral” itu, berasa kayak rame paparazzi. Hihi. Gubrak! Waduh, bener-bener deh… Kamera membidik dari berbagai penjuru. Lha otomatis saya jadi salting sendiri. Wkwkwk. Cenung… Cenung! (mbayangin apa jadinya kalau ada Ayu’ dan Cmut? Apalagi Mbak Santi dan Mbak Ummi. Hadeeeuh… *tepokjidat!)

Pak penghulu dan rombongan serta para saksi pun berdiri kemudian mempersilahkan kedua calon mempelai untuk menempatkan diri di posisi masing-masing. Mendadak saya jadi “speechless” saat pak penghulu menyuruh saya duduk tepat di sebelah kiri Mbak Anik. Subhanallah… Satu meja dengan dua orang saksi, pak penghulu, ayah dan ibu mbak Anik, pendamping calon pengantin pria dan kedua pasangan calon pengantin. Ya Rabb, setiap detik rasanya berlalu penuh berkah… Semoga!

Setelah pak penghulu mengucap basmalah dan serangkaian prosesi pra akad nikah (checking administrasi, checking mas kawin, dsb), kemudian beliau mengajak seluruh yang menjadi saksi mata episode istimewa itu untuk membaca Al-Fatihah bersama-sama, dilanjutkan istighfar 3x dan syahadat. Kemudian ayah Mbak Anik mengucapkan syahadat dan artinya, calon mempelai pria juga mengucapkan syahadat dan artinya demikian juga dengan calon mempelai wanita. Ada getaran bergemuruh mahadahsyat di hati ini. Alhamdulillah, ada tissue di tas saya dan saya berikan ke Mbak Anik yang saat itu sudah tidak mampu lagi membendung kristal bening yang sudah memberontak untuk menciptakan jejak di kulit pipinya. Sesekali saya genggam tangannya, isyarat untuk menguatkan dan mengokohkan hatinya. Sebentar lagi… ya sebentar lagi… (Saya jadi terkenang dengan prosesi akad nikah saudari kembar saya. Saat itupun saya duduk pas di kiri dia. Seketika air mata tumpah saat Kak Febri melantunkan hafalan Ar-Rahman yang saat itu menjadi mahar terindah dari beliau untuk saudari kembar saya… dan mereka pun SAH menyandang amanah sebagai suami dan isteri. TOBI, mumumu…)

Setelah khotbah nikah singkat yang disampaikan oleh pak penghulu, ayah Mbak Anik pun menggenggam erat tangan Mas Saiful (calon suami Mbak Anik). Ada kesalahan pengucapan di kata “mas kawin” dan akhirnya diulang lagi… pengulangan yang kedua langsung dijawab dengan suara yang bergetar oleh Mas Saiful. Tapi saksi meminta untuk diulangi karena pengucapan “anak Anik…” dirasa kurang pas. Kemudian “kertas contekan” ayahnya Mbak Anik pun ditambahi “…anak perempuan saya, Anik…dst…”. Saya benar-benar ikutan deg-degan. Hadeuh, yang nikah siapa yang deg-degan siapa. Toeeeng! Tidak berkedip mata saya saat menyaksikan ayah Mbak Anik mengucapkan lafal ijab itu lanjut kemudian Mas Saiful yang menjawab qabul-nya dengan sangat tegas dan mantab. Dan Alhamdulillah, SAH??? SAH!!! Barokallahulakumma wabaroka’alaikumma wajama’a bainakumma fii khoir… Alhamdulillah, Ya Rabb…

Seketika saya merasa banyak malaikat berada di sekitar kami. Menghujani kami dengan doa-doa terindah…untuk sebuah pernikahan yang barokah dalam menuju gerbang keluarga yang sakinah, mawaddah, warohmah… Saya pun berpelukan dengan Mbak Anik, “Selamat mengemban amanah yang baru ya mbak! Jadilah ISTRI SHALIHAH!” (Sambil mbatin dan berdoa, semoga amanah itu pun bisa segera saya sandang. Awawaw… ^_^ berlaku juga untuk para single bahagia di keluarga Pelangi. Hm, istri yang shalihah itu jika diperintah suaminya ia patuh, jika dipandang membuat suaminya merasa senang, jika suaminya bersumpah membuatnya merasa adil, jika suaminya pergi ia akan menjaga dirinya dan harta suaminya.) Yukz, semangat untuk terus mempersiapkan diri!

Subhanallah, inilah “MITSAQAN GHALIZA” euy…, perjanjian yang berat. Dari seluruh perjanjian antara Allah dengan manusia, hanya tiga yang disebut Allah sebagai “Mitsaqan Ghalizha.”

Pertama, perjanjian Allah dengan Bani Israil. “Dan kami angkat ke atas kepala mereka bukit Thursina untuk menerima perjanjian yang telah kami ambil dari mereka dan kami perintahkan kepada mereka: masukilah pintu gerbang itu sambil bersujud. Dan kami perintahkan pula kepada mereka: janganlah kamu melanggar peraturan mengenai hari Sabtu. Dan Kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang berat, mitsaqan ghalizha.” (QS. An-Nisa: 154). Apa yang terjadi ketika sebagian mereka melanggar perjanjian berat ini? Allah Swt berfirman: “Dan sesungguhnya telah kalian ketahui orang-orang yang melanggar diantaramu pada hari Sabtu. Lalu Kami berfirman kepada mereka: jadilah kamu kera yang terhina.” (QS. Al-Baqarah: 65)

Kedua, Allah Swt menyebut Mitsaqan Ghalizha ketika berbicara tentang perjanjian Dia dengan para utusan-nya yang mulia. Allah Swt membuat perjanjian bukan hanya dengan para Nabi as, tetapi secara khusus dengan Nabi-nabi besar yang dikenal sebagai Ulul Azmi. Dia bersabda, “Dan ingatlah ketika Kami mengambil perjanjian dari Nabi-nabi dan dari engkau sendiri, dari Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa putra Maryam, dan Kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang berat, Mitsaqan Ghalizha.” (QS. Al Ahzab: 7)

Ketiga, Allah Swt menyebut akad nikah antara dua orang anak manusia sebagai Mitsaqan Ghalizha. Allah Swt  menegur suami-suami yang berbuat zalim, yang merampas hak istrinya dengan berfirman, “Bagaimana kalian akan mengambilnya kembali, padahal kalian sudah berhubungan satu sama lain sebagai suami istri. Dan para istri kalian sudah melakukan dengan kalian perjanjian yang berat, Mitsaqan Ghalizha.” (QS. An-Nisa: 21)

Karena itu, akad nikah adalah sebuah perjanjian yang sama beratnya dengan perjanjian Bani Israil dengan bukit yang berada di atas kepala mereka, sama agungnya dengan perjanjian para Rasul di hadapan Allah SWT. Bila ada yang melanggar perjanjian itu, seperti Bani Israil, Allah Swt akan mengutuk menjadi kera yang hina dina. Bila mampu memikul perjanjian ini dengan tulus, Allah Swt pasti akan memuliakan dan membuat kedua pasangan halal itu dalam lingkungan para kekasihNya, sebagaimana Allah Swt memuliakan para Rasul as dan mencintai mereka.

“Dan di antara tanda-tanda keagungan Allah ialah Dia menciptakan untuk kalian dari jenis kalian juga pasangan-pasangan kamu supaya kamu hidup tentram bersamanya dan Tuhan menjadikan di antara kamu cinta dan kasih sayang. Sesungguhnya pada hal yang demikian itu ada tanda-tanda bagi orang-orang yang berpikir.” (QS. Ar-Rum: 21)

Hari ini menjadi hari yang sangat istimewa dan luar biasa dalam lembar catatan kehidupan seorang Keisya Avicenna. Banyak sekali ilmu dan hikmah yang bisa didapat. Segala Puji bagi Allah atas kala yang kaya rasa cinta.

Dan untuk semuanya  yang masih saja bertanya “KAPAN” kepada saya pasti akan saya jawab: Insya Allah, di masa yang TEPAT dan TERBAIK menurut-Nya... Ia takkan datang terlalu cepat hingga kita harus terburu-buru, tapi juga takkan terlalu lama hingga kita lelah menunggu. SIAPA YANG AKAN MENJADI PEMILIK TULANG RUSUK SAYA TIDAK AKAN TERTUKAR!" Allah knows BEST! :D”

Buat para jejaka thing-thing dan para single bahagia di Pelangi tak perlulah kita risau apalagi galau (jangan tiru-tiru papah kita yaa. haha): “Kalau telah kuat tekad  kita dan Allah Swt menganggap kita telah ‘pantas’,  mudah-mudahan Allah Swt menyegerakan terlaksananya pernikahan yang barakah dan dipenuhi ridha-Nya. Aamiiin... Karena MENIKAH itu IBADAH dan MENIKAH itu AMANAH! Maka, BERJUANGLAH!”

Menikah adalah pondasi awal membangun sebuah peradaban madani. Bagaimana dua potensi yang Allah Swt satukan untuk saling menguatkan satu sama lain. Jika belum sampai kepada peradaban madani, ya setidaknya, menikah merupakan salah satu sarana perbaikan diri. Saling mengingatkan. Karena dari pernikahan itu yang diinginkan adalah keberkahan dan Allah Swt kumpulkan dalam kebaikan.

Bagaimanapun, menikah berarti siap membangun sebuah peradaban. Karena sangat sempit rasanya jika sebuah pernikahan hanya dimaknai dengan menyatunya cinta, hal-hal romantis, dsb. Dan dalam membangun peradaban itu, pasti diperlukan pondasi yang kuat agar bangunannya tak goyah. Apa pondasi yang kuat itu? Tauhid. Di dalam Al-Quran banyak sekali tercantum kisah penanaman tauhid oleh seorang bapak kepada anaknya. Simaklah kisah Ibrahim. Simaklah kisah Yaqub. Simaklah kisah Luqman. Maka, ketika kita ingin peradaban yang akan kita bangun tak goyah, pondasi tauhid penyusunnya sungguh tak boleh sembarang. Ya, maka dari itu, perhatikan dengan siapa kita akan membangun pondasi itu. Maka, sungguh indah sang Nabi bersabda: “Pilihlah karena agamanya, maka kau akan bahagia.” Rupawan, kaya dan dari keturunan terpandang hanyalah pelengkap.

Hm… dan ketika masih dalam masa penantian, teruslah perbaiki diri agar “pantas” di mata Allah Swt dan bukan di mata makhluk-Nya. Senantiasa LURUSKAN NIAT!
“Dan jika menikah adalah menggenapi jiwa, semoga Allah Swt pertautkan jiwa-jiwa yang haus akan cinta-Nya untuk bertemu dalam ketaatan, bersetia dalam kebaikan, genap-menggenapkan: dua menjadi satu, satu menjadi lompatan tak berhingga…”

[Pesan ini disampaikan penuh cinta oleh Humas FLP Pelangi ^^b_dari berbagai sumber inspirasi]

Buat Mbak Avisa Guritna (Anik Setyowati) semoga menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah, warohmah dan segera dikaruniai momongan yang sholeh dan sholihah… Aamiin Yaa Rabbal’alamiin…

[Keisya Avicenna, 10 September 2012 *reportasesanghumas. Dan ingatlah jargon kita:  “PENULIS ADALAH MANTU IDAMAN SEPANJANG MASA” hihihi]

RESEP KUE ONGOL-ONGOL PANDAN

Friday, September 14, 2012 0 Comments

Bahan:
  1. 25 gram tepung kanji
  2. 50 ml air
  3. 125 ml air mendidih
  4. 125 gram gula pasir
  5. 275 gram tepung kanji
  6. 375 ml air suji pandan
  7. 2 tetes pasta pandan
  8. Bahan yang dicampur jadi satu dan dikukus:
  9. ½ butir kelapa agak muda, parut
  10. ½ sendok teh garam
  11. 2 lembar daun pandan


Cara Membuat Resep Kue Ongol-ongol Pandan:

  1. Campur tepung kanji dengan air mendidih, Aduk rata
  2. Campur gula pasir, tepung kanji, air suji, pasta pandan
  3. Campur larutan tepung kanji dengan larutan kanji pandan
  4. Tuang ke loyang . Kukus sampai matang
  5. Potong-potong. Tabur kelapa parut

MENDISIPLINKAN ANAK TANPA KEKERASAN

Friday, September 14, 2012 0 Comments


by Nunik Nurhayati on Tuesday, September 11, 2012 at 11:08pm ·

Materi SIMAK (Sekolah Ibu Mengasuh Anak)
Tanggal : 5 September 2012
Pembicara : Ibu Endang Widiastuti
Tema : Mendisiplinkan Anak
Tempat : KPPA Benih Parenting Center, Sangkrah, Pasar Kliwon.

Ada kalanya orang tua merasa anak tidak menurut apa yang dikatakannya. Padahal bisa jadi bukan karena anaknya yang tidak nurut, tapi bisa jadi orang tua nya yang belum memahami cara yang efektif untuk mendisiplinkan anak. Berikut adalah beberapa tips dalam mendisiplinkan anak tanpa kekerasan:

1.  Gunakan kata halus tapi tegas, kunciny konsisten. Efeknya anak akan hormat tapi bukan takut. Ketegasan membuat anak tenang krn dia yakin itu adl sesuatu yg baik untuknya dari org tua yg kokoh. Kata yg tegas bkn teriakan atw pukulan. Cara nya bisa dengan mengajak ngobrol, duduk sejajar dengan memegang bahunya, tatap matanya dan jelaskan.

2. Orang tua tenang dan menjaga ketenangan diri. Ketenangan dapat mengöntrol mulut dalam berbicara. Karena setiap kata yg dkatakan ibu adalah doa yg diaminkan malaikat. Menenangkan diri dengan duduk, wudhu, sholat. jika pulang ke rumah dlm keadaan capek, maka lbh baik masuk kamar dulu untuk menenangkan diri.

3.Buat aturan dan konsisten dalam menegakkannya . Jika anak sudah bisa diajak bernegosiasi, kira-kira minimal usia kelas 2 SD, maka akan lebih baik jika aturan yg dbuat didiskusikan antara orang tua dan anak. Oleh karena itu orang tua juga harus disiplin dlm menegakkan aturan tersebut.

4.Ajak anak memahami aturan yang sudah dibuat dan mentaati konsekuensi. Namun, konsekuensi yg dbuat jangan sampai membuat anak trauma misalnya memberikan anak hukuman dengan membaca atw menghafal quran. Karena hal yang baik tsb akan menjadi terekam dlm benak anak dan hal yang baik itu menjadi kesan yang tidak baik untuknya karena yang ia ingat itu adalah hukuman. Konsekuensi atau hukuman bisa dgn memotong uang jajan atau menulis janji tidak akan mengulangi.

5.Beri anak pilihan. Jangan sampai anak selalu mjd terdakwa. Contohnya saat anak bermain bola didalam rumah,maka diberikan pilihan terlebih dahulu, apakah mau untuk bermain bola drmh atau dilapangan. Jika dirumah konsekuensinya apa, dan jika dilapangan konsekuensinya apa.

6.Memberikan kesempatan anak berargumentasi. Jika anak melanggar aturan ditanyakan dulu alasannya. Argumentasi akan membuat pola pikir berkembang, kritis,dan terarah.

7.Jangan melibatkan diri untuk konflik dengan anak. Mendidik anak tidak sekedar menuntut anak baik. Orang tua jangan sampai terpancing emosinya. Dan saat org tua sudah terpancing emosi, usahakan untuk tetap tenang namun jangan dekati anak sebelum ia minta maaf dan menyadari kesalahannya.

8.Pahami kegiatan anak agar tidak bentrok dengan jadwal atau aturan yang dibuat.

9.Kenali dan pahami tahapan perkembangan anak. Karena perkembangan tiap anak berbeda. Oleh karena itu setiap ibu adalah pembelajar seumur hidup

10. Orang tua bisa melakukan refreshing, misal dengan melakukan hobi. Agar psikis menjadi rileks dan menambah ketenangan dalam mendidik anak.