Jejak Karya

Jejak Karya

Monday, May 18, 2009

REFLEKSI PERAN GURU DALAM DINAMIKA PENDIDIKAN DI INDONESIA

Monday, May 18, 2009 0 Comments

Urgensi Pendidikan

Pendidikan dalam konteks upaya merekonstruksi suatu peradaban merupakan salah satu kebutuhan (jasa) asasi yang dibutuhkan oleh setiap manusia dan kewajiban yang harus diemban oleh negara agar dapat membentuk masyarakat yang memiliki pemahaman dan kemampuan untuk menjalankan fungsi-fungsi kehidupan selaras dengan fitrahnya serta mampu mengembangkan kehidupannya menjadi lebih baik dari setiap masa ke masa berikutnya.

Pendidikan pada dasarnya merupakan upaya dari manusia untuk dapat memperoleh pengetahuan dan keterampilan dalam rangka memenuhi kelangsungan hidupnya, yang tidak akan dapat berarti apabila tidak disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi yang ada
Problematika Pendidikan di Indonesia

Masalah pengelolaan dan efisiensi pendidikan di Indonesia diantaranya dikelompokan berdasarkan tiga hal yaitu:
1. Kinerja dan Kesejahteraan Guru Belum Optimal
Kesejahteraan guru merupakan aspek penting yang harus diperhatikan oleh pemerintah dalam menunjang terciptanya kinerja yang semakin membaik di kalangan pendidik. Berdasarkan UU No.14/2005 tentang Guru dan Dosen, pasal 14 sampai dengan 16 menyebutkan tentang Hak dan Kewajiban diantaranya, bahwa hak guru dalam memperoleh penghasilan adalah di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial, mendapatkan promosi dan penghargaan, berbagai fasilitas untuk meningkatkan kompetensi, berbagai tunjangan seperti tunjangan profesi, fungsional, tunjangan khusus bagi guru di daerah khusus, serta berbagai maslahat tambahan kesejahteraan
Guru sebagai tenaga kependidikan juga memiliki peran yang sentral dalam penyelenggaraan suatu sistem pendidikan. Sebagai sebuah pekerjaan, tentu dengan menjadi seorang guru juga diharapkan dapat memperoleh kompensasi yang layak untuk kebutuhan hidup. Dalam teori motivasi, pemberian reward dan punishment yang sesuai merupakan perkara yang dapat mempengaruhi kinerja dan mutu dalam bekerja, termasuk juga perlunya jaminan kesejahteraan bagi para pendidik agar dapat meningkatkan kualitas dan mutu pendidikan yang selama ini masih terpuruk. Dalam hal tunjangan, sudah selayaknya guru mendapatkan tunjangan yang manusiawi untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya mengingat peranan dari seorang guru yang begitu besar dalam upaya mencerdaskan suatu generasi.

2. Proses Pembelajaran yang Konvensional

Dalam hal pelaksanaan proses pembelajaran, selama ini sekolah-sekolah menyelenggarakan pendidikan dengan segala keterbatasan yang ada. Hal ini dipengaruhi oleh ketersediaan sarana-prasarana, ketersediaan dana, serta kemampuan guru untuk mengembangkan model pembelajaran yang efektif.
Dalam PP No 19/2005 tentang standar nasional pendidikan disebutkan dalam pasal 19 sampai dengan 22 tentang standar proses pendidikan, bahwa proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Adanya keteladanan pendidik, adanya perencanaan, pelaksanaan, penilaian, dan pengawasan yang efektif dan efisien dalam proses pembelajaran.

3. Jumlah dan Kualitas Buku yang Belum Memadai
Ketersediaan buku yang berkualitas merupakan salah satu prasarana pendidikan yang sangat penting dibutuhkan dalam menunjang keberhasilan proses pendidikan. Sebagaimana dalam PP No 19/2005 tentang SNP dalam pasal 42 tentang Standar Sarana dan Prasarana disebutkan bahwa setiap satuan pendidikan wajib memiliki sarana yang meliputi perabot, peralatan pendidikan, media pendidikan, buku dan sumber belajar lainnya, bahan habis pakai, serta perlengkapan lain yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan (ayat 1).


Permasalahan Guru di Indonesia
Dalam dunia pendidikan, keberadaan peran dan fungsi guru merupakan salah satu faktor yang sangat signifikan. Guru merupakan bagian terpenting dalam proses belajar mengajar, baik di jalur pendidikan formal, informal maupun nonformal. Oleh sebab itu, dalam setiap upaya peningkatan kualitas pendidikan di tanah air, guru tidak dapat dilepaskan dari berbagai hal yang berkaitan dengan eksistensi mereka.
Filosofi sosial budaya dalam pendidikan di Indonesia, telah menempatkan fungsi dan peran guru sedemikian rupa sehingga para guru di Indonesia tidak jarang telah di posisikan mempunyai peran ganda bahkan multi fungsi. Mereka di tuntut tidak hanya sebagai pendidik yang harus mampu mentransformasikan nilai-nilai ilmu pengetahuan, tetapi sekaligus sebagai penjaga moral bagi anak didik. Bahkan tidak jarang, para guru dianggap sebagai orang kedua, setelah orang tua anak didik dalam proses pendidikan secara global.

Saat ini setidak-tidaknya ada empat hal yang berkaitan dengan permasalahan yang dihadapi guru di Indonesia, yaitu : pertama, masalah kualitas/mutu guru, kedua, jumlah guru yang dirasakan masih kurang, ketiga, masalah distribusi guru dan masalah kesejahteraan guru.

1. Masalah Kualitas Guru
Kualitas guru Indonesia, saat ini disinyalir sangat memprihatinkan. Berdasarkan data tahun 2002/2003, dari 1,2 juta guru SD saat ini, hanya 8,3%nya yang berijasah sarjana. Realitas semacam ini, pada akhirnya akan mempengaruhi kualitas anak didik yang dihasilkan. Belum lagi masalah, dimana seorang guru (khususnya SD), sering mengajar lebih dari satu mata pelajaran (guru kelas) yang tidak jarang, bukan merupakan inti dari pengetahuan yang dimilikinya, hal seperti ini tentu saja dapat mengakibatkan proses belajar mengajar menjadi tidak maksimal.

2. Jumlah Guru yang Masih Kurang
Jumlah guru di Indonesia saat ini masih dirasakan kurang, apabila dikaitkan dengan jumlah anak didik yang ada. Oleh sebab itu, jumlah murid per kelas dengan jumlah guru yang tersedia saat ini, dirasakan masih kurang proporsional, sehingga tidak jarang satu raung kelas sering di isi lebih dari 30 anak didik. Sebuah angka yang jauh dari ideal untuk sebuah proses belajar dan mengajar yang di anggap efektif. Idealnya, setiap kelas diisi tidak lebih dari 15-20 anak didik untuk menjamin kualitas proses belajar mengajar yang maksimal.

3. Masalah Distribusi Guru

Masalah distribusi guru yang kurang merata, merupakan masalah tersendiri dalam dunia pendidikan di Indonesia. Di daerah-daerah terpencil, masih sering kita dengar adanya kekurangan guru dalam suatu wilayah, baik karena alasan keamanan maupun faktor-faktor lain, seperti masalah fasilitas dan kesejahteraan guru yang dianggap masih jauh yang diharapkan.

4. Masalah Kesejahteraan Guru
Sudah bukan menjadi rahasia umum, bahwa tingkat kesejahteraan guru-guru kita sangat memprihatinkan. Penghasilan para guru, dipandang masih jauh dari mencukupi, apalagi bagi mereka yang masih berstatus sebagai guru bantu atau guru honorer. Kondisi seperti ini, telah merangsang sebagian para guru untuk mencari penghasilan tambahan, diluar dari tugas pokok mereka sebagai pengajar, termasuk berbisnis di lingkungan sekolah dimana mereka mengajar. Peningkatan kesejahteaan guru yang wajar, dapat meningkatkan profesinalisme guru, termasuk dapat mencegah para guru melakukan praktek bisnis di sekolah.


Peran Guru dalam Dunia Pendidikan

Daoed Yoesoef menyatakan bahwa seorang guru mempunyai tiga tugas pokok yaitu tugas profesional, tugas manusiawi, dan tugas kemasyarakatan (sivic mission). Jika dikaitkan pembahasan tentang kebudayaan, maka tugas pertama berkaitan dengar logika dan estetika, tugas kedua dan ketiga berkaitan dengan etika.
Tugas-tugas profesional dari seorang guru yaitu meneruskan atau transmisi ilmu pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai lain yang sejenis yang belum diketahui anak dan seharusnya diketahui oleh anak. Tugas manusiawi adalah tugas-tugas membantu anak didik agar dapat memenuhi tugas-tugas utama dan manusia kelak dengan sebaik-baiknya. Tugas-tugas manusiawi itu adalah transformasi diri, identifikasi diri sendiri dan pengertian tentang diri sendiri. Usaha membantu kearah ini seharusnya diberikan dalam rangka pengertian bahwa manusia hidup dalam satu unit organik dalam keseluruhan integralitasnya seperti yang telah digambarkan di atas. Hal ini berarti bahwa tugas pertama dan kedua harus dilaksanakan secara menyeluruh dan terpadu.

Guru seharusnya dengan melalui pendidikan mampu membantu anak didik untuk mengembangkan daya berpikir atau penalaran sedemikian rupa sehingga mampu untuk turut serta secara kreatif dalam proses transformasi kebudayaan ke arah keadaban demi perbaikan hidupnya sendiri dan kehidupan seluruh masyarakat di mana dia hidup. Tugas kemasyarakatan merupakan konsekuensi guru sebagai warga negara yang baik, turut mengemban dan melaksanakan apa-apa yang telah digariskan oleh bangsa dan negara lewat UUD 1945 dan GBHN.

Ketiga tugas guru itu harus dilaksanakan secara bersama-sama dalam kesatuan organis harmonis dan dinamis. Seorang guru tidak hanya mengajar di dalam kelas saja tetapi seorang guru harus mampu menjadi katalisator, motivator dan dinamisator pembangunan tempat di mana ia bertempat tinggal.
Ketiga tugas ini jika dipandang dari segi anak didik maka guru harus memberikan nilai-nilai yang berisi pengetahuan masa lalu, masa sekarang dan masa yang akan datang, pilihan nilai hidup dan praktek-praktek komunikasi. Pengetahuan yang kita berikan kepada anak didik harus mampu membuat anak didik itu pada akhimya mampu memilih nilai-nilai hidup yang semakin komplek dan harus mampu membuat anak didik berkomunikasi dengan sesamanya di dalam masyarakat, oleh karena anak didik ini tidak akan hidup mengasingkan diri. Kita mengetahui cara manusia berkomunikasi dengan orang lain tidak hanya melalui bahasa tetapi dapat juga melalui gerak, berupa tari-tarian, melalui suara (lagu, nyanyian), dapat melalui warna dan garis-garis (lukisan-lukisan), melalui bentuk berupa ukiran, atau melalui simbul-simbul dan tanda tanda yang biasanya disebut rumus-rumus.

Efektivitas dan efisien belajar individu di sekolah sangat bergantung kepada peran guru. Abin Syamsuddin, seorang pakar pendidikan, mengemukakan bahwa dalam pengertian pendidikan secara luas, seorang guru yang ideal seyogyanya dapat berperan sebagai :
1. Konservator (pemelihara) sistem nilai yang merupakan sumber norma kedewasaan;
2. Inovator (pengembang) sistem nilai ilmu pengetahuan;
3. Transmitor (penerus) sistem-sistem nilai tersebut kepada peserta didik;
4. Transformator (penterjemah) sistem-sistem nilai tersebut melalui penjelmaan dalam pribadinya dan perilakunya, dalam proses interaksi dengan sasaran didik;
5. Organisator (penyelenggara) terciptanya proses edukatif yang dapat dipertanggungjawabkan, baik secara formal (kepada pihak yang mengangkat dan menugaskannya) maupun secara moral (kepada sasaran didik, serta Tuhan yang menciptakannya).

Dalam perspektif perubahan sosial, guru yang baik tidak saja harus mampu melaksanakan tugas profesionalnya di dalam kelas, namun harus pula berperan melaksanakan tugas-tugas pembelajaran di luar kelas atau di dalam masyarakat. Hal tersebut sesuai pula dengan kedudukan mereka sebagai agent of change yang berperan sebagai inovator, motivator dan fasilitator terhadap kemajuan serta pembaharuan. Dalam masyarakat, guru dapat berperan sebagai pemimpin yang menjadi panutan atau teladan serta contoh (reference) bagi masyarakat sekitar. Mereka adalah pemegang norma dan nilai-nilai yang harus dijaga dan dilaksanakan. Ini dapat kita lihat bahwa betapa ucapan guru dalam masyarakat sangat berpengaruh terhadap orang lain.

Pada peringatan Hari Pendidikan Nasional tanggal 2 Mei 2009, beberapa waktu lalu, yang bertemakan “Pendidikan Sains, Teknologi, dan Seni Menjamin Pembangunan Berkelanjutan dan Meningkatkan Daya Saing Bangsa”. Tema ini sesuai dengan Kebijakan Pendidikan Nasional ke depan yang menitikberatkan pada peningkatan pendidikan yang berkelanjutan, senantiasa relevan dan strategis dalam menghadapi setiap permasalahan, dan tidak hanya terbatas pada permasalahan internal pendidikan, tetapi juga peka terhadap perubahan yang terjadi di tengah masyarakat secara nasional, regional, maupun dunia.

Berkaitan dengan hal itu, maka kebijakan Pendidikan Nasional diarahkan pada peningkatan pendidikan sains, teknologi dan seni, sehingga dapat meningkatkan kualitas pendidikan berkelanjutan dan daya saing bangsa di masa depan. Dalam merealisasikan visi dan misi tersebut, peran guru (para pendidik) menjadi suatu bagian penting yang tidak bisa dipisahkan dalam dinamika pendidikan di Indonesia dan berperan dalam meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia.

Ki Hajar Dewantoro menggambarkan peran guru sebagai stake holder atau tokoh panutan dengan ungkapan-ungkapan Ing Ngarso Sung Tulodho, Ing Madya Mangun Karso, Tut Wuri Handayani. Di sini tampak jelas bahwa guru memang sebagai “pemeran aktif”, dalam keseluruhan aktivitas masyarakat di bidang pendidikan secara holistik. Tentunya para guru harus bisa memposisikan dirinya sebagai agen yang benar-benar membangun, sebagai pelaku propaganda yang bijak dan menuju ke arah yang positif dalam dinamika pendidikan yang sedang dialami oleh bangsa Indonesia saat ini.

(dari berbagai sumber...by: Nungma saat ikut lomba artikel LSP FKIP UNS)

Tuesday, May 12, 2009

DICARI : ILMUWAN YANG MEMBUMI!!!

Tuesday, May 12, 2009 0 Comments
Bagaimana mengemas suatu kisah temuan saintifik menjadi dongeng indah di telinga masyarakat? Jangankan di Indonesia, di negara maju pun hal itu masih sulit dilakukan. Lantas bagaimana agar orang awam tak langsung mengerutkan kening begitu menengar kata “sains”? Betulkah ilmuwan kita tak punya aplikasi sederhana yang mampu mempermudah hidup kita sehari-hari?

Dalam suatu bincang-bincang, sempat terbetik keluh kesah seorang ilmuwan bahwa sesungguhnya mereka punya teknologi untuk mengembangkan padi-padi canggih yang tahan wereng, tahan kering dan sebagainya. Menurutnya kalau teknologi itu dikomersialisasikan, akan bisa menjawab masalah krisis pangan belakangan ini. Lantas kalau tak salah salah satu pengunjung bertanya, “Lho, saya tak pernah dengar. Minimal saya tak pernah dengar di media massa atau ada iklannya.” Si ilmuwan langsung terdiam.

Beberapa teman ilmuwan langsung tersinggung saat wakil presiden Jusuf Kalla beberapa waktu lalu mengatakan bahwa ilmuwan Indonesia hanya bisa seminar saja. Sebuah kritik pedas tapi tentunya bukan tanpa alasan. Bisa jadi komentar Kalla itu hanya representasi dari suara masyarakat yang menganggap bahwa sejauh ini ilmuwan tak menciptakan suatu temuan yang cukup berarti dalam mengatasi beragam masalah keseharian.

Padahal jika ditilik, semua problem yang kita hadapi saat ini selayaknya bisa diselesaikan dengan sains dan teknologi. Namun agaknya banyak orang lupa fakta tersebut akibat ilmuwan sendiri kadang justru menjadi “alien” di tengah komunitas sosial bernama masyarakat.

Popularisasi

Sebenarnya, mahluk apakah ilmuwan itu? Dari pengalaman saya sekitar 5 tahun meliput beragam acara sains dan teknologi di Indonesia, berputar-putar sekitar LIPI, BPPT, Bakosurtanal, BATAN dan LAPAN, semoga saja presepsi saya tentang ilmuwan Indonesia tidak terlalu salah kaprah. Kelima instansi tersebut adalah Lembaga Penelitian Non Departemen (LPND), yakni lembaga yang melakukan penelitian namun bukan di bawah naungan departemen pemerintah. Artinya mereka selayaknya independen, mampu melakukan tugas penelitian secara bebas, mandiri, dan selayaknya mampu mensosialisasikannya.

LT Handoko, ilmuwan fisika dari LIPI sempat mendebat saya dalam tulisan saya sebelumnya, “Mengapa Ilmuwan Harus Menulis Ilmiah Populer “. Menurut peraih Habibie Awards 2004 ini, kenapa pakai kata “harus”? Tidakkah itu pemaksaan ala Orba? Handoko juga mengemukakan bahwa penulisan ilmiah populaer tidak harus dilakukan oleh ilmuwan, melainkan ada orang yang memang berprofesi sebagai itu, yakni penulis sains alias science writer.

Betul, saya setuju bahwa ilmuwan tetap membutuhkan pihak ketiga untuk membantu mereka meleburkan ilmunya. Membumikan pengetahuan yang didapatnya dari negeri luar, dengan teori-teori yang tak dipahami publik awam, temuan yang melibatkan serangkaian rumus rumit, dan seterusnya. Betul, sains bukan sulap abrakadabra yang bisa langsung dinikmati masyarakat walau sudah menghabiskan banyak dana dan riset tahunan. Benar sekali bahwa ilmuwan bukan ahli pemasaran yang mampu cuap-cuap “jual diri” sehingga masyarakat langsung paham apa manfaat berkutat di laboratorium atau menghabiskan waktu di depan monitor komputer.

Keseharian

Jangankan kita di negara berkembang, Jenny Gristock, penulis sains asal Inggris saja masih melihat bahwa ada gap tajam antara ilmuwan dan masyarakat sekitarnya. “Sains bukan hanya menghadirkan sesuatu yang terputus dari kehidupan orang banyak. Hari ini kita bicara bahwa sains itu melibatkan para pakar. Itu adalah urusan mereka, bukan kita,” demikian tulis Gristock dalam webnya mengenai kondisi popularitas sains di negaranya.

Sesungguhnya mudah saja membumikan sains. Menurut perempuan yang menulis di New Scientist dan The Guardian ini, selama sains bisa menjelaskan bagaimana membuat agar mata tak perih saat mengupas bawang, maka sains bisa dikatakan sukses. Intinya, selayaknya ilmuwan bisa mencoba membumikan ilmunya menjadi satu informasi ringan yang berkaitan dengan keseharian. Namun mayoritas tulisan sains popular sekalipun saat ini lebih refokus pada fakta-fakta ilmiah daripada pengalaman sehari-hari.

Mike Kenward, profesor biostatistik dari London School of Hygiene and Tropical Medicine mengatakan bahwa jurnalisme sains adalah penjelasan segala sesuatu dimana semua orang bisa memahami namun sayangnya masih ada yang ingin menyembunyikannya. Sebagai jurnalis dan penulis, saya seide dengan hal ini.

Saya dan barangkali penulis sains lainnya masih sangat membutuhkan pengetahuan sains yang cukup serta kemampuan komunikasi sains demi bisa membungkus suatu temuan sains menjadi dongeng menarik bagi masyarakat luas. Membuat bagaimana orang tidak langsung mengerutkan kening begitu mendengar kata “sains”. Untuk ini saya butuh kerjasama dengan komunitas ilmuwan kita. Kerjasama untuk saling sharing informasi, apa yang ingin mereka sampaikan? Apa yang ingin mereka tulis? Apa yang ingin mereka bagikan kepada masyarakat agar ilmu mereka bisa membumi, bukan berdiri arogan di atas menara gading bernama instansi penelitian atau perguruan tinggi.

Arogansi

Masalahnya adalah, seringkali saya bertemu dengan ilmuwan yang bahkan tak mau berbagi mengenai apa yang diketahuinya, apa yang dimauinya, dan seterusnya. Banyak juga ilmuwan yang berkeras bahwa sosialisasi sains ke masyarakat itu bukan urusan dia. “Tugas saya meneliti, bukan menjual atau memasarkan.”, “Kalau menulis ya menulis di jurnal ilmiah bergengsi, bukan di media massa tidak jelas. Itu menurunkan kredibilitas.”, ” Tugas andalah sebagai jurnalis untuk melakukan sosialisasi, bukan saya.”, “Anda tahu apa soal sains dan komunitas sains? Anda kan bukan bagian di dalamnya.”, dan sebagainya.

Ya, barangkali kami jurnalis dan penulis popular memang bukan bagian dari komunitas sains yang bergengsi itu. Tapi justru ilmuwanlah yang merupakan bagian dari komunitas sosial bernama masyarakat. Kecuali kalau para ilmuwan itu sudah tidak menginjakkan kaki di bumi lagi. “Bumi kepada ilmuwan, bumi kepada ilmuwan, apakah Anda mendengar?”

Kredit foto:http://www.terragame.com/

Monday, May 11, 2009

URGENSI MENGENAL DAN MEMAHAMI EKONOMI ISLAM

Monday, May 11, 2009 0 Comments

A. Pendahuluan

Islam adalah satu-satunya agama yang sempurna yang mengatur seluruh sendi kehidupan manusia dan alam semesta. Kegiatan perekonomian manusia juga diatur dalam Islam dengan prinsip illahiyah. Harta yang ada pada kita, sesungguhnya bukan milik manusia, melainkan hanya titipan dari Allah swt agar dimanfaatkan sebaik-baiknya demi kepentingan umat manusia yang pada akhirnya semua akan kembali kepada Allah swt untuk dipertanggungjawabkan.
Ekonomi Islam merupakan ilmu yang mempelajari perilaku ekonomi manusia yang perilakunya diatur berdasarkan aturan agama Islam dan didasari dengan tauhid sebagaimana dirangkum dalam rukun iman dan rukun Islam.
Bekerja merupakan suatu kewajiban karena Allah swt memerintahkannya, sebagaimana firman-Nya dalam surat At Taubah ayat 105:
“Dan katakanlah, bekerjalah kamu, karena Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang yang beriman akan melihat pekerjaan itu. Karena kerja membawa pada keampunan”, sebagaimana sabda Rasulullah Muhammad saw : “Barang siapa diwaktu sorenya kelelahan karena kerja tangannya, maka di waktu sore itu ia mendapat ampunan. (HR.Thabrani dan Baihaqi).

Krisis ekonomi saat ini telah membuat para pemimpin dunia disibukkan oleh upaya mencari jalan keluar untuk menghentikan ’pendarahan’ akibat kecelakaan fatal ekonomi keuangan mereka. Paket penyelamatan krisis pun telah disiapkan dengan total dana yang tidak tanggung-tanggung: 3.4 triliun dolar AS (AS: 700 miliar dolar; Inggris: 691 miliar dolar; Jerman: 680 miliar dolar; Irlandia: 544 miliar dolar; Prancis: 492 miliar dolar; Rusia: 200 miliar dolar dan negara-negara Asia: 80 miliar dolar (Kompas, 2008).

Kenyataannya, sampai saat ini kondisi ekonomi masih terus memburuk. Indeks harga saham di bursa dunia terus terpuruk. Nilai mata uang di pasar uang terus bergejolak. Saluran dana untuk kredit ke sektor industri, infrastruktur dan perdagangan mulai macet, bahkan proses produksi berhenti. Dua puluh juta pekerja di seluruh dunia terancam di-PHK.

Islam sebagai satu-satunya ad-dien yang Alloh Swt ridloi dan pilih bagi umat manusia sejak era Nabi Adam As dan disempurnakan para era kerasulan Muhammad Saw dimaksudkan untuk meregulasi tatanan kehidupan manusia agar selamat baik di dunia maupun akhirat. Sebagai sebuah sistem, dienul-Islam yang mencakup aqidah, akhlaq dan syari’at merupakan undang-undang ilahiyah berisi berbagai aturan kehidupan.

Diantara keagungan sistem Islam adalah sistem perekonomian yang sering kita sebut dengan ekonomi syari’ah. Jika instrumen ekonomi syari’ah diimplementasikan, maka beberapa masalah krusial perekonomian bisa diantisipasi sehingga tidak menimbulkan krisis ekonomi maupun finansial sebagaimana yang saat ini tengah terjadi.

Penulisan artikel ini bertujuan untuk mengetahui urgensi mengenal dan memahami ekonomi Islam yang diharapkan dapat menjadi sebuah solusi untuk menangani krisis ekonomi global dan dapat digunakan sebagai solusi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat khususnya di Indonesia.

B. ISI
1. Krisis Ekonomi
Krisis ekonomi dunia saat ini bukanlah yang pertama maupun yang terakhir. Boleh dikatakan, sejarah ekonomi Kapitalisme adalah sejarah krisis. Roy Davies dan Glyn Davies (1996), dalam buku The History of Money From Ancient time to Present Day, menguraikan sejarah kronologi krisis ekonomi dunia secara menyeluruh. Menurut keduanya, sepanjang Abad 20 telah terjadi lebih 20 kali krisis besar yang melanda banyak negara. Ini berarti, rata-rata setiap 5 tahun terjadi krisis keuangan hebat yang mengakibatkan penderitaan bagi ratusan juta umat manusia.

Sebab utama krisis ekonomi bisa dilacak dari begitu berkuasanya sektor moneter/keuangan (sistem uang kertas [fiat money], perbankan ribawi, pasar modal, bursa saham, valas [pasar uang], dll) atas sektor riil (perdagangan dan jasa yang bersifat nyata). Sebelum krisis moneter di Asia tahun 1997/1998, misalnya, dalam satu hari, dana yang beredar dalam transaksi semu di pasar modal dan pasar uang dunia diperkirakan rata-rata sekitar 2-3 triliun dolar AS, atau dalam satu tahun sekitar 700 triliun dolar AS. Sebaliknya, arus perdagangan barang secara internasional dalam satu tahunnya hanya berkisar 7 triliun dolar AS. Jadi, arus uang 100 kali lebih cepat dibandingkan dengan arus barang (Republika,2000).

Besaran transaksi yang terjadi di pasar uang dunia berjumlah 1,5 triliun dolar AS dalam sehari. Sebaliknya, besaran transaksi pada perdagangan dunia di sektor riil hanya 6 triliun dolar AS setiap tahunnya. Jadi, perbandingannya adalah 500:6. Dengan kata lain, transaksi di sektor riil hanya sekitar 1%-an dari sektor keuangan (Kompas, 2007).

Sementara itu, menurut Kompas September 2007, uang yang beredar dalam transaksi valas (valuta asing) mencapai 1,3 triliun dalam setahun. Data ini menunjukkan bahwa perkembangan cepat sektor keuangan semakin melejit meninggalkan sektor riil.
Dalam ekonomi Islam, sektor finansial selalu mengikuti pertumbuhan sektor riil. Inilah perbedaan konsep ekonomi dalam Islam dengan konsep ekonomi konvensional yang kapitalistik, dimana dalam ekonomi kapital, pemisahan antara sektor finansial dengan sektor riil merupakan keniscayaan. Implikasi dari adanya pemisahan itu, maka ekonomi dunia sangat rawan terhadap gonjang-ganjing krisis. Hal ini disebabkan pelaku ekonomi menggunakan uang tidak untuk kepentingan sektor riil, tetapi untuk kepentingan spekulasi mata uang semata. Akibat adanya spekulasi tersebut, maka jumlah uang yang beredar sangat tidak seimbang dengan jumlah barang pada sektor riil.

2. Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam

Secara garis besar ekonomi Islam memiliki beberapa prinsip dasar:
a. Berbagai sumber daya dipandang sebagai pemberian atau titipan dari Allah swt kepada manusia.
b. Islam mengakui pemilikan pribadi dalam batas-batas tertentu.
c. Kekuatan penggerak utama ekonomi Islam adalah kerja sama.
d. Ekonomi Islam menolak terjadinya akumulasi kekayaan yang dikuasai oleh segelintir orang saja
e. Ekonomi Islam menjamin pemilikan masyarakat dan penggunaannya direncanakan untuk kepentingan banyak orang.
f. Seorang muslim harus takut kepada Allah swt dan hari penentuan di akhirat nanti.
g. Zakat harus dibayarkan atas kekayaan yang telah memenuhi batas (nisab)
h. Islam melarang riba dalam segala bentuk.

3. Sistem Ekonomi Islam: Berbasiskan Sektor Riil

Dalam ekonomi Islam, sektor finansial mengikuti atau terikat dengan sektor riil. Dalam pandangan Islam, uang bukan komoditas (barang dagangan), melainkan alat pembayaran. Islam menolak keras segala jenis transaksi semu seperti yang terjadi di pasar uang atau pasar modal saat ini. Sebaliknya, Islam mendorong perdagangan internasional. Muhammad saw., sebelum menjadi rasul, telah menjadi pedagang internasional sejak usia remaja. Ketika berusia belasan tahun, beliau telah berdagang ke Syam (Suriah), Yaman dan beberapa negara di kawasan Teluk sekarang. Lalu saat beliau menjadi rasul sekaligus menjadi kepala negara Daulah Islamiyah di Madinah, sejak awal kekuasaannya, umat Islam telah menjalin kontak bisnis dengan Cina, India, Persia, dan Romawi. Bahkan hanya dua abad kemudian (abad kedelapan), para pedagang Islam telah mencapai Eropa Utara (Pertadireja, 1994).

Sepanjang keberadaan Daulah Islamiyah pada zaman Nabi Muhammad saw. jarang sekali terjadi krisis ekonomi (Pernah sekali Daulah Islam mengalami defisit, yaitu sebelum Perang Hunain, namun segera dilunasi setelah perang). Pada zaman Kekhilafahan Islam, khususnya masa Khulafaur Rasyidin juga begitu. Pada zaman Khalifah Umar bin al-Khaththab dan khalifah Utsman bin Affan APBN malah sering mengalami surplus. Apa rahasianya? Ini karena kebijakan moneter Daulah Islamiyah masa Rasulullah saw. dan Kekhilafahan Islam pada masa para khalifah selalu terkait dengan sektor riil, terutama perdagangan (Pertadireja, 1994).

4. Sistem Ekonomi Islam: Menjamin Kesejahteraan Umat Manusia
Dalam sistem ekonomi Islam, kesejahteraan diukur berdasarkan prinsip terpenuhinya kebutuhan setiap individu masyarakat, bukan atas dasar penawaran dan permintaan, pertumbuhan ekonomi, cadangan devisa, nilai mata uang ataupun indeks harga-harga di pasar non-riil. Oleh karena itu, sistem ekonomi Islam dilakukan dengan melaksanakan beberapa prinsip dasar di dalam mencapai tujuan terpenuhinya kebutuhan setiap individu masyarakat.

a. Pengaturan atas kepemilikan.
Kepemilikan dalam ekonomi Islam dibagi tiga. Pertama: kepemilikan umum. Kepemilikan umum meliputi semua sumber, baik yang keras, cair maupun gas, seperti minyak, besi, tembaga, emas dan gas; termasuk semua yang tersimpan di perut bumi, dan semua bentuk energi, juga industri berat yang menjadikan energi sebagai komponen utamanya. Dalam hal ini, negara hanya mengekplorasi dan mendistribusikannya kepada rakyat, baik dalam bentuk barang maupun jasa.

Kedua: kepemilikan negara. Kepemilikan negara meliputi semua kekayaan yang diambil negara seperti pajak dengan segala bentuknya serta perdagangan, industri dan pertanian yang diupayakan oleh negara, di luar kepemilikan umum. Semuanya ini dibiayai oleh negara sesuai dengan kepentingan negara.
Ketiga: kepemilikan individu. Kepemilikan ini bisa dikelola oleh individu sesuai dengan hukum syariah

b. Penetapan sistem mata uang emas dan perak.
Emas dan perak adalah mata uang dalam sistem Islam. Mengeluarkan kertas substitusi harus ditopang dengan emas dan perak, dengan nilai yang sama dan dapat ditukar, saat ada permintaan. Dengan begitu, uang kertas negara manapun tidak akan bisa didominasi oleh uang negara lain. Sebaliknya, uang tersebut mempunyai nilai intrinsik yang tetap, dan tidak berubah.

Ditinggalkannya mata uang emas dan perak dan menggantikannya dengan mata uang kertas telah melemahkan perekonomian negara. Dominasi mata uang dolar yang tidak ditopang secara langsung oleh emas mengakibatkan struktur ekonomi menjadi sangat rentan terhadap gejolak mata uang dolar. Goncangan sekecil apapun yang terjadi di Amerika akan dengan cepat merambat ke seluruh dunia. Bukan hanya itu, gejolak politik pun akan berdampak pada naik-turunnya nilai mata uang akibat uang dijadikan komoditas (barang dagangan) di pasar uang yang penuh spekulasi (untung-untungan).

c. Penghapusan sistem perbankan ribawi.
Sistem ekonomi Islam melarang riba, baik nasiah maupun fadhal; juga menetapkan pinjaman untuk membantu orang-orang yang membutuhkan tanpa tambahan (bunga) dari uang pokoknya. Di Baitul Mal (kas negara Daulah Islamiyah), masyarakat bisa memperoleh pinjaman bagi mereka yang membutuhkan, termasuk para petani, tanpa ada unsur riba sedikitpun di dalamnya.

d. Pengharaman sistem perdagangan di pasar non-riil.

Adapun yang termasuk ke dalam pasar non-riil (virtual market) saat ini adalah pasar sekuritas (surat-surat berharga); pasar berjangka (komoditas emas, CPO, tambang dan energi, dll) dan pasar uang. Sistem ekonomi Islam melarang penjualan komoditi sebelum barang menjadi milik dan dikuasai oleh penjualnya, haram hukumnya menjual barang yang tidak menjadi milik seseorang. Haram memindahtangankan kertas berharga, obligasi dan saham yang dihasilkan dari akad-akad yang batil. Islam juga mengharamkan semua sarana penipuan dan manipulasi yang dibolehkan oleh Kapitalisme, dengan klaim kebebasan kepemilikan. Inilah sistem ekonomi Islam yang benar-benar akan menjamin kesejahteraan masyarakat dan bebas dari guncangan krisis ekonomi.

5. Urgensi Ekonomi Islam
Sistem ekonomi Islam merupakan system yang terkait dengan produksi, distribusi, dan konsumsi menurut Islam. Dalam pembahasan system ekonomi Islam akan dijelaskan prinsip-prinsipnya terlebih dahulu. Menurut Abul A’la Al-Maududi prinsip ekonomi Islam berada di tengah-tengah antara ekonomi kapitalisme yang menjunjung tinggi kepentingan (prestasi) pribadi dan ekonomi komunisme yang sama sekali menafikan kepentingan (prestasi) pribadi.

Pada satu sisi, ekonomi Islam memberi pada individu hak milik perseorangan dan hak melakukan tindakan terhadap kekayaannya. Sedang pada segi lain, ia mengikat tiap hak dan tiap tindakan dengan berbagai ikatan moral dari dalam dan ikatan perundang-undangan dari luar, dengan tujuan supaya sumber-sumber kekayaan tidak berkumpul pada bebrapa gelintir orang secara besar-besaran, tetapi beredar secara lebih merata pada setiap individu, sehingga masing-masing memperoleh bahagiannya yang sah dan pantas. Oleh karena itu dengan prinsip ekonomi Islam sama sekali berbeda dengan prinsip ekonomi kapitalis dan komunis.

Prinsip ekonomi Islam secara sederhana terumuskan dengan singkat, bahwa ikatan antara kepentingan pribadi dan kepentingan masyarakt adalah erat, semata-mata katrena fithrah keduanya. Ekonomi Islam menghendaki dalam kesejahteraan individu terletak kesejahteraan masyarakat dan dalam masyarakat terletak kesejahteraan individu.

Sistem ekonomi Islam tidak bertujuan agar sebagian individu dalam masyarakat menjadi hartawan yang kaya-raya, sedangkan sebagian besar masyarakat tetap berada dalam kemiskinan. Ekonomi Islam juga tidak bertujuan agar seluruh rakyat dipaksa dengan jalan kekerasan supaya menjadi sama rata seluruhnya. Prinsip ekonomi Islam seperti itu jika diterapkan dapat mengatasi kebobrokan ekonomi dalam masyarakat, seperti yang dewasa ini. Teori ekonomi Islam memperhatikan moral dan hukum dalam menegakkan bangunan suatu sistem.

Sistem ini terbukti telah mampu menciptakan kesejahteraan umat manusia—Muslim dan non-Muslim—tanpa harus selalu berhadapan dengan krisis ekonomi yang secara berkala menimpa, sebagaimana dialami sistem ekonomi Kapitalisme.
Bagi Indonesia, berbagai potensi yang ada seharusnya mampu mempermudah dan mempercepat perkembangan ekonomi Islam beserta perangkat yang diperlukan. Ini mengingat mayoritas penduduk beragama Islam dan kesadaran untuk memanfaatkan jasa perbankan berbasis syariah terus tumbuh. Karena itu, tidak berlebihan jika Indonesia seharusnya bisa menjadi basis dan penggerak perekonomian syariah dunia. Namun sayang sejauh ini, hal itu masih belum bisa terwujud dan beberapa negara tetangga justru lebih agresif dibandingkan Indonesia.

Upaya strategis dalam hubungannya dengan pengembangan ekonomi Islam ini telah mulai dilakukan pemerintah, antara lain dengan penyusunan perangkat perundangan yang pada tahun 2008 ini telah disahkan yaitu UU No 19 Tahun 2008 Tentang Surat Berharga Syariah Nasional dan UU No 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah. UU No 19 dapat disebut sebagai upaya pemerintah meningkatkan porsi pembiayaan pembangunan nasional melalui skema pembiayaan syariah dari obligasi negara dan surat berharga lainnya yang memang memiliki peluang besar bagi Indonesia untuk memperolehnya dari investor Timur Tengah maupun umat Islam Indonesia sendiri. Adapun UU No 21/2008 yang secara khusus membahas perbankan syariah merupakan upaya pemerintah dalam menguatkan kontribusi lembaga keuangan syariah dalam memperkokoh pembangunan nasional. Lahirnya kedua peraturan perundangan ini dengan sendirinya akan menambah ruang bagi pengembangan ekonomi Islam dengan perbankan syariah sebagai lokomotifnya, meskipun berbagai pengembangan masih tetap perlu dilakukan, terutama terkait dengan kebijakan pendukung. Selain itu, harus juga diakui bahwa berbagai persoalan masih menjadi kendala perkembangan ekonomi Islam dan lembaga keuangan Islam di Indonesia (Nuryanto, 2006).

Kontribusi ekonomi Islam dalam pengembangan kesejahteraan masyarakat sebenarnya merupakan bagian integral dari ajaran Islam yang seharusnya juga menjadi ruh pengembangan ekonomi Islam beserta lembaga keuangan dibawahnya. Konsep kerjasama dalam kebaikan dan takwa (ta’awun fil birri wa taqwa), merupakan bagian dari prinsip Islam yang dijunjung tinggi. Namun dalam prakteknya, harus kita akui bahwa praktek keuangan syariah, semisal bank masih jauh dari konsep ini. Sampai saat ini, pembiayaan murabahah (jual-beli) masih mendominasi komposisi pembiayaan bank syariah. Ini berarti bahwa bank syariah masih belum berani bermain pada pembiayaan untuk investasi riil yang memang membutuhkan lebih banyak energi dibandingkan pembiayaan jual-beli.

.
Kontribusi lain dari ekonomi Islam untuk kesejahteraan masyarakat sebenarnya dapat juga dilakukan melalui alokasi berbagai proyek untuk kepentingan rakyat banyak yang didanai melalui skema pembiayaan syariah. Perkembangan sukuk di tingkat internasional misalnya bisa dijadikan contoh. Tingginya likuiditas pada negara-negara kaya minyak di Timur Tengah sebenarnya bisa diserap menjadi dana potensial untuk membiayai proyek-proyek pembangunan yang berorientasi pada rakyat banyak, semisal pembangunan jalan, sarana irigasi, dan lain-lain. Potensi ini sudah diakomodasi melalui penerbitan UU No 19/2008 dan sudah saatnya memberikan hasil yang positif. Untuk itu, peran pemerintah menjadi lebih dituntut untuk membangun iklim usaha yang baik sehingga berbagai peluang yang telah ada dapat dikembangkan sesuai dengan kebutuhan nasional.

Pemerintah sudah saatnya tidak hanya berkonsentrasi pada pengembangan lembaga keuangan syariah sebagai lokomotif pengembangan ekonomi Islam semata, tetapi sudah saatnya merambah pada upaya strategis menguatkan peran ekonomi Islam dalam perekonomian nasional melalui strategi jangka panjang yang mencakup lebih banyak aspek kehidupan. Islam sebagai nilai universal syamil dan mutakamil tentu saja tidak hanya dipraktekkan dalam kaitannya dengan masalah transaksi, tetapi juga dalam masalah manajemen, tata pamong (governance), pendidikan dan bahkan budaya bangsa dan ditahun baru ini semoga kita semua menyadarinya.

C. Penutup

Sistem ekonomi Islam merupakan system yang terkait dengan produksi, distribusi, dan konsumsi menurut Islam. Menurut Abul A’la Al-Maududi prinsip ekonomi Islam berada di tengah-tengah antara ekonomi kapitalisme yang menjunjung tinggi kepentingan (prestasi) pribadi dan ekonomi komunisme yang sama sekali menafikan kepentingan (prestasi) pribadi.

Kajian tentang pertumbuhan (growth) dan pembangunan (development) ekonomi dapat ditemukan dalam konsep ekonomi Islam. Konsep ini pada dasarnya telah dirangkum baik secara eksplisit maupun implisit dalam Al-quran, sunnah maupun pemikiran-pemikiran ulama Islam terdahulu, namun kemunculan kembali konsep ini, khususnya beberapa dasawarsa belakangan ini terutama berkaitan kondisi negara-negara muslim yang terbelakang yang membutuhkan formula khusus dalam strategi dan perencanaan pembangunannya.

Kekhasan pertumbuhan dan pembangunan dalam ekonomi Islam ditekankan pada perhatian yang sangat serius pada pengembangan sumberdaya manusia sekaligus pemberdayaan alam untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia. Ini tidak hanya diwujudkan dalam keberhasilan pemenuhan kebutuhan material saja, namun juga kebutuhan dan persiapan menyongsong kehidupan akhirat. Jadi, urgensi ekonomi Islam lebih ditekankan pada suatu konsep dan usaha untuk dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Ekonomi Islam adalah jawaban tantangan peradaban dunia.


DAFTAR PUSTAKA
Abul Hasan M.Sadeq dan Aidit Ghazali. 1992. Readings in Islamic Economic Thought, Malaysia. Malaysia.
Abul Hasan Muhammad Sadeq. 1987. Economic Growth in An Islamic Economy, tulisan dalam Development and Finance in Islam Malaysia : International Islamic University Press.
Nuryanto, 2006. Ekonomi Syariah Di Indonesia Tahun 1430 H: Peluang dan Tantangan
Pertadireja, 1994. Pengantar Ekonomika. Yogyakarta : BPFE
Rahman, Afzalur. 1995. Economic Doctrines of Islam. Terj. Doktrin Ekonomi Islam, Yogyakarta : Dana Bakti Wakaf.
http://kompas.com
http://replubika.com











BIODATA PENULIS
Nama Lengkap : Norma Ambarwati
NIM : M0406044
Tempat, tanggal lahir : Wonogiri, 2 Februari 1987
Nama Orang Tua
Ayah : Kadri
Ibu : Yati
Agama : Islam
Alamat Rumah : Jln. Menur I No. 20, Banaran Rt 02/X, Wonoboyo, Wonogiri, Jawa Tengah 57615
Fakultas/Jurusan : Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam/Biologi
Perguruan Tinggi : Universitas Sebelas Maret
Alamat PT : Jln. Ir. Sutami No.36 A, Surakarta 57126
Telp/Hp : 085647122033
Email : keisya_avicenna@yahoo.com
Pendidikan
1. TK : TK Mardi Putro I Wonoboyo
2. SD : SD Negeri III Wonoboyo
3. SMP : SMP Negeri I Wonogiri
4. SMA : SMA Negeri I Wonogiri
5. PT : Universitas Sebelas Maret Surakarta



Pengalaman Organisasi
1. Staff Departemen Kaderisasi dan Pengembangan Organisasi (DKPO) Himpunan Mahasiswa Biologi (HIMABIO) FMIPA UNS periode 2006.
2. Ketua Divisi HUMAS enviRo Sc (Study club) Himpunan Mahasiswa Biologi (HIMABIO) FMIPA UNS periode 2006.
3. Staff Departemen HUMAS Syiar Kegiatan Islam (SKI) FMIPA UNS periode 2006/2007.
4. Reporter Lembaga Pers Majalah (LPM) SCIENTA FMIPA UNS periode 2006/2007.
5. Staff Departemen Media Islam (MEDIS) Syiar Kegiatan Islam (SKI) FMIPA UNS periode 2007/2008.
6. Koordinator Departemen Kaderisasi Himpunan Mahasiswa Biologi (HIMABIO) periode 2008.
7. Koordinator Fakultas (Akhwat) Tim Fundrising Renovasi Pembangunan Masjid Nurul Huda (NH) UNS periode 2008/2009.
8. Staff Divisi Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Lembaga Pers Majalah (LPM) SCIENTA FMIPA UNS periode 2008/2009.
9. Staff Bidang Pembinaan Pengurus (BPP) Syiar Kegiatan Islam (SKI) FMIPA UNS periode 2008/2009.
10. Staff Human and Research Development (HRD) Studi Ilmiah Mahasiswa (SIM) Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UNS periode 2008/2009.
11. Staff DIPA (Divisi Pengembangan Asisten) Biro Asistensi Agama Islam Fakultas MIPA UNS periode 2008/2009.
Prestasi
1. Juara I Lomba Majalah Dinding (Mading) Pekan Olahraga dan Seni (PORSENI) 2006 BEM FKIP UNS
2. Juara II Lomba Puisi Ajang Kreativitas dan Seni (AKSI) 2006 HIMABIO FMIPA UNS
3. Juara II Lomba Desain Poster Program Kreativitas dan Seni Islami 2007 SKI FMIPA UNS
4. Juara II Lomba Puisi Islami Program Kreativitas dan Seni Islami 2007 SKI FMIPA UNS
5. Juara II Lomba Poster dalam kegiatan Kompetisi Antar Lembaga (KOLEGA) 2007 BEM FMIPA UNS
6. Juara II Lomba Keilmiahan (LOHAN) 2007 HIMABIO FMIPA UNS
7. Program Kreatifitas Mahasiswa (PKM) Lolos DIPA Tahun 2008 dengan Judul “Uji Perkecambahan Gramatophyllum scriptum, Anggrek Raksasa Langka Endemik Papua dengan Perlakuan Macam Media”.
8. Juara III Lomba Mahasiswa Berprestasi (MAWAPRES) 2009 Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sebelas Maret Surakarta.
9. Juara I Lomba Menulis Artikel Pemilu 2009 BEM (MEDALI 2009) Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sebelas Maret Surakarta.



URGENSI MENGENAL DAN MEMAHAMI EKONOMI ISLAM

Monday, May 11, 2009 0 Comments

A. Pendahuluan

Islam adalah satu-satunya agama yang sempurna yang mengatur seluruh sendi kehidupan manusia dan alam semesta. Kegiatan perekonomian manusia juga diatur dalam Islam dengan prinsip illahiyah. Harta yang ada pada kita, sesungguhnya bukan milik manusia, melainkan hanya titipan dari Allah swt agar dimanfaatkan sebaik-baiknya demi kepentingan umat manusia yang pada akhirnya semua akan kembali kepada Allah swt untuk dipertanggungjawabkan.
Ekonomi Islam merupakan ilmu yang mempelajari perilaku ekonomi manusia yang perilakunya diatur berdasarkan aturan agama Islam dan didasari dengan tauhid sebagaimana dirangkum dalam rukun iman dan rukun Islam.
Bekerja merupakan suatu kewajiban karena Allah swt memerintahkannya, sebagaimana firman-Nya dalam surat At Taubah ayat 105:
“Dan katakanlah, bekerjalah kamu, karena Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang yang beriman akan melihat pekerjaan itu. Karena kerja membawa pada keampunan”, sebagaimana sabda Rasulullah Muhammad saw : “Barang siapa diwaktu sorenya kelelahan karena kerja tangannya, maka di waktu sore itu ia mendapat ampunan. (HR.Thabrani dan Baihaqi).

Krisis ekonomi saat ini telah membuat para pemimpin dunia disibukkan oleh upaya mencari jalan keluar untuk menghentikan ’pendarahan’ akibat kecelakaan fatal ekonomi keuangan mereka. Paket penyelamatan krisis pun telah disiapkan dengan total dana yang tidak tanggung-tanggung: 3.4 triliun dolar AS (AS: 700 miliar dolar; Inggris: 691 miliar dolar; Jerman: 680 miliar dolar; Irlandia: 544 miliar dolar; Prancis: 492 miliar dolar; Rusia: 200 miliar dolar dan negara-negara Asia: 80 miliar dolar (Kompas, 2008).

Kenyataannya, sampai saat ini kondisi ekonomi masih terus memburuk. Indeks harga saham di bursa dunia terus terpuruk. Nilai mata uang di pasar uang terus bergejolak. Saluran dana untuk kredit ke sektor industri, infrastruktur dan perdagangan mulai macet, bahkan proses produksi berhenti. Dua puluh juta pekerja di seluruh dunia terancam di-PHK.

Islam sebagai satu-satunya ad-dien yang Alloh Swt ridloi dan pilih bagi umat manusia sejak era Nabi Adam As dan disempurnakan para era kerasulan Muhammad Saw dimaksudkan untuk meregulasi tatanan kehidupan manusia agar selamat baik di dunia maupun akhirat. Sebagai sebuah sistem, dienul-Islam yang mencakup aqidah, akhlaq dan syari’at merupakan undang-undang ilahiyah berisi berbagai aturan kehidupan.

Diantara keagungan sistem Islam adalah sistem perekonomian yang sering kita sebut dengan ekonomi syari’ah. Jika instrumen ekonomi syari’ah diimplementasikan, maka beberapa masalah krusial perekonomian bisa diantisipasi sehingga tidak menimbulkan krisis ekonomi maupun finansial sebagaimana yang saat ini tengah terjadi.

Penulisan artikel ini bertujuan untuk mengetahui urgensi mengenal dan memahami ekonomi Islam yang diharapkan dapat menjadi sebuah solusi untuk menangani krisis ekonomi global dan dapat digunakan sebagai solusi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat khususnya di Indonesia.

B. ISI
1. Krisis Ekonomi
Krisis ekonomi dunia saat ini bukanlah yang pertama maupun yang terakhir. Boleh dikatakan, sejarah ekonomi Kapitalisme adalah sejarah krisis. Roy Davies dan Glyn Davies (1996), dalam buku The History of Money From Ancient time to Present Day, menguraikan sejarah kronologi krisis ekonomi dunia secara menyeluruh. Menurut keduanya, sepanjang Abad 20 telah terjadi lebih 20 kali krisis besar yang melanda banyak negara. Ini berarti, rata-rata setiap 5 tahun terjadi krisis keuangan hebat yang mengakibatkan penderitaan bagi ratusan juta umat manusia.

Sebab utama krisis ekonomi bisa dilacak dari begitu berkuasanya sektor moneter/keuangan (sistem uang kertas [fiat money], perbankan ribawi, pasar modal, bursa saham, valas [pasar uang], dll) atas sektor riil (perdagangan dan jasa yang bersifat nyata). Sebelum krisis moneter di Asia tahun 1997/1998, misalnya, dalam satu hari, dana yang beredar dalam transaksi semu di pasar modal dan pasar uang dunia diperkirakan rata-rata sekitar 2-3 triliun dolar AS, atau dalam satu tahun sekitar 700 triliun dolar AS. Sebaliknya, arus perdagangan barang secara internasional dalam satu tahunnya hanya berkisar 7 triliun dolar AS. Jadi, arus uang 100 kali lebih cepat dibandingkan dengan arus barang (Republika,2000).

Besaran transaksi yang terjadi di pasar uang dunia berjumlah 1,5 triliun dolar AS dalam sehari. Sebaliknya, besaran transaksi pada perdagangan dunia di sektor riil hanya 6 triliun dolar AS setiap tahunnya. Jadi, perbandingannya adalah 500:6. Dengan kata lain, transaksi di sektor riil hanya sekitar 1%-an dari sektor keuangan (Kompas, 2007).

Sementara itu, menurut Kompas September 2007, uang yang beredar dalam transaksi valas (valuta asing) mencapai 1,3 triliun dalam setahun. Data ini menunjukkan bahwa perkembangan cepat sektor keuangan semakin melejit meninggalkan sektor riil.
Dalam ekonomi Islam, sektor finansial selalu mengikuti pertumbuhan sektor riil. Inilah perbedaan konsep ekonomi dalam Islam dengan konsep ekonomi konvensional yang kapitalistik, dimana dalam ekonomi kapital, pemisahan antara sektor finansial dengan sektor riil merupakan keniscayaan. Implikasi dari adanya pemisahan itu, maka ekonomi dunia sangat rawan terhadap gonjang-ganjing krisis. Hal ini disebabkan pelaku ekonomi menggunakan uang tidak untuk kepentingan sektor riil, tetapi untuk kepentingan spekulasi mata uang semata. Akibat adanya spekulasi tersebut, maka jumlah uang yang beredar sangat tidak seimbang dengan jumlah barang pada sektor riil.

2. Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam

Secara garis besar ekonomi Islam memiliki beberapa prinsip dasar:
a. Berbagai sumber daya dipandang sebagai pemberian atau titipan dari Allah swt kepada manusia.
b. Islam mengakui pemilikan pribadi dalam batas-batas tertentu.
c. Kekuatan penggerak utama ekonomi Islam adalah kerja sama.
d. Ekonomi Islam menolak terjadinya akumulasi kekayaan yang dikuasai oleh segelintir orang saja
e. Ekonomi Islam menjamin pemilikan masyarakat dan penggunaannya direncanakan untuk kepentingan banyak orang.
f. Seorang muslim harus takut kepada Allah swt dan hari penentuan di akhirat nanti.
g. Zakat harus dibayarkan atas kekayaan yang telah memenuhi batas (nisab)
h. Islam melarang riba dalam segala bentuk.

3. Sistem Ekonomi Islam: Berbasiskan Sektor Riil

Dalam ekonomi Islam, sektor finansial mengikuti atau terikat dengan sektor riil. Dalam pandangan Islam, uang bukan komoditas (barang dagangan), melainkan alat pembayaran. Islam menolak keras segala jenis transaksi semu seperti yang terjadi di pasar uang atau pasar modal saat ini. Sebaliknya, Islam mendorong perdagangan internasional. Muhammad saw., sebelum menjadi rasul, telah menjadi pedagang internasional sejak usia remaja. Ketika berusia belasan tahun, beliau telah berdagang ke Syam (Suriah), Yaman dan beberapa negara di kawasan Teluk sekarang. Lalu saat beliau menjadi rasul sekaligus menjadi kepala negara Daulah Islamiyah di Madinah, sejak awal kekuasaannya, umat Islam telah menjalin kontak bisnis dengan Cina, India, Persia, dan Romawi. Bahkan hanya dua abad kemudian (abad kedelapan), para pedagang Islam telah mencapai Eropa Utara (Pertadireja, 1994).

Sepanjang keberadaan Daulah Islamiyah pada zaman Nabi Muhammad saw. jarang sekali terjadi krisis ekonomi (Pernah sekali Daulah Islam mengalami defisit, yaitu sebelum Perang Hunain, namun segera dilunasi setelah perang). Pada zaman Kekhilafahan Islam, khususnya masa Khulafaur Rasyidin juga begitu. Pada zaman Khalifah Umar bin al-Khaththab dan khalifah Utsman bin Affan APBN malah sering mengalami surplus. Apa rahasianya? Ini karena kebijakan moneter Daulah Islamiyah masa Rasulullah saw. dan Kekhilafahan Islam pada masa para khalifah selalu terkait dengan sektor riil, terutama perdagangan (Pertadireja, 1994).

4. Sistem Ekonomi Islam: Menjamin Kesejahteraan Umat Manusia
Dalam sistem ekonomi Islam, kesejahteraan diukur berdasarkan prinsip terpenuhinya kebutuhan setiap individu masyarakat, bukan atas dasar penawaran dan permintaan, pertumbuhan ekonomi, cadangan devisa, nilai mata uang ataupun indeks harga-harga di pasar non-riil. Oleh karena itu, sistem ekonomi Islam dilakukan dengan melaksanakan beberapa prinsip dasar di dalam mencapai tujuan terpenuhinya kebutuhan setiap individu masyarakat.

a. Pengaturan atas kepemilikan.
Kepemilikan dalam ekonomi Islam dibagi tiga. Pertama: kepemilikan umum. Kepemilikan umum meliputi semua sumber, baik yang keras, cair maupun gas, seperti minyak, besi, tembaga, emas dan gas; termasuk semua yang tersimpan di perut bumi, dan semua bentuk energi, juga industri berat yang menjadikan energi sebagai komponen utamanya. Dalam hal ini, negara hanya mengekplorasi dan mendistribusikannya kepada rakyat, baik dalam bentuk barang maupun jasa.

Kedua: kepemilikan negara. Kepemilikan negara meliputi semua kekayaan yang diambil negara seperti pajak dengan segala bentuknya serta perdagangan, industri dan pertanian yang diupayakan oleh negara, di luar kepemilikan umum. Semuanya ini dibiayai oleh negara sesuai dengan kepentingan negara.
Ketiga: kepemilikan individu. Kepemilikan ini bisa dikelola oleh individu sesuai dengan hukum syariah

b. Penetapan sistem mata uang emas dan perak.
Emas dan perak adalah mata uang dalam sistem Islam. Mengeluarkan kertas substitusi harus ditopang dengan emas dan perak, dengan nilai yang sama dan dapat ditukar, saat ada permintaan. Dengan begitu, uang kertas negara manapun tidak akan bisa didominasi oleh uang negara lain. Sebaliknya, uang tersebut mempunyai nilai intrinsik yang tetap, dan tidak berubah.

Ditinggalkannya mata uang emas dan perak dan menggantikannya dengan mata uang kertas telah melemahkan perekonomian negara. Dominasi mata uang dolar yang tidak ditopang secara langsung oleh emas mengakibatkan struktur ekonomi menjadi sangat rentan terhadap gejolak mata uang dolar. Goncangan sekecil apapun yang terjadi di Amerika akan dengan cepat merambat ke seluruh dunia. Bukan hanya itu, gejolak politik pun akan berdampak pada naik-turunnya nilai mata uang akibat uang dijadikan komoditas (barang dagangan) di pasar uang yang penuh spekulasi (untung-untungan).

c. Penghapusan sistem perbankan ribawi.
Sistem ekonomi Islam melarang riba, baik nasiah maupun fadhal; juga menetapkan pinjaman untuk membantu orang-orang yang membutuhkan tanpa tambahan (bunga) dari uang pokoknya. Di Baitul Mal (kas negara Daulah Islamiyah), masyarakat bisa memperoleh pinjaman bagi mereka yang membutuhkan, termasuk para petani, tanpa ada unsur riba sedikitpun di dalamnya.

d. Pengharaman sistem perdagangan di pasar non-riil.

Adapun yang termasuk ke dalam pasar non-riil (virtual market) saat ini adalah pasar sekuritas (surat-surat berharga); pasar berjangka (komoditas emas, CPO, tambang dan energi, dll) dan pasar uang. Sistem ekonomi Islam melarang penjualan komoditi sebelum barang menjadi milik dan dikuasai oleh penjualnya, haram hukumnya menjual barang yang tidak menjadi milik seseorang. Haram memindahtangankan kertas berharga, obligasi dan saham yang dihasilkan dari akad-akad yang batil. Islam juga mengharamkan semua sarana penipuan dan manipulasi yang dibolehkan oleh Kapitalisme, dengan klaim kebebasan kepemilikan. Inilah sistem ekonomi Islam yang benar-benar akan menjamin kesejahteraan masyarakat dan bebas dari guncangan krisis ekonomi.

5. Urgensi Ekonomi Islam
Sistem ekonomi Islam merupakan system yang terkait dengan produksi, distribusi, dan konsumsi menurut Islam. Dalam pembahasan system ekonomi Islam akan dijelaskan prinsip-prinsipnya terlebih dahulu. Menurut Abul A’la Al-Maududi prinsip ekonomi Islam berada di tengah-tengah antara ekonomi kapitalisme yang menjunjung tinggi kepentingan (prestasi) pribadi dan ekonomi komunisme yang sama sekali menafikan kepentingan (prestasi) pribadi.

Pada satu sisi, ekonomi Islam memberi pada individu hak milik perseorangan dan hak melakukan tindakan terhadap kekayaannya. Sedang pada segi lain, ia mengikat tiap hak dan tiap tindakan dengan berbagai ikatan moral dari dalam dan ikatan perundang-undangan dari luar, dengan tujuan supaya sumber-sumber kekayaan tidak berkumpul pada bebrapa gelintir orang secara besar-besaran, tetapi beredar secara lebih merata pada setiap individu, sehingga masing-masing memperoleh bahagiannya yang sah dan pantas. Oleh karena itu dengan prinsip ekonomi Islam sama sekali berbeda dengan prinsip ekonomi kapitalis dan komunis.

Prinsip ekonomi Islam secara sederhana terumuskan dengan singkat, bahwa ikatan antara kepentingan pribadi dan kepentingan masyarakt adalah erat, semata-mata katrena fithrah keduanya. Ekonomi Islam menghendaki dalam kesejahteraan individu terletak kesejahteraan masyarakat dan dalam masyarakat terletak kesejahteraan individu.

Sistem ekonomi Islam tidak bertujuan agar sebagian individu dalam masyarakat menjadi hartawan yang kaya-raya, sedangkan sebagian besar masyarakat tetap berada dalam kemiskinan. Ekonomi Islam juga tidak bertujuan agar seluruh rakyat dipaksa dengan jalan kekerasan supaya menjadi sama rata seluruhnya. Prinsip ekonomi Islam seperti itu jika diterapkan dapat mengatasi kebobrokan ekonomi dalam masyarakat, seperti yang dewasa ini. Teori ekonomi Islam memperhatikan moral dan hukum dalam menegakkan bangunan suatu sistem.

Sistem ini terbukti telah mampu menciptakan kesejahteraan umat manusia—Muslim dan non-Muslim—tanpa harus selalu berhadapan dengan krisis ekonomi yang secara berkala menimpa, sebagaimana dialami sistem ekonomi Kapitalisme.
Bagi Indonesia, berbagai potensi yang ada seharusnya mampu mempermudah dan mempercepat perkembangan ekonomi Islam beserta perangkat yang diperlukan. Ini mengingat mayoritas penduduk beragama Islam dan kesadaran untuk memanfaatkan jasa perbankan berbasis syariah terus tumbuh. Karena itu, tidak berlebihan jika Indonesia seharusnya bisa menjadi basis dan penggerak perekonomian syariah dunia. Namun sayang sejauh ini, hal itu masih belum bisa terwujud dan beberapa negara tetangga justru lebih agresif dibandingkan Indonesia.

Upaya strategis dalam hubungannya dengan pengembangan ekonomi Islam ini telah mulai dilakukan pemerintah, antara lain dengan penyusunan perangkat perundangan yang pada tahun 2008 ini telah disahkan yaitu UU No 19 Tahun 2008 Tentang Surat Berharga Syariah Nasional dan UU No 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah. UU No 19 dapat disebut sebagai upaya pemerintah meningkatkan porsi pembiayaan pembangunan nasional melalui skema pembiayaan syariah dari obligasi negara dan surat berharga lainnya yang memang memiliki peluang besar bagi Indonesia untuk memperolehnya dari investor Timur Tengah maupun umat Islam Indonesia sendiri. Adapun UU No 21/2008 yang secara khusus membahas perbankan syariah merupakan upaya pemerintah dalam menguatkan kontribusi lembaga keuangan syariah dalam memperkokoh pembangunan nasional. Lahirnya kedua peraturan perundangan ini dengan sendirinya akan menambah ruang bagi pengembangan ekonomi Islam dengan perbankan syariah sebagai lokomotifnya, meskipun berbagai pengembangan masih tetap perlu dilakukan, terutama terkait dengan kebijakan pendukung. Selain itu, harus juga diakui bahwa berbagai persoalan masih menjadi kendala perkembangan ekonomi Islam dan lembaga keuangan Islam di Indonesia (Nuryanto, 2006).

Kontribusi ekonomi Islam dalam pengembangan kesejahteraan masyarakat sebenarnya merupakan bagian integral dari ajaran Islam yang seharusnya juga menjadi ruh pengembangan ekonomi Islam beserta lembaga keuangan dibawahnya. Konsep kerjasama dalam kebaikan dan takwa (ta’awun fil birri wa taqwa), merupakan bagian dari prinsip Islam yang dijunjung tinggi. Namun dalam prakteknya, harus kita akui bahwa praktek keuangan syariah, semisal bank masih jauh dari konsep ini. Sampai saat ini, pembiayaan murabahah (jual-beli) masih mendominasi komposisi pembiayaan bank syariah. Ini berarti bahwa bank syariah masih belum berani bermain pada pembiayaan untuk investasi riil yang memang membutuhkan lebih banyak energi dibandingkan pembiayaan jual-beli.

.
Kontribusi lain dari ekonomi Islam untuk kesejahteraan masyarakat sebenarnya dapat juga dilakukan melalui alokasi berbagai proyek untuk kepentingan rakyat banyak yang didanai melalui skema pembiayaan syariah. Perkembangan sukuk di tingkat internasional misalnya bisa dijadikan contoh. Tingginya likuiditas pada negara-negara kaya minyak di Timur Tengah sebenarnya bisa diserap menjadi dana potensial untuk membiayai proyek-proyek pembangunan yang berorientasi pada rakyat banyak, semisal pembangunan jalan, sarana irigasi, dan lain-lain. Potensi ini sudah diakomodasi melalui penerbitan UU No 19/2008 dan sudah saatnya memberikan hasil yang positif. Untuk itu, peran pemerintah menjadi lebih dituntut untuk membangun iklim usaha yang baik sehingga berbagai peluang yang telah ada dapat dikembangkan sesuai dengan kebutuhan nasional.

Pemerintah sudah saatnya tidak hanya berkonsentrasi pada pengembangan lembaga keuangan syariah sebagai lokomotif pengembangan ekonomi Islam semata, tetapi sudah saatnya merambah pada upaya strategis menguatkan peran ekonomi Islam dalam perekonomian nasional melalui strategi jangka panjang yang mencakup lebih banyak aspek kehidupan. Islam sebagai nilai universal syamil dan mutakamil tentu saja tidak hanya dipraktekkan dalam kaitannya dengan masalah transaksi, tetapi juga dalam masalah manajemen, tata pamong (governance), pendidikan dan bahkan budaya bangsa dan ditahun baru ini semoga kita semua menyadarinya.

C. Penutup

Sistem ekonomi Islam merupakan system yang terkait dengan produksi, distribusi, dan konsumsi menurut Islam. Menurut Abul A’la Al-Maududi prinsip ekonomi Islam berada di tengah-tengah antara ekonomi kapitalisme yang menjunjung tinggi kepentingan (prestasi) pribadi dan ekonomi komunisme yang sama sekali menafikan kepentingan (prestasi) pribadi.

Kajian tentang pertumbuhan (growth) dan pembangunan (development) ekonomi dapat ditemukan dalam konsep ekonomi Islam. Konsep ini pada dasarnya telah dirangkum baik secara eksplisit maupun implisit dalam Al-quran, sunnah maupun pemikiran-pemikiran ulama Islam terdahulu, namun kemunculan kembali konsep ini, khususnya beberapa dasawarsa belakangan ini terutama berkaitan kondisi negara-negara muslim yang terbelakang yang membutuhkan formula khusus dalam strategi dan perencanaan pembangunannya.

Kekhasan pertumbuhan dan pembangunan dalam ekonomi Islam ditekankan pada perhatian yang sangat serius pada pengembangan sumberdaya manusia sekaligus pemberdayaan alam untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia. Ini tidak hanya diwujudkan dalam keberhasilan pemenuhan kebutuhan material saja, namun juga kebutuhan dan persiapan menyongsong kehidupan akhirat. Jadi, urgensi ekonomi Islam lebih ditekankan pada suatu konsep dan usaha untuk dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Ekonomi Islam adalah jawaban tantangan peradaban dunia.


DAFTAR PUSTAKA
Abul Hasan M.Sadeq dan Aidit Ghazali. 1992. Readings in Islamic Economic Thought, Malaysia. Malaysia.
Abul Hasan Muhammad Sadeq. 1987. Economic Growth in An Islamic Economy, tulisan dalam Development and Finance in Islam Malaysia : International Islamic University Press.
Nuryanto, 2006. Ekonomi Syariah Di Indonesia Tahun 1430 H: Peluang dan Tantangan
Pertadireja, 1994. Pengantar Ekonomika. Yogyakarta : BPFE
Rahman, Afzalur. 1995. Economic Doctrines of Islam. Terj. Doktrin Ekonomi Islam, Yogyakarta : Dana Bakti Wakaf.
http://kompas.com
http://replubika.com