Jejak Karya

Jejak Karya

Sunday, May 12, 2013

[Re-Post] Kata Maestro Sastra Indonesia; Ini BENCANA Besar!

Sunday, May 12, 2013 0 Comments


Kata Maestro Sastra Indonesia; Ini BENCANA Besar!

by Kun Geia (Notes) on Wednesday, May 1, 2013 at 10:20am
Izinkan aku untuk berbagi, karena saat itu tidak semua orang bisa hadir bersama kami, termasuk Anda juga.

Ini bukan mengenai sesuatu yang tabu atau apapun yang akan dianggap tidak perlu, ini tentang pertemuan kami dengan pejuang pena yang telah mengharumkan nama bangsa ke seantro dunia. Ini mengenai curahan hati seorang maestro sastra Indonesia, tentang kasih sayang seorang kakek untuk cucu-cucu zaman, tentang guru terbaik yang dibagikan kepada kami melalui penggalan-penggalan PENGALAMANnya.

Tiga hari sebelum tulisan ini dibidani dari rahim inspirasi, terdengar kabar sang maestro akan mengisi sebuah acara di salah satu universitas negeri yang ada di Yogyakarta. Saudara-saudara dari Forum Lingkar Pena Yogyakarta langsung menghubungi panitia, melobi mereka untuk meminta sedikit waktu agar bisa bersua dengan sang bintang tamu.

Hari pertama kedatangan beliau ke kota budaya ini, kami gagal bertemu. Setali tiga uang di hari kedua. Dan… esoknya, pagi-pagi di hari dimana beliau akan meninggalkan Yogyakarta, kami berkenan untuk dipertemukan dengan beliau.

Perbincangan itu dimulai.

“Malas membaca!” di awal ucapan, beliau langsung menghentak alam sadar kami dengan nada tinggi, tidak menyerupai bentakan,namun lebih seperti memperingatkan. “Itu penyakit Bangsa yang belum juga dapat diatasi sampai hari ini. Kurikulum sekolah, kebijakan pemerintah, fasilitas penunjang, bahkan sampai lingkungan sekitar pun ikut-ikutan menjadi penyebab utama tidak majunya kecintaan masyarakat kita pada dunia membaca.”

Beliau menurunkan tekanan suara, dari wajah yang tadi kentara memperlihatkan keprihatinan, sedikit-demi sedikit luntur tersapu senyum khasnya. Dan… satu cambukan kembali mendarat di alam sadar kami, “Membaca saja begitu, jangan tanyakan untuk semangat menulis.”

Kami semua mengangguk, dan memang tidak ada keraguan untuk mengamini arti kebenaran dari ucapan beliau.

“Anda semua pasti sudah sangat paham bahwa modal pertama untuk mengarang adalah dimulai dari membaca.” Kembali senyum khas menghiasi untaian kalimat yang dirangkainya. Sejujurnya, aku sudah menyadari bahwa diri ini… terhipnotis kharismanya.

“Yang dibaca adalah apa saja yang dilihat, baca semua itu dengan benar. Yang dibaca adalah pengalaman hidup yang sudah dituliskan orang. Yang dibaca adalah kabar dari zaman untuk generasi Anda dan generasi setelah Anda.”

Baik, sebelum dilanjutkan, aku ingin mengingatkan kembali bahwa tulisan ini tentang proses, ini tentang transfer pengalaman, ini tentang upaya menyambung generasi, ini tentang pertautan hati untuk keberlangsungan perjuangan di beda zaman. Ini untuk kami, Anda, dan Indonesia, bahkan dunia. Pahami ini ketimbang menyesal kemudian karena tidak dapat isi yang sesuai tatkala menyelesaikan bacaan. Pilihannya dua, lanjutkan membaca atau tinggalkan sama sekali mulai dari paragraf ini.

Yang masih ingin melanjutkan, mari kita sambung lagi....
“Modal kedua adalah latihan menulis, terus dan terus. Dan, pelajaran menulis yang paling vital harusnya terjadi di sekolah.” Beliau menghela napas panjang. “Lantas apa yang terjadi sekarang? Sebelum ke sana, saya akan bercerita dulu tentang masa lalu.”

Beliau memperbaiki posisi duduk, bisa jadi ingin mempersiapkan diri untuk suatu kabar besar yang akan dihantarkan ke gendang-gendang telinga kami.

“Pemerintah kolonial menyediakan sekolah-sekolah untuk anak jajahan. Bayangkan, ini dilakukan oleh penjajah untuk orang-orangyang sedang dirampoknya.” Gir dan pengungkit di dalam otakku langsung begerak,mencoba mencerna kekuatan kata, menyediakan sekolah untuk anak jajahan ? sekali lagi mekanisme mesin dalam otakku berputar untuk empat kata, sekolah untuk anak jajahan. Diksi yang istimewa.

“Di sekolah-sekolah itu, kewajiban membaca buku dalam waktu tiga tahun adalah dua puluh lima judul buku. Sembilan buku di tahun pertama, delapan di tahun kedua, dan delapan di tahun ketiga. Anda tau kesemuanya ditulis dalam berapa bahasa? Kedua puluh lima judul buku itu tertulis dalam tiga bahasa, Belanda, Inggris, dan Prancis atau Jerman. Tidak ada karya sastra berbahasa Indonesia yang diajarkan saat itu.”

Aku menerka bahwa beliau akan menanyakan, berapa buku wajib baca yang diterapkan sekolah-seolah kami dulu sewaktu SMA? Terkaanku benar, dan keprihatinan kuberwujud nyata, bahwa dari kami semua yang berbicara, jawabannya sama, NOL.

“Di sekolah-sekolah kolonial itu, para murid wajib menulis satu tulisan setiap minggu, sekitar dua halaman. Mereka akan menulis di rumah, besoknya disetorkan pada guru, dinilai dan dikomentari, kemudian dikembalikan pada murid.” Ekspresi beliau mulai terbaca akan kembali menggebu. “Kita hitung, dalam satu semester akan terlahir delapan belas tulisan. Dalam setahun tiga puluh enam tulisan. Dalam tiga tahun, sudah terkumpul seratus delapan belas tulisan.”

Benar dugaanku, ekspresi beliau menggebu, tekanan nada suaranya lebih kentara. Aku dipaksa untuk tidak berkedip, bahkan sekedar menarik napas pun dirasa sayang karena konsentrasi akan terbagi untuk beberapa kegiatan yang dilakukan bersamaan. Sayang jika detik-detik mahal ini terlewati tanpa arti. Saudara-saudaraku yang hadir? Aku kira apa yang kurasakan mereka pun turun terlibat di batin masing-masing.

Dan, kulihat beliau menarik napas dalam, lengkingan menyusul kemudian, “Apa yang terjadi sekarang? NOL! NOL!”

Bulu kuduk berdiri, serempak memberi hormat. Suara selanjutnya yang keluar memang tidak lagi melengking, tapi tekanan nada kata-katanya, menggetarkan isi dada ini, “Dari sistem itulah lahir generasi emas! Seokarno! Hatta! Agus Salim! Mohammad Natsir! Dan masih banyak lagi mansia-manusia brilian yang hadir di tanah bangsa ini dari sebuah kecintaan terhadap buku dan tulisan.”

Ketika menatap beliau berbicara, ketika telinga mendengar kata-demi kata keluar dari ucapannya, hati berkata, apakah beliau sedang berbicara biasa, atau sedang berpuisi?

Alangkah indahnya lantunan yang kami dengarkan. Betapa padatnya makna yang kami dapatkan di setiap ucapan, dan ekspresi khas beliau tidak tersembunyikan untuk kami petik makna demi makna yang disampaikannya.

“Para pembesar bangsa terdahulu, semua menulis buku. Semua memulai dari kecintaan pada membaca. Sekarang?” Baru sekali ini beliau menyuguhi kami senyuman kecil, tapi cita rasanya… sinis. “Para pemimpin bangsa kita sekarang juga melahirkan buku, tapi dia cukup ngomong pada wartawan, dan wartawan yang menjadikannya sebagai tulisan kemudian terlahir menjadi buku.”

Aku pun ingin menarik beberapa senti bibir kananku saja, untuk berpartisipasi men-sinis-kan kelakukan mereka, tapi kharismatik beliau, mencegahku untuk melakukannya.

“Dahulu, kewajiban dua puluh lima buku yang dibaca itu dicantumkan dalam kurikulum. Terus, ketika guru mengatakan baca buku ini! Baca buku itu! Maka para murid tinggal pergi ke perpustakaan sekolah, bukunya sudah tersedia di sana, satu orang dapat satu buku. Kemudian anak itu harus membacanya, lalu ditulis rangkumannya atau resensinya, kemudian dinilai oleh guru.”

Kuterka beliau akan kembali menggebu-gebu.

“Sekarang, bagaimana kewajiban membaca buku? Nol! Kewajiban menelaah buku? Nol! Fasilitas penunjang itu semua? Nol! Anda adalah generasi nol! Saya adalah generasi nol! Bencananya adalah, kemunduran ini sudah berlangsung selama enam puluh delapan tahun!”

Benar, ekspresinya menampakkan diri,keluar bersama keprihatinan seorang kakek untuk generasi cucu-cucunya. Tapi itu tidak berlangsung lama, karena tempat kami berbincang adalah sebuah lobi hotel, yang di sana tidak hanya kami saja yang berada, dan beliau menyadari itu.

“Dalam penelitian saya, di Indonesia rata-rata hanya sekali dalam setahun anak didik di suruh membuat tulisan, dan judulnya hampir sama semua; CITA-CITAKU atau kalau tidak; BERLIBUR DI RUMAH NENEK.” Kami semua tertawa, menertawakan bahwa kami merasa pernah mengalami membuat cerita dari kedua tema yang beliau sebutkan itu. “Yang bangsa kita alami selama enam puluh delapan tahun ini adalah bencana besar. Tahukah, kegemilangan generasi enam puluh delapan tahun yang lalu dengan kewajiban membaca dua puluh lima buku dan menulis seratus delapan belas tulisan, sama kemajuannya dengan Eropa dan Amerika saat ini? Tidak semua orang tau itu.”

Beliau memperbaiki kembali posisi duduknya, dan mungkin ini saatnya beliau melunak dari ekspresi yang selama hampir satu jam ini beliau keluarkan.

“Tahun empat puluh sembilan, ketika Indonesia benar-benar merdeka, berkumpulah para pengajar untuk merumuskan ke mana pendidikan bangsa akan dibawa. Akhirnya diputuskan, karena kita sudah tertinggal akibat jajahan selama ratusan tahun, maka yang harus dibangun adalah jalan-jalan yang menghubungkan berbagai kota, membangun banyak rumah sakit, perkebunan, sehingga sekolah-sekolah nantinya akan dibentuk untuk menghasilkan sarjana-sarjana teknik, kedokteran, ekonomi. Sementara untuk program membaca dua puluh lima buku dalam dalam tiga tahun, dikatakan; ‘Ini akan menghabiskan banyak waktu!’program ini, DICORET!”

Ternyata terkaanku kali ini salah, beliau membetulkan posisi duduk bukan untuk melunak. Tekanan suara beliau mendadak tinggi.

“Program menulis seratus delapan belas tulisan dalam tiga tahun, dikatakan; ‘Ini akan menghabiskan banyak waktu!’ program ini, DICORET!”

Tekanan suaranya semakin meninggi.

“Yang diagung-agungkan adalah ilmu alam, ilmu pasti, kedokteran, sementara bahasa dan sasrta… DICORET! Guru-guru yang dibentuk adalah untuk menjuruskan anak-anak didiknya pada teknik, kesehatan, ekonomi. Sedangkan guru-guru bahasa diarahkan hanya pada estetika tulisan saja! Dari SD, SMP, SMA, bahkan perguruan tinggi, yang dipelajari adalah awalan, akhiran, imbuhan… awalan, akhiran, imbuhan. Itu itu saja! Jadi tidak heran jika kecintaan membaca dan menulis buku sungguh sangat memprihatinkan.”

Beliau membuang napas panjang. Keheningan menggelayut beberapa saat.

“Kami sudah berhenti protes pada pemerintah, puluhan tahun protes, puluhan tahun menggugat, hasilnya nihil! Selama tujuh belas tahun belakangan, kami sudah berhenti protes dan membangkang pada pemerintah. Kami sudah capek, usaha puluhan tahun kami tidak pernah di dengar. Akhirnya kami melakukannya sendiri untuk memajukan minat baca, tulis, dan kecintaan pada sastra. Kami telah memberikan pelatihan pada dua ribu guru SMA dari seluruh Indonesia. Jadi, sasaran yang harus pertama dibenahi adalah para pengajar, karena selama ini guru-guru tidak dilatih untuk cinta membaca dan menulis, apalagi sastra. Jumlah SKS baca, tulis, dan sastra saja di kuliah mereka hanya dua puluh persen.”

Tensi pembicaraan sudah menurun, sudah lebih santai.

“Selain pelatihan untuk para pengajar,kami mengadakan sebuah program yang bernama, Sastrawan Bicara Siswa Bertanya (SBSB). Jumlah sekolah di Negara kita lebih dari dua puluh ribu, dan kami baru mampu mendatangi tiga ratus sekolah. Selama ini para seniman datang ke sekolah-sekolah, ada yang membacakan puisi, cerpen, naskah drama, dan berbagai bidang sastra lainnya. Para siswa benar-benar antusias, mereka bisa bertemu dan belajar langsung dari Rendra, Ahmad Tohari, Nano Riantiarno, Sutarji C. Bachri, dan yang lainnya. Anak-anak diminta menyimak dan menuliskan apa yang didapatnya.”

Terkesima, inilah langkah yang lebih nyata ketimbang banyak berdebat mengenai angka anggaran pendidikan Negara yang realitanya jauh dari nyata. Terkesima, merekalah teladan sastra sesungguhnya.

“Kami juga membentuk sanggar sastra di beberapa sekolah, kegiatannya setiap sabtu dan minggu jadi tidak mengganggu sekolah, tujuannya supaya murid berminat membaca dan menulis. Di sanggar itu, wajib ada minimalnya seratus judul buku, satu komputer, satu printer, dan satu scanner. Sanggar sastra ini haruslah diasuh oleh guru-guru yang telah lulus mengikut ipelatihan yang dua ribu guru tadi. Dan tujuh belas tahun ini, kami baru mampu membentuk sanggar sastra di tiga puluh sekolah dari dua puluh ribu sekolah yang ada.”

Kembali aku terkesima, saudara-saudaraku yang lain pun kupikir tidak jauh beda. Dapat kubaca dari air muka mereka.

Beliau melihat jam di tangan kirinya, aku merasakan waktu telah mendekat untuk merenggut beberapa menit emas di depan, sepertinya kebersamaan kami akan segera diceraikan keadaan.

“Masalah kita adalah memajukan sastra di Indonesia. Dan sumber utamanya adalah minat membaca dan menulis yang telah tertinggal selama enam puluh delapan tahun. Kami sudah berhenti protes pada pemerintah. Selama tujuh belas tahun ini kami bergerak sendiri untuk pekerjaan nyata. Dan saya gembira betul dengan lahirnya FLP, ini hebat. Masya Allah, Anggotanya ribuan, hingga ke mancanegara. Saya senang dan bangga dengan Anda, dahulu bersama kawan-kawan, kami tidak mampu untuk membentuk sebuah organisasi besar yang bergerak di dunia literasi. Tapi Anda bisa. Dan FLP telah menjadi salah satu elemen roda penggerak kemajuan baca tulis bangsa, demi bangsa yang maju dan berkarakter. Kita berdoa dengan betul-betul khusyuk, semoga Allah akan senantiasa memberi jalan perjuangan ini.”

Beliau kembali tersenyum, dan matanya menyapa mata-mata kami dengan keteduhan pandangan seorang kakek untuk cucu-cucunya.

“Anda masih muda-mudi, cita-cita jadi pengarang itu dalam hidup jadikanlah nomor tiga. Yang pertama lulus kuliah dulu, senangkan hati orang tua, ridha Allah ada pada mereka. Yang kedua, bolehlah lirik kiri kanan, yang jelas doanya harus lurus, yaitu mendapatkan jodoh terbaik. Baru yang ketiga adalah menjadi pengarang atau sastrawan.”

Beliau menghela napas pendek.

“Untuk membentuk karakter penulis, yang terpenting adalah ridha Allah, kemudian jalan yang menuju ke sana pastilah harus jalan yang lurus, nanti dalam perjalannya akan datang jalan-jalan lain untuk semua yang kita butuhkan sampai menjadi seorang penulis. Dan yang tidak kalah penting, Anda harus punya perpustakaan sendiri, karena dari sanalah kecintaan terhadap buku bisa senantiasa bersatu bersama Anda.”

Aku merasakan waktu perpisahan sudah semakin mendekat.

“Tidak akan ada penulis yang hebat tanpa dia membaca banyak buku. Jadi syarat utama menjadi penulis tentu saja dia harus terlebih dahulu menjadi pembaca.”

Inikah ucapan pamungkas beliau? Hatiku tidak enak, aku ingin masih berlama-lama dengan beliau. Tapi... sepertinya tebakanku akan kembali berwujud nyata. Dan, Kun! Fayakun… beliau memohon banyak maaf, karena bukan tidak ingin lebih lama bersama, namun masih banyak hak orang lain yang perlu beliau tunaikan di tanah istimewa ini sebelum kembali ke ibu kota.

Dan, di sepanjang menit dari pukul sembilan kurang lima belas sampai pukul sepuluh lebih tiga puluh, beliau telah banyak berbagi, khususnya tentang kegundahan hati mengenai minat baca, minat tulis, dan minat sastra, yang berefek pada melemahnya karakter bangsa yang justru tidak diberhasil dibangun oleh kurikulum-kurikulum pemerintah di sekolah-sekolah dengan selogan ‘pendidikan berkarakter’.

Di menit-menit akhir pertemuan kami, ada kenang-kenangan dari (mungkin satu-satunya) komikus FLP jogja untuk beliau berupa lukisan karikarur, pun dari saya dengan memberikan sebuah buku bersampul biru. Dan, putaran waktu emas bersama beliau menjadi lebih sempurna tatkala terucap dari lisannya, “Tolong saya minta lukisan dan bukunya dibubuhi tanda tangan, nama pembuat, dan nomor telpon.”

SELESAI.


Kawan, kita menulis bukan untuk dikenal, bukan untuk dikenang, pun bukan untuk yang lain. Menulis adalah peperangan, syahid menanti di ujung goresan terakhir usia pena kita. Karena, kita menulis untuk melanjutkan tongkat estafet perjuangan para pendahulu, bersama bercita-cita memperbaiki negeri melalui tinta-tinta emas anak bangsa.

Ini tidak menyerupai bahasa ratapan hati, tetapi ajakan untuk bergerak dan beraksi, bukan berteori apalagi beradu argumentasi.

Mari, angkat pena… perbaiki negeri.


Yogyakarta 30 April 2013.
Kun Geia

Catatan: Anda tentu sudah tahu, siapa ‘beliau’ yang saya maksud dalam tulisan ini. Jika masih ragu, mungkin bait yang dinyayikan oleh almarhum Chriyse berikut, yang menemani sepanjang diri ini menulis dan membidani tulisan ini, akan membuat ada mengerti, siapa beliau sang maestro itu. Beliaulah yang melahirkan bait-bait ini;

Akan datang hari, mulut dikunci, kata tak ada lagi
Akan tiba masa, tak ada suara, dari mulut kita

Berkata tangan kita, tentang apa yang dilakukannya
Berkata kaki kita, kemana saja ia melangkahnya

Tidak tahu kita, bila harinya tanggungjawab tiba
Mohon karunia, kepada kami hamba-Mu yang hina

Rabbana, tangan kami, kaki kami, mulut kami
Luruskanlah, kukuhkanlah, di jalan cahaya sempurna



Perhatian: Silakan BAGIKAN tulisan ini jika merasa berguna.


[Re-Post] : Workshop Menulis bareng Tere Liye

Sunday, May 12, 2013 0 Comments
http://catatanpurnamamadinah.blogspot.com/2013/05/workshop-bareng-tere-liye.html
Bismillahirrohmanirrohim,


Beberapa  hari lalu, aku tak sengaja terlihat sebuah baliho besar di pintu masuk gerbang utama Universitas Negeri Yogyakarta, sepulang dari belajar tahsin. 

Aku bilang ke suami, “ Aa, itu ada workshop bareng tere liye, ikutan yuk”. “Hayuk”  jawab suamiku.


Keesokan harinya, kamipun segera meluncur ke auditorium UNY yang gedungnya tidak jauh dari gerbang utama. Ketika akan masuk ke dalam tempat workshop, kami diharuskan mengisi daftar hadir. 


“Mas, bawa bukunya tere liye?”


“Emang mesti ya”


“Nggak juga mas, siapa tau mas mau bukunya di tanda tangani oleh tere liye”


“Oh gtu”

"Nggak mas, saya gak bawa"

"Oh ya gpp, silahkan isi daftar hadir dulu"

Suamiku kemudian menuliskan namanya di daftar hadir.Tak lama aku pun menyusul untuk absensi.


“ada tiketnya mas?, kami lihat dulu”


Suamiku sedikit terkejut, “harus ada tiket ya?”


Aku dibelakang senyum-senyum sendiri sembari bergumam dalam hati, “lha piye tho, katanya gratis” :D


“Kalo beli tiketnya disini bisa mas?”


“wah maaf mas, tiketnya udah habis, tapi kalo mas mau masuk juga bisa, Cuma tidak ada tempat duduk aja.”


“Oh gtu, ya udah gpp”


Akhirnya kamipun masuk. Di dalam auditorium ini banyak sekali stand-stand kreasi anak bangsa. Pameran yang disuguhkan bermacam-macam mulai dari batik, tas anyaman, dan lain-lain. Sebagian besar mereka adalah mahasiswa/ mahasiswi UNY.  Acara workshop menulis ini merupakan rangkaian acara dalam rangka Dies Natalis UNY ke 49.


 
Itu bang tere liye nya ada di depan,

Ruangan masih belum begitu ramai, dan stand-stand ada yang baru buka. Kami datang jam 09.05 wib. Untung saja di depan panggung, walaupun jaraknya jauh, ada tempat yang lumayan untuk kami duduk. “yang penting ilmunya”.


Tepat di depan panggung sudah disediakan bangku-bangku buat para peserta workshop yang punya tiket. Tak lama acara pun dimulai. Ada dua mc yang memandu acara, satu cowo dan satu lagi cewe.  Mereka tak ingin berpanjang kata, segera memanggil moderator yang akan memandu workshop bersama tere liye, dipanggilah nama mas Haris Fadhilah. Dia yang akan menjadi moderator selama workshop berlangsung.


Tongkat pembicaraan sudah diberikan mc kepada moderator. Kini giliran moderator beraksi, ia hanya memperkenalkan dirinya tanpa mau dijelaskan cv nya serta menjelaskan singkat bahwa Tere liye ini berasal dari kota Palembang.  Kota nya tidak jauh dari kotaku, Bangka Belitung.


Aku melihat aba-aba dari panitia lain, menandakan sang penulis telah hadir. Maka dipanggillah nama Tere Liye. Sejurus kemudian, keluarlah seorang laki-laki berkulit putih dari bilik pintu cokelat di atas panggung, mengenakan kaos berwarna putih, bercelana jeans abu-abu, bersal abu-abu dan memakai topi rajut berwarna abu-abu sembari menenteng tas berwarna hitam. 


Aku yang duduk lumayan jauh dari panggung acara, sedikit kaget, “Hah, ini yang namanya tere liye? Masa sih? Kok gaul amat ya”. Suamiku yang berada di sampingku, senyum-senyum sendiri mendengar aku berkata seperti itu.


Wuiiiiih, ini toh tere liye itu. Aku baru kali pertama melihatnya, biasanya aku melihat foto dan tulisan-tulisannya di page FB beliau, “Darwis Tere Liye”.


Mas Haris menjelaskan, waktu satu setengah jam akan kita lalui bersama tere liye. 


Tidak banyak basa-basi, mic pun segera beralih ke pembicara utama,  TERE LIYE.

Kalau ditanya kapan saya mulai menulis, jawabannya ketika saya usia 6 tahun dan ketika di umur 9-10 tahun saya sudah mulai menulis naskah puisi di majalah bobo. Saya menulis nyaris selama hampir 25 tahun. Saya ini bukan penulis, saya seorang akuntan, saya menulis karena memang saya suka menulis. Penulis lahir karena dia suka menulis.


Tere Liye membuka materi dengan pengalamannya. Kemudian lanjut ke materi inti yang dibuka dengan sebuah pertanyaan mendasar, kenapa kita menulis?  Jawaban intinya, karena menulis = menyebar kebaikan. 

Lanjut ke beberapa tips-tips menulis yang baik:

  1.Problem: Menemukan Ide

Apakah menemukan ide memang sesulit itu?


Tere liye lalu mengajak para peserta untuk menuliskan satu paragraph tentang kata HITAM. Mulailah para peserta workshop menulis (termasuk aku). Ketika sudah selesai, tere liye membacakan beberapa tulisan dari para peserta workshop.

Setelah dibacakan, lanjut tere liye berucap, “penulis yang baik selalu punya sudut pandang yang spesial”. Adalah BOHONG jika kita kehabisan ide tulisan. JANGAN PERNAH PERCAYA. HANYA saja penulis yang baik selalu punya ‘sudut pandang spesial Coba sekarang tuliskan satu paragraph tentang kata MULUT. Maka kamipun segera menuliskannya. 


    2.  Menulis membutuhkan amunisi.


Tere Liye kembali mengajak kami untuk menuliskan satu paragraph saja dengan kata MUSTERKANOV. Setelah selesai, ada beberapa yang dibacakan. Bermacam-macam. Intinya pada ngawur semua. Hehe.. ^_^


Dari contoh di atas, tere liye bilang, bahwa menulis membutuhkan Amunisi. Kita tidak akan pernah tau apa itu MUSTERKANOV apabila amunisi kita kurang. Amunisi disini dimaksudkan bahwa penulis harus banyak membaca, mencari bahan, dan riset. 


Bagaimana kita mengisi GELAS kosong, kalau TEKO-nya kosong?

Penulis yang baik selalu pandai membaca, mengamati, mencatat, mengumpulkan, me-rekonstruksi, tuliskan. 


    3.   Apa itu tulisan yang buruk dan yang bagus?
Bagi tere liye, tidak ada tulisan yang bagus dan tidak bagus. Yang ada adalah tulisan yang relevan dan tidak relevan dengan dengan orang lain (minimal dengan diri kita sendiri). Jangan pernah merasa minder atau malu.  
    
   4.Gaya bahasa adalah kebiasaan. Kalimat pertama adalah pekerjaan mudah dan menyelesaikan lebih gampang lagi. PERCAYALAH!


Ketika kalian bingung untuk menyelesaikan suatu tulisan, maka tulis aja TAMAT! :D


   5. Camkan hal ini, Mulailah dari tulisan kecil, pendek tapi bertenaga, sederhana tapi bermanfaat.


Menulis status di FB juga termasuk kegiatan tulis menulis :D


   6.  Mood jelek adalah anugerah.  Selalu mood jelek, ada yang bermasalah 



dan pada akhirnya, perbedaan besar antara penulis yang baik ada di: Latihan, Latihan dan Latihan 

 ----
-Selesai -

Ringkas banget catatanku ya? ya gpp ya, yang penting beberapa point penting sudah tercatatkan! Sekarang, Ayo Menulis!!! 


*Catatanku, 9 Mei 2013

Friday, March 29, 2013

Aksara Kembara [11] : “OBAH KABEH, MUNDAK AKEH” [Deklarasi ‘Pasukan Cinta’ bersama Ustadz Anis Matta]

Friday, March 29, 2013 0 Comments
by Norma Keisya Avicenna (Notes) on Wednesday, March 27, 2013 at 8:29pm

17 Maret 2020
Waktu Dhuha bertabur cinta, tampak kesibukan di ruang keluarga. Di sebuah rumah sederhana namun menelusup sebuah rasa bahagia, gambaran sakinah, mawaddah, warohmah para penghuninya.

Althaf : “Ummi, Althaf bantuin Ummi beres-beres buku, ya!”

Ummi Keisya : “Iya, anak sholeh. Althaf memang anak Ummi dan Abi yang sangat rajin.”

(Althaf tersenyum bahagia lalu ia membantu menata buku-buku di rak. Sesekali membersihkan sampul buku apabila ada yang berdebu dengan kemoceng kecil warna hijau yang sedari tadi dipegangnya. Alhamdulillah, Althaf tumbuh menjadi anak yang sehat dan cerdas. Tahun ajaran baru nanti ia sudah masuk kelas 1 SD di SDIT Bina Insani Semarang.)

(Althaf kembali sibuk menata buku di rak sesuai dengan apa yang sudah diajarkan Umminya. Buku Ummi, buku Abi, buku Althaf, dan buku Yasmin dipisahkan dan punya rak masing-masing sehingga mudah ketika mencari atau mengambil buku yang diinginkan jika mereka mau membaca. Yasmin –adik Althaf yang baru berumur tiga tahun- sedang asyik bermain puzzle barunya, oleh-oleh Abi dari Jakarta)
Althaf : “Ummi, buku jenis ini kok jumlahnya banyak to Mi? Sampulnya juga seragam. Buku apa sih?” (Rasa penasaran Althaf mulai menguasai)

Ummi Keisya : “Wah, Althaf menemukan buku-buku itu dimana Sayang? Sudah lama Ummi tidak membacanya.”

Althaf : “Di bagian ini, Mi” (Althaf menunjuk bagian rak paling bawah. Rak buku itu memang memiliki 3 laci luar berukuran sedang)

Ummi Keisya : “Tolong dibawa ke sini, sayang! Ummi pengin lihat.”

Althaf : “Semuanya, Mi? Kan beraaat...” (Althaf pasang muka protes dan memelas ^_^)

Ummi Keisya : “Enggak usah semua to ya... 3 buku saja, Nak!”

(Althaf pun segera mengambil 3 buku dan berjalan ke arah Umminya lalu diserahkan buku-buku itu. Masih dengan rasa penasaran  yang belum tuntas, Althaf pun duduk di samping Umminya. Yasmin pun ikut-ikutan dan minta dipangku Umminya.)

Ummi Keisya : “Althaf, buku-buku ini adalah buku catatan harian Ummi ketika dulu awal-awal menikah dengan Abi. Althaf dan Yasmin mau nggak dengerin ceritanya Ummi...”

Althaf mengangguk cepat, Yasmin pun ikut-ikutan mengangguk.

Ummi Keisya pun mulai bercerita tentang kebahagiaan hidupnya, bercerita tentang Abi yang sangat sayang dengan keluarga, dan juga tentang masa kecil Althaf. Kedua kakak beradik itu pun sangat antusias mendengarkan.

Althaf : “Wah, seru ya! Jadi dengan menulis itu kita jadi bisa ingat tentang hal-hal yang sudah pernah kita alami, ya Mi?”

Ummi Keisya : “Iya, Sayang...”

Althaf : “Eh Ummi, Althaf jadi ingin tahu apa yang pernah Ummi dan Abi lakukan sekitar 7 tahun yang lalu. Berarti saat Althaf belum lahir, ya? Coba, Mi... Kalau 2020 dikurangi 7 berarti tahun 2013. Ayo, Mi diceritain kejadian tanggal 17 Maret 2013. Althaf penasaran nih!”

Ummi Keisya : “Oke, sabar ya Sayang... Ummi cari dulu.”

(Ummi Keisya pun membolak-balik buku DNA bersampul hijau itu sampai akhirnya matanya tertuju pada tulisan Ahad, 17 Maret 2013. Aksara-aksara itu seolah membawanya kembali ke masa lalu. Ibarat Doraemon yang mengajak Nobita, Suneo, Giant, dan Shizuka berpetualang ke masa lalu dengan menggunakan mesin waktu lewat laci meja belajarnya Nobita. Ummi Keisya pun mulai menelusuri kata demi kata dan tergambar jelas dalam memorinya apa yang pernah ia alami di masa itu...)

Penasaran kan apa yang ditulis Ummi Keisya di buku DNA-nya? Ikut berpetualang, yuk!
[ ]

Ahad, 17 Maret 2013
Dee, pagi ini adalah pagi yang sangat membahagiakan. 17 Maret di Istana 77. Ba’da Subuh saya dan Mas Sis sudah selesai bersih-bersih dan beres-beres rumah karena hari ini akan ada banyak agenda. Tepat jam 6 kami sudah berkumpul dan bergabung dengan para warga RW 10 untuk mengikuti kegiatan rutin satu bulan sekali, yaitu jalan sehat. Sebagai warga baru di lingkungan RW 10, kami belajar untuk aktif dalam setiap kegiatan yang diadakan oleh warga masyarakat.

Jalan sehat berlangsung kurang lebih 45 menit dilanjutkan istirahat sejenak. Kebetulan RT kamilah yang mendapat jatah untuk menyiapkan konsumsi. Pagi itu Alhamdulillah, kami bisa menyantap segelas susu segar, segelas sari kacang hijau, dan camilan berupa arem-arem, sosis, dan keripik. Mantap dah! Setelah dirasa cukup istirahatnya, Pak RW mengomando warga yang hadir kala itu untuk membuat barisan. Wah, bakalan senam bareng nih! Asyik-asyik... Saya pun mengambil posisi di belakang Mas Sis. Kayaknya kamilah pasangan termuda, yang lain sudah seusia babe dan ibuk serta banyak juga yang sudah yangti-yangkung. Uhuy... Seru banget! Dan badan jadi tambah segeeer...

Selesai kegiatan senam, Mas Sis masih lanjut tenis meja di balai RT bersama bapak-bapak, saya memilih segera balik ke rumah dan bikin jus jambu. Hmm, seger-seger... Slrrruuup...

Waktu sudah menunjukkan pukul 8, kami pun segera bersiap untuk menghadiri acara yang sangat istimewa hari ini. Bertempat di Ballroom Hotel Horison Semarang, akan ada orasi politik dari Ustadz Anis Matta sekaligus pembekalan untuk para kader PKS Semarang. Sesampai di lokasi peserta sangat membludak. Asyik, saatnya memperkokoh ukhuwah nih.

Berpisah sejenak dengan suami tercinta, beliau segera bergabung dengan barisan para ikhwan, saya pun duduk di deretan para akhwat. Dan surprisenya akhirnya Allah mempertemukan saya dengan mbak Nurul dan mbak Riri Margono (sahabat saya di dunia maya dan akhirnya hari itu Allah mempertemukan kita di dunia nyata). Mereka berdua sudah standby di shaf terdepan. Saya pun akhirnya turut membersamai mereka. Wuiz, makin heroik aja nih suasananya.

Acara dipandu oleh 2 MC yang kocak dan seru. Jargon kita hari ini : OBAH KABEH, MUNDAK AKEH! (dengan gaya yang sangat ngawu-awu sekali). Sempat juga diputarkan video yang vokalisnya Mas Alief Indonesia, judulnya DADI HUMAS. Yups, pas di meja penyambutan tamu tadi pun kita diberi snack, air mineral dengan logo PKS serta bendera PKS dan stiker yang bertuliskan “Ayo, Sukseskan Gerakan Kabeh Dadi Humas” terus ada gambar Pak Blangkon-nya. Lucu!

Setelah pembukaan, ada tasmi’ yang dibawakan oleh 2 anak usia SD. Paling merinding saat tasmi’ Ar-Rahman. Huaaa... Langsung menunduk dan ikut muroja’ah. Setelah tasmi’ selesai, Mbak Nurul sempat njawil... “Wah, surat Ar-Rahman Mbak... pasti Mbak seneng banget nih!” Saya pun tersenyum bahagia... Selanjutnya, kami semua berdiri dan menyanyikan lagu Indonesia Raya serta Mars PKS dengan penuh semangat! Wow, dahsyat! Lantai satu dan dua penuh...

Acara selanjutnya, ada hiburan dari KAE Nasyid. Mereka membawakan tembangnya Afgan dan The Massive...
“Kau tempatku meminta... Kau beriku bahagia... jadikan aku selamanya hamba-Mu yang slalu bertaqwa. Ampuniku Ya Allah, yang sering melupakan-Mu. Limpahkan segala karunia-Mu, dalam sunyi aku bersujud...pada-Mu...”

“Syukuri apa yang ada, hidup adalah anugerah. Tetap jalani hidup ini, melakukan yang terbaik. Tuhan pastikan menunjukkan, kebesaran dan kuasa-Nya. Bagi hambanya yang sabar dan tak pernah putus asa. Jangan menyerah... jangan menyerah... jangan menyerah...”

(Huaaa, tahu nggak sih Dee itu kan tembang-tembang favorit saya apalagi lagu yang ketiga Insya Allah-nya Kang Maher Zain feat. Fadli. Jadi ikutan konser deh... *mantan munsyid. Hihi. STREAM-er.com)

Selanjutnya ada surprise lagi nih. Berasa kayak nonton X-FACTOR secara live. Penampilan selanjutnya dari AWAN. Uhuy... seruuu dan kocak abis. Setelah AWAN unjuk kebolehan beberapa tembang (tapi belum selesai) tampak di deretan kiri panggung rombongan Ustadz Anis Matta. Mata ini menangkap juga sosok Ustadz Cahyadi Takariawan, Ustadz Mahmud Mahfudz (dulu sering jumpa beliau saat masih di Solo), dan beberapa ustadz yang lain. Wuizzz, bersyukur banget bisa duduk di shaf terdepan. Ohya, kalau ada bapak-bapak yang asyik nyuting di depan saya, saya jadi teringat dengan pakdhe saya yang hobi nyuting di Solo, sapa lagi kalau bukan bosnya FOTOMAT, Pakdhe Taqim yang huum banget itu. Hehe.

AWAN pun diminta Ustadz Anis Matta untuk melanjutkan aksi kocaknya saat rombongan ustadz itu sudah duduk rapi bersila di panggung. Hiburan yang lain ada karawitan Jawa dan nembang oleh seorang seniman. Pak siapa ya namanya, saya amnesia. Hehe. Terus ada aksi kita nembang Ilir-ilir bersama AWAN dan semua ustadz yang ada di panggung. Kereeen banget deh!

Dan inilah yang kami tunggu-tunggu. Orasi yang ‘kaya’ dan penuh daya gugah dari Ustadz Anis Matta. Kesan pertama yang sungguh menggoda, cetar menggelegar. Beliau menyampaikan : “Bahwa saya sangat mencintai antum semua...” Semuanya langsung bertakbir. ALLAHU AKBAR!!!

Ustadz Anis Matta pun sempat menyampaikan selarik puisi gubahan muridnya Jalaludin Rumi, Muhammad Iqbal :
“Dan nafas cintamu meniup kuncupku jadi bunga...”

Beliau pun mengatakan, bahwa nilai tertinggi yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia adalah HARMONI. Bagaimana tidak? Kita hidup dalam satu wilayah dengan etnis yang sangat beragam, mendiami wilayah yang terpisah-pisah. Justru hal inilah yang membuat kita saling merindukan. Perbedaan yang sangat ekstrem membuat kita merindukan rasa persatuan. Pun dulu ketika ada ikrar SUMPAH PEMUDA (Hehe, kenapa saya tiba-tiba jadi ingat moment khitbah keluarga tanggal 28-10-12 kemarin ya? Wkwkwk*plaaak). Waktu itu muncul kekuatan dan kehendak untuk bersatu, hidup damai, menepis perbedaan, serta hidup dalam satu lingkar mufakat yang besar. Harmoni, inilah ‘core value’ masyarakat Indonesia. Ya, Ustadz Anis pun menyampaikan kembali semangatnya lewat sebuah kalimat yang sudah tidak asing lagi bagi kita semua : “IZINKAN KAMI MENATA ULANG TAMAN INDONESIA.”

Beliau mengatakan bahwa Indonesia itu ibarat taman dan masyarakat Indonesia adalah bunga. Bunga yang punya warna dan ciri khas sendiri-sendiri. Indonesia is the flower society. Maka, tiupkanlah nafas cinta ke dalam ‘bunga’ itu, maka dia pun akan mekar dengan penuh cinta. Ustadz Anis Matta pun mengingatkan tentang fenomena politik Indonesia sekarang ini. Justru kita bisa rasakan seolah politik itu ‘mengerikan dan sangat menakutkan’. Beliau pun berpesan, untuk membuat ‘politik yang ada sparklingnya’. Hehe. Kayak minuman yang bersoda... Lakukan tugas-tugas yang berat dengan hati yang riang. Wuiz, mak jleb! Dan jadilah “PASUKAN CINTA”! Saat semua orang diayomi dengan sebaik-baiknya, dan setiap orang adalah HUMAS bagi yang lainnya. Sipp, mantaaap!

Jelang Dhuhur acara pun selesai (sempat mengabadikan moment dulu bersama mbak Nurul dan mbak Riri. Hehe) dan jam 13.00 kita akan kembali berkumpul tetapi berpindah tempat yakni di GOR Jati Diri Semarang. Akan ada deklarasi 6 partai politik yang akan sama-sama mendukung dan menjadi tim sukses pasangan calon gubernur dan wakil gubernur no.3 (HP-DON)!

Saya dan Mas Sis pun shalat Dhuhur terlebih dulu di daerah Jatingaleh. Pas mau keluar masjid kita bertemu dan menyapa Ustadz Mahmud Mahfudz, yang baru selesai shalat. Sempat ditanya beliau : “Mau lanjut ke Jatidiri?” Kompak kita menjawab, “Iya, ustadz...” Hehe. Selanjutnya, tujuan kita : GOR Jati Diri. Wuaaa, rameee banget! Alhamdulillah, dapat makan siang. Hehe.

Wah, banyak sekali atraksi yang ditampilkan. Ada barongsai, tari-tarian, drumband dari akpol, paskibra yang membawa Sang Saka Merah Putih dan 6 bendera parpol. Acara yang ditunggu-tunggu adalah puncak deklarasi dan orasi politik dari ketua pusat masing-masing parpol (yang saya tahu ada Ustadz Anis Matta_Presiden PKS dan Prabowo Subianto_Gerindra. Meriah banget euy!!!

Alhamdulillah, hari ini benar-benar menjadi hari bersejarah yang penuh hikmah dan semoga bertabur berkah. Yuks, sebagai warga Jateng jangan lupa tanggal 26 Mei ke TPS-TPS terdekat untuk memilih pemimpin Jawa Tengah yang kelak mampu menjadikan Jawa Tengah lebih baik...

Yuks, KABEH DADI HUMAS!
“OBAH KABEH, MUNDAK AKEH...” ^_^

[ ]

Ummi Keisya pun selesai meceritakan apa yang dialaminya bersama Abinya anak-anak dengan gaya bercerita yang menarik seperti ketika mendongeng dan dengan menggunakan bahasa khas anak-anak. Ummi Keisya seolah mengajak mereka berkelana ke sebuah tempat yang indah karena banyak cinta dalam balutan ukhuwah. Ummi Keisya pun menyampaikan kesimpulan dari apa yang telah diceritakannya tadi...

Ummi Keisya : “Nah, seru kan pengalaman Abi dan Ummi? Jadi, kita sesama saudara wajib saling membantu. Abi sama Ummi tadi kembali belajar tentang indahnya ukhuwah. Apa itu ukhuwah, Nak? Ukhuwah itu artinya persaudaraan. Ukhuwah itu dilandasi oleh rasa cinta karena Allah dan merasa terikat satu dengan yang lainnya. Coba deh Althaf sama Yasmin perhatikan kemoceng kecil itu (Althaf pun menatap kemoceng yang masih dipegangnya, seperti biasa Yasmin ikut-ikutan kakaknya.) Kemoceng itu terdiri dari banyak bulu ayam, kalau bulu ayamnya hanya satu pasti susah dan lama kan kalau dipakai membersihkan debu? (Kedua kakak beradik itu mengangguk). Tetapi kalau bulu-bulu ayam yang banyak itu disatukan pasti kemoceng itu dapat bermanfaat lebih banyak dan lebih cepat digunakan apabila ingin membersihkan debu. Nah, itu juga tentang indahnya ukhuwah. Althaf dan Yasmin juga harus saling membantu, sama Abi dan Ummi pun juga harus saling membantu dan saling menasehati dalam kebaikan. Sipp, sepakat? Toaaas dulu...”
(Mereka bertiga pun toast bersama lalu tertawa gembira...

Abi : “Assalaamu’alaykum... wah wah wah... sepertinya ada yang seru banget nih...” (Abi baru pulang setelah tadi malam ada acara mabit)

(Ummi, Althaf, dan Yasmin kompak menjawab salam Abi)

Althaf : “Iya nih Bi... Ummi habis cerita seruuu banget.”

Abi : “Cerita apa nih? Abi kok nggak dikasih tahu kalau mau ada acara ‘MENDENGARKAN CERITA UMMI’...” (dengan logat dan intonasi seperti pembacaan judul filmnya DORAEMON. Xixixi...)

Ummi Keisya pun memberikan isyarat kepada suaminya itu dengan kerlingan mata. Hehe.

Abi : “Eh, Abi ada berita gembira nih! Siapa yang mau dengar berita gembiranya Abi?”

Kompak semua menjawab dan seketika ruang keluarga itu menjadi riuh. “Mau... mau... mau...”

Abi : “Nah, tanggal 20 Maret nanti Pakdhe Febri mau dilantik jadi Bupati Lahat. Tanggal itu juga akan ada syukuran pelantikannya sekaligus tasyakuran ulang tahun pernikahan Pakdhe Febri dan Budhe Thicko yang ke-8. Siapa ya yang mau ikut Abi berpetualang ke Pulau Sumatera? Yang mau ikut cium pipi Abi dulu...” (Abi Sis bercerita dengan penuh rasa bahagia sambil menunjukkan tiket pesawat Semarang-Palembang yang sudah ada di genggaman tangannya. Di tiket itu tertera jadwal keberangkatan tanggal 19 Maret.)

Kompak semua berteriak, “Horeeeeeeee... Asyiiik, berpetualang ke Sumatera!” Abi Sis pun mendapatkan hadiah ciuman penuh cinta dari bidadarinya serta kedua jundi kecilnya.

Ummi Keisya : “Ayooo, sekarang kita bagi tugas dan dilanjutkan beres-beresnya. Terus nanti bantuin Ummi nyiapain semua keperluan kita untuk berpetualang ke Sumatera! Oke, siaaap?”

Althaf : “Siaaaaap...”
Yasmin : “Chiaaap...”
Abi Sis: “Oke, siaaap Bos cantik... ^_^!”

Mereka berempat pun kembali tenggelam dengan kesibukan membereskan ruang keluarga. Si kecil Althaf sudah sibuk membayangkan serunya petualangan tanggal 19 Maret nanti, serunya bisa bertemu dan bermain-main bersama Azzam dan Azmi juga kak Devdan, kak Aisyah, dan saudara-saudara yang lain di Lahat.

[Keisya Avicenna, 23 Maret 2013. Ditulis dengan aksara-aksara visioner yang penuh cinta dan senyuman... xixixi ^_^]

*Pilihan Kaum Scientist!

Aksara Kembara [10] : Ka De eR Te

Friday, March 29, 2013 0 Comments
by Norma Keisya Avicenna (Notes) on Wednesday, March 13, 2013 at 11:32am
 
Keputusan seorang anak manusia untuk memulai lembaran baru dalam hidupnya, dari sendiri jadi punya pasangan adalah  salah satu perjuangan hidup yang luar biasa. Bagaimana tidak? Namanya saja sudah rumah tangga. Sebuah kata majemuk yang satu katanya erat hubungannya dengan satu kata yang lain. Kita tahu tangga itu identik dengan suatu alat/ benda yang berfungsi untuk memudahkan seseorang menjangkau area yang lebih tinggi. Butuh tahapan-tahapan untuk menaikinya. Dari anak tangga pertama sampai pijakan yang sesuai dengan yang dikehendaki. Tak jarang di pijakan awal sering terpeleset, kurang pas posisinya, bahkan terjatuh karena licin atau baru adaptasi awal karena merupakan pengalaman yang pertama kali dalam hidupnya. Itulah tangga! Pun untuk mencapai posisi yang stabil semuanya butuh proses, butuh usaha yang tak semudah membalikkan telapak tangan.

Adapun rumah itu ibarat organisasi. Coba tengok rumah kita. Ada bagian teras, ada bagian ruang tamu, ada ruang keluarga, dapur, ruang makan, kamar tidur, kamar mandi, gudang, garasi, dsb. Semua punya ‘amanah’ masing-masing. Yang satu saling melengkapi yang lainnya. Yang satu saling menggenapkan fungsi yang lainnya. Misal, setelah seharian sibuk beraktivitas, badan rasanya capek dan butuh kesegaran. Raga pun segera beranjak ke kamar mandi untuk bersih-bersih diri lalu ke kamar tidur dan merebahkan badan menghilangkan rasa lelah.
Yups, rumah tangga!

Lalu kenapa judulnya KDRT (kalau disingkat)? Hehe. KDRT di sini bukan berarti Kekerasan Dalam Rumah Tangga, adopsi dari sebuah buku yang judulnya KDRT juga. Kekonyolan Dalam Rumah Tangga. Saya pun punya KDRT yang lain: Keremphongan Dalam Rumah Tangga, Keharmonisan Dalam Rumah Tangga, dan Kekompakan Dalam Rumah Tangga. Saya ingin share pengalaman saya selama 4 bulan ini mengayuh biduk rumah tangga, masih seumur jagung sih! Namun, saya ingin mengabadikan moment-moment seru bersama seseorang yang Insya Allah menjadi teman hidup saya di sepanjang sisa usia.

KDRT [1] : Keremphongan Dalam Rumah Tangga
Alhamdulillah, sudah 1 pekan ini kami menempati kontrakan yang baru di Istana 77. Keremphongan awal sudah tampak saat kami pindahan dari kost-kostan menuju kontrakan. Alhamdulillah nya, kami mendapat pinjaman mobil pick-up dari DPC Banyumanik. So, ongkos pindahan bisa dihemat. Baru berdua aja barang-barangnya sudah berkardus-kardus. Apalagi kardus-kardus itu kebanyakan milik saya, isinya buku-buku dan pernak-pernik. Haha. Jadi merasa bersalah. Saat boneka Doraemon saya yang super GD (kado pertama saat saya menginjakkan kaki pertama kalinya di kostan kami di Bogor), yang saya kasih nama Sisemon (xixi), terjatuh dari mobil pick up. Saking dia nggak dapat tempat. Untungnya, ada anak Etos yang waktu itu motoran dari belakang (yang juga turut membantu keremphongan kami). Dia yang menemukan dan mengambil Sisemon yang ‘nyungsep’ itu. Hihi. Lucu begete lah…

Keremphongan pun berlanjut, hari pertama kami pindahan -biar capeknya sekalian- akhirnya saya dan suami pun memutuskan untuk lanjut bersih-bersih dan beres-beres. Penataan barang-barang sesuai dengan tempatnya. Alhamdulillah, Allah menakdirkan saya memiliki seorang suami yang rajin, cinta kebersihan dan keindahan, pantang buang sampah sembarangan, dan selalu penuh kejutan. Wkwkwk. Meski terkadang sifat pelupanya muncul di saat yang kurang tepat. Tapi inilah saatnya saya yang ambil bagian. Haha. Beliau pun sangat berperan besar dalam proses penataan barang-barang kami itu. Dimana harus menaruh kulkas, almari, naruh rak piring, letak tempat sampah, bikin gantungan buat wajan n the gank, dsb. Keremphongan juga terjadi saat kami berdua membeli beberapa perkap yang dibutuhkan.

Keremphongan selanjutnya, tanggal 11 Maret kemarin adalah kali pertama saya ikut arisan PKK ibu-ibu di RT tempat tinggal saya. Perasaan di hati saya waktu itu campur aduk nggak jelas. Tapi saya sudah ngantongi salah satu modal. Gak terlalu penting sih, tapi rasa-rasanya penting juga. Saya sudah cukup hafal Mars PKK. Karena Ibuk dulu pernah beramanah sebagai ketua RT, terus kalau pas ada arisan di rumah, ibu-ibu pasti akan menyanyikan Mars PKK. Jadi ya, saya yang tipe pembelajar auditori sedikit-sedikit hafal di luar kepala. Hehe. Pertama jumpa dengan ibu-ibu se-RT. Wajah-wajah baru dengan beragam karakter. Clingak-clinguk… ups, sayalah anggota termuda. Kebanyakan seusia ibuk saya dan banyak juga yang sudah berstatus ‘yangti’. Tapi, kata Ibuk yang penting PD, siap belajar, dan ramah pada semua orang. Waktu itu setelah acara inti selesai, oleh Bu RT saya diberikan waktu khusus untuk memperkenalkan diri. Uhuy… arisan PKK pertama saya berhasil saya lalui dengan mulus. Alhamdulillah… ^_^

Keremphongan selanjutnya terjadi pada suatu pagi saat saya ingin melanjutkan kembali belajar merajut. Ya, insya Allah saya punya jadwal belajar merajut di hari Jum’at dari pagi sampai siang. Gratis. Dan lokasinya lumayan dekat dari rumah. Waktu itu saya mendadak sibuk mencari hakpen saya (jarum rajut). Perasaan Subuh tadi saya masih lihat hakpen itu di dekat keranjang, tempat biasa saya menaruh charger HP. Saya yakin banget. Duh, dimana ya??? Saya cari dimana-mana tidak ada. Yasudahlah, kegiatan merajut saya alihkan dengan merampungkan membaca novel anak karya Mas Gol A Gong dan Mbak Tias Tatanka. Meski dalam hati masih menaruh perasaan penasaran, dimana ya hakpen itu? Sempat terpikir SMS suami karena siapa tahu nyasar di tasnya. Tapi saya urungkan dan lebih memilih untuk asyik membaca.

Malam harinya saat ngobrol santai dengan suami, saya pun bertanya tentang hakpen itu. Dan apa jawabannya, dengan pasang wajah polos tanpa dosa (halah), suami pun mengeluarkan sebuah buku karya pak Heppy Trenggono, membukanya, sambil senyam-senyum nggak jelas lalu mengeluarkan batangan warna kuning dari bukunya itu. Aih, itu hakpen saya!

“Lha Mas tadi bingung ogh nyari pembatas buku, yasudah to, nemu ini terus Mas pake…” Huaaa, sedetik kemudian suami saya hadiahi banjir cubitan. Wkwkwk. Rasain! ^_^

Sekian kisah Keremphongan Dalam Rumah Tangga yang bisa saya tuliskan, masih banyak kisah remphong yang lain yang membuat hari-hari dalam rumah tangga saya menjadi penuh warna.

KDRT [2] : Keharmonisan Dalam Rumah Tangga
Keharmonisan dan keromantisan adalah saudara kembar. Hehe. Harmonis itu selaras, serasi, dan seimbang. Dan romantis itu tidak hanya sekadar berkata-kata tapi lebih pada aksi nyata Yups, saya dan dirinya ibarat sebuah puzzle. Adanya saling melengkapi dan tiadanya saling mengisi. Apakah saya pernah ngambek? Pernah! Apakah saya pernah menangis? Pernah! Apakah saya pernah jengkel? Pernah! Tapi semuanya menjadi mozaik kehidupan yang sungguh bertabur hikmah.

Ketika saya jengkel, saya tipe orang yang nggak bisa marah dan meledak-ledak. Ya, saya akui itu. Kalau muncul perasaan itu, saya redam dan melegakan hati saya dengan cara menangis. Hehe. Bukan berarti cengeng kan? Tapi bagi saya, air mata juga simbol ketegaran. Dan inilah salah satu cara saya dan perlahan suami pun paham. Kalau saya sudah ‘diem’ (nggak seperti biasanya. Xixixi. Eits, saya kalem kok! *plak!), pasti suami langsung menangkap ada yang tidak beres pada diri saya. Pun ketika tiba-tiba menangis, pasti ia langsung mendekat dan bertanya, “Lho adik kenapa menangis? Mas paling sedih kalau lihat adik nangis…” wkwkwk. Luculah gimana cara suami menghibur saya. Biasanya kami langsung saling memaafkan terus suami langsung ngajak saya jalan-jalan atau nraktir makan atau membelikan sesuatu. Ah, ternyata tips mengatasi saya ketika saya ngambek dulu sudah pernah ia tanyakan kepada kembaran saya. Dasaaar! Jadi ya, saya nggak jadi ngambek deh… ^_^ (maklum si bungsu).

Bagi saya romantis itu tidak sekadar pulang kerja lalu membawa kejutan dengan membawakan seikat bunga. Tapi, ditraktir sebungkus kebab kesukaan saya itu jauh lebih romantis. (Haha, ngemil mulu ni orang!) Apalagi saat ia berinisiatif membantu saya dalam urusan domestik. Tiba-tiba menyetrika semua baju saat saya terlelap tidur siang, tiba-tiba mencuci baju saat saya remphong di dapur, dsb. Itu juga bagian dari romantisme lewat aksi nyata yang sungguh penuh cinta yang membuat saya merah merona.

KDRT [3] : Kekompakan Dalam Rumah Tangga
Jujur, setelah resmi saya menjadi istrinya hal yang paling membuat saya deg-degan adalah bisa nggak ya saya beradaptasi dengan sosok yang baru saja saya kenal itu. Tapi Alhamdulillah, yang namanya jodoh ternyata di banyak sisi kita punya kemiripan. Dalam hal sifat juga, ada yang sama persis ada yang harus saling melengkapi. Pun juga ada sebuah tanda lahir yang sama. Kita sama-sama punya tahi lalat besar di dekat siku tangan kanan dengan posisi yang sama. Hehe. Pertama kali saat kita tahu dulu, kita berdua langsung heboh sendiri. Koyo cah cilik enthuk permen sunduk! Mehehehe…

Kekompakan itu mulai menghiasi hari-hari kita. Kompak dalam banyak hal. Salah satunya ketika memasak. Jujur, saya akui, suami saya jauh lebih pintar memasak daripada saya. Dari kecil, ia sudah terlatih mandiri. Kehilangan sosok ayah, membuatnya lebih bijak dan dewasa. Pun dengan rasa sayangnya kepada keluarga besarnya. Dari beberapa saudara, dialah yang lebih hafal nama-nama para ponakan yang jumlahnya bejibun itu berikut tabiat dan karakternya. Nah, kalau untuk urusan memasak Alhamdulillah sekarang saya pun mulai menyainginya. Nggak mau kalah dong! Bersyukur sekali rasanya punya suami yang nggak malu ketika belanja ke pasar bersama istri, ketika harus memotong sayuran, ketika harus menyiapkan bahan masakan, dsb.

Keterampilan memasak inilah yang selalu membuat saya merindu sosok Babe di Wonogiri. “Cenung temukan sosok Babe di menantumu yang satu ini, Be…” ^_^ Babe yang sangat sabar, humoris, dan jago masak. Kalau pas lagi masak bareng, pembagian tugas itu ‘ngalir’ dengan sendirinya. Kadang saya yang nyiapin bumbu, suami yang nyiapin bahan, terus remphong deh masak berdua sambil sesekali bercerita dan tertawa penuh canda. Ngekngok momentum lah… Yups, sekali lagi saya bersyukur punya suami yang tak segan-segan untuk berkontribusi di urusan dapur. Karena pernah saya dapat cerita dari sahabat saya, suaminya nggak bisa mbedain mana tumbar dan mana merica. Hehe. Ada-ada saja ya…

Kekompakan yang super remphong selanjutnya adalah beberapa waktu kemarin kita nyobain blender (kado dari saudara). Kami jadi heboh sendiri (dengan kekonyolan masing-masing) dan akhirnya sepakat untuk lebih rajin bikin jus buah. Ah, konyol dan errornya kami waktu itu. Hihi. Tapi kami jadi makin kompak lho! (Kompak konyolnya. Hehe)

Setiap ada waktu luang, kami sering ngobrol banyak hal. Paling seru ketika cerita masa kecil dan keluarga masing-masing. Mental pengusaha suami saya sudah tertanam sejak SD dan almarhum bapaklah yang mengajarinya mandiri semenjak kecil. Kalau suami sudah cerita tentang almarhum bapak saya seolah turut merasakan kerinduan yang tengah ia rasakan. “Bapak, semoga engkau bahagia di sana… Kelak, semoga kita dipertemukan di surga-Nya. Aamiin…”

Ya, dan banyak kekompakan-kekompakan lain yang menghiasi hari-hari kami. Saat saya selesai membaca buku (baik itu seputar dunia kepenulisan, kehamilan, dunia anak, kehidupan rumah tangga, dsb) suami saya akan selalu menjadi pendengar yang baik. Karena salah satu kebiasaan saya adalah menceritakan apa yang sudah saya baca. Setelah itu, kadang kami terlibat diskusi yang seru dari yang serius sampai yang super lucu.

Yups, 3 KDRT ini yang bisa saya tuliskan. Pada intinya, pilihan untuk menikah, menentukan pendamping hidup untuk kemudian menjalani kehidupan berumah tangga bersama pasangan itu tidak hanya berlaku 1-2 hari saja tapi sepanjang sisa usia. Dan kepada diri ini, saya ucapkan: “Selamat menjalani hari-hari yang penuh kejutan membahagiakan… Barokallahu fiik…”

Buat rekan-rekan, semoga bisa mempersiapkan dengan sebaik-baiknya, seindah-indahnya... Pun yang sudah berkeluarga semoga senantiasa berjuang untuk melahirkan sakinah, mawaddah, rohmah, menjadi keluarga dakwah dan amanah, bersama sampai ke Jannah. Aamiin...


[Keisya Avicenna, 130313: seorang muslimah yang masih terus belajar  menjadi istri shalihah serta ibu yang luar biasa untuk putra-putrinya kelak. Mohon do’a dari semua, ya…]

Aksara Kembara [9]: “Preparing To Be A Good Mother”

Friday, March 29, 2013 0 Comments
by Norma Keisya Avicenna (Notes) on Sunday, March 10, 2013 at 3:27pm

Ada sebab, ada akibat. Dan akibat yang saya alami berupa ilmu dan pengalaman luar biasa hari ini bermula dari sebuah sebab. Sebab yang tanpa disengaja tapi saya yakin semua sudah tertulis dalam catatan skenario-Nya yang memang harus saya yang jadi salah satu lakon utamanya.

Malam itu (saya lupa tepatnya tanggal berapa) suami tercinta mengajak saya untuk singgah dulu di masjid kampus UNDIP untuk menunaikan sholat Isya’ karena adzan sudah berkumandang. Setelah meletakkan sandal di area rak dekat tulisan ‘batas suci’ kami pun berpisah ke tempat wudhu masing-masing. Setelah berwudhu, saya lanjut naik ke lantai dua karena tempat sholat untuk akhwat memang di lantai dua. Lumayan sepi jama’ah akhwatnya. Paling hanya sekitar 7 orang dengan saya.

Setelah sholat, mata saya seolah tergerakkan untuk menatap sebuah pamfleat dengan judul yang sangat provokatif. Langsung saya mbatin, “Harus ikut nih! Ini yang saya butuhkan!” Saat nulis ini saya jadi teringat ketika masih mahasiswa dulu, kata temen-temen salah satu hobi saya tuh “baca pamfleat”. Hehe. Ya, bahkan dulu saat jalan bareng temen saya dan diselingi obrolan yang seru saya tiba-tiba suka ngilang mendadak. Haha. Temen-teman jadi ada yang ngrasa dicuekin. Lha wong saya ‘nyanthol’ di papan pengumuman yang memuat banyak sekali tempelan pamfleat tentang info apapun, seperti beasiswa, seminar-seminar, bahkan lomba. Malam itu pun saya seolah menemukan kembali hobi saya yang terpendam. Halah… Segera saja saya keluarkan HP kemudian mencatat hal-hal penting yang tertera di pamfleat itu. Termasuk menuliskan cara daftar untuk menjadi peserta. Saya baru tersadar, di sekeliling saya sudah tidak ada orang. Hihi. Dasar!

Saya bergegas turun, tak ingin suami menunggu terlalu lama. Sambil jalan ke parkiran, ngobrol dengan suami dan mendapatkan izin darinya, saya pun menghubungi panitia acara. Terjadilan kontak dengan panitia. Saya juga minta ke panitia untuk mengirimkan SMS publikasi biar saya bisa turut membantu memforward agenda penting itu ke rekan-rekan akhwat yang lain.

[ ]

Sabtu, 9 Maret 2013
Akhirnya, hari yang ditunggu-tunggu pun tiba juga.
“Selesaikan amanah di sektor domestik dulu karena kesuksesan di ranah domestik menjadi salah satu indikator kesuksesan di ranah publik. Jadi, urusan keluarga beres dulu…” Ini salah satu hal yang menjadi pegangan saya sebelum saya memutuskan untuk meninggalkan rumah. Ya, urusan rumah harus beres dulu. Ntah itu mencuci, menyapu, mengepel, memasak, cuci piring, beres-beres ruangan, dsb. Meninggalkan rumah dalam kondisi bersih dan rapi pun akan membuat hati menjadi lebih nyaman dan tenteram. Hehe. Akhirnya, jam 7.30 saya baru bisa berangkat menuju lokasi acara. Alhamdulillah, ada yang mengantarkan. Semoga Allah melipatgandakan pahala untukmu, sayang… Hmm, Sabtu seru saatnya berburu ilmu!

Selama di perjalanan, saya sempat SMSan dengan Ania yang ternyata sudah sampai terlebih dulu. Sekitar setengah jam perjalanan, sampailah saya di pelataran gedung E Universitas Dian Nuswantoro Semarang (UDINUS). Langsung saja, saya pamitan dengan sosok istimewa yang sudah mengantarkan saya itu, mencium punggung tangannya, dan pasang tampang plus senyuman paling manis (halah, gubrak!)

Bergegas saya naik ke lantai 3, registrasi di meja panitia, dan Alhamdulillah dapat bingkisan jilbab, snack, dan blocknote. Asyiiik… Segera saya cari posisi yang strategis meski ternyata bagian kursi terdepan sudah penuh. Sipp, saatnya mengeluarkan pena dan mengabadikan setiap ilmu yang didapat lewat rerangkai kata.

Acara ternyata telah dibuka dan setelah saya duduk ada operet dari adik-adik SMP IT Harapan Bunda. Di akhir terdengar sebuah nyanyian yang sungguh menyejukkan qalbu…
“…hanya sebuah lagu sederhana… Lagu cintaku untuk Mama…”
(huaaa,jadi kangen kedua Ibuk saya)

Lanjut ya, pemateri pertama adalah seorang ibu yang telah melahirkan sebanyak 4x namun putra/putrinya ada 5. Yups, putra beliau ada yang terlahir kembar. Beliau sudah sangat berpengalaman di dunia pendidikan, banyak terlibat dalam pendirian SDIT di Jakarta, seorang pemerhati anak dan remaja. Beliau adalah Bunda Yayah Komariah. Sekilas saat beliau duduk di kursi panggung, saya langsung merasa beliau mirip sekali dengan Almarhumah Bunda Yoyoh Yusroh. Hmm, Masya Allah…ternyata mereka memang bersahabat sangat dekat.

Bunda Yayah menyampaikan materi tentang “BAGAIMANA MENJADI IBU”. Ibu adalah madrasah pertama bagi putra-putrinya. Bunda Yayah juga menekankan bahwa ikut kegiatan parenting itu penting! Yups, saya pun merasakannya. Sejak zaman mahasiswa saya paling senang ikut seminar-seminar yang juga ada hubungannya dengan persiapan pernikahan, kehidupan berumah tangga, dsb. Dan ilmu yang dulu saya dapatkan sekarang perlahan namun pasti saya coba aplikasikan dalam keseharian.

Ohya, apa saja sih persiapan untuk menjadi seorang ibu?
  1. 1.  Persiapan Ruhiyah.
  • Yuks, buka mushaf, baca juga terjemahan dan tafsir dari QS. Ar-Ruum ayat 21. Renungi kandungan isinya!
  • Persiapan ruhiyah meliputi: beribadah dengan benar, mengerti fiqh wanita, ber-akhlaqul karimah.
  1. 2.  Persiapan Aqliyah
  • Banyak membaca
  • Mengikuti parenting
  • Belajar psikologi anak, belajar perkembangan anak, belajar cara berkomunikasi dengan anak..      

  1. 3. Persiapan Mental
  • Bisa mengelola emosi : sabar, tegar, dan tahan banting.
(NB : Saya sempat tergelak, saat Bunda Yayah mengungkapkan: ‘Lebih enak mendidik anak sendiri daripada anak mertua…” Hehe. Saya langsung inget endutku tersayang…#eh)
  1. 4.       Persiapan Keterampilan
  • Manajemen waktu
  • Keterampilan Rumah Tangga
  • Manajemen keuangan
  1. 5.       Persiapan Jasmani
  • Pola hidup sehat
  • Banyak olahraga
  • Makan makanan yang sehat dan bergizi

Pemateri kedua Bunda Hj. Sri Maskufah. Beliau sekarang beramanah sebagai Ketua Persaudaraan Muslimah (SALIMAH) Semarang. Alamat beliau pun di daerah Banyumanik. Sipp, moga kapan-kapan bisa silaturahim ke rumah beliau. Kakak ipar yang pengurus SALIMAH pasti juga kenal. Bunda Sri Maskufah menyampaikan tentang FIQH NIKAH. Pada awal penyampaian kita diingatkan dengan salah satu ayat cintanya, QS. Al Isra’ ayat 36. Hayooo, dibuka lagi yuks mushafnya!

Pada pembahasan kali ini lebih ‘provokatif’ untuk para akhwat yang sudah mempunyai niatan yang kuat untuk segera menggenapkan separuh agama. Hehe. Sip, simak ya…
1.     Perkawinan merupakan fitroh.
 2.     Perkawinan merupakan masalah sosial.
 3.     Perkawinan dengan cara memilih.

Yuks, kita bahas satu persatu…
Kebutuhan fitroh manusia ada 2 hal, yaitu:
1. PENDAMPING HIDUP.
Buka QS. Al-Baqoroh : 168 dan QS. Ar-Ruum : 30.
2. Memenuhi hajat biologis

Perkawinan adalah masalah sosial, karena
  1. Perkawinan dapat memelihara kelangsungan jenis manusia
  2. Memelihara keturunan.
  3. Menjaga keselamatan masyarakat dari dekandensi moral.
  4. Memberikan ketentraman jiwa.
  5. Saling bahu membahu dalam membina keluarga dan mendidik anak.
  6. Menghaluskan rasa kebapakan dan keibuan.

Perkawinan dengan cara memilih. Antara harta, tahta, rupa, dan agama. Tentu, pilihlah yang TERBAIK agamanya. Insya Allah, akan berbuah syurga…

Nah, ini hanya sedikit catatan reportase yang bisa saya tuliskan. Bagi rekan-rekan hebat saya yang saat ini tengah berdebar-debar mempersiapkan peristiwa yang luar biasa istimewa dalam hidupnya semoga dapat bermanfaat. Pun dengan para akhwat yang tengah menjalani fase ‘METAMORFOSA’. Saya ucapkan selamat menanti! Tapi, jadikan penantian itu penantian yang produktif! Terus perbaiki diri dan senantiasa jaga hati. Dulu salah satu prinsip saya, ketika masih ‘ngejomblo’ adalah : “HATI YANG MENJAGA UNTUK HATI YANG TERJAGA”. Dan kini saya merasakan buah manis dari perjuangan rasa sabar di masa lalu. Allahu akbar!

So, lagi-lagi saya kampanyekan: SAY NO TO ‘PACARAN’ BEFORE ‘AQAD’!!!

[Keisya Avicenna, 9-10 Maret 2013 @Istana IPK 77… “4 bulan menyemai cinta bersamamu 10-11-12…10-03-13”]

Aksara Kembara [8] : 77

Friday, March 29, 2013 0 Comments
by Norma Keisya Avicenna (Notes) on Thursday, March 7, 2013 at 10:47am
Eh, pagi ini aku merindukan Yusuf!

[ ]

Rasa-rasanya sudah lama juga aku nggak nulis aksara kembara, ya? Huum, dah lama banget! Jujur, sedikit curcol nih (halah) kesibukan setelah menikah itu jauh berlipat ganda jika dibandingkan saat dulu masih berstatus jomblo… Hehe. Aku akui sesampai di Semarang waktu menulisku menjadi sangat berkurang (tapi aku berjanji, mulai hari ini aku harus lebih rajin dan lebih disiplin lagi *ngiketkepalapakeserbet+krukupiwajan#eh). Dan kesibukan itu semakin bertambah saat kami memutuskan untuk menempati sebuah rumah kontrakan bernomor 77, tidak jauh dari Pasar Damar.

Sabtu-Ahad pekan kemarin menjadi hari-hari super remphong bagi kami. Mulai dari angkut-angkut barang dari kost lama (semenjak pindah dari Bogor dan memutuskan untuk berdomisili di Semarang karena belum langsung dapat kontrakan, kita ngekost dulu selama sebulan). Bayangpun… eh. Sebulan harus pisah dari wajan n the gank karena di kost tidak ada fasilitas dapur. Sebulan tanpa setrika (karena setrika saat itu baru diproses pengirimannya berikut lemari, kulkas, dan kawan-kawannya dari Bogor). Otomatis, sebulan makan di luar dan ngelaundry nyetrika. Aih aih... pemborosan tingkat bidadari sebenarnya. Tapi ya buat pengalaman aja! Hehe. Karena kondisi tidak memungkinkan dan sifatnya hanya sementara.

Dan Alhamdulillah, sekarang kami sudah bisa bernapas lega setidaknya untuk jangka waktu satu tahun ke depan. Kami sudah bisa menempati sebuah istana mungil, istana 77 yang semoga di dalamnya penuh dengan aktivitas-aktivitas yang istimewa. Menjadi baity jannati, menjadi istana yang bersinar benderang karena dinaungi cahaya Al Qur’an. Menjadi hunian yang nyaman dan aman untuk keluarga kecil kami pada khususnya. Bersyukurnya, kami dikelilingi oleh tetangga yang sangat baik dan ramah-ramah. Waktu awal tinggal pun, aku sudah pasang target pribadi. Setiap hari harus tambah kenalan tetangga minimal 2 orang. Suami pun begitu gencar menyemangatiku untuk bersosialisasi. Bahkan waktu hari pertama kita menghuni istana itu, suami langsung ngasih pertanyaan yang membutuhkan jawaban berupa pembuktian, “Dik, kontribusi apa yang bisa kita berikan untuk masyarakat di sini?”

Bu RT pun memberikan informasi kalau setiap tanggal 11 akan ada arisan PKK di balai RT (tak jauh dari istana 77). Hmm, harus ngapalin mars PKK dulu nih… *ndownload.com! ^_^ (menambah deret aktivitas emak-emak*enjoy aja!)

Konon, kata warga di sekitar kami. Kamilah pasangan termuda. Hehe. Kebanyakan para warga sudah berputra banyak, udah GD-GD, dan sudah punya cucu. Bismillah, semoga kami bisa menjadi warga baru yang baik, yang diterima dengan baik pula, dan mampu memberikan kontribusi yang maksimal, serta senantiasa memuliakan tetangga. "Dan berbuat baiklah kepada ibu-bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat dan tetangga yang jauh." (QS. An-Nisa' [4]: 36).

Sabda Rasulullah Shalallahu’alaihi wassalam... "Jibril tidak henti-hentinya berwasiat kepadaku agar berbuat baik kepada tetangga, hingga aku beranggapan bahwa ia akan mewarisi." (Muttafaq Alaih). "Barangsiapa beriman kepada Allah, dan Hari Akhir, hendaklah ía memuliakan tetangganya." (Muttafaq Alaih).

[ ]

Ohiya lupa, siapa Yusuf? Yusuf adalah seorang anak kecil yang biasa bermain di dekat kost kami dulu. Aku selalu menyapanya setiap pagi saat asyik mengepel atau menjemur baju. Kadang dia juga bertanya dengan logat khas anak-anak, “Kowe lagi ngopo, Mbak?”. Sering pula aku mendengar tangis Yusuf karena dia terluka atau saat dijahili teman bermainnya.

Sesekali aku pun berbagi kue dan bercerita banyak hal dengannya. Usianya yang baru 4 tahun membuatku semakin gemas padanya. Celoteh anak-anak yang lucu, lugu, dan apa adanya. Masih teringat jelas, tatapan nanar matanya saat aku sibuk angkut-angkut barang edisi pindahan. Tatapan sedih dan kehilangan. Ah, Yusuf… baik-baik di sana ya Nak! Kamu masih terlalu kecil untuk memahami makna sebuah ‘perpisahan’…

[ ]
Mekaten, monggo kulo aturi pinarak wonten gubug kulo…

 [Keisya Avicenna, @Istana IPK 77]
NB: Agenda terdekat di Istana IPK 77: ARISAN CABE (para alumni ETOS) Insya Allah tanggal 12 Maret 2012 jam 13.00 ^_^

Aksara Kembara [7]: “Bersamamu Memintalkan Do’a di Hari Bahagia”

Friday, March 29, 2013 0 Comments
by Norma Keisya Avicenna (Notes) on Sunday, February 3, 2013 at 4:30am
FEBRUARI bertabur CINTA
2 Februari 2010: "Merancang Miniatur Kehidupan: 23 tahun dalam CINTA, CITA, dan CERITA 'tuk menjadi pribadi IPK [Inspiratif, Prestatif, dan Kontributif]”

2 Februari 2011: "24 : untuk jiwaku yang sedang bertumbuh, dalam rindu yang berpeluh, tuk menjadi pribadi yang TEGAR dan TANGGUH!"

2 Februari 2012: "Seperempat Abad Lebih Bercahaya dalam Jejak Kelana Sarat Makna..."

2 Februari 2013: "Menuju 26 SUKSES-BERSINAR: Jadilah engkau pribadi yang tegar dan sabar, terus bersemangat dalam segala do'a dan ikhtiar. Milikilah jiwa yang takkan pernah gentar..."

Inilah suatu masa penuh cinta...
Dalam renungan panjang penghambaanku pada-Nya

Untuk ruang kecil bernama "HATI"

Biarkan ia memecah sepi...

Mencoba hadirkan pendar cahaya dalam nurani

Merangkumnya dalam untaian dua kata: "TEPAT dan TERBAIK"
Di penghujung dua lima...
[Detik-detik pergantian usia]



Ada hati yang penuh bunga hari ini. Alhamdulillah Ya Rabb, atas segala kenikmatan dan anugerah yang Engkau beri. Akhirnya tiba suatu masa saat diri berkurang usia.

Pagi-pagi bersama suami tercinta sarapan bersama “Pecel Perjuangan Bu Mar”. Mak nyuuus banget! Apalagi sambil minum teh madu. Lanjut ngisi amunisi buat si Mega Pro, beli roti goreng then… mbolang ke MAJT (Masjid Agung Jawa Tengah). Melewati Bukit Kencana, daerah yang baru pertama kali saya lalui. Ada satu pinta yang saya utarakan kepada belahan jiwa tercinta, saya ingin memanjatkan do’a sepenuh cinta di rumah Allah yang sangat istimewa itu, bersamanya…

Sesampai di MAJT masih sepi tapi suasana sungguh menyejukkan hati. Hanya ada beberapa siswa SMA dan gurunya sedang jalan-jalan sehabis olahraga, beberapa pengunjung masih bisa dihitung dengan jari. Akhirnya, saya dan Mas Sis jalan berkeliling dulu. Sambil tebak-tebakan. Hehe.
Saya: “Endut sayang, coba tebak pilar ungu itu ada berapa?”
Mas Sis: “Emangnya berapa?”
Saya: “Ada 25. Coba dihitung! Itu tuh Gaya Romawi. Pilar-pilar bergaya koloseum Athena di Romawi dihiasi kaligrafi-kaligrafi yang indah, menyimbolkan 25 Nabi dan Rosul. Di gerbang itu ditulis dua kalimat syahadat, pada bidang datar tertulis huruf Arab Melayu “Sucining Guno Gapuraning Gusti“. Masya Allah, kereeen ya?”
Mas Sis: “Hu um…”
Saya: “Tebak lagi, berapa tinggi Menara Asma’ul Husna?”
Mas Sis: “Berapa ya say? Kasih tahu nggak ya?”
Saya: “99 meter say! Mantap!”

Area serambi Masjid Agung Jawa Tengah dilengkapi 6 payung raksasa otomatis seperti yang ada di Masjid Nabawi, Tinggi masing masing payung elektrik adalah 20 meter dengan diameter 14 meter. Payung elektrik dibuka setiap shalat Jumat, Idul Fitri dan Idul Adha dengan catatan kondisi angin tidak melebihi 200 knot, namun jika pengunjung ada yang ingin melihat proses mengembangnya payung tersebut bisa menghubungi pengurus masjid.

Kita pun duduk-duduk sambil menikmati pemandangan yang sungguh mendamaikan hati. Cericit burung, langit biru yang luas membentang, sang bayu yang menyejukkan qalbu, wah… keren lah pokoknya!

Sekitar jam 9, kita kembali ke parkiran. Gelar rapat ‘bisnis’ di sana bersama Nur Isnaini sambil nunggu Imam juga. Alhamdulillah, dapat setangkai bunga mawar putih dari sahabat saya yang satu ini sekaligus kartu ucapan bertuliskan: “Dear Mbak Cenung, duh yang lagi seneng… Met milad ya Mbak. Barokallahu fii umrik. Moga makin langgeng sama misua dan semoga lekas diberi momongan. Aamiin ^_^. Best regards, Iis.”

Rapat pun berlangsung seru, sesaat setelah Imam datang Iis pamit karena harus ke kios. Setelah rapat selesai, saya dan Mas Sis pun kembali ke bangunan utama masjid. Duduk-duduk berdua. Sampai akhirnya, ada orang yang bisa dimintai bantuan untuk mengabadikan moment alias foto-foto. Hehe. Ah, seru dan bahagianya!



Terima kasih, sayang… <3 allah="" coz="" i="" love="" strong="" you="">
"Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?"
Sebuah hadiah terindah: Ar-Rahman...

Hari ini, di kala sang mentari kembali membuka hari
Dan pagi pun datang mnggantikan shift malam…
Hari baru tlah tiba…

Selamat berkurang usia, Norma…
Semoga kedewasaan semakin terpancar dalam jiwa…
Bersiap merenda impian, dan berjuang mewujudkannya hingga jadi nyata

Berapa saldo usia yang tersisa?
Tak pernah ku tahu jawabnya…
Hanya ikhtiar dan doa penuh kesungguhan yang bisa terus ku lakukan
Semoga dengan bertambahnya usia, dengan berkurangnya jatah usia
Kan menjadikanku semakin dewasa
Menjadi sosok insan yang selalu memberikan kebermanfaatan untuk sekitarnya
Menjadi sumber inspirasi dan motivasi, terlebih untuk diri sendiri…

[Keisya Avicenna, 2 Februari 2013]



"Kaulah hadiah teramat istimewa dalam hidupku, pemberian yang TEPAT dan TERBAIK dari Rabbku..."

Friday, February 01, 2013

Aksara Kembara [5]: “Meminang Surga”

Friday, February 01, 2013 0 Comments

Ketika Imam Syafi’i ditanya sejak kapan beliau mendidik anak, maka jawabannya sungguh diluar dugaan.
"Sejak aku belum menikah,” kata beliau.
"Aku mencarikan istri yang baik lagi shalihah, sebagai tempat lahirnya anak-anakku," lanjut beliau.

Iya, benar.
Karena Istri adalah sebagian dari darah, sebagian dari nyawa yang akan membentuk karakter anak itu kelak.
Maka mengetahui latar belakang akhlak calon istri adalah wajib hukumnya.

Lihatlah bagaimana Umar Ibn Khattab, menikahkan putranya, dengan seorang gadis jujur, yang ia dengar percakapan gadis itu dengan ibunya, dimana gadis itu menolak mencampurkan susu dengan air. Karena itu adalah perbuatan curang lagi tercela, sekaligus dosa.

Maka dinikahkanlah gadis itu dengan putranya. Kelak lahirlah dari rahim gadis itu cucu Umar Ibn Khattab yang kita kenal juga dengan nama Umar. Umar bin Abdul Aziz....Penyelamat sejarah Bani Umayyah, sekaligus termasuk dalam kategori Khalifah ke-5 diluar dari 4 Khalifah yang kita kenal

Maka bagaimana mungkin akan lahir Generasi Rabbani jika calon istrimu memiliki sejarah hitam dalam lumpur maksiat? Maka buanglah ‘cinta semumu’ itu di pojok sejarah...
Carilah Istri, yang shalihah lagi cantik dan baik hati. Disanalah rahim itu akan mencatat generasi baru: Generasi Rabbani.


Engkau Harus Sadar!
Ketika engkau menikah, maka harus mempunyai cita-cita yang tinggi, besar, dan bening…

Surga Allah...
itulah cita-cita kita semua!

Maka jangan biarkan mengalir...
Karena jika mengalir cita-cita itu tak terkendali
Tapi harus…

Dikonsep!
Dievaluasi!


Kalau engkau laki-laki jadilah LELAKI PEMINANG SURGA, dan jikalau engkau muslimah jadilah MUSLIMAH yang DIRINDU SURGA hingga engkau layak dicemburui oleh para bidadari…
Dunia ini tengah menanti para Generasi Rabbani yang lahir dari keturunanmu, keturunanku, keturunan kita semua...
Semoga Allah mencatatnya sebagai cita dan doa yang terijabah…
Aamiin Ya Robb.

***

Subhanallaah!
Cinta memiliki kekuatan yang luar biasa. Pantaslah kalau cinta membutuhkan aturan. Tidak lain dan tidak bukan, agar cinta itu tidak berubah menjadi cinta yang membabi buta yang dapat menjerumuskan manusia pada kehidupan hewani dan penuh kenistaan. Bila cinta dijaga kesuciannya, manusia akan selamat. Para pasangan yang saling mencintai tidak hanya akan dapat bertemu dengan kekasih yang dapat memupus kerinduan, tapi juga mendapatkan ketenangan, kasih sayang, cinta, dan keridhaan dari Dzat yang menciptakan cinta yaitu Allah SWT. Di negeri yang fana ini atau di negeri yang abadi nanti.

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikanNya di antara kamu rasa kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.”(QS. Ar-Ruum : 21).

[Keisya Avicenna, serakan inspirasi 30 Januari]

Aksara Kembara [6]: "Hari-hari Meriah Bersama ‘Si Merah’..."

Friday, February 01, 2013 0 Comments

Benar ya, ketika pernikahan memanjangkan ikatan tali silaturahim. Sahabat suami adalah sahabat saya juga. Dan bersyukurnya saya ketika dipertemukan dengan sahabat-sahabat beliau yang keren-keren dan luar biasa. Salah satunya adalah seorang mahasiswi berprestasi UNDIP, pernah menyabet gelar juara III MITI Awards, anak ETOS 2006 (semua anak Etos pasti kenal dia), dan segudang prestasi lainnya. Dan yang jelas darinya saya belajar bagaimana sih sosok seorang muslimahpreneur sejati. Mantap lah!

Kali pertama berjumpa waktu itu adalah hari pertama suami masuk kerja di kantornya yang baru di daerah Pandanaran. Saya pun ikut ke Semarang bawah karena posisi kami belum dapat kostan (berangkat dari KarangJati) sekaligus saya mau survey GO di daerah Semarang. Jadilah jam 9 saya mbolang sendirian di Gramedia Pandanaran sedangkan suami masuk kerja. Iseng SMS sosok muslimah UNDIP itu, pengin ngajak ketemuan sekaligus saya pengin transit di kostnya atau kiosnya. Ternyata balasan SMSnya mengatakan dia sedang ada kesibukan sampai siang. Yasudah, saya puas-puasin baca buku di Gramedia sampai akhirnya saya menemukan sebuah buku yang selama ini saya cari dan saya butuhkan. Adzan Dhuhur berkumandang, sholat dulu di mushola kemudian keluar Gramedia. Terkadang SMS-an juga dengan suami, beliau memastikan posisi dan kondisi saya. Hehe.

Tapak langkah kaki saya membawa jiwa dan raga ini ke toko buku selanjutnya. Masih di Pandanaran. Yups, toko buku Merbabu. Di toko ini saya berhasil melahap habis satu buku yang sangat keren tanpa harus membeli. Hihi. Plus beli camilan karena perut mulai keroncongan.

Hampir saja saya memutuskan pulang ke Banyumanik (ke rumah kakak ipar) karena belum juga dapat kepastian dari muslimah itu. Sampai akhirnya mata fashion saya mengajak untuk singgah di Rabbani. Akhirnya, muncul nama dia di inbox HP saya, dia akan menjemput saya! Asyiiik…

Hmm, pertemuan pertama begitu memesona. Selanjutnya, saya ditraktir makan siang. Soto yang aduhai lezatnya! Pertama kenal langsung ngrasa cocok dan akrab. Berasa kita dah sahabatan cukup lama. Muslimah yang sangat ceria, lucu, dan unik. Hehe. Mungkin 3 kata itu cukup mewakili sosok dia di mata saya. Di sela makan, kita pun ngobrol panjang-lebar. Saya pun diinterogasi terkait “proses” saya dengan suami saya. Lucu banget lah! Setelah makan, saya diajak ke kostannya dan di sanalah saya mendapatkan salah satu pengalaman yang luar biasa. Terapi Lintah di lidah! Wew… ^_^ Muslimah ini sedang mengepakkan sayap bisnisnya di dunia terapi herbal, bekam, punya kios beras organic, sayur organic, nugget organic, dll. Keren lah! Dan kini kita tengah berkolaborasi bersama untuk mewujudkan impian bersama. Inilah sepenggal kisah tentang pertemuan pertama, sampai akhirnya berlanjut dengan pertemuan-pertemuan selanjutnya yang sungguh lebih istimewa dan penuh makna.

Tapi, yang paling berkesan dan benar-benar mencerminkan keunikan dia adalah peristiwa tertanggal 29 Januari silam. Hehe *izinkan saya tertawa terlebih dahulu. Pagi-pagi saya dan suami sudah meluncur ke Semarang bawah tepatnya ke butik Khair (tempatnya Hani/ fb: Mutiara Hati). Butik yang menjadi markas kita rapat setiap pagi (markas sementara DNA Semarang). Pagi itu Hani tidak ikut rapat karena ada wisuda dan sumpah profesi. Rapat yang biasa ber-6 hanya ber-4 saja, karena Akh. Agus juga gak bisa datang. Usai rapat (sekitar jam 9) dan Mas Sis juga harus ngantor, saya dan dia pun meluncur ke kiosnya. Kesibukan seorang muslimahpreneur pun bisa saya tangkap dengan segenap indera. Setengah jam di sana selanjutnya kami pun ke toko bunga, beli krisan ungu untuk Hani. Ada kejadian konyol karena lupa toko bunga mana yang kemarin dia sambangi waktu beli bunga juga. Aih, parah! Padahal baru beberapa hari yang lalu.

Kejadian konyol selanjutnya. Kita ke Kariadi, ke FK UNDIP. Parkiran penuh. Ada sela sempit di antara dua motor plus ada genangan air dengan diameter sekitar 30 cm (saya lupa nggak ngukur pake penggaris). Dia pun mencoba memarkir motornya di tempat itu. Dan apa yang terjadi saudara-saudara? Praaang! Kluthiiik… Kaca spion sepeda motor tetangga pecah dan jatuh. Kepanikan sesaat pun terjadi. Jujur, saya tidak mampu lagi mengungkapkan kejadian waktu itu dengan kata-kata, yang jelas ekspresi spontannya sungguh membuat saya terpingkal-pingkal (tapi dalam hati). Akhirnya, dia pun berinisiatif menulis pesan singkat di selembar kertas dan ditindihi helm. Selanjutnya kami pun mencari Hani. Tapi ternyata yang dicari sudah sampai di Khair. Muslimah itu pun menelepon dengan sangat histeris. Wkwkwk *pilihan kata histeris kayaknya terlalu lebay. Tapi kamu memang unik! Hihi. Kita pun kembali ke parkiran dan mengedit tulisan di secarik kertas tadi. (Konon sampai pagi tadi sang pemilik motor belum menghubungi nomor yang tertera untuk menuntut ganti rugi. Hehe. Mungkin dah diikhlasin kali ya?)

Ah, ini hanya catatan hijau untuk sahabat saya dengan karakter ‘merah’. Sosok yang keras (pejuang keras pluz keras kepala. Hehe), merah yang penuh semangat, pribadi yang supel, ramah, baik hati, visioner, muslimahpreneur tangguh, dan 3 kata tadi: ceria, lucu, dan unik. Hoho, special thanks untuk suami saya tercinta karena telah mengenalkan saya dengan sosok muslimah yang satu ini. Sehingga hari-hari saya di Semarang pun semakin penuh warna. Haiyyaaah…

Sahabat…
Ceria ini kan selalu mengembang bersama untaian senyummu…
Kebersamaan karena CINTA
Berbalut lembutnya KASIH SAYANG…

Ayo mbolang lagi say… ^_^
Kapan-kapan ajak ke PERKEBUNAN MELATI di Pekalongan dunk! *ngarep

[Keisya Avicenna, penghujung Januari berkisah tentang Nur Isnaini, cahaya Senin. Jangan-jangan kau lahir hari Senin say? Sama donk! hihi *gakpentingtapipueeeeentingbuaaangeeet!]