Jejak Karya

Jejak Karya

Wednesday, October 27, 2010

Harap

Wednesday, October 27, 2010 1 Comments

Bumiku marah... bumiku menangis... bumiku terguncang!

~Semoga masih banyak doa-doa tulus yang dikirim ke Arsy-Nya! Doa dari penduduk bumi yang menyayanginya~


[Aisya Avicenna]

Melanggar Jam Malam

Wednesday, October 27, 2010 0 Comments

Senin, 25 Oktober 2010. Hari ini jadwalku stand by di Unit Pelayanan Perdagangan (UPP). Minimal seminggu sekali, kami (beberapa staf baru Direktorat Impor) memang mendapat jatah tugas untuk menjadi front liner (layaknya di bank). Tugas kami cukup signifikan dalam menentukan proses importasi. UPP adalah “pintu utama” keluar masuknya perizinan impor di Kementerian Perdagangan. Kami biasa bertugas dari jam 9 sampai jam 5 sore. Semuanya serba online.
Hari ini, rencananya setelah tugas di UPP mau langsung pulang. Tapi ternyata hujan turun dengan lebatnya. Akhirnya, aku naik saja ke lantai 9 (Direktorat Impor). Malah dapat tugas untuk menjawab surat dari importir. Berbahasa Inggris pula. A good challenge for me! Habis Maghrib, jawaban untuk surat itu tinggal editing saja. Setelah pekerjaan selesai, aku putuskan untuk pulang meski air masih terus dimuntahkan dari langit. Saat itu pukul 18.30.
Awalnya mau naik taksi saja karena perut ini tak bisa diajak kompromi. Desminor, hari pertama! Menunggu di dekat pintu gerbang kantor, tapi taksi selalu berisi penumpang. Akhirnya, berjalan menuju tempat biasa menanti Kopaja 502. Subhanallah, banyak juga ‘pesaing’nya. Ternyata sejak tadi mereka juga menunggu kedatangan Kopaja 502. Tak seperti biasanya, Kopaja 502 jarang lewat. Sekalinya lewat, sudah tak ada sisa ruang untuk mengangkut kami yang masih berjajar di sepanjang trotoar. Menunggu dan terus menunggu. Taksi kosong yang sliweran di depanku tak mau berhenti saat aku mencoba menghentikannya. Ada apa ini? Aku merapal doa.
Satu jam berlalu. Kaki rasanya sudah kaku. Perut serasa diremas-remas. Kesabaran dan kekuatan (terutama fisik) tengah diuji! Ya Rabb, semoga hamba kuat. Lahaula walaquwwata ila billah... Berdzikir, sesekali bernasyid lirih...
Di sini aku mengharap ridho-Mu
Di sini aku mengiba rahmat-Mu
Di sini aku tambat munajatku
Di sini aku kembali
(Izzatul Islam)
Ibuk SMS. Mencemaskan keadaanku setelah beliau melihat berita di TV tentang banjir dan kemacetan yang melanda ibukota. Aku ceritakan keadaanku, bukan bermaksud menambah cemas beliau, tapi aku mengharapkan doa terbaik dari bunda tercinta. Tiba-tiba… Brakkk! Di depanku ada empat motor yang tabrakan dan jatuh. Pengendara motor yang tahu kalau motornya agak rusak, langsung marah-marah pada pengendara yang menabrak. Hmm, akhirnya aku berjalan ke arah utara beberapa meter, takut kalau berlama-lama di situ. Tapi sepertinya tidak sampai terjadi perkelahian.
Saat itu masih gerimis. Alhamdulillah, akhirnya bertemu dengan Mbak Prima, teman kantor. Jadi ada teman ngobrol. Mbak Prima mengenalkanku dengan seorang temannya, Mbak Neny. Ternyata Mbak Neny juga mengarah ke daerah Kampung Melayu. Berhubung tidak ada Kopaja 502 yang bisa dinaiki, maka aku dan Mbak Neny sepakat naik bajaj sampai ke Senen. Alhamdulillah, dapat ‘bajaj biru’, jadi cukup nyaman. Mbak Prima pulang berjalan kaki karena kostnya memang dekat dengan kantor.
Alhamdulillah, sampai juga di Senen. Eh, ongkosnya dibayar Mbak Neny dan tak mau diganti. Rezeki di kala hujan! Subhanallah, tambah terkejut lagi karena di Senen jumlah orang yang menunggu angkot juga sangat banyak. Ramai sekali. Awalnya, aku dan Mbak Neny sepakat untuk naik taksi saja. Tapi ternyata tak satu juapun taksi yang mau berhenti saat kami ‘STOP’. Mbak Neny memutuskan untuk naik busway. Aku tak mengikutinya karena jarak shelter busway ke kostku cukup jauh. Aku tetap menunggu angkot atau taksi yang lewat. Angkot 01 tak kunjung lewat. Naik bajaj saja sampai ke Kampung Melayu. Begitu pikirku. Tak lama kemudian, ada ‘bajaj biru’ yang berhenti di depanku. Mau menawarnya, keduluan seorang ibu muda yang berdiri di sampingku.
“Jatinegara berapa, Pak?” tanya ibu itu.
“Dua puluh lima ribu!” jawab sopir bajaj.
Aku mendekati sang ibu, “Ibu mau ke Jatinegara? Saya mau ke Kampung Melayu! Bareng saja Bu!” Ibu itu mengiyakan.
“Pak, ke Kampung Melayu ya? Berapa?” tanyaku pada sang sopir.
“Empat puluh ribu!” jawabnya.
“Tiga puluh ya Pak!” tawarku.
“Tiga lima deh!” jawab sang soper, final!
Sepakat. Tiga puluh lima ribu sampai terminal kampung Melayu. Di dalam bajaj, aku berkenalan dengan ibu muda yang bernama Dina itu. Mbak Dina ternyata akan dijemput suaminya di Kampung Melayu. Wah, enak juga ya kalau dah punya “jemputan”. Hehe... batinku!
But, the fight must go on....!!! Hujan sudah reda, tapi masih menyisakan dingin yang merasuk. Dan tentunya, kemacetan yang kian menggila.
Pak sopir mengambil jalan alternatif saat bajaj sudah memasuki kawasan Salemba. Sampai juga di Matraman. Subhanallah, sepanjang jalan banyak orang yang menunggu angkot. Tak sedikit juga yang berjalan kaki. Setelah melewati Gramedia Matraman, tiba-tiba bajajnya berhenti. Macet. Berulang kali pak sopir berusaha menyalakan, tapi tak kunjung bisa. Akhirnya, aku dan mbak Dina mau tak mau turun di situ. Tiga puluh ribu melayang. Wow, perjalanan masih jauh untuk bisa sampai di terminal Kampung Melayu. Sudah hampir pukul 22.00. Ya Rabb... jadi teringat semasa di Solo. Jam 20.00 sudah tidak boleh ‘berkeliaran’. Melanggar jam malam nih! Deg-degan juga...
Tak ada satupun angkot 01 yang lewat. Akhirnya kami memutuskan untuk jalan kaki. Alhamdulillah, kaki ini masih kuat untuk melangkah. Kami long march dari Matraman sampai Gang Kelor. Lumayan juga ‘jalan-jalan’nya! Alhamdulillah, di Gang Kelor kami bertemu dengan angkot 06 yang masih kosong dan akhirnya naik angkot itu. Sampai di kampung Melayu, Mbak Dina turun. Masih dengan angkot 06, aku menyusuri jalan Otista yang juga macet. Beberapa penumpang yang mobilnya terjebak di jalur busway, keluar dari mobilnya. Pukul 22.30 sampai jua di dekat ATM BCA Otista. Aku turun di situ.
Aku masih harus berjalan melewati gang-gang kecil untuk bisa sampai di kost. Saat aku menengadah ke atas, ada senyum purnama bertahta di singgasana langit. Subhanallah, indahnya. Jalanan sepi. Aku mempercepat langkah. Ada cemas sekaligus harap, semoga jalan samping kost tidak tergenang banjir. Alhamdulillah, Allah menjawab doaku. Bersyukur sekali ada penjual nasi goreng yang masih mangkal. Akhirnya, aku membeli sebungkus nasi goreng dulu. Lapar nian! Setelah itu, aku masuk gang menuju kostku. Masya Allah, ternyata sore tadi banjirnya parah. Beberapa warga masih terjaga. Mereka membersihkan rumah yang sempat kemasukan air. Ternyata kostku juga. Lantai 1 kebanjiran. Dua kamar milik sahabatku terpaksa ‘dievakuasi’ barang-barangnya. Alhamdulillah kamarku (Redzone) berada di lantai 2, jadinya aman-aman saja. Jam dinding merah bermerk “Ummi” tepat menunjukkan pukul 23.00 saat aku memasuki Redzone. Alhamdulillah... langsung telepon Ibuk. Ternyata Babe dan Ibuk masih terjaga menunggu kabar dariku. Setelah itu makan malam bersama my supertwin yang tengah kelaparan menanti makanan yang aku bawa. Afwan ya!
Subhanallah walhamdulillah, kisah yang luar biasa hari ini! Semoga bisa mengambil hikmahnya. Terus bersabar dan senantiasa bersyukur ya! Allah akan selalu bersama kita... aamiin...

Redzone, 27 Oktober 2010
Aisya Avicenna

Tuesday, October 26, 2010

Bidadari Surga

Tuesday, October 26, 2010 0 Comments

"Yakinlah, wanita-wanita salehah yang sendiri, namun tetap mengisi hidupnya dengan indah, berbagi, berbuat baik, dan bersyukur. Kelak di hari akhir sungguh akan menjadi bidadari-bidadari surga. Dan kabar baik itu pastilah benar, bidadari surga parasnya cantik luar biasa."

~Epilog "Bidadari-Bidadari Surga", Tere Liye~

Hujan = Rahmat

Tuesday, October 26, 2010 0 Comments

Langit mencurahkan perasaannya pada bumi melalui tetes-tetes air hujan yang
riang. Semakin lama semakin deras. Seakan puas membuat diri didera
cemas. Harap mulai menyergap, moga air tak meninggi melebihi mata kaki.

~Hujan adalah rahmat-Nya~

Monday, October 25, 2010

Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin

Monday, October 25, 2010 1 Comments

Pukul 02.00 dini hari aku kembali terjaga saat “For The Rest of My Life”-nya Maher Zain terlantun dari ‘mesin ketik mini’ kesayanganku. Ah, tertanya netbook itu lupa dimatikan oleh seseorang. Seseorang yang waktu aku terbangun tadi, dia masih terlelap. Pulas. “Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin”-nya Tere Liye masih terpegang di kedua tanganku. Tapi kini posisinya sudah telungkup. Ternyata aku ketiduran saat tengah membacanya semalam. Membaca sambil tidur, bukan kebiasaanku memang, tapi jangan ditiru!
Teringat petualangan kemarin. Pukul 09.00 aku menjemput seseorang di stasiun Jatinegara. Setelah itu, dia kuajak ke kost kemudian kami berdua bertandang ke Masjid Amir Hamzah, Taman Ismail Marzuki. Pertemuan dengan rekan-rekan FLP Jakarta memang selalu berbuah kesan. Termasuk pertemuannya kali ini, untuk pertama kalinya pula! Setelah dari situ, kami menyempatkan diri untuk makan siang. Baru setelah cukup energi, kami melanjutkan perjalanan ke Gramedia Matraman. Inilah program bulananku : BBG (Baca Buku Gratis). Dia kubiarkan berkeliling mencari buku pilihannya. Oh ya, "dia" adalah saudari kembarku. Kini, kami tengah dipertemukan-Nya dalam sebuah perjalanan hidup yang kelak entah akan membawa kami ke kisah yang seperti apa. Hanya Allah yang Maha Tahu kelanjutan dari kisah yang tengah kami lakoni ini.
Aku bergerilya dari satu rak ke rak lainnya untuk mencari sebuah buku yang tepat untuk kubaca siang itu. Penasaran dengan sinopsis yang tertulis di halaman permulaannya, terambillah sebuah novel baru karya Tere Liye. Judulnya "Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin”. Berikut rentetan tulisan yang kumaksud di atas :

Dia bagai malaikat bagi keluarga kami. Merengkuh aku, adikku, dan Ibu dari kehidupan jalanan yang miskin dan nestapa. Memberikan makan, tempat berteduh, sekolah dan janji masa depan yang lebih baik.
Dia sungguh bagai malaikat bagi keluarga kami, Memberikan kasih sayang, perhatian dan teladan tanpa mengharap budi sekalipun. Dan lihatlah aku membalas itu semua dengan membiarkan mekar perasaan ini.

Ibu benar, tak layak aku mencintai malaikat keluarga kami. Tak pantas. Maafkan aku, Ibu. Perasaan kagum, terpesona, atau entahlah itu muncul tak tertahankan bahkan sejak rambutku masih dikepang dua.

Sekarang, ketika aku tahu dia boleh jadi tidak pernah menganggapku lebih dari seorang adik yang tidak tahu diri, biarlah.. Biarlah aku luruh ke bumi seperti sehelai daun dan yang tidak pernah membenci angin meski harus terenggut dari tangkai pohonnya.
***

Aku penasaran. Tertarik, lantas mengambil novel yang sudah terbebas dari plastik pembungkusnya. Aku menuju ke tempat baca, ternyata kursi baca sudah ditempati semua. Tersisalah sebuah dinding kaca di dekat kursi baca itu. Punggung ini kusandarkan pada dinding, kemudian bab pertama novel bersampul hijau itu aku buka.
Saat sedang khusyuk membaca, ada pengumuman dari operator,
"Kepada segenap pengunjung yang berada di areal buku, diharapkan untuk tidak duduk di lantai"
Beberapa pengunjung yang duduk di lantai langsung berdiri. Aku yang tengah bersandar di dinding kaca (jadi inget lagu masa kecil : thicko.. thicko di dinding... hehehe, salah ding!) dan masih asyik dengan novel itu mendadak terusik dengan gerak-gerik seseorang yang berada 1 meter sebelah kiriku. Awalnya dia duduk di lantai, setelah ada peringatan itu, dia memang beralih posisi. Dari duduk menjadi JONGKOK! Dia jongkok dan kembali fokus membaca. Cuek! Ahihihi... jadi tertawa dalam hati.
Menjelang pukul tiga sore, novel setebal 256 halaman itu belum jua kubaca sampai setengahnya! Lha baca novelnya sambil YM-an sih! Kebetulan waktu asyik baca, ada YM yang masuk, dari seseorang yang baru saja membuka blogku. Seorang akhwat. Namanya Kartika. Mirip namaku. Biasa dipanggil Twika. Serasa buku-buku yang terbujur kaku di rak-rak itu menjadi saksi terkoneksinya kami. Ukhti Twika ternyata lolos ujian tertulis CPNS Kementerian Perdagangan RI. Beliau diskusi denganku terkait pengalamanku saat psikotes dan wawancara. Jadinya ya baca buku sambil YM-an deh. Alhamdulillah, lewat blog, aku jadi punya banyak saudara baru.
Berhubung ada urusan yang harus kami selesaikan, aku pun mengembalikan novel yang diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama itu ke singgasananya semula. "Suatu saat aku ke Gramedia Matraman lagi saja, merampungkan novel ini. Toh, hampir tiap bulan aku ke sini", batinku. Akhirnya, aku membeli "Bidadari-Bidadari Surga"-nya Tere Liye. Saudari kembarku membeli sebuah buku juga. Setelah kami turun ke lantai 1, sempat aku membeli beberapa peralatan kantor yang aku butuhkan. Saat itulah ada yang berkecamuk dalam hatiku, PENASARAN! Ya, aku masih penasaran dengan kelanjutan kisah Tania dalam novel yang tadi belum selesai kubaca. Setelah bayar di kasir, aku bergegas ke lantai 3, tempat novel itu. Akhirnya, "Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin" resmi menjadi penghuni baru di Al-Firdaus, perpustakaan pribadiku. Menjadi rencanaku, bahwa aku ingin mengoleksi semua novelnya Tere Liye. Aku masih penasaran dengan penulisnya juga. Sampai detik ini belum ada kesempatan untuk bertemu!

Pulang dari Gramedia Matraman, saat sang mentari hampir sampai di tempat peraduannya, kami masih mencari rental komputer yang bisa mencetak warna. Hasilnya NIHIL!

Selang beberapa saat kemudian...
"Ada mbak..." sebuah SMS balasan dari seorang adik mahasiswi STIS saat kutanya apakah di kostnya ada yang punya printer warna dan malam ini bisa digunakan. Sehabis Maghrib, aku dan saudari kembarku langsung meluncur ke kostnya. Subhanallah, sambutan yang luar biasa dari adik-adik STIS karena mereka 'terkejut' dengan kehadiran duplikatku. Hmm... heboh! ^^v
Misi supertwin sukses!
Menjelang tidur, ada rasa penasaran yang masih belum terjawab. Akhirnya aku membaca novel Tere Liye yang sempat 'terpending' sore tadi. Ternyata, malah tertidur saat tengah membacanya. Alhamdulillah, novel itu selesai setelah sahur keesokan harinya!
***

Novel itu berkisah tentang sepasang kakak beradik yang sehari-harinya bekerja sebagai pengamen jalanan, Tania dan Dede. Suatu hari, saat sedang mengamen di sebuah bus, mereka bertemu dengan seseorang yang kemudian menjadi malaikat dalam kehidupan mereka. Dia menolong Tania yang kakinya tertusuk paku payung. Seterusnya, dialah penopang kehidupan Tania, Dede dan ibunya. Pertemuan dengan seseorang itu juga mengajarkan Tania sebuah perasaan baru. Tania yang saat itu berusia 11 tahun tanpa sadar sudah berkenalan dengan rasa cemburu saat seseorang itu mengenalkannya dengan Ratna.
Hari-hari setelah kehadiran seseorang itu merupakan sebuah awal baru dalam kehidupan Tania. Dia dan adiknya bisa bersekolah kembali, mereka bisa tinggal di tempat tinggal yang lebih layak, dan ibunya bisa memulai usaha yang dulu diidam-idamkannya. Sayangnya kebahagiaan itu terganti dengan duka. Dua tahun berselang, ibu Tania meninggal dunia. Ada sebuah pesan ibu Tania yang sekaligus menjadi janji yang terpatri dalam diri Tania. Janji apakah itu???
Setelah 'resmi' menyandang status sebagai yatim piatu, Tania dan Dede kembali diselamatkan oleh seseorang yang menjelma menjadi malaikat bagi mereka.
Seseorang itu ternyata penulis, penyuka warna biru, dan pengunjung setia sebuah toko buku. Sosok yang misterius. Aku sangat suka dengan karakter misterius seperti seseorang dalam novel ini. Keren!!
Waktu terus berjalan. Tania yang cerdas berhasil mendapat beasiswa untuk bersekolah di Singapura. Kok bisa? Lantas, bagaimana dengan nasib Dede dan seseorang itu? Apa ia jadi menikahi Ratna? Bagaimana akhir kisah cinta Tania? Apa ia berani berkata jujur bahwa ia mencintai seseorang bak malaikat itu? Ada rahasia terpendam yang akhirnya terungkap. Rahasia apakah itu???
Untuk urusan bercerita, Tere Liye memang tak perlu diragukan lagi. Dilihat dari segi sudut pandang, penokohan, alur, setting, ahhh... pokoknya jadi tak mau berhenti membaca kelanjutan dari setiap bab. Rasa penasaran mendera untuk segera meloncat ke bab berikutnya. Secara keseluruhan, novel ini cukup menarik untuk dibaca. Sayang, rasa penasaran itu masih saja menggelayut sampai akhir kata dalam novel ini. Tere Liye masih menyisakan pertanyaan di akhir novel seharga Rp 32.000,00 tersebut.

Apa ya kalimat yang dibisikkan seseorang itudi telinga Tania di akhir cerita itu?


***
Beberapa baris tulisan yang mengesankan bagi saya.

“Tania, kehidupan harus berlanjut. Ketika kau kehilangan semangat, ingatlah kata-kataku dulu. Kehidupan ini seperti daun yang jatuh... Biarkanlah angin yang menerbangkannya...” (70)
“Dalam urusan perasaan, di mana-mana orang jauh lebih pandai ‘menulis’ dan ‘bercerita’ dibandingkan saat ‘praktik’ di lapangan. (174)
“Daun yang jatuh tak pernah membenci angin. Bahwa hidup harus menerima... penerimaan yang indah. Bahwa hidup harus mengerti... pengertian yang benar. Bahwa hidup harus memahami... pemahaman yang tulus. Tak peduli lewat apa penerimaan, pengertian, dan pemahaman itu datang. Tak masalah meski lewat kejadian yang sedih dan menyakitkan. Tak ada yang perlu disesali. Tak ada yang perlu ditakuti. Biarkan dia jatuh sebagaimana mestinya. Biarkan angin merengkuhnya, membawanya pergi entah ke mana. Dan kami akan mengerti, kami akan memahami... dan kami akan menerima” (197)
“Lebih baik menunggu. Kau tidak ingin terjebak oleh kebaikan itu sendiri. Ada banyak kebaikan yang justru berbalik menikam, menyakitkan pemberinya.” (213)
“Pria selalu punya ruang tersembunyi di hatinya. Tak ada yang tahu, bahkan percayakah kau, ruang sekecil itu jauh lebih absurd daripada seorang wanita terabsurd sekalipun.” (213)
“Dia memandang lamat-lamat sepotong kehidupan itu. Menjahitnya. Membuat pakaian masa depan yang rapuh dari semua masa lalu yang getas" (221).
“Orang yang memendam perasaan sering kali terjebak oleh hatinya sendiri. Sibuk merangkai semua kejadian di sekitarnya untuk membenarkan hatinya berharap. Sibuk menghubungkan banyak hal agar hatinya senang menimbun mimpi. Sehingga suatu ketika dia tidak tahu lagi mana simpul yang nyata dan mana simpul yang dusta" (227)

***
Novel ini memang betul-betul akan mengaduk perasaan. Terharu dan bisa memecah benteng pertahanan air mata kita! Sama sekali tidak ada rasa kecewa saat berhasil menyelesaikan novel ini dalam waktu yang tak lama. Novel yang menyuguhkan sebuah kisah cinta yang sederhana, dibalut dengan gaya tulisan yang sangat indah, serta jalan cerita yang tak mudah ditebak. Tentang cinta, kepedulian, optimisme, dan kasih sayang pada sesama.

Kalau ingin menyelami kisah "CINTA DALAM DIAM", belilah novel ini! Kemudian, bacalah! Kalau tak mau membeli, pinjam ke aku juga boleh! ^^v

Selamat membaca dan terinspirasi karena novel ini!

Jakarta, 251010_15:57
Aisya Avicenna

Private World

Monday, October 25, 2010 0 Comments

Setiap individu mempunyai 'dunia'nya sendiri-sendiri. Sebuah 'dunia' yang memiliki dinamika dan kompleksitas yang berbeda-beda. Sebuah dunia yang memiliki batas-batas otoritas dan wilayah-wilayah sendiri yang tak semua orang bisa memasukinya!

~Ada kalanya, terperangkap dalam batas-batas otoritas 'dunia' itu memang membuat kita tenggelam dalam renungan. Muhasabah, kemudian menyadari sesuatu dan berusaha memperbaiki yang seharusnya diperbaiki!~


[Aisya Avicenna]

Siap dan Sungguh

Monday, October 25, 2010 0 Comments
Allah Swt memberi "sesuatu" sesuai dengan "kesiapan & kesungguhan" kita!

~Allah Maha Tahu dan Maha Melihat keadaan hamba-Nya, bahkan sampai pada 'denting kecil' yang ada di palung hati yang terdalam~

[Aisya Avicenna]

Friday, October 22, 2010

Luruh

Friday, October 22, 2010 0 Comments

Diskusi yang mampu memberi jawaban"keresahan"Q hari ini. Bertemu dengan seorang Saudari tanpa sengaja, karena beliau tak membawa payung akhirnya kami sepayung berdua. Di akhir diskusi, bliau berujar : "Saat ini kita memang belum mampu berbuat banyak. Tapi apa yang kita pakai sekarang adalah sebuah konsekuensi," katanya sambil memegang jilbab putihnya. "Sabar ya Dek, selamat berjuang!" Katanya setelah kami berjabat erat.

~Bulir-bulir bening ini pun luruh bersama rinai hujan~

[211010-ba'da Maghrib di depan kantor]

Aisya Avicenna

Thursday, October 21, 2010

Pendakian

Thursday, October 21, 2010 0 Comments

Ibarat melakukan pendakian, jalan menuju puncak memang tak slalu mudah. Akan ada batu cadas atau tebing curam yang mnghadang! Akan tetapi, setelah sampai di puncak akan tergantikan dengan hamparan awan yang luar biasa indahnya, bunga-bunga edelweis yang merona, hembusan bayu yang sejukkan jiwa, dan senyum mentari hangatkan hati!

Allahu Akbar!!!

~LELAH VS LILLAH, teruslah berjuang, berani melangkah, dan jangan mudah menyerah!

[Aisya Avicenna]

Lelah vs Lillah

Thursday, October 21, 2010 1 Comments

Detik waktu terus berjalan Berhias gelap dan terang Suka dan duka, tangis dan tawa Tergores bagai lukisan (Rapuh – Opick)

Idealnya dan memang seharusnya demikian, bahwa setiap aktivitas kita hendaknya berlandaskan pada niat untuk mendapatkan ridho-Nya, menempatkan cinta kepada Allah dan Rasul-Nya di atas segala, karena hanya dengan cinta itu yang dapat mengalahkan godaan dunia yang meraja. Cinta itu adalah cinta hakiki yang membuat manusia melihat dari sudut pandang yang berbeda, menjadikan hidupnya lebih bermakna dan lebih indah.

“Segala amal itu tergantung niatnya, dan setiap orang hanya mendapatkan sesuai niatnya. Maka barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu dinilai sebagai hijrah kepada Allah dan Rasul-Nya. Barang siapa yang hijrahnya itu karena kesenangan dunia atau karena seorang wanita yang akan dinikahinya, maka hijrahnya itu kepada apa yang ditujunya” (H.R Bukhari dan Muslim)

Tapi, tak bisa dipungkiri! Dalam perjalanan hidup ini, hati kita kerapkali terisi oleh cinta selain-Nya, mudah sekali terlena oleh indahnya dunia, terkadang melakukan segalanya bukan karena-Nya. Terkadang kita tersudutkan dalam ruang hati yang kelam, hati terbuai karena merasa senang jika dilihat dan dipuji orang, keikhlasan pun menghilang, kecewa dan lelah kerap mendera, padahal Allah tidak pernah menanyakan hasilnya. Dia hanya melihat kesungguhan dalam setiap proses perjuangan kita.

“Dan di antara manusia, ada yang berkata : ‘Kami beriman kepada Allah dan hari akhir’. Padahal sesungguhnya mereka itu bukanlah orang-orang yang beriman. Mereka menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal nereka hanyalah menipu diri sendiri tanpa mereka sadari. Dalam hati mereka ada penyakit, lalu Allah menambah penyakitnya itu dan mereka mendapat azab yang pedih karena mereka berdusta.” (Q.S. Al-Baqarah [2] : 8 – 10)

Seribu mimpi berjuta sepi
Hadir bagai teman sejati Di antara... lelahnya jiwa Dalam dosa dan air mata Kupersembahkan kepada-Mu Yang terindah dalam hidupku (Rapuh-Opick)

Kala perjuangan terasa berat, saat amanah makin bertambah, hadirlah rasa lelah menapaki jalan-Nya. Mulai mengeluh, merasa terbebani bahkan terpaksa untuk menjalankan tugas yang mulia. Astaghfirullah!!! Padahal tiada kesakitan, kelelahan serta kepayahan yang dirasakan oleh seorang hamba melainkan Allah mengampuni dosanya.
“Dijadikan terasa indah dalam pandangan manusia cinta terhadap apa yang diinginkan, berupa perempuan-perempuan, anak-anak, harta benda yang bertumpuk dalam bentuk emas dan perak, kuda pilihan, hewan ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik” (Q.S. Ali ‘Imran [3] : 14)

Dunia memang kerap menyuguhkan kedahsyatan tipuannya. Jangan sampai kita terlena! Jangan sampai amalan baik kita tertutup oleh maksiat yang tak kita sadari. Sedihnya, saat nurani yang bersih menjadi terkotori oleh nafsu duniawi, saat ibadah hanya rutinitas belaka, saat fisik dan pikiran disibukkan oleh dunia, saat wajah menampakkan kebahagiaan yang semu.

Coba tanyakan pada hatimu! Bagaimanakah kabarnya? Sedang bahagiakah? Menangis? Damai? Atau Merana?

Meski ku rapuh dalam langkah Kadang tak setia kepada-Mu Namun cinta dalam jiwa Hanyalah pada-Mu (Rapuh – Opick)

Sombongnya kita! Sering bangga pada diri sendiri, padahal sungguh tiada satupun yang membuat kita lebih di hadapan-Nya selain ketaqwaan. Padahal kita menyadari bahwa tiap-tiap jiwa pasti akan mati, namun kita masih bergulat dengan kefanaan. Taqwa? Sudah cukup layakkah kita menyandang gelar itu???!!!

Naudzubillah, saat tiada getar ketika asma Allah disebut, saat tiada sesal ketika kebaikan terlewatkan begitu saja, saat tiada rasa dosa ketika mendzolimi diri dan saudara. Apakah hati kita sudah mati??? Oh, tidak!!!

Maafkanlah bila hati Tak sempurna mencintai-Mu Dalam dada, kuharap hanya diri-Mu yang bertahta (Rapuh – Opick)

Semoga jiwa kita masih memiliki cahaya cinta itu. Jangan biarkan cahaya itu padam. Maka terus kumpulkan cahaya itu hingga ia dapat menerangi jiwa, memberikan keindahan Islam yang sesungguhnya, hanya dengan kekuatan dari-Nya. Mari terus istiqomah di jalan perjuangan ini!

“Wahai orang-orang yang beriman! Bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung!” (Q.S. Ali ‘Imran [3] : 200)

Kini jelas tiap langkahku Illahi jadi tujuanku Apapun yang aku lakukan Islam selalu jadi pegangan Masa muda penuh karya untuk-Mu Tuhan Yang aku persembahkan sebagai insan beriman Mumpung muda kutak berhenti menapak cita Menuju negeri surga yang nun jauh di sana (Masa Muda – Edcoustic)
***
Ibarat melakukan pendakian, jalan menuju puncak memang tak slalu mudah. Akan ada batu cadas atau tebing curam yang mnghadang! Akan tetapi, setelah sampai di puncak akan tergantikan dengan hamparan awan yang luar biasa indahnya, bunga-bunga edelweis yang merona, hembusan bayu yang sejukkan jiwa, dan senyum mentari hangatkan hati! Allahu Akbar!!! ~LELAH VS LILLAH, teruslah berjuang, berani melangkah, dan jangan mudah menyerah!
***
Renungan pagi, beriring celoteh burung-burung kecil dan semilir lembut sang bayu...
Redzone, 211010_05:37
Aisya Avicenna