Jejak Karya

Jejak Karya

Friday, August 24, 2012

Wahai Kekasihku [Kun Geia]

Friday, August 24, 2012 0 Comments
by Kun Geia on Saturday, August 18, 2012 at 8:03pm ·
dalam 3 jam kedepan engkau kan melangkah
pergi menjauhiku yang masih disini
menyuguhkan kesepian
menyisakan kesendirian

maka berkabunglah hati karenanya
datanglah kesedihan bersama perpisahan
duhai kekasih yang belum bisa sempurna kubahagiakan
duhai cinta yang hanya sekejapan dalam kebersamaan

akankah kita dipertemukan kembali
bersatu dalam keceriaan dan keberkahan
mengulang ketaatan dalam indahnya malam-malam
mengukir kesabaran dalam untai terangnya siang

kehangatan kita masih terasa dalam dekapan
keintiman kita masih terbayang dalam ingatan
namun engkau sudah sempurna berkemas 
siap melangkah tuk pergi dari sisiku

sesaklah dada ini
beratlah beban ini
tapi engkau tak bisa dihentikan
keputusan tak bisa dibantahkan

sungguh aku akan merindukanmu
selalu menunggumu kembali kesisiku
wahai kekasih
wahai tercinta

andaikata Tuhan bersedia mengabulkan
kan kuminta Dia menjadikan seluruh bulan
digantikan oleh dirimu
wahai penghulu seluruh bulan

selamat jalan untukmu penyandang kesucian
selamat jalan bagimu pembawa keagungan
selamat jalan padamu penebar keberkahan
selamat jalan ya ramadhan

terima kasih untuk semua keceriaan
terima kasih untuk semua kehangatan
terima kasih untuk semua kebersamaan
terima kasih untuk semua yang telah kita jalani bersama

wahai kekasihku wahai ramadhanku
janganlah jemu menyebut-nyebut namaku di langit sana
ceritakanlah apa-apa yang telah kita kerjakan bersama
kepada seluruh penduduk alam atas dan alam bawah
serta kepada Raja Yang Bersemayam di Arsy-Nya

kuucapkan salam perpisahan untukmu
dengan alunan tertulus yang bisa kuciptakan
"Allahu Akbar... Allahu Akbar... Allahu Akbar..."
"laa ilaa ha illallahu wa Allahu Akbar..."
"Allahu Akbar wa lillahilham..."


Garut, menjelang kepergian Ramadhan dan kedatangan 1 Syawal

Proses Kreatif dibalik Pembuatan THE LOST JAVA

Friday, August 24, 2012 0 Comments
by Kun Geia on Sunday, July 8, 2012 at 7:18pm ·

Saat itu, tanpa angin atau hujan, terlebih terik, ada comment di blog pribadiku; komunitaspenaripena.blogspot.com, isinya berupa iklan lomba novel tingkat Nasional di Yogyakarta, kejadiannya di bulan Januari 2010. Aku tak begitu menghiraukannya, hanya membaca sekilas, tapi ternyata setelah melihat nominal hadiah dari lomba itu, bibirku tersenyum. Batinku mulai berbisik, aku harus juara.

Dead line penutupan lomba tinggal 1 bulan. “Bukan masalah,” cuapku dengan arogan.

Kubeli kertas karton putih, kemudian kutorehkan tulisan besar dan tebal di karton itu: MENGHAJIKAN ORANG TUA. Setelahnya, kutempel karton itu di dinding kamar yang tepat menghadap tempat tidur, sehingga setiap kali terbangun, aku akan menemui tulisan itu sebagai charger semangat.

Maka, mulailah scouting ide.
Nggak ketemu.
Membaca-baca buku berharap dapat inpirasi.
Nihil.

Kau tak boleh menjadi follower, ciptakan tulisanmu sendiri yang berbeda dengan novelis-novelis yang sudah ada di Indonesia. Begitu ucap batin di sela kekosongan ide.

Suatu ketika, tatkala mengikuti perkuliahan kimia lingkungan di Pascasarjana Kimia UGM, Prof. Eko Sugiharto membahas tentang global warming.
Deal.
Ideku untuk novel yang akan ditulis adalah: GLOBAL WARMING.

Indah nian sketsa alur yang disiapkan Tuhan.

Kusebar SMS ke rekan-rekan di KOMUNITAS PENARI PENA (KPP): Tolong carikan berbagai data mengenai pemanasan global.
Sent to 7 people.

Aku pun mulai membuka laptop dan menulis “ala orang kesetanan”. Maksudnya begini, metodeku menulis adalah dengan menutupkan separuh layar laptop setelah kujalankan microsoft word yang siap ketik, dengan begitu aku tak bisa melihat apa yang kuketik. Sehingga, para hakim, juri, editor, dan komentator di dalam kepalaku, tak bisa menghambat kreativitas aliran tulisanku.

Selanjutnya, kupakai keyboard eksternal untuk mengetik. Gerakan jari-jemari pada ketikanku dibuat secepat mungkin, tanpa ada jeda untuk beristirahat sampai semua yang ingin dituliskan—yang mengendap di dalam isi tempurung kepala—benar-benar kering. Habis. Satu jam, dapat satu bab.

Istirahat.
Mengetik lagi.
Hingga akhirnya, dengan metode itu, kuhabiskan seminggu dan menghasilkan 7 bab.
Pernah suatu hari, selama 24 jam full, tanpa rehat kecuali untuk makan, shalat, dan kebutuhan primer, kerjaanku hanya menulis di dalam kamar. Autis. Tanpa tidur pula. Alhasil dalam 24 jam itu lahirlah hingga 5 bab bagian dari novel THE LOST JAVA.

Setiap kali semangatku mulai menurun, maka segera kulihat tulisan MENGHAJIKAN ORANG TUA di dinding kamar, seketika itu juga aku terlahir kembali dengan semangat menggebu.

Sebelum 3 minggu habis, telah rampung 20 bab.

Selanjutnya, sudah menanti sebuah pekerjaan yang akan lebih menguras otak. Pesanan data-data yang diminta pada KPP sudah berdesakkan di email.
Dibuka.
Dibaca.
Ditelaah satu persatu.
Kemudian, data-data yang kuanggap penting dan akan berpotensi memperseksi novel ini, mulai kucoba untuk diharmonisasikan dengan naskah yang sudah ada menjadi satu kesatuan tubuh cerita yang utuh.

Di minggu ketiga, selesailah pekerjaan menulis naskah novel.

Setelahnya, tibalah waktuku tidur. Adrenalin habis karena dipakai untuk kerja paksa dalam 3 minggu demi 3 kata: MENGHAJIKAN ORANG TUA. Dua hari terlewati tanpa kegiatan kepenulisan.

Kun Geia benar-benar TEPAR.

Kemudian, pekerjaan editing/revisi mulai dilaksanakan. Dalam 5 hari. Naskah sebanyak 200 halaman A4 itu selesai direvisi dari halaman pertama hingga titik terakhir sebanyak 5 kali.

CUKUP! Ucapku waktu itu.

Kukirimkan novelnya pada panitia lomba yang saat itu hanya menyisakan satu hari waktu sebelum penutupan. Naskah THE LOST JAVA dilombakan bersama 2 naskah novelku yang sebelumnya sudah jadi duluan, sekitar 1 tahun lalu: HITAM PUTIH PENANTIAN dan RARA PENGIKHLAS.

Waktu bergulir, penjurian berlangsung.
Dari sekian ratus naskah yang masuk panitia lomba, THE LOST JAVA  dan PARA PENGIKHLAS ternyata lolos seleksi hingga 30 besar.

Waktu berlalu, penjurian kembali berlangsung.
Akhirnya, meski tak juara di akhir lomba, tanggal 30 november 2010, THE LOST JAVA menduduki peringkat ke-4. Sayang, hadiah cuma sampai di peringkat ke-3. Dan peringkat ke-4 hanya dapat piagam dan JANJI akan diterbitkan.

Sementara, selesai sampai di situ.

Enam bulan berlalu dari janji penerbitan tanpa ada hasil konkrit. Naskah itu kucabut dari penerbit yang sudah mengiyakan untuk diterbitan.

Novel itu kuikutkan lagi lomba menulis tingkat Nasional di Solo Raya. Tak juara sih, tapi dapat menghargaan sebagai novel dengan ide terbaik dari sekian ratus naskah yang masuk ke panitia lomba. Itu terjadi 24 januari 2011.

Ada lagi lomba tingkat Nasional di Yogyakarta.
Kuikutkan lagi.
Di sini, THE LOST JAVA yang sudah berkali-kali mengalami revisi, ternyata menjadi juaranya.

Alhamdulillah. Diterbitkan.

Bulan bergulir. Aku baru tahu kalau buku itu ternyata diterbitkan indie dan dijual hanya on line saja.
Mengelus dada dan menghela napas panjang....

Kubiarkan THE LOST JAVA mengandap di penerbit itu. Hingga setahun, ya... hasilnya gitu-gitu aja. Tidak banyak orang yang menikmati isinya, tidak banyak orang yang membelinya, atau lebih tepatnya mungkin tidak banyak orang yang tahu bahwa buku itu ada di muka bumi. Tapi, beberapa progres cukup lumayan. Buku ini masuk ke dalam catalogue national library of Australia, display di Amazon.com dan beberapa international online reseller serta nangkring di google book. Beberapa ada yang mengulas di media nasional secara on line. Harian lokal dari Sumatera pun meresensi, hingga tak ketinggalan dikomentari pada blog-blog pribadi.

Dalam kurun 2010 hingga 2012, dengan serius kusempurnakan THE LOST JAVA. Riset yang dilakukan mengenai hal prihal ilmiah yang ditanamkan dalam novel itu menjadi prioritas. Beberapa orang yang (kuanggap) ahli di bidang keilmuan geofisika, komputer, dan statistik, berhasil kugandeng. Bahkan hingga dosen skripsi S1 dulu, turut  dimintai bantuan menganai hal ikhwal berbau kimia melalui wawancara.

Dalam kurun waktu itu, kuhitung telah mengkhatamkan novel THE LOST JAVA dalam proses revisi hingga 20 kali. Halamannya pun bertambah dari yang tadinya 200 A4 menjadi 300 A4. Sebanyak kurang lebih 20 penikmat sastra kuberikan naskah itu untuk dikomentari. Termasuk penulis Hafalan Shalat Delisa (meski beliau membacanya, tapi ternyata  belum berkenan memberi endorsement karena alasan genre tulisan kita yang berbeda). Alhasil, berdatanganlah saran-saran untuk penguatan di detail setting, karakter tokoh, dan penyempurnaan logika cerita.

Untuk alur dan konflik sudah ok.

Hingga akhirnya aku dipertemukan (dengan orang-orang hebat) dengan IG Press. Mereka menjanjikan untuk membumingkan buku THE LOST JAVA. Setelah mempelajari strategi marketing mereka, hak penerbitan buku ini berpindah tangan.

Indah nian sketsa alur yang disiapkan Tuhan.

Dan, jadilah THE LOST JAVA yang sekarang ada di tangan para pembaca. Tersebar hingga di seluruh toko buku di Indonesia yang terjangkau distribusi IG Press.

Seminggu setelah selesai cetak, buku ini telah terjual hingga 150 eksemplar, padahal ia belum display di toko buku, baru penjualan gerilya. Dan setelah dua hari display,  ada satu dua toko buku yang langsung kehabisan stock hingga di gudangnya. Sold out.

Acara-acara bedah buku mulai di gelar. Lombok, Solo Raya, dan menyusul Yogyakarta serta Purwokerto.
Kota-kota lain di Indonesia, tunggu giliran selanjutnya.

Great marketing dari IG Press.

Ada 5 hal yang kugaransikan pada para pembaca dari novel THE LOST JAVA: Alur cepat (menguras adrenalin dengan adegang-adegan penuh ketegangan), Konflik Bertubi-Tubi (mengaduk-aduk emosi), Detail Setting (membawa nyatanya tempat ke kepala pembaca), Sains (menawarkan banyak ilmu pengetahuan), dan tentu saja Romantika Cinta (melengkapi harmonisasi cerita).

THE LOST JAVA dipersiapkan dengan sangat matang, sebagai persembahan dan seorang anak negeri bagi para pemburu novel science fiction dan thriller.


Minggu, 8 Juli 2012
Kun Geia

Cinta dan Benci [Kun Geia]

Friday, August 24, 2012 0 Comments
by Kun Geia on Saturday, August 18, 2012 at 10:47am ·
“Menjadi sebuah kecintaan tak terukur saat angin mengantarkan kabar ke gendang telinga bahwa, Ramadhan akan segera memeluk tanah Indonesia. Semoga tuan segera kembali ke sini, ujar seekor Anjing di pojokan rumah besar nan kosong, di perumahan Suci Permai, Garut.

Enzo, nama itu disematkan pada si Anjing oleh tuannya sepuluh tahun yang lalu, ketika mereka masih hidup bersama dalam rekatnya persahabatan dua mahluk berbeda spesies. Beberapa tahun ke belakang, sang tuan pergi tanpa mengajaknya ikut serta, Aku akan menjalankan misi ke Antartika demi kelanjutan hidup umat manusia, kau tunggu aku kembali di rumah ini. Sejak perpisahan itu, sang tuan tak pernah kembali, dan hingga kini si Anjing masih setia menungguinya pulang.

“Dalam kesendirian, aku berusaha menceburkan diri, berkhalwat bersama Ramadhan. Aku tak makan di siang hari. Aku tak mengais-ngais di tempat-tempat sampah komplek ini, bahkan aku sejenak bisa menekan kerinduanku akan kedatangan tuan dari ujung bumi selatan.”

Senyuman ringan terkembang di bibirnya. Anjing itu mencoba mencari rangkaian kalimat terbaik untuk melukiskan Ramadhan, namun setiap kali matanya berlinang karena kesyukurannya bisa merasakan bulan nan agung ini, saat itu pula ia menyerah dalam pencarian kalimat yang sepadan untuk melukiskan kecintaannya dengan Ramadhan.

[ ]

Bumi terus berputar.
Waktu tak hendak beristirahat disela derasnya arus zaman.

“Ramadhan hendak menemui ujung.”
Wajah Enzo redup.
“Adakah kesempatan lagi aku bertemu dengannya?”

Kini, dua kerinduan menelikung bersamaan. Menelusup dengan membawa ketakutan untuk kehilangan. Anjing itu merasa akan semakin rindu menanti Ramadhan kembali, juga rindu menunggu tuannya datang membawa janji untuk pulang.

Cinta, inikah rasanya?

Setelah adzan maghrib selesai berkumandang di mesjid Perum Suci Permai, Enzo melangkah menjauhi gundukan sampah, ia baru saja memakan sesuatu sebagai penanda makannya yang pertama seharian ini. Langkahnya menuju ke tempat yang lebih dekat dengan mesjid. Baginya, ada keasyikan sendiri melihat orang-orang hilir mudik masuk dan keluar dari mesjid itu untuk sebuah ketaatan.

“Hey Enzo! Ada sisa makanan untukmu. Ayo Sini!” teriak satu dari lima orang yang duduk di pos ronda, seratus meter jaraknya sebelum mesjid.

Anjing itu menghentikan langkah, ia menatap ke arah lima orang yang duduk di dalam pos ronda.

Kartu. Tumpukan uang seribuan. Botol-botol.

Melihat semua itu, dalam hitungan detik, kebencian berhasil menguasai hati Enzo. Merayap memenuhi seluruh isi selaksa rongga dada.

Seharian aku melihat mereka tak beranjak dari sana, tak lepas dari barang-barang itu semua. Batin Anjing itu membara. Ramadhan kan segera pergi, tapi pembangkangan mereka pada titah Langit tak jua sirna.

Lebih dari itu, kebencian telah berhasil menyulamkan kesumat tatkala dalam keseharian ia menyaksikan mahluk-mahluk yang bernama manusia, acuh tak acuh dengan Ramadhan.
Tak ada ketaatan untuk kebaikan. Tak ada keingkaran pada kemungkaran. Enzo meneruskan langkahnya.

“Aku benci mereka. Kenapa aku yang hanya seekor anjing, mahluk yang selalu dinajis-najiskan, ciptaan yang diharamkan untuk dimakan, bisa merasakan kecintaan pada bulan ini, kerinduan untuk selalu bersamanya. Sementara mahluk-mahluk bernama manusia itu...” gigi enzo gemeretak. Saling beradu.

“Tuan, kapan engkau kembali dari Antartika? Aku rindu Melewati Ramadhan bersamamu, seperti dulu.”

Benci, beginikah rasanya? [ ]


Garut, 18 Agustus 2012 (sehari menjelang berakhirnya bulan suci.)

CERMIN TERAKHIR [Kun Geia]

Friday, August 24, 2012 0 Comments
by Kun Geia on Sunday, August 12, 2012 at 8:42am ·
Pernahkah mendengar bunyi napas yang diseret? Bukan tarikan napas, tapi seretan napas. Jika tarikan napas bisa saja sama dengan desah napas biasa, tapi seretan napas terdengar lebih buruk dan lebih memprihatinkan ketimbang suara napas orang yang sedang terserang asma akut.

Tahukah rasana bagaimana ditatap oleh mata yang polos? Bukan tatapan kosong, bukan pula tatapan lugu, tatapan polos. Tak ada rasa, tak ada citra, tak ada apa-apa?

Baiklah, teruskan membaca tulisannya.

Hari ini, 12 agustus 2012, tidaklah aku memejamkan mata dari tadi malam untuk tidur kecuali hanya beberapa menit saja, yaitu ketika jam menunjukkan pukul 03.00 dini hari. Saat itu kutinggalkan mesjid menuju rumah, tujuannya untuk makan sahur dengan keluarga.

Selesainya dengan sahur dan berwudhu, aku kembali ke mesjid. Iqamah subuh dikumandangkan. Imam kami maju kedepan, mulailah takbir.

Ketika fatihah terlantun, pendengaranku sedikit terusik, yang lama kelamaan memang aku merasakan sesuatu yang mengusik. Awalnya kudengar suara tarikan napas yang cepat, pendek, berkejaran. Semakin suasana hening kecuali suara bacaan imam, semakin tarikan napas itu kurasakan seperti suara seretan udara di hidung.

Aku bisa merasakan bagaimana sulitnya paru-paru untuk menarik oksigen, aku tau itu karena aku punya penyakin asma, jadi sudah sangat kenal dengan yang namanya kesulitan menarik napas.

Semakin lama, tak ada kekhusuakan dalam shalatku, tak ada kekhidmatan dalam mendengar lantunan imam. Yang ada adalah pikiranku terkait terus pada suara yang datang dari saf pertama paling ujung sebelah kiri, sementara posisiku berada di saf pertama paling kanan.

Terus dan terus, seretan napas itu terdengar, hingga spontan kepalaku tak lagi berusaha mendengarkan bacaan imam, tapi malah berputar. Aku berpikir bahwa nanti setelah selesai shalat, akan kutarawarkan orang yang kesulitan bernapas itu obat ventolin inhaler, itu obat spray yang bisa menanggulangi asma dalam hitungan detik.

Kutunggu rakaat pertama usai, tapi yang terjadi adalah suara seretan napas orang di ujung sana sepertinya berasa lebih mengerikan daripada asma terakut yang pernah kurasa. Aku jadi berpikir itu seperti suara endusan napas harimau setelah keletihan mengejar-ngejar mangsangya. Selanjutnya aku malah berpikir mungkinkah orang itu kesurupan Jin? Ah tidak, toh dia tidak membuat kegaduhan, saat rukuk, saat sujud, aku tau dia mengikutinya dari tarikan dan hembusan napas yang terpantul di karpet mesjid. Tinggi rendahnya kurasakan.

Semakin jauh shalat, semakin suara itu terdengar lebih berat, terus berkejaran. Aku sampai merasa sesak sendiri. Terlebih ketika sujud, sangat kurasakan kesulitannya bernapas, karena napas yang ditarik dan dihembuskannya terpantul sangat dekat ke karpet mesjid dan posisi kepalaku pastinya sejajar dengan dia karena keningku sedang menempel di karpet, sehingga itu membuat seretan napasnya terdengar lebih jelas.

Salam pun berakhir ke sebelah kiri. Aku segera mengambil ventolin inhaler dari dalam kantong.
 Aku dekati dia.

“Dek ...”
 Kupanggil dia begitu karena terlihat usianya belum melebihi kepala dua. Aku tak kenal dia, sepertinya memang bukan orang sini, atau aku yang tak pernah bertemu karena sembilan tahun terakhir domisiliku di luar tanah kelahiran ini.

“Kamu asma?”
 Dia menggelengkan kepala

“Sesak napas?”
 Dia kembali menggelengkan kepala. Kemudian aku sentuh pundaknya.

Dia mengangkat kepala, dan wajahnya berputar ke arahku, ia memandangku.
Saat itu juga bulu di tengkuk perlahan berdiri.

Tatapannya itu ... tidak kosaong, tidak tajam, tidak mengerikan, tapi ... ah aku tak menemukan kata untuk menggambarkannya selain;  tatapannya polos, tak berasa.

“Coba pakai obatku ini, insya Allah bisa menanggulangi sesak napasmu.”

“Tidak,” jawabnya pelan disela kesulitan menarik napas. Para jama’ah sudah sedari tadi melihat-lihat dia, bertanya ini itu, tapi karena aku yang paling dekat posisi duduknya dengan dia, wajahnya pun hanya tertuju padaku.

“Panggilkan ibu kak, tolong panggilkan ibuku,” pintanya lemah.

“Ibumu siapa? Rumahmu di mana?”

“Panggilkan saja, cepat panggilkan.”

Belum aku bertanya lagi, pintu mesjid ada yang membuka, dan masuk seorang ibu seusiaan ibuku, usianya kutaksir 50 tahunan.

“Ayo pulang nak, ayo ke rumah,” ucap si ibu pada anak yang sedari tadi menyeret napasnya itu dengan susah, payah.

“Nggak, aku mau disini.”

“Ayo pulang saja, kamu istirahat di rumah.”

“Nggak mau, aku mau di sini.”

Ibunya pun memeluk dia, dan si anak berujar lemah, “Maafin aku bu, aku minta maaf untuk semua salahku.”
 Aku semakin merinding mendengarnya.

“Anaknya kenapa Bu? Punya peyakit asma?”
 Si ibu memandangku karena pertanyaan itu.

“Sudah dua hari ini dia muntah-muntah, mengeluh kepalanya pusing, tidak bisa tidur.”
 Ibu itu memalingkan pandangan dariku ke anaknya. “Ayo kita pulang nak ....”

“Nggak, aku mau disini.”

Aku sentuh tangannya ... sedikit lebih dingin dari suhu tubuhku.

Napasnya semakin cepat. Semakin jelas terdengar. Lama-lama aku ngeri sendiri dengan kondisi ini.

Akhirnya aku berinisiatif untuk memberikan ventolin inhaler itu tanpa peduli dia mengatakan tak sesak atau tak asma, karena jelas-jelas dia kesulitan memasukkan udara ke paru-parunya.

“Buka mulutnya ya,” ucapku perlahan. “Nanti hisap napas panjang dan akan kutekan obat ini, setelah itu tahan sejenak di dada, baru keluarkan lagi napasnya.”

Dia menggelengkan kepala tanpa suara. Menolak.

Aku masa bodoh.
Kuhampirkan saja ujung obat itu ke mulutnya, dia pun membuka mulut itu. Kutekan ventolin-nya. Oksigen dari dalamnya terhembus di dalam mulutnya. Dia menahan napas, kemudian dikeluarkan.

Kutunggu reaksinya ... tak membaik juga. Kuulangi lagi. Tetapi tidak ada perubahan. Padahal sesak napas terparahku saja akan reda dalam semprotan obat kedua kalinya. Tapi, dia tidak.

“Pulang yuk, kita pulang saja,” Ibu itu kembali merajuk, dan jawaban serupa dilontarkan anaknya.

Astaghfirullah ... astaghfirullah,” lirih ucap mulutnya.

Ia kemudian memandangku.
Tatapannya polos.

“Kak, maafin aku, maafin aku.”
Ia mengambil tanganku dan menyalaminya.
Dingin. Tangannya jauh lebih dingin. Suhunya tidak seperti beberapa saat yang lalu saat kupegang. Sekarang jauh lebih dingin.

Ia kemudian menoleh ke jama’ah di belakangnya.
“Pak, maafin aku ....”

Terus memandangi semua jama’ah yang ada di mesjid.
“Semuanya, aku minta maaf.”

“Sudah dimaafkan, sekarang pulang dan istirahatlah di rumah, biar ibumu panggilkan dokter,” semua menjawab sama.
Ia menggelengkan kepala.

Anak itu lantas mendekati imam kami dan mencium tangannya, “Maafin aku pak Haji, maafin.”
Ia terisak. Bersujud di hadapan imam kami.

“Iya, sekarang pulanglah,” itu kalimat kesekian yang serupa dari imam kami.

Anak itu pun kembali dibujuk ibunya pulang, tetap tak mau.
Dia bangkit dari sujudnya, napasnya masih diseret, berat. Kemudian ia melihat ke pojok mesjid dimana tangga menuju lantai dua mesjid ada di sana.

“Kak siapa itu?” Ia menunjuk ke sudut mesjid sambil bertanya padaku.
“Mana? tak ada siapa-siapa di sana!” jawabku bingung.
“Itu yang disitu siapa?”
Ibunya pun mengatakan hal yang serupa dengan ucapanku.

Anak itu kemudian sujud lagi dan berulang-ulang membaca istighfar.

Apa ini?
Kenapa dengannya?
Apakah dia ...
Ah, aku tak berani berandai-andai. Tak lama berselang, kerabatnya datang dari luar mesjid, membujuk, merayu, dan memaksa dia keluar dari mesjid untuk pulang ke rumah sebelum dipanggilkan doketer.

Dia tidak mau. Dia terus bersujud sambil beristighfar.

“Dari semalam dia memaksa ingin shalat di mesjid, sebelumnya tak pernah, tapi sekarang dia memaksa ibu untuk mebawanya ke mesjid,” ucap ibu itu.

Kerabatnya pun berhasil mencengkeram tangan dan pundaknya. Dengan dibantu jama’ah yang lain , anak itu pun terangkat dari sujudnya. Kusaksikan warna kulit wajahnya membening. Bukan memutih, tapi membening. Lebih bersih.

Napasnya semakin cepat, berkejaran.
Diseret. Pendek. Berat.
Sepertinya udara seolah-olah berserat bagi hidung dan paru-parunya.

Dan ...
Ending kisah ini tak mampu kutuliskan.
Tak kuasa kugambarkan, karena kusaksikan sendiri ia dengan mata kepala ini.

Tak bisa, cukup sampai di sini saja.
Yang jelas ia terlentang di atas karpet mesjid.

Tubuhnya melemah.
Matanya sayu, meredup.

Aku menangis menyaksikannya.
Meski aku tak mengenalnya, tapi batinku ciut  melihat kejadian apa yang dialaminyai.

Cukup selesai sampai di sini.
Berakhir.
[ ]

Apakah kalian berfikir aku menulis cerita fiksi?
Apakah kalian menyangka kisah di atas hanya omong kosong belaka?

Bacalah sekali lagi dari atas, perhatikan apakah aku membumbui tulisan ini dengan bahasa-bahasa hiperbola ala khayangan?

Apakah penggamabaran setting tempat begitu detail kulukiskan?
Apakah nama-nama tokoh kumunculkan dengan karakter masing-masing?
Apakah konflik yang ada terkesan diada-adakan?
Maka kalian akan menemukan jawabannya adalah, TIDAK!

Lantas untuk apa kutulis ini?
Apa sekedar untuk menghibur kalian?
Atau untuk menakuti-nakuti para?

Demi Allah, tidaklah aku tulis ini semua, kecuali ketakutanku mendapatkan pertanyaan serupa ini nanti di akhirat:

Apakah engkau menyaksikan pelajaran berujungnya kehidupan di tanggal sekian, bulan sekian, tahun sekian, jam sekian, atas seorang anak di mesjid Al-Hidayah, Garut?
Aku pasti menjawab “Iya, saya menyaksikan.”

Apakah engkau bisa mengambil pelajaran dari kekuasaan Tuhanmu pada kejadian itu?
“Ya, saya memahaminya?”

Lantas, kenapa engkau tidak menyampaikan pelajaran itu pada orang-orang di sekitarmu?
Kenapa engkau tidak memberikan peringatan atas kejadian itu sebagai pelajaran bagi mereka yang masih diberi kesempatan hidup di dunia?

Maka, jika tak kutuliskan ini, aku khawatir mendapat pertanyaan seperti itu dan tak dapat menjawabnya. Sungguh, pertanggungjawaban di akhirat beribu kali lipat lebih berat dari pada di dunia.
Maka ingin kugugurkan kewajiban penyampaian itu lewat tulisan ini.

Dan sekarang, tahukan bagaimana rasanya ditarik ruh dari jasad?

Jawabannya pasti tidak, karena aku (kalian) belum merasakannya, tapi Allah memberikan gambarannya lewat-orang-orang yang selesai masa hidupnya di dunia untuk menuju alam setelahnya. Salah satunya,  ketika Rasulullah shalallahu alaihi wassalam dicabut nyawa;

... ....
Malaikat Maut pun mulai mencabut nyawa Rasulullah. Ketika roh baginda sampai di pusat perut, baginda berkata: “Wahai Jibril, alangkah pedihnya maut.”

Mendengar ucapan Rasulullah itu, Fatimah terpejam, Ali yang disampingnya menunduk semakin dalam, Jibril as memalingkan mukanya.

Lalu Rasulullah SAW bertanya: “Wahai Jibril, apakah engkau tidak suka memandang mukaku? Jibril menjawab: “Wahai kekasih Allah, siapakah yang sanggup melihat muka baginda, sedangkan baginda sedang merasakan sakitnya maut?”
... ....

Itu gambaran kesakitan bagaimana proses dicabutnya ruh, Rasulullah saja yang notabene mahluk paling dicintai dan disayangi Allah, merasakan sakit tak terperi, apatah lagi aku (kalian) yang ... ah tak ada apa-apanya dibandingkan Rasulullah dalam ketaatan, kemuliaan, kedudkannya dihadapan Allah. Beliau shalallahu alaihi wassalam dicabut ruh nya dengan sangat pelan, lembut, berhati-hati, penuh kasih sayang, merasakan sakitnya begitu hebat. Lantas, seperti apakah yang akan aku (kalian) rasakan? Adakah dicabut dari ubun-ubun dengan kasar tanpa belas kasihan?

Oleh karena itu, aku berharap tulisan ini memberi manfaat, bisa dijadikan CERMIN untuk diriku (kalian) dalam usaha mempersiapkan diri, karena aku (kalian) tidak pernah tahu kapan napas TERAKHIR itu tiba.

Bisa jadi tahun depan, mungkin bulan depan, bisa saja beberapa jam lagi, atau mungkin setelah selesai membaca tulisan ini? Wallahu a’lam bishawab.

Maka dari itu ...

“Wahai orang-orang yang beriman, jagalah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (At-Tahrim: 6)

“Setiap kali nyala api Jahannam itu akan padam, Kami tambah lagi nyalanya bagi mereka.” (Al-Isra’: 97)

“Setiap kali kulit mereka hangus, Kami ganti kulit mereka dengan kulit yang lain, supaya mereka terus merasakan azab.” (An-Nisa’: 56)

“Mereka tidak dibinasakan dengan siksa yang dapat mengantarkan mereka kepada kematian (mereka tidak mati dengan siksaan di neraka bahkan mereka terus hidup agar terus merasakan siksa) dan tidak pula diringankan azabnya dari mereka.” (Fathir: 36) [Al-Khuthab Al-Minbariyyah fil Munasabat Al-‘Ashriyyah, Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan, dengan sub judul Fit Tahdzir minan Nar wa Asbab Dukhuliha, 2/164-165]

Sekian.
Wassalamu ‘alaikum warahmatullah wabarakatuh.

Catatan: Jika tulisan ini memberi manfaat dan pelajaran, sampaikanlah pada orang disekitarmu, karena tidak semua orang punya kesempatan dan mau membaca.

Rabb, aku mohon maaf atas terbaginya hati dan pikiranku dalam shalat. Aku memohon padamu untuk memberikan anak itu akhir yang baik, dan tempat tepuji di sisi-Mu
Garut, 12 Agustus 2012,
Kun Geia.

CATATAN KUN GEIA

Friday, August 24, 2012 0 Comments

MELATI [29]: “SEMAKIN DEKAT TUNTASKAN PENANTIAN…”

Friday, August 24, 2012 0 Comments


by Norma Keisya Avicenna on Saturday, August 18, 2012 at 10:42am ·
Jika Allah  masih mentakdirkan kita bersama melewati hari-hari berharga di Bulan Ramadhan, terimalah sekelumit pesan ini, sebagai persembahan tanda cinta dan bukti pemenuhan kewajiban kepada saudaranya.

          Saat sahur pertama pada Bulan Ramadhan lalu, siapa yang ada di sekeliling kita, saudara, ayah, ibu, kakek, nenek, mungkin bersama keluarga besar. Tapi saat ini, masihkah semua berkumpul utuh seperti kemarin? Siapa yang pergi dan siapa yang tinggal?
“Sungguh setiap jiwa itu akan merasakan kematian.” [Q.S. Ali Imran [3] : 185]. “Dan tidak satu jiwa pun yang mengetahui di bumi mana ia akan mati.” [Q.S. Luqman [31] : 34]. Jika tidak ada apapun yang menjamin kita akan tetap hidup hingga esok hari, masihkah ada pilihan untuk menyia-nyiakan kesempatan emas ini?
          Jika Ramadhan ini adalah jatah terakhir di usia kita, semoga kesungguhan dalam beramal, kekhusyukan dalam ibadah dan keikhalasan yang menyertai semua aktivitas, serta jalan meraih taqwa, menggapai ridho Rabbul Izzati.
          Dan akhir dari hari-hari yang penuh kemuliaan, teriring ucapan selamat. Sambut kegembiraan dan kesyukuran pada hari raya yang agung. Hari kemenangan untuk orang-orang yang menang, yang memang layak untuk bergembira.
          “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah  disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam syurga, maka sungguh ia telah beruntung.” [QS. Ali Imran [3]: 185].

          Kepada Allah SWT semata kita berharap dan hanya kepada-Nya pula semua kembali. Salam serta shalawat kepada uswatun hasanah kita Rasulullah Shalallahu'alaihi wassalam, keluarga, sahabat, dan orang-orang yang mengikuti jalannya. Semoga masih ada usia untuk bersua kembali dengan Ramadhan tahun depan yang semoga jauh lebih istimewa… Aamiin Ya Rabb…

 “Akhir penantian itu adalah seumpama kupu-kupu yang siap terbang menikmati taman bumi dengan bunganya yang indah dan harum mewangi. Ia hanya akan muncul setelah melalui proses metamorphosis. Dimulai dengan wujud “TELUR” sebagai “potensi”, lalu berubah menjadi “LARVA”, yang harus bekerja keras untuk mengumpulkan bekal –makanan- sebab tanpa bekal ia akan mati. Setelah itu, ia masuk ke fase penantian akhir yaitu menjadi “KEPOMPONG”. Lalu dengan satu usaha untuk membongkar kulit kepompong, muncullah ia menjadi “KUPU-KUPU” yang siap menjelajahi taman. Ketika ia menjadi telur, larva, dan kepompong, ia tahu wujud akhirnya kupu-kupu yang indah itu. Tetapi tentu saja ia tidak bisa memaksakan fase-fase itu untuk dilewati sehingga tiba-tiba sampai di titik akhir."
[Novel “Rembulan di Langit Hatiku” karya Dan’s (SEISMIC)]

Semoga Allah Yang Maha Menyaksikan senantiasa melimpahkan inayah-Nya sehingga setelah 'kepompong' Ramadhan ini kita masuki, kita kembali pada ke-fitri-an bagaikan bayi yang baru lahir. Sebagaimana seekor ulat bulu yang keluar menjadi seekor kupu-kupu yang teramat indah dan memesona. Aamiin.

 “Selamat datang wahai jiwa-jiwa yang bercahaya. Kita ‘kan raih fajar kemenangan dengan qolbu yang bening, bersinar, dan berenergi untuk melanjutkan perjuangan menuju-Nya, merengkuh jannah-Nya. Ya Rabbi, jiwaku takkan lelah menghitung lembaran yang telah terlewati, hati takkan risau, jua tak ingin berkeluh…” 

TAQOBALALLAHU MINNA WA MINKUM... 

[Keisya Avicenna, lembar ke-29 Ramadhan… T_T]

MELATI [28]: "INI CERITA LEBARANKU, MANA CERITA LEBARANMU?"

Friday, August 24, 2012 0 Comments
by Norma Keisya Avicenna on Saturday, August 18, 2012 at 8:54am ·
Berhubung kemarin saya tidak bisa menulis (beneran, hanya bisa terkapar tak berdaya.hehe) karena harus berjuang untuk satu kata: SEMBUH. Nah, di MELATI [28] ini saya hanya ingin mengenang kembali episode LEBARAN saya tahun lalu yang pastinya akan sangat berbeda dengan lebaran tahun ini. Berbeda karena mbah Kakung sekarang sudah dipanggil Yang Maha Kuasa, berbeda karena lebaran kali ini keluarga kita sudah bertambah (saya punya kakak ipar, saya punya keponakan mungil yang bernama "Keisya Restu Ramadhani"), berbeda karena lebaran tahun ini tanpa kehadiran mysupertwin karena ia lebaran di Bengkulu... Sipp, simak ya. Ada harunya, ada ketawanya, dan yang pasti semoga dapat diambil manfaatnya...

LEBARAN 1432 H
Episode Seharu BIRU
Akhirnya, setelah merenung semalam suntuk, Nungma nemu juga singkatan BIRU buat melengkapi tema KYDEN di hari Lebaran. Kenapa BIRU? Karena setelah tahun kemarin kita kompakan pake baju Lebaran warna merah marun, tahun ini kita kompakan pake kostum warna BIRU. Kalau MERAH MARUN tahun kemarin juga ada maknanya. MERAH MARUN: “[ME]nuntun ke a[RAH] mata angin bahagia : sebuah [M]et[A]mo[R]fosa kehid[U]pa[N]”.
Hehe…(agak maksa dikit tak apalah)

Kalau BIRU tahun ini:
[B]erpendar cahaya kemenangan
[I]ringi gema takbir berkumandang
[R]aih kebahagiaan sejati di hari nan fitri
[U]cap kata MAAF dari kami, tulus dari hati…
Yah, kami keluarga besar dari Istana 5 Cinta, KYDEN, mau ngucapin
Taqabalallahu minna waminkum…
Selamat Hari Raya Idul Fitri 1432 H
Mohon maaf lahir dan batin

Tanggal 31 Agustus 2011, Lebaran euy! Sedih juga karena harus berpisah dengan bulan mulia, bulan yang akan senantiasa kita rindukan setiap tahunnya. Semoga semangat Ramadhan senantiasa membara dalam hati-hati kita pasca Ramadhan. Dan semoga kita bisa bertemu lagi dengan Ramadhan tahun depan dalam kondisi yang lebih “ISTIMEWA”. Semoga…

Setelah sholat Ied, saatnya Halal Bihalal sederhana di rumah Pak RT. Nung sempat menangkap 2 pasang mata yang sembab. Duh, benar-benar ada yang menderas di hati. Sepasang mata dari seorang laki-laki paruh baya yang Nung yakin ada kerinduan mahahebat melanda hatinya. Kerinduan pada anak laki-laki bungsunya yang 3 bulan lalu meninggal dunia karena kecelakaan. Sepasang mata lagi dari seorang ibu paruh baya yang tengah menggandeng seorang anak perempuan dengan rok muslim yang Nung kira dulu gak bakalan cukup, ternyata cantik sekali setelah Denis –nama anak kecil- itu kenakan. Ah, Nung yakin ada kerinduan mahahebat pula yang melanda hati ibu itu. Kerinduan pada anak perempuan yang setahun lalu pergi untuk selamanya menjemput kehidupan abadi (Almh.Erna). Erna adalah sahabat kecilnya SUPERTWIN. Anak yang tengah digandeng ibu itu adalah anaknya Erna. Denis, yang belum sempat mengenal lebih dekat sosok ibu kandungnya. Denis yang kini menjadi anak yatim, wajahmu mengingatkan kami dengan mendiang ibumu, teman sepermainan kami dulu… Hikzhikz, lagi-lagi ada yang harus menderas di hati.

Suasana haru episode perdana, seharu BIRU episode selanjutnya saat KYDEN saling “sungkeman”. Seperti tahun-tahun sebelumnya, urutan perdana Ibuk sungkem Babe, Mas Dhody-Babe-Ibu, Mbak Thicko-Babe-Ibuk-Mas Dhody, dan yang terakhir si bontot lah… Huaaa, nangis kenceng banget!!! ^^v.

Terus sarapan part 2 di rumah Budhe (mbaknya Ibuk) dengan menu yang khas: sambel goreng ati sapi’i. Mantabz! Silaturahim ke rumah beberapa tetangga deket rumah, tyuz foto-foto berlima di depan rumah. Guayeng puol! Full ketawa-ketiwi. KYDEN memang kompak konyolnya. Hihi…

Episode Pulang Kampung KYDEN
Jam 08.45 semuanya dah siap. Para pengantar (keluarga Pakdhe Sastro, likes: anak, menantu, putu) sudah siap di depan rumah dengan sepeda motor masing-masing (kayak arak-arakan aja. Hehe). SUPERTWIN sama Babe ‘n Ibuk dianter sampai cegatan bis. Sempat foto-foto dulu. Haha, dasar! Tak perlu nunggu lama, kami ber-4 pun dapat minibus yang akan membawa kami menuju Terminal Baturetno. Duduklah kami di deretan jok paling belakang dan kemudian asyik dengan kesibukan masing-masing. SUPERTWIN seperti biasa tangan kiri pegang HP tangan kanan ngemil. Babe dan Ibuk juga asyik ngobrol kadang-kadang ikutan ngemil juga. Haha, seru banget lah! Kalau Mas Dhody lebih memilih mudik dengan si Vega Merah kesayangannya.

Kurang lebih satu jam-an kemudian, sampailah kami ber-4 di Terminal Baturetno. Sudah ada ponakan yang njemput di sana. Uhuy… perjalanan pun dilanjutkan dengan mobil jemputan menuju sebuah desa kecil sebelah selatan Kota Wonogiri. Namanya Desa Nawangan, Platarejo. Medan yang kami lalui tidak seberat tahun-tahun sebelumnya. Duluuu banget masih nggronjal-nggronjal gitu sekarang dah lebih alusan.

Catatan Lebaran Hari Pertama di Rumah Simbah
 Alhamdulillah, sampai juga di halaman depan rumah simbah. Rumah simbahnya SUPERTWIN (bapak dan ibuknya Babe Alhamdulillah masih komplit lho!) itu letaknya pualing puojok puol. Dikelilingi perbukitan, gunung, dan alas (hutan). Sekitar 5 meter dari depan rumah ada sungai kecil tapi kali ini sedang kering. Banyak pohon buah di pekarangan simbah. Romantisme alam raya yang sungguh eksotis!

Simbah sekarang dah gak punya sapi, ternaknya tinggal beberapa ekor kambing, ayam, burung perkutut, dan dua ekor kucing. Hm, pasti salah satu namanya si Manis. Hehe. Si mbek juga tengah berbahagia karena habis melahirkan dua ekor anak mbek yang warnanya sungguh awesome. Hitam legam, cuma ada bagian putih di dekat bantalan kakinya. Kayak bersepatu gitu… Trus ada warna putih juga di jidatnya (tapi bukan bekas sujud.. hehehe)

Lanjut deh sungkeman dengan simbah berdua, om-om, bulik-bulik (cantik-cantik dengan jilbab model kembaran ^^v), main-main dengan para ponakan. ‘n adegan paling favorit pas nggendhong dedek bayi. Dah patut, ya? Babe ‘n Ibuk pun bilang ‘n minta doa kepada semua yang ada di situ, semoga lebaran tahun depan anggota keluarga KYDEN dah bertambah. (huaaaaa…Aamiin. Ngamininya banter banget ‘n penuh semangat. Hehe)

Seru-seruan selanjutnya pas makan siang bareng. Lauk spesial olahan daging enthog hasil ternak sendiri buah karya kolaborasinya Babe ‘n Ibuk. Mantabz dah... (keuntungan luar biasa punya babe ‘n ibuk yang jago masak, kalau anaknya jago nyicip soalnya bakat “master chef”-nya belum maksimal terexplore ^^v).

Sore hari, kita door to door silaturahim ke keluarga dekat sambil menghirup aroma sore menjelang senja, menikmati suasana pedesaan. Uhuy! Foto-foto bergaya “aneh”… :)

Satu lagi hal unik, di tempat simbah tu sinyal IM3 masih sulit, kadang ada kadang nggak (kenapa ya tadi pas berangkat gak beli sinyal dulu?). Haha, sangat mempengaruhi keterbalasan sms yang masuk serta keupdatean dunia facebook. Yadah, dinikmatin saja. Malah lebih tenang bisa jauh-jauhan bentar ma HP. Kalau Mas Dhody ribut cari sinyal dengan naruh HP-nya di atas genting rumahnya Om Moel (depan rumah simbah). Emang bener jadi ada sinyal ogh! Haha. Ada satu cara lagi yang konon dipercaya oleh penduduk desa itu kalau bisa manggil sinyal (hah, kayak apa aja). HP ditaruh di dalam gelas dengan posisi terbalik. Percaya gak percaya, ternyata cara ini pun kadang ampuh juga. Dan kakak SUPERTWIN yang super jangkung itu pun berhasil membuktikannya. So, bisnis pulsanya tetap jalan meski kita sedang “naik gunung”. Ckikik… sinyal oh sinyal…

Ohya, jadwal nonton film hari ini: Laskar Pelangi, Rumah Tanpa Jendela, dan Rindu Purnama. Wah, mantabz!

Catatan Lebaran Hari Kedua di Rumah Simbah
Ada rutinitas pagi pasca semua sudah shalat Subuh, tepatnya jam 05.00 pagi. “Wedangan”. Semuanya berkumpul di meja makan yang terletak di dapur. Ada perapian di sana alias simbah masih pake “blarak” (daun kelapa kering) dan kayu bakar sebagai bahan bakar di pawon. Padahal sudah ada subsidi kompor gas. Tapi lebih suka pake kayu bakar.
 Si Manis lagi asyik menghangatkan diri sambil duduk di potongan kayu. Damai gitu tampangnya. Nungma colek deh tu kucing. Kaget! Hahaha…(tampang damainya jadi semrawut…)

Setelah semua ngumpul, ditemani gelas-gelas yang berisi teh panas, beberapa toples berisi penganan khas Lebaran, dan mulailah bercerita. Simbah bernostalgia tentang masa lampau.

Nung baru tahu kalau Mbah Kakung itu lahir tahun 1925. Nungma rekam dengan manis dan rapi di memori buat nambah referensi penulisan novel Istana Lima Cinta ^^v. Mbah Putri pun cerita tentang kehidupan sebelum kemerdekaan saat terjadi “bencana pagebluk” yang mengakibatkan saudara-saudaranya meninggal dunia secara bersamaan dalam tempo yang cukup singkat. Babe pun tak mau kalah urun suara. Selalu saja Babe bikin suasana pagi itu heboh dan penuh gelak tawa. Babe cerita tentang perjuangan hidupnya di masa kecil, tentang keusilan dan kenakalannya yang masih dikenang orang (teman-temannya) sampai sekarang. Pokoknya seruuu bangeeeeet!!!

Kelar obrolan pagi jam 06.00, semuanya bangkit dari tempat duduk masing-masing dan mulai beraktivitas. SUPERTWIN bersih-bersih rumah, sarapan, dan bersiap silaturahim ke rumah Gestin di Giritontro. Sambil nunggu kakanda tercinta bersiap ‘n sepupu yang mau njemput, akhirnya SUPERTWIN pun asyik cari obyek yang unik dan cocok buat mengabadikan moment alias poto-poto. Paling seru ya pas poto bareng bayi mbek yang warnanya item itu. Lucu banget deh! ^^v

Episode silaturahim di Giritontro pun tak kalah hebohnya. Hm, akhirnya banyak SMS masuk, bisa update status karena sinyal full. Bernostalgila bareng Gestin dan keluarga Kepala Suku sampai jam 13.30. Pulangnya mampir toko di pinggir jalan, beli es krim. Pas mantabz dah, apalagi cuaca panas…
Makan sore bareng dan lanjut baca novel 5 cm…

Catatan Lebaran Hari Ketiga di Rumah Simbah (Episode Huru-Hara)
Ngeteh sambil ngobrol bersama lagi dengan topik yang berbeda.
Pagi ini KYDEN packing karena hari ini harus kembali ke rumah. Sarapan pagi bareng kemudian pamit-pamitan. Heuheu… pasti bakal kangen semua, bakal kangen sambel terasinya Mbah Putri, kangen nasihatnya Mbah Kakung, kangen olok-olokan sama Om-Om, kangen ledek-ledekan sama Bulik-Bulik, kangen gojekan sama para sepupu ‘n ponakan, kangen ma si mbek item, banyak deh yang bakalan dikangenin.

Mbah Kakung dan Mbah Putri pun duduk di kursi bambu depan rumah saat SUPERTWIN bersalaman, minta doa restu, dan pamitan. Heuheu…

Inget pesen Mbah Kakung, “Sopo sing temen bakal tinemu, sing tekun bakale tekan. Sing eling lan waspodo! Ojo melik barang sing melok. Kesusu selak muluk malah keselak.” Huah, so filosofis dan berbobot. Pas Mas Dhody nasihatnya ditambah juga, “jejodhoan kie angel, nek wis wancine bakal ketemu jodhone.” Kalau Nung dulu juga dapat nasihat soal jodoh, “Sing penting imane. Ojo nganti bedho agama!”. Siiip, siap Mbah! Yang penting sholeh dan AMANAH… ^^v Kalau versi mbak Thicko : SMART! Uhuy!

SUPERTWIN salut banget dengan simbah, meski usianya dah 86 tahun beliau sangat rajin sholat, puasanya Ramadhan kemarin sama sekali gak bolong, Mbah Kakung dan Mbah Putri yang sangat inspiratif!

Akhirnya, saatnya berpisah. Ups, ada satu tas berisi “bekal SUPERTWIN” yang masih tertinggal di depan TV. Buru-buru Nung melepas sandal dan mengambil tas itu. Bergegas keluar rumah, pake sandal, salaman dengan Bulik Ruli dan Om Moel kemudian mbonceng sepupu yang dah siap di motor. Uhuy…

Nung sempat menangkap salah seekor dari mbek item (yang belum sempat kita namain) duduk manis di samping kandang. Kayaknya tu bayi mbek pengin ngungkapin sesuatu, namun tak terucap. “Kelayu” alias berat berpisah mungkin. Ngik!
Terjadilah iring-iringan super heboh menuju rumah Bulik Asih sebelum nyegat mini bis. Lha pada mainin klakson sepeda motor je… (termasuk Babe.haha)
***
Dan kehebohan pun terjadi…

Babe, Ibuk dan Om Wid -yang bantu bawain travel bag- dah sampai di rumah bulik dan duduk-duduk di teras. Suasana yang semula datar-datar saja mendadak hebring setelah Bulik Asih berdiri kemudian tanya sambil menunjuk ke arah Nungma. “Kui thik sandale bedho?”. (Baca : Kok itu sandalnya beda?)

 Nung pun melihat ke arah bawah. Sontak semuanya ketawa ngakakngikikngukukngekekngokok. Ngik! Semuanya kepingkel-pingkel. Tak terkecuali Nungma. Sumpah, sandal yang Nung pake selen, sodara-sodara! What is the meaning about “SELEN”? Selen is ketuker, kebalik, bukan pasangannya. Begitu arti yang terdapat dalam kamus bahasa gaul karangan Tatang Sutarman. Gek selen-e parah! Masak “sandal cantik” selen sama sandal jepit warna merah. Selen-nya di sebelah kanan tapi selen-an sandal yang Nung pake malah sandal sebelah kiri. Suer sodara-sodara, Nung sejak awal bener-bener gak nyadar. Nung baru inget pasti kejadian ini bermula pas Nung buru-buru ngambil tas yang ketinggalan tadi.

Mbak Thicko dan Mas Dhody pun ikutan ketawa meskipun ketawa mereka telat! Gara-garanya mereka tadi agak jauh dari rombongan yang datang awal karena harus ngambil barang Mas Dhody yang ketinggalan. (Nah, di episode ngambil barang yang ketinggalan ini, berdasarkan cerita dari Mbak Thicko, Mas Dhody pun bikin kekonyolan waktu markir si vega merah. Tu motor dia parkir bukan di tempat yang “wajar” namun malah di dekat kandang kambing. Kakaknya SUPERTWIN itu memang punya kekonyolan di atas rata-rata, di ambang batas normal ^^v).

 Hah, pagi-pagi dah bikin heboh orang sekampung! Babe aja ketawa gak berhenti-berhenti. Wah, nambah koleksi cerita konyol pas Lebaran nih! Apalagi saat Putut –sepupu SUPERTWIN- yang didelegasikan ngambil sandal yang sebelah, balik lagi ke rumah Simbah (yang jaraknya lumayan jauh). Dia cerita kalau di rumah Simbah pun jadi heboh banget, simbah juga mpe kepingkel-pingkel. Haha… Seruuuuu! Tragedi “sandal selen” ini pasti bakalan kita kenang setiap tahunnya. Tahun depan pasti bakal jadi salah satu topik dan bahan obrolan pagi di rumah simbah. Sendal oh selen... Uhuy…
***

Permudikan yang super asoy geboy dah…
Akhirnya, perjalanan KYDEN sampai juga di Istana 5 Cinta setelah sebelumnya mampir nge-bakso bareng-bareng dulu di warung baksonya Pak Doel depan Pom Bensin Mawar.
Hm… Lapeeeeer! (bergaya ala bocah rambut keriting di iklan minyak goreng).

Hyaaaaaaa, ini cerita lebaranku…mana cerita lebaranmu?

[Keisya Avicenna, personil paling bungsu-nya KYDEN]
Pembaca Pertama + Editor : Aisya Avicenna personil “E” –nya KYDEN ^^v

Kangen petuah bijak Mbah Kakung... T_T

MELATI [27]: “THE LOST of…”

Friday, August 24, 2012 0 Comments


by Norma Keisya Avicenna on Thursday, August 16, 2012 at 8:13am ·

Rasa kehilangan hanya akan ada jika kau pernah merasa memilikinya”

Kehilangan adalah sebuah kenikmatan bagi hati yang mengikhlaskan. Kehilangan bukanlah saatnya untuk mencari kambing hitam atas suatu kesalahan, tapi tak lain adalah saat yang sangat berharga untuk memperkuat pikiran positif kita kepada Allah Swt.

Di dalam salah satu hadits Rasulullah Saw,tersebutlah seorang wanita bernama Ummu Sulaim. Tahu kan Ummu Sulaim? Wanita mulia dengan mahar keislaman Abu Thalhah. Subhanallah…

Pada suatu hari, anaknya sakit panas. Tepat pada saat itu, suaminya Abu Tholhah tengah pergi mencari nafkah. Saat menjelang malam, anak kesayangannya itupun meninggal. Ummu Sulaim meminta kepada kerabatnya, untuk tidak memberitahukan kepada Abu Thalhah, tentang kematian anaknya. “Biar aku saja yang memberi tahu,” katanya.
Ketika Abu Thalhah pulang, dia pun bertanya tentang kondisi anaknya. Ummu sulain menjawab dengan senyum: “Dia sudah lebih tenang”.

Sebagai istri yang baik, maka dia pun melayani suaminya. Setelah semua selesai, bertanyalah Ummu Sulaim: “Suamiku sayang! Bagaimana pendapatmu, jika seseorang menitipkan barang kepada kita, ketika sudah tiba waktunya dia meminta barangnya untuk dikembalikan?”
“Tentu harus dikembalikan,” kata suaminya.
“Tidak boleh marah?” desak istrinya.
“Ya,” jawab suaminya tegas.
“Anak kita sudah diambil pemiliknya….”

Mendengar cerita istrinya itu, Abu Tholhah tampak sangat marah, lalu dia mengadukan masalah ini kepada Nabi Muhammad Saw. Namun apa yang terjadi, setelah selesai Abu Thalhah bercerita maka Nabi Muhammad Saw membenarkan tindakan istri Abu Tholah. Beliaupun lantas mendoakan agar apa yang telah dilakukan suami istri di malam itu menjadi berkah, dan akan menghasilkan seorang anak sebagai pengobat hati keduanya. Kemudian sembilan bulan berikutnya, anak mereka lahir, lalu diberi nama Abdullah. Maka terjawablah apa yang telah dilakukan oleh Ummu Sulaim atas prasangka baiknya pada Allah Swt.

Sungguh... pelajaran yang luar biasa, bukan?
Kehilangan pun pernah terjadi pada Nabi Ayyub as. Beliau kehilangan kekayaan dan orang orang yang disayanginya. Bukan itu saja, Beliau pun menderita penyakit yang menggorogoti seluruh tubuhnya. Sampai-sampai ia berdo’a: “Ya Allah, penyakit ini boleh jadi menggerogoti seluruh tubuhku. Tapi ya Rabb, jangan sampai penyakit ini juga menggeroti hati dan lisanku, sehingga aku masih mampu berzikir kepada-Mu.”

Subhanallah...
Begitulah ketabahan Nabi Ayyub. Beliau ikhlas atas kehilangan kekayaan dan  kesehatan yang dititipkan kepadanya. Bahkan dengan penyakitnya, membuat semua orang jijik kepadanya. Namun buah dari kesabaran dan keikhlasan akan selalu membahagiakan. Pada akhirnya Allah Swt mengembalikan kembali semua kehilangan yang dialami Ayyub.

Hidup di dunia tidaklah kekal. Apa yang kita miliki tidak selamanya akan terus menjadi milik kita. Demikian halnya setiap peristiwa yang terjadi dalam hidup kita…ada kelahiran, selalu diiringi dengan kematian. Dari sana kita belajar tentang ‘mendapatkan’ atau sebaliknya, ‘kehilangan’, hm…begitulah hakikat hidup! Terkadang kita sebagai manusia terlalu mengikuti ego dan hawa nafsu untuk memiliki sesuatu, atau menambah jumlah sesuatu kepemilikan, sehingga kita pasti pernah melakukan hal yang tidak sepatutnya untuk mencapai yang kita inginkan, ketika kita begitu mencintai sesuatu akan terasa sedih ketika kita kehilangannya. Karena setiap manusia pasti pernah mengalami kehilangan. Kita bisa saja kehilangan seseorang yang sangat berharga dalam hidup kita, kehilangan materi, jabatan, kesehatan, dan cinta. Bahkan, keberhasilan yang dicapai seseorang...

Kehilangan memang menyedihkan tapi kita tidak bisa menghindari itu. Jangan pernah disesali dan ditangisi kehilangan itu. Tapi marilah kita renungkan, buatlah perbandingan dengan kondisi sebelumnya.  Hitunglah dan ukurlah porsinya, seberapa besar kita kehilangan dan seberapa besar yang kita dapatkan.

Dalam hidup, suatu hal akan muncul dan akan pergi pada waktunya nanti. Tak ada yang abadi di dunia ini.  
Kehilangan akan membuat kita merasa rapuh tapi di sisi lain kehilangan bisa membuat kita tegar.

Yang perlu kita lakukan saat kehilangan adalah INTROSPEKSI DIRI! MUHASABAH…
Apakah kita pernah mengambil hak orang lain, sehingga Allah Swt mengambil hak kita secara paksa.  Sadari apakah kehilangan membawa manfaat contoh ketika seseorang kehilangan pekerjaan, ternyata setelah proses kehilangan itu dia menjadi seorang pengusaha sukses….karena dia berusaha untuk tidak meratapi episode kehilangannya karena dia memilih untuk terus berusaha untuk OPTIMIS dan BANGKIT! Dan ingat walau dalam keadaan kehilangan akan lebih menyejukan hati jika kita berusaha mengambil hikmah dari kejadian tersebut.

Karena dalam setiap kehilangan ada pembelajaran yang  membuat jiwa makin dewasa atau mungkin menjadi sebuah proses lepasnya sebuah ego dalam diri…

[Keisya Avicenna, lembar ke-27 Ramadhan… sambil nguping nasyid yang sangat menyentuh… Ramadhan segera berlalu, kawan…. T_T)

Sandarkan lelah hari 
Hilangkan duka  
Kala kau terluka pedih hati 

Tak selamanya indah 
Kini mungkin hadirnya saat duka 
Saat lara 

Yang sudah berlalu biarkanlah sudah 
Tak perlu sesali jangan kau tangisi 
Jika asa dan bahagia tak kau rasa 
Dengarkanlah dan rasakanlah 

Kicau burung berdendang 
Nyanyian alam riuh bersahutan 
Betapa merdunya 
Coba lihat dan renungkan 
Langit dan istananya hamparan samudra 
Betapa indahnya 
Percayalah kau dalam lindungan cinta Maha Segala Maha 

(Petuah Hati_Jamus Kalimasada)

MELATI [25]: “KAK CEN, ZEN, dan TLJ”

Friday, August 24, 2012 0 Comments
by Norma Keisya Avicenna on Tuesday, August 14, 2012 at 5:24pm ·
Gumpalan awan berarak dalam latar biru. Menjadi naungan hamba-hamba terkasih yang hatinya kaya akan rasa syukur jua rasa sabar. Yang jiwanya tak mengenal keluh meski raganya harus bersimbah peluh…
Akukah? Engkaukah?

***
Di suatu sore yang bertabur cinta…
Zen: “Kak Cenuuuuung… bangkit dan bersemangatlah! MELATI [25] belum ditulis lhoooh…”
Cenung: “Hu um. Zen… ini juga dah bangkit kok! Dah nangkring dengan sangat elegan di depan Doralepito.”
Zen: “Nah, gitu donk! Tetap jadilah Kak Cenungku yang penuh semangat. Ingat jargon kita: ‘Sakit itu bukan untuk dikeluhkan tapi untuk dikalahkan.’ Hu um kan?”
Cenung: “Hu um, Zen. Sini, tak peluk biar hangat sambil temenin Kak Cenung nulis.”
Zen: “Hyaaa… tapi jangan erat-erat yak. Mentang-mentang Zen gemuk.”
Cenung: “Iya, beresss…”
***
Zen: “Kak Cenung, nulis apa tuh?”
Cenung: “Ah, mau tahu aja kau…”
Zen: “Hiks, Zen ngambek nih!” (pasang muka dilipet)
Cenung: “Aih…aih… nggak dikasih tahu aja ngeluarin jurus andalan. Kak Cenung balikin ke abad 22 lho nanti.”
Zen: “Kyaaa… jangan dunk, Kak! Zen dah kerasan di Istana 5 Cinta. Zen selalu bahagia bisa menjadi sahabat mbolang Kak Cenung. Zen senang dulu bisa ikutan mbolang ke Nawangan, ke Jogja, bahkan ke Sumatera. Heuheu… Nggak jadi ngambek kalau gitu!”
Cenung: “Sippp… akur! Mari kita menulis…”
(Cenung pun sibuk menarikan jemarinya di atas tuts-tuts doralepito kesayangannya)

***
Zen: “Kak Cenung, The Lost Java apaan sih?”
Cenung: “Ah, payah kau, Zen! Itu novel karya sahabat kakak. Namanya Kun Geia.”
Zen: “Nama yang aneh…”
Cenung: “Hu um. Seaneh orangnya… (mbatin.com) Peace, Prof! hehe…”
Nama Kun Geia itu sarat makna lho, Zen! (kata yang punya nama sih).The Lost Java itu lebih dari sekedar novel Science-Fiction, Zen... Ceritanya dipersiapkan dengan matang. Jadilah alur dalam buku ini penuh dengan jalinan yang syarat ketegangan, menyuguhkan kepuasan tersendiri bagi para pemburu bacaan thriller. Begituuu…”
Zen: “Lhah… thriller mah apaan tuh?
Cenung: (tepok jidat!) “Kata Eyang Yahoo: Thriller berasal dari Bahasa Inggris yang diartikan "petualangan yang mendebarkan". Tipe alur ceritanya biasanya berpacu dengan waktu, penuh aksi menantang, tempat (dalam seluruh atau sebagian cerita) di lokasi-lokasi eksotis seperti kota-kota di luar negeri, gurun, kutub bumi atau di tengah-tengah lautan.”
Zen: “Jadi, The Lost Java itu memadukan antara petualangan dan fiksi ilmiah gitu ya, Kak Cen?”
Cenung: “Hu um. Cerdas kamu!” (tepok jidat Zen!)
Zen: “Terus apa istimewanya, Kak?”
Cenung: “Nih… catatan perenungan Kak Cenung yang didapat dari The Lost Java…”
(Cenung pun membuka folder THE LOST JAVA dari Doralepitonya) 


Setiap gunung yang tinggi ditaklukkan melalui setiap langkah demi langkah dengan konsisten (aksi pendakian Vinson Massif oleh Tim WAR).
Setiap buku yang kita baca diselesaikan melalui setiap kata demi kata (aksi arrogant baca The Lost Java).
Setiap 'visualisasi' yang indah diciptakan melalui setiap goresan demi goresan tinta yang tegas... (goresan impian saya untuk TLJ)
Setiap tempat tujuan ditempuh melalui setiap mil yang dilewati. Begitu juga tujuan kita bisa dicapai dengan melakukan setiap langkah demi langkah untuk menuju ke sana...menuju ke puncak realisasi impian kita.

SUKSES BERSAMA akan berefek jauh lebih dahsyat!
Ibarat PUZZLE,"LENGKAP dan MELENGKAPI" ^_^ ada kekuatan "SALING" di sana...#NM
***
Pengorbanan itu kau ikhlas jikalau dalam suatu kondisi kau harus "pecah berserakan" supaya yang lain "terkumpulkan selalu". Ikhlas itu kau beri dengan tangan kananmu lalu kau "butakan" tangan kirimu.
Belajarlah dari keikhlasan Gia yang rela diamputasi jari2 tangannya demi misi penyelamatan bumi dan umat manusia. Belajarlah dari pengorbanan Husna, yang tulus hatinya rela ditinggalkan sang suami untuk pergi menjalankan misi mulia. Hatinya tak utuh kala itu, pasti! Tapi ia telah membuktikan bahwa di balik punggung laki-laki hebat, ada wanita luar biasa di belakangnya...
#catatan perenunganku untuk TLJ
***
Dalam dunia marketing, mari kita senantiasa meneladani sosok Baginda tercinta, Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam...serta istri tercinta beliau, Bunda Khadijah. Modal utamanya apa? Yupz, sikap AMANAH/dapat dipercaya. Dengan kata lain, berbisnislah dengan hati pasti juga akan sampai ke hati. Berbisnislah dengan cinta, pasti akan banyak pelanggan yang suka. Nah, AMANAH itu jujur dalam hal apapun termasuk ketika meyakinkan konsumen tentang produk yang dijualnya.
Itu yang saya eksekusi di lapangan. Ketika saya tahu THE LOST JAVA "LUAR BIASA DAN LAYAK DIBACA BANYAK ORANG", itulah yang saya sampaikan kepada pihak konsumen.
Bahkan sebagai manager TLJ, saya berani ngasih garansi. MERASA RUGI? UANG KEMBALI! Saya hanya ingin belajar menjadi muslimah amanah dalam meneladani 2 idola saya...
^_^
Yukz, jadikan TLJ sahabat yang mencerdaskan dalam perjalanan mudik ke kampung halaman.
Yukz, jadikan TLJ kado pernikahan sahabat yang mau walimahan (karna ada pesan istimewa untuk para istri/suami di dalamnya yang dikemas dalam cerita sederhana, luar biasa, namun sarat makna).
Yukz, jadikan TLJ kado istimewa saudara di Hari Raya...
Uhuy!
#Pengin TLJ dibedah di kota Anda? Contact tim management: 085647122033.
***
Perjalanan menjanjikan kesan tersendiri yang jarang dialami, atau mungkin tidak terulang kembali setelah ini… [TLJ, halaman 106]
"Mimpi adalah kunci untuk kita menaklukkan dunia. Berlarilah tanpa lelah, sampai engkau meraihnya..." [Laskar Pelangi]
"Inilah karya nyata nyata kami, 6 'ilmuwan' dengan bassic keahlian masing-masing yang tergabung dalam Tim WAR 'MISSION OF THE LOST JAVA' siap berkeliling Indonesia dan dunia... MENGHADIRKAN SEGALA YANG TERBAIK untuk SEMESTA."
[Tim WAR: #KG, #NM, #nm, #fq, #wb, #dw]
"Izinkan anakku hidup lebih lama. Biarkan ia beranjak dewasa. Beri ia kesempatan untuk membuat dunia bangga dengan karya-karyanya, kumohon..."
Permintaan tertulus seorang ibu untuk anaknya melesat cepat ke angkasa, berhenti di pintu langit pertama dan tergantung di sana, belum diizinkan melanjutkan perjalanan untuk melewati lapis ke tujuh langit dan dilaporkan pada Pemilik Arsy.
Siapakah sosok wanita mulia itu?
Ada apa gerangan dengan bayi mungilnya?
Kelak... bayi itulah yang akan menjadi satu dari sekian ilmuwan terbaik Indonesia. "Let's do something ! Save the Earth now or there will be no day after this year..." (kalimat cerdas nan lugas yang ia sampaikan dalam Intergovernmental Panel On Climate Change). Tapi, Konspirasi ZIONIS membuat segalanya menjadi sangat rumit. Namun, yang pasti... "KONSPIRASI HARUS DILAWAN DENGAN KONSPIRASI!!!"
***
[T]atkala [L]angkah telah [J]auh...
[T]apak-tapak [L]elah mulai menggelayuti [J]iwa
[T]api [L]entera harapan mampu bersihkan [J]elaga hati
#NM
***
Sebab "jurang" tak selalu berarti kekalahan,
sebab "jurang" tak melulu masalah ketidakberdayaan,
sebab "jurang" tak selamanya tempat kejatuhan...
Karena "jurang" juga diciptakan untuk mereka yang ingin mendaki, karena "jurang" ada bagi mereka yang berani, untuk menyeberangi, untuk menaikinya kembali, bila ia terjatuh nanti...
Jadi, biarkan bila jatuh ke "jurang", bila memang harus jatuh.
Sebab selalu ada yang membantumu untuk naik kembali...
#Laa yukalifullahu nafsan illa wus'aha... Mereka yang paling berbahagia tidaklah harus memiliki yang terbaik dari segala sesuatu. Mereka pun bisa sangat berbahagia kala mengoptimalkan segala sesuatu yang datang dalam perjalanan hidup mereka... (Semoga aku salah satu dari "mereka" itu...). BERSYUKURLAH!
(salah satu dari sekian banyak pelajaran tersirat dari novel THE LOST JAVA)
***
Zen: “Wow! Keren ya, Kak Cen!”
Cenung: “Hu um. Kita juga punya tim management lho, Zen… Dan kita punya kode rahasia yang nggak setiap orang mampu mengaksesnya. #KG, #NM, #nm, #fq, #wb, #dw. Kita juga bikin seragam Tim WAR, Zen! (Cenung nunjukin foto seragam Tim WAR ke Zen). Kita punya satu misi yang sama terangkum dalam ‘MISSION of THE LOST JAVA’. Asyiiik apa asyiiik banget tuh? Hehe.”
Zen: “Wah…wah… SUKSES, ya Kak Cen! Selamat jadi manager dan tim management yang ugal-ugalan dan arrogant. Hehe…Hm, covernya TLJ kan dominan biru, seragam Tim WAR nanti juga biru. Dan Indonesia 2 per 3 bagiannya lautan yang sering divisualkan dengan warna BIRU. Atap bumi kita (langit) juga berwarna BIRU. EDCOUSTIC aja punya nasyid tuh... "se-BIRU hari ini". So, biar hari-hari kita makin BIRU dan SERU... WAJIB baca TLJ... Ayooooo, SERBUUU!” (Zen jadi ikutan arrogant!)
Cenung: “Hehe… Siippp… Toasssh duluuu…”

[Keisya Avicenna, lembar ke-25 Ramadhan… menulis itu menyembuhkan. Menulis itu menyehatkan. Catatan ini untuk hiburan semata, ikhtiar meredakan rasa sakit yang mendera…^_^ SEMANGAT SEHAT, KAK CEN!!!*Zen memelukku… “Terima kasih, Zen! Mumumu…”]

Mengumpulkan yang terserak dari TLJ ^^b

MELATI [26]: “AKU HANYA INGIN BERBUAT BAIK, TERUS BERBUAT BAIK…”

Friday, August 24, 2012 0 Comments
by Norma Keisya Avicenna on Thursday, August 16, 2012 at 7:59am ·
Bahkan jika ada orang yang tega membicarakan di belakang, mempunyai pikiran negatif tentang tindakan kita, dsb TETAPLAH BERBUAT BAIK! TERUSLAH BERBUAT BAIK!

Jika garis vertikal adalah genotip garis horisontal adalah lingkungan. Maka, garis liniernya adalah fenotip. Dengan kata lain, faktor keluarga dan faktor lingkungan sangat berpengaruh terhadap akhlaq kita baik tutur kata, perilaku, tindakan, cara pikir, dll. Tapi yang terpenting, milikilah PRINSIP agar kita tidak terombang-ambing dalam suatu kondisi yang mungkin menyulitkan posisi kita. "Kamu berusaha 'mewarnai' (+) tapi kamu tidak ikut 'terwarnai' (-)"

Dan salah 1 prinsip yang saya aplikasikan hari ini adalah: "Aku tidak akan mengucapkan/memerintahkan sesuatu yang aku sendiri tidak melakukannya. Karena keteladanan itu sangat penting bahkan menjadi cara paling efektif untuk mengajak orang lain dalam kebaikan..."
Jadi, orientasi kita bukan penilaian manusia tapi hanya mengharap ridho Allah Swt semata.

#Alhamdulillah, agenda buka bersama hari ini dengan keluarga GO Wonogiri happy ending. GO Solo juga seru kaya'nya... (kangen-kangenan via SMS). Semangaaat buat semuanya! Selamat merengkuh keberkahan di lembaran-lembaran terakhir Ramadhan T_T
[status tertanggal 15 Agustus 2012 yang sungguh membuatku berpikir tentang banyak hal…]

[Keisya Avicenna, lembar ke-26 Ramadhan… aku hanya ingin belajar seperti MELATI: meski mungil namun senantiasa menjaga kesucian hatinya...menebarkan wanginya meski banyak yang memandang sebelah mata. Sederhana namun bersahaja!]

MELATI [24]: "DIAM"

Friday, August 24, 2012 0 Comments


by Norma Keisya Avicenna on Tuesday, August 14, 2012 at 10:50am ·
Diam tak berarti marah…
Diam tak berarti sendu
Diam tak berarti pilu
Diam juga tak berarti takut atau terasing…

Hanya…
Ada yang harus dijaga
Dalam hening waktu bicara
Dalam ukiran harap mengangkasa
Dalam jenak meniti do'a

Aku masih disini…

Terpaku menatap raga
Mencoba menata kembali ‘tuk menjaga hati…
Agar rasaku kepadamu tak melebihi kecintaanku pada Rabbku


Aku mencoba merenungi kembali tentang perasaanku
yang sampai sekarang aku tak kuasa untuk menyampaikan
Bukannya aku tak berani
Bukan pula aku munafik ataupun tak mau jujur padamu
Tapi, aku hanya mencoba menyimpan perasaan ini
Sampai kelak waktunya tiba…

Sahabatku pun pernah berkata, "Aku milik-Nya, dia pun milik-Nya. Biarkan Sang Pemilik berbuat sesuka atas apa yang menjadi kepemilikan-Nya..."


Aku diam…
Terpejam…

Agar  nyala lentera suci itu tetap terjaga
Bagai janji setiaku padaNya…

[Keisya Avicenna, lembar ke-24 Ramadhan…]
*hanyafiktifbelakabagiyangmerasa,maaf-maafkatayaa… :)

MELATI [23]: "MENANGIS ITU BUKAN LAKI-LAKI!"

Friday, August 24, 2012 0 Comments


by Norma Keisya Avicenna on Sunday, August 12, 2012 at 7:30am ·
Kadang, ada kalanya seorang anak mendambakan kasih sayang dan perhatian dari orang tuanya secara berlebih. Ini wajar! Tatkala sang anak mulai beranjak dewasa, ia berusaha mati-matian untuk menjadikan dirinya sebagai kebanggaan orang tua. Alasannya hanya satu, untuk membalas jasa bagi kebaikan orang tua. Walaupun balas jasa sang anak itu  satu berbanding tak terhingga dengan semua kebaikan yang telah diberikan dan segala bentuk pengorbanan orang tua.

Diri ini benar-benar merasakan perih, sakit, luka yang begitu dahsyat ketika harus ‘dipukul’ dengan beningnya air mata orang tua yang mengalir, seiring permohonan maaf kepada anaknya. Bukan anak yang mohon maaf kepada orang tuanya!

Bermula dari keinginan untuk membahagiakan mereka dengan mencoba mencari sekolah lanjutan yang tepat. Akan tetapi, pada saat yang bersamaan, kakak perempuanku harus mendaftar sebagai dosen di UNDIP. Tentu saja biaya yang dikeluarkan tidaklah sedikit. Konsentrasi orang tuapun terpecah, bahkan aku merasa mereka lebih sibuk mengurusi pendaftaran kakak perempuanku itu sehingga sedikit meninggalkan kepentinganku untuk mencari sekolah lanjutan.

Terbesit rasa kesal karena perguruan tinggi yang diharapkan seakan mustahil untuk diraih sedangkan diri ini sudah gagal PMDK. Rasa iri kepada sang kakak pun semakin memuncak. Semakin menjadi bahkan begitu hebat! Terakhir aku mencoba bicara dengan orang tua bahwa aku ingin sekolah di STT TELKOM, tapi lagi-lagi gagal karena biaya per semester 4 juta lebih. Aku tambah kacau, aku tidak ingin kejadian ini sama dan berulang seperti tahun-tahun lalu, di mana aku selalu gagal mendapatkan sekolah yang aku inginkan.

Marah, iri, kesal yang membabi buta, aku lampiaskan begitu saja kepada Ibu. Umpatan demi umpatan keluar dari ‘mulut jahanam’ ini. Hati kotor ini berbisik, “aku di -nomor dua-kan”. Di tambah lagi, Bapak sering menonjolkan prestasi kakak perempuanku. Kakak yang dulu sekolah di SMA favorit di Jakarta daripada aku yang hanya sekolah di desa, yang mungkin tidak ada apa-apanya dengan sekolah kakakku itu. Hati ini tambah miris!

Ketika kakak perempuanku itu pulang ke rumah, tak sepatah kata pun terucap untuk menyambut, tak ada sekilas wajah  terlihat untuk menatap, yang ada hanya pikiran bahwa diri ini adalah pecundang yang selalu gagal…

Ibu -yang selalu mencoba meneduhkan si anak durhaka ini- malah kembali dijadikan bulan-bulanan mulut hina ini. Begitu berhari-hari. Malah sempat terbesit, “Lebih baik aku menjadi berandalan, membuat orang tua malu! Jika mereka tidak mau aku menjadi anak kebanggaan mereka!” Ibu tetap sabar. Hati anaknya yang terbakar emosi ini masih juga belum mengerti linangan air mata ibunya dalam hati.

Di sekolah, saat teman-teman yang lain sibuk mengurus PMDK, aku hanya duduk menatap karena cita-citaku untuk ikut PMDK sudah kandas. Sementara teman-temanku enak, mereka berpeluang bisa masuk perguruan tinggi negeri tanpa harus ikut tes saringan masuk. Sedangkan aku? Aku mungkin harus berjuang mati-matian untuk ikut tes SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru), yang tentu saja aku ragu. Aku ini kan orang bodoh? Lalu kenapa aku dilahirkan? Setiap orang bilang bahwa aku beda sama kakak, benar! Aku beda, aku lebih bodoh, aku lebih jahat, aku lebih keras kepala, egois! Aku mulai menebar benci pada semua orang. Prinsipku saat itu, kalau aku benci pada semua orang, maka aku laki-laki sejati!!! Lebih baik aku suka daripada orang lain suka. Aku sering makan ati…

Waktu itu, sepulang sekolah aku ingin makan siang. Keadaan rumah tidak seperti biasanya, ada rasa jengkel ketika menatap wajah Ibu! Seperti hari-hari sebelumnya, beliau menanyakan keadaan di sekolah, tapi jawaban yang keluar dari mulut ini malah kata-kata yang sinis. Kata-kata yang terlontar adalah kata-kata yang sangat menyakitkan. Sampai puncaknya, Ibu menangis. Ibu menangis di hadapanku, memohon maaf kepadaku. Sedang aku? Aku hanya diam berusaha bertahan dengan pikiran-pikiran iblisku yang mencoba meracuni. Ibu menangis…sekali lagi mohon maaf. Sembari bercerita bahwa beliau tidak pernah sekalipun membedakan anak-anaknya. Bagi beliau, anak-anaklah kekuatan untuk menjalani hidup. Bapak yang bekerja tiada henti demi siapa? Demi anak-anak…Ibu tidak pernah menganggap aku bodoh!!! Aku pintar…aku adalah kebanggaan beliau. Ibu terus minta maaf, teriring kristal-kristal bening yang terus membuat jejak membasahi kulit pipinya yang mulai keriput termakan usia.

Tiba-tiba piring yang tadi aku pegang, aku letakkan. Aku bersimpuh di kaki Ibu. Aku menangis sejadi-jadinya! Aku tak kuasa memandang air mata Ibu. Aku bersimpuh dan Ibu membelaiku dengan kasih sayangnya, aku hanya bisa berkata,
“Sampun Ibu, sampun…kulo lepat!”1) Hanya itu yang dapat keluar dari mulut neraka ini. Aku mencium tangan Ibu sebisanya. Aku merasakan perjuangannya membesarkanku, kurasakan tangan halus itu yang senantiasa menemani langkahku.

“Aku durhaka sama Ibu…”, kataku sambil terisak.
Tapi apa yang beliau katakan?
“Tidak, kamu tidak salah. Wajar…kamu masih remaja, Ibu bangga sama kamu.”

Aku benar-benar merasa telah menyakiti hati Ibu. Aku sulit melepaskan genggaman tanganku di kaki beliau, sudah banyak kesalahan yang aku perbuat. Aku tidak sadar bahwa selama ini aku hanya bisa merepotkan beliau, mencemooh beliau, memaki, berkata keras…

Aku durhaka…
Aku durhaka…
Ibu, ampuni aku! Jikalau beliau hilang kesabaran, pasti aku sekarang telah menjadi manusia laknat, terkutuk!

Ibu tidak berharap apa-apa dariku. Ibu hanya ingin menyaksikan anak-anaknya berhasil. Itulah yang kuingat, dan sampai sekarang aku masih bisa melihat sosok Ibu yang penuh cinta kasih pada anak-anaknya. Aku ingin mempersembahkan yang terbaik untuk Ibu. Sering aku melihat Ibu berdoa panjang seusai sholat malam, tapi aku tak tahu jika dalam doanya…ada namaku!

Ibu…ampuni aku!
Ibu…ampuni anakmu…

(Aku kembali ingat kejadian itu…dan inilah pelebur kerasnya hatiku. Aku tidak malu jika harus menangis karena meratapi kesalahan. Karena selama ini, aku hanya menganggap menangis itu bukan laki-laki! Aku menangis karena Ibu…Ibu yang akan selalu aku hormati. Ibu, surga ada di bawah telapak kakimu…)

1)        “Sudah Ibu, sudah…saya salah!”

[Keisya Avicenna… lembar ke-23 Ramadhan *terinspirasidarikisahseorangsahabat…]

Saturday, August 11, 2012

MELATI [22]: "ISTIMEWANYA SANG WAKTU 22:22-02:02"

Saturday, August 11, 2012 0 Comments
by Norma Keisya Avicenna on Friday, August 10, 2012 at 5:47pm ·

Saat malam kian larut, mata pun mulai tak tentu arah (baca: nggak fokus). Tapi, jiwa ini bersikeras untuk menuntaskan amanah hari ini dengan semaksimal mungkin. Karena batinnya selalu bertekad: “Hari ini berlalu tanpa meninggalkan PR untuk esok hari.” Ya, karena kita pun takkan pernah tahu masihkah ada umur buat besok? [peristiwa yang sering terjadi jelang 22:22…hehe]

Detik beranjak menjadi menit. Menit merangkak menjadi jam. Sang jam pun berlari menjadi hari. Itulah ekspedisi sang waktu.

Ada kebiasaan yang mulai aku disiplinkan sejak tahun ke-4 aku berstatus sebagai mahasiswa (saat masih nge-kost di Solo). Waktu itu aku mulai disibukkan dengan pengerjaan “SASTRA INTELEKTUAL” alias “SKRIPSI”. Ya, sekitar akhir semester 6 atau awal semester 7 ya (agak lupita) aku mulai menerapkan 22:22-02:02. Apaan tuh? Tidur jam 22:22 dan bangun jam 02:02. Dan Alhamdulillah, kebiasaan itu berlangsung sampai sekarang meski jujur nih ya, di Wonogiri aku belum bisa rutin bangun tepat jam 02:02 karena aku akui adaptasi dengan kondisi cuaca di kota ini memakan waktu cukup lama.  Seringnya bangun jam 03:03 (aih, tetap paduan angka yang unik). Heuheu…Wonogiri tuh jauh lebih dingin daripada Solo. Vinson Massif-nya Antartika apa bocor sampai Wonogiri juga yak? Hm, tapi aku takkan pernah menyerah! Apalagi kalau nanti sudah aktif masuk kuliah. Hoho…

Kita harus mampu “mengendalikan” sang waktu (baca: manajemen waktu dengan baik) atau kita sendiri yang akan terlena. Tanpa disadari, terkadang kita terlalu “ASYIK” dengan kesibukan kita hingga kita pun terbuai karenanya, aktivitas kita tersebut produktif nggak ya? Atau parahnya, masih saja punya kebiasaan SUKA MENUNDA. Padahal, kalau diibaratkan, waktu itu bagaikan seutas tali. Berujung! Ada titik akhir yang entah kapan itu kita semua tidak akan pernah tahu.

Nah, berangkat dari semangat “DZIKRUL MAUT”, diri ini mencoba membuat jadwal yang harapannya bisa menjadikan hari-hari dijalani dengan senang hati agar lebih ber-PELANGI! Dan kenapa angka 2 yang mendominasi? Hehe. Bukan rahasia lagi karena diri ini anak ke-2, lahirnya 2 orang (baca: SUPERTWIN), lahir pun tanggal 2 bulan ke-2. Alhamdulillah, tangan 2, kaki 2, mata 2, telinga 2, lubang hidung 2,… hehe. Jadi, biar lebih istimewa dan tampak cantik saja! Angka 2-lah yang dipilih.

Yuuuk…marilah kita belajar untuk memanfaatkan setiap kala rotasi bumi dalam hari-hari kita (jatah waktu 24 jam sehari) dengan sebaik-baiknya. Jangan sampai terlena, karena hanya penyesalan di akhir yang akan kita terima jika kita tak mampu memanfaatkan sang kala dengan sebaik-baiknya.


***
Masa berlalu tak terhitung jariku…
Saat syahdu nyanyian kalbu
Mesra memagut mimpi
Mencumbu ilusi sunyi
Dalam dekap peluk romantisme khayalan
Diri ini takkan pernah putus harapan
Semangat akan tetap membakar hati
‘Tuk lanjutkan ekspedisi mimpi
Malam ini…
[22:22]

Ter’cenung’ hening… :)
Dalam khidmat selarik lantun do’a
Mencoba mengurai angan…
Masih terus bercengkerama bersama malam
Hingga sang pagi ‘kan menjelang
Mencoba menaklukkan kembali hamparan panjang
Terangkum indah dalam sebuah kisah
Yang tak sekadar untuk kenangan
Tapi abadi dalam hati
Kekal dalam ingatan…
[02:02]

[Keisya Avicenna, lembar ke-22 Ramadhan…*Semakin dekat tuntaskan penantian…]

MELATI [21]: “KUN! FAYAKUUN!”

Saturday, August 11, 2012 0 Comments
by Norma Keisya Avicenna on Thursday, August 9, 2012 at 7:05pm ·

Tanpa terasa jemari ini sudah membuat rerentet aksara berbaris dalam kata hingga menjadi kalimat (yang semoga) sarat makna di lembar ke-21 bulan Ramadhan. Dan langkah yang telah terlewati adalah catatan untuk menuju nilai yang sempurna. Jika kemarin belum ada hasil, maka jadikan hari ini awal dari catatan kehidupan yang baru. Sepakat?

“Mbak, punya resep biar nggak sedih?”
“Mbak, bagaimana sih cara mbak menikmati hidup?”
“Cenung, aku galau…” (hehe…ni curhatane nggak banget!)

Hm, sering dapat pertanyaan-pertanyaan seperti itu. Pasti jawaban pertama saya: “INGAT ALLAH!”
Ya, Allah Swt adalah Rabb kita, dimana kita menghamba, meminta, berharap ampunan dosa, memintalkan do’a, dsb.
Jadi, libatkan Allah Swt sejak langkah pertama kita dalam melakukan apapun, dimanapun, kapanpun. Kata Ust. Yusuf Mansur: “Allah dulu, Allah lagi, Allah terus…”
Tiada tempat berlindung dan memohon kecuali kepada-Nya.

Musim kehidupan itu berjalan sesuai dengan sunatullah dan sama sekali tidak dapat diprediksi, selalu berupaya bersyukur atas setiap musim yang kita alami dalam kehidupan akan membuat kehidupan kita menjadi lebih bermakna. Apapun yang terjadi dalam kehidupan ini, entah itu baik atau buruk tetap saja akan kita jalani sesuai dengan pilihan kita masing-masing. Namun demikian. jika kita tidak mengerti mengapa itu harus terjadi, yang dapat kita lakukan hanya menjalankannya dengan penuh kesyukuran dan prasangka yang baik. Kebaikan dan keburukan yang kita alami itu adalah sebuah persepsi yang ada dalam pemikiran kita dan sesungguhnya bukan merupakan suatu realitas fisik.

Allah Swt yang lebih mengetahui sesuatu itu baik atau buruk. Dengan demikian manusia sama sekali tidak bisa melakukan pembenaran apakah kejadian yang dialaminya itu kebaikan atau keburukan. Bukankah kita masih ingat dengan firman Allah, bisa jadi apa-apa yang kamu anggap baik, belum tentu itu baik disisi Allah dan apa-apa yang kamu anggap tidak baik, justru itulah yang terbaik bagi Allah Swt. Jika demikian yang terjadi, yakinlah bahwa pada suatu saat nanti titik-titik kebaikan ataupun keburukan itu akan menjadi suatu rangkaian yang indah yang sesungguhnya membawa hikmah yang baik bagi kehidupan kita di masa datang.

 Adakalanya manusia mengalami suatu kegagalan. Kegagalan itu sengaja Allah Swt hadirkan bagi kita, walau mungkin segenap persiapan sudah kita rancang sebelumnya. Karena Allah Swt ingin memberi kabar kepada manusia, bahwa terwujud dan terjadinya harapan manusia itu, bukanlah andil dari manusia semata, melainkan ada wewenang Allah Swt di sana…

Tidak ada sesuatu yang tidak mungkin jika Allah Swt sudah berkehendak. Dan inilah dahsyatnya “KUN! FAYAKUUN”. Buka mushaf masing-masing dan renungkan bersama yuk…

[QS. Al Baqarah: 117] 
“Allah Pencipta langit dan bumi, dan bila Dia berkehendak sesuatu, maka Dia hanya mengatakan kepadanya: "Jadilah! Lalu jadilah ia."

[QS. An Nahl: 40] 
“Sesungguhnya perkataan Kami terhadap sesuatu apabila Kami menghendakinya, Kami hanya mengatakan kepadanya: "kun (jadilah)", maka jadilah ia".”

[QS. Yaasiin: 82]
Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: "Jadilah!" maka terjadilah ia".

[QS. Al An'aam: 73]
“Dan Dialah yang menciptakan langit dan bumi dengan benar. Dan benarlah perkataan-Nya di waktu Dia mengatakan: "Jadilah, lalu terjadilah", dan di tangan-Nyalah segala kekuasaan di waktu sangkakala ditiup. Dia mengetahui yang ghaib dan yang nampak. Dan Dialah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.”

[QS. Al Mu'min: 68]
“Dia-lah yang menghidupkan dan mematikan, maka apabila Dia menetapkan sesuatu urusan, Dia hanya bekata kepadanya: "Jadilah", maka jadilah ia".”

[QS. Maryam: 35]
“Tidak layak bagi Allah mempunyai anak, Maha Suci Dia. Apabila Dia telah menetapkan sesuatu, maka Dia hanya berkata kepadanya: "Jadilah", maka jadilah ia".”

[QS. Ali 'Imran: 47]
“Maryam berkata: "Ya Tuhanku, betapa mungkin aku mempunyai anak, padahal aku belum pernah disentuh oleh seorang laki-lakipun." Allah berfirman (dengan perantaraan Jibril): "Demikianlah Allah menciptakan apa yang dikehendaki-Nya. Apabila Allah berkehendak menetapkan sesuatu, maka Allah hanya cukup berkata kepadanya: "Jadilah", lalu jadilah dia.”

[QS. Ali 'Imran: 59]
“Sesungguhnya misal (penciptaan) Isa di sisi Allah adalah seperti (penciptaan) Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya: "Jadilah", maka jadilah dia.”

***
“Langit tetap tegak menaungi alam semesta seisinya. Seluruh planet beredar dengan orbit yang telah ditetapkan, bergerak mengelilingi matahari sebagai pusat revolusi dalam lintasan elips. Bintang-bintang pun tetap bercahaya benderang di ujung barat. Begitulah, jika Allah Swt telah menetapkan manzilah bagi garis edar setiap planet dan bintang. Segalanya telah diciptakan dalam keteraturan dan keseimbangan. Demikianlah, Allah Swt dengan segala kekuasaan-Nya. Menyuratkan skenario alam, mengukir mekanika langit, serta melukiskan garis takdir dengan kanvas keagungan-Nya…”
[Mekanika Langit]

“Ketika engkau terhimpit dan terlilit oleh problematika kehidupan, sesungguhnya, yang dapat membuatmu bertahan adalah harapanmu, dan sebaliknya, yang akan membuatmu kalah atau bahkan mematikan daya dan energi hidupmu, adalah saat di mana engkau kehilangan harapan. Maka, ketika engkau berdoa kepada Allah Swt, sesungguhnya engkau sedang mendekati sumber dari semua kekuatan, dan apa yang segera terbangun dalam jiwamu adalah harapan. Harapan itulah yang kelak akan membangunkan kemauan yang tertidur dalam dirimu. Jika kemauanmu menguat menjadi azzam (tekad), itulah saatnya engkau melihat gelombang tenaga jiwa yang dahsyat. Gelombang yang akan memberimu daya dan energi kehidupan serta menggerakkan segenap ragamu untuk bertindak. Dan, apa yang engkau butuhkan saat itu hanyala : mempertemukan kehendakmu dengan kehendak Allah melalui doa dan tawakal.”

“Faidza ‘azamta fatawakkal ‘alallah…”
Maka, jika kamu telah membulatkan tekad, bertawakallah kepada Allah SWT!

“Dan barangsiapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan keperluaannya”
(QS. At-Thalaq [65] : 3)

***
Kini aku menyadari bahwa aku masih hidup dan bisa bernafas. Bernafas dengan jiwa karena sebenarnya aku bernafas bukan dengan hidung, tenggorokan, ataupun paru-paru. Aku bernafas dengan jiwa. Jiwa hidup dalam hati, hati yang hidup karena Ilahi. Tiap udara yang aku hembuskan dari hati, berubah menjadi kalimat-Nya yang berbunyi "Kun Fayakuun! Jadi, maka terjadilah!"

[Keisya Avicenna, lembar ke-21 Ramadhan… saat fase “KEPOMPONG” hampir paripurna. TETAPLAH BERTAHAN dan BERSIAPSIAGALAH!!! ^_^]

NB: sambil lihat youtube "KUN FAYAKUUN", a song from Ranbin Kapoor. 

MELATI [20]: PERPISAHAN SENJA

Saturday, August 11, 2012 0 Comments


by Norma Keisya Avicenna on Thursday, August 9, 2012 at 3:56am ·
Dalam keremangan hatinya...
Ia menangkap suara yang memanggil-manggil namanya
Seiring dengan perpisahan senja yang meranum
Lalu mengganti jubahnya dengan kain malam

Tak terasa buliran kristal bening membasahi pipi
Dalam tatapan matanya yang sembab, ia berkata :
“Aku tak bisa memiliki air mataku sendiri. Bahkan aku tak punya nyali untuk menatap bayanganku di cermin”

Seketika terdengar suara yang pernah ia temui dalam ruang khayalnya :
“Setiap nafas berhembus, kita tahu hal berbeda. Setiap satu kedipan mata, kita kenal cerita lain. Tatkala hembusan udara terhirup, kita coba pahami kata hati. Tatkala satu langkah berjalan, kita temukan ilmu baru, kita tahu tujuan hidup. Ketika rindu bertanya padaku tentang hari ini, jawabku : ‘jiwaku takkan lelah menghitung lembaran yang tlah terlewati, hati takkan risau, jua tak ingin berkeluh’…

Seketika ia pun tersadar…
“Sekalipun ini perih, segala takdir-Mu pasti baik untukku…”

***
“Saat simfoni cinta-Nya bersenandung mewah dalam lubuk hatiku…Sederhana saja!”

[Keisya Avicenna, lembar ke-20  Ramadhan... saatnya menikmati senja bersama keluarga tercinta]

MELATI [19]: “PELANGI itu SELALU ADA” [050812-050820]

Saturday, August 11, 2012 0 Comments


by Norma Keisya Avicenna on Tuesday, August 7, 2012 at 6:15pm 
 
Kota Cinta, 05082020
Hawa sejuk seketika terasa mendamaikan. Sang bayu pun berhembus menenangkan. Gerakan halusnya menyibak tirai jendela sebuah kamar yang bernuansa hijau dengan aroma melati di lantai dua rumah mungil nan asri itu.

Duhai angin, saksikanlah…
Duhai jiwa, renungkanlah…

Sesaat sosok muslimah yang tlah dikaruniai dua orang buah hati itu membawa ingatannya melayang pada tulisan Mbak Helvy Tiana Rosa, salah satu penulis favoritnya dan pendiri Forum Lingkar Pena. Sebuah tulisan dengan kata-kata yang berdaya dan sarat akan pesan cinta. Saat itu ada sebuah buku dengan sampul sedikit berdebu yang ia pegang erat. Tulisan Mbak HTR itu ia dokumentasikan pula di buku yang ia pegang. Sebuah buku yang ia temukan di salah satu kardus yang belum sempat dibereskan pasca pindahan. Kedua matanya pun menyapu rerentet aksara yang tertulis di setiap lembaran kertas di dalam buku itu. DNA, buku catatan hariannya…

“Jika kau mencintai seseorang, kau akan menaruhnya di tempat paling nyaman di hatimu, hingga setiap kali menatap matamu, ia temukan dirinya berpijar di sana. Kau tak akan pernah lelah belajar mengenali diri dan jiwanya hingga ke sumsum tulang. Hidupmu penuh gairah, tak abai sekejap pun atas keberadaannya. Maka sampailah kau pada keputusan itu: kau akan setia pada tiap nafas, getar, gerak saat bersamanya hingga nyawa berpamitan untuk selamanya pada jasadmu. Bahkan kau masih berharap semua tak akan pernah tamat. Kau mendambakan hari di mana kau dan dia kelak dibangkitkan kembali sebagai pasangan, yang terus bergandengan tangan melintasi jalan-jalan asmara di taman surga-Nya…Itulah CINTA SEJATI, anakku…”

Keasyikannya membaca sebuah buku istimewa dengan sampul bertuliskan DNA di bagian depannya itu membuat ia tidak menyadari ada yang tengah mengendap-endap dari arah belakang.

Althaf: “Dhuaaar… Hayooo…Ummi, sedang baca apa tuh? Kayaknya asyik banget…”
Keisya: “Eh, anak sholeh…ngagetin Ummi aja! Baca buku catatan Ummi waktu Ummi dulu belum ketemu sama Abi nih. Tulisan Ummi 8 tahun yang lalu, sayang…”
Althaf: “Althaf boleh ikutan mbaca gak, Mi? Althaf pengin tahu. Althaf kan sudah lancar membaca.”
Keisya: “Tentu saja boleh, sayang. Sekarang Althaf pengin mbaca yang mana?”
(Althaf bergelayut manja kemudian duduk manis di pangkuanku dan buku DNA itu kita pegang bersama)
Althaf: “Ini catatannya ada tanggalnya ya, Mi. Althaf pengin mbaca yang sama kayak tanggal hari ini. 5 Agustus…”
Keisya: “Oke deh, Althaf sayang. Kita baca bareng-bareng, yuk!”
(Aku pun mendampingi putra kesayanganku itu untuk ikut menikmati nostalgia romantic yang tengah aku rasakan. Aku ingin putraku pun ikut belajar kisah sederhanaku di masa lalu…)

***
Solo, 5 Agustus 2012
“Mereka tetap bersama. Tak peduli kata siapa. Suka dirasakan bersama. Duka pun dibagi rata. Merah lalu belajar menjadi jingga. Jingga belajar mengerti kuning. Kuning memahami hijau. Hijau menyenangkan hati biru dan ungu.
Menerima dengan putihnya hati yang terbuka, saling bersahabat penuh cinta.
Sebuah kebersamaan dalam indahnya persahabatan, dalam harmoninya kekeluargaan…” [PELANGI] 

Dee… hari ini aku yakini akan menjadi satu dari sekian hari yang istimewa dalam hidupku.

Mukhoyyam Al-Qur’an
Pagi ini aku harus merelakan tidak menonton film kartun kesayanganku. Doraemon. Hehe. Jam 08.00 aku dah nangkring dengan sangat elegan di pinggir jalan. Menanti kotak besi beroda yang akan membawaku ke kota Sukoharjo. Aku janjian dengan seorang sahabat untuk motoran bersama dari terminal Sukoharjo menuju lokasi acara Mukhoyyam Qur’an hari ini.

Dee…sampai lokasi, seketika sejuk menguasai relung hati. Bagaimana tidak? Insya Allah, selama 6 jam kita akan “bermesraan” dengan Al-Qur’an. Muroja’ah hafalan dan membacanya (pluz mentadaburrinya). Ohya, pada kesempatan itu aku dapat banyak sekali ilmu dari seorang ustadzah yang luar biasa.

Acara selesai Ashar dan jejak langkahku selanjutnya adalah Gramedia Solo di Jalan Slamet Riyadi. Asyiiik… setelah charger ruhiyah saatnya charger fikriyah dan jasadiyah. Sampai di Gramedia, aku bertemu dengan Mbak Santi yang sudah ada di Gramed sejak siang tadi. Kaki Mbak Santi masih sedikit bermasalah karena beberapa waktu lalu sempat ditabrak orang, akhirnya aku memutuskan untuk menjelajah rak demi rak sendirian di lantai 2. Mbak Santi duduk-duduk dulu di lantai 1… (tapi kemudian ia nyusul juga)

Aku mulai mengedarkan pandangan di bagian buku baru. Kok The Lost Java sudah nggak ada ya? Keliling kesana-kemari, cek di computer dan…ealah, ternyata tu novel nyasar di bagian rak “novel terjemahan”. Hihi.

Atas prestasiku hari ini, ada sesuatu yang ingin aku hadiahkan untuk diriku sendiri, Dee... Apa itu? Sebuah novel karya penulis muslimah favoritku, Mbak Azzura Dayana. Judulnya TAHTA MAHAMERU. Ingin deh Dee, suatu hari nanti bisa bertemu dan belajar nulis novel bersama beliau. Dan kabar baiknya, Mbak Azzura Dayana itu sahabatnya Kak Febri di Trustco Palembang. Asyiiik… Insya Allah, ketika nanti aku ke Palembang lagi semoga bisa mengagendakan untuk bertemu khusus dengan beliau. Aamiin…

Setelah dipaksa puas mengunjungi buku-buku itu, aku dan Mbak Santi pun meluncur menuju Dapoer Bistik Solo. Ada kisah istimewa apa di sana?

Pendar Pelangi Senja di Dapoer Bistik Solo Penuh Cinta
Dee…sesampainya di parkiran, kita disambut oleh ponakanku tersayang, Aprisa Ayu, yang cerpen S(k)andal Jepit-nya kemarin Alhamdulillah nangkring dengan sangat elegan di bagian literasi Joglosemar Minggu. Huaaayooo, ndegaaaan!

Masuklah kita bertiga ke area resto. Sudah ada Mbak Eka dan Mas Dwi. Akhirnya, kita pun memilih duduk di bagian dalam yang lesehan. Ah, sebelum masuk resto tadi aku sempat menjadi saksi spektakulernya pesona merah saga di hamparan cakrawala. Senja, sebentar saja namun sangat membekas…

Satu per satu anggota keluarga PELANGI dan studio KACAMATA pun berdatangan. Rame tenan dan sangat membahagiakan.

Ngabsen dulu, ah… (ngrekam keugal-ugalan mereka juga ^_^)
  1. Mbak Santi. Salut dengan perjuanganmu, Mbak! Meski kakimu masih sakit, kau rela jauh-jauh ke Solo dari Sragen hanya untuk melepas rasa rindumu kepadaku. Deuuu… eh, kepada kita maksudnya!
  2. Ponakan Aprisa Ayu’. Aduh, Pon kau makin ngawu-awu saja dengan kacamatamu ituh. Janjian pula sama Mas Alib, Nunu, dan Mas Tyo…. Xixi. Makanmu banyak sekali, ya? (sama!)
  3. Mbak Eka. Terima kasih, ya Mbak atas traktiran makannya. Bayaran gratis taxi-nya, dan bayaran gratis naik bis ke Wonogiri-nya. Sungguh, bercakap denganmu dalam perjalanan pulang ituh sesuatuuuh banget. Haha… terima kasih atas semua gretongannya. Semoga Allah Swt mengganti semua kebaikan dan ketulusan hatimu dengan jodoh yang sholeh… Aamiin Ya Rabb.
  4. Mbak Amrih. Emak-emak muda yang satu ini datang sendirian saja. Mbak, suaminya kok nggak diajak sih? Eh, jangan dink mbak… ntar malah ketularan remphong. Hihi
  5. Diah Cmut. Penulis FN “Permen-Permen Kastil Lolli” ini datang agak belakangan. Kasihan banget kau cucumut, udang manis itu datang paling akhir… melas.com!
  6. Mbak Ummi. Mbak Uum pun masih dengan gaya ugal-ugalannya yang super ndewi. Dasar, kau! Semoga suamimu kelak sabar menghadapi semua tingkah anehmu. Hihi…
  7. Mas Dwi. Kakak Pelangi yang satu ini patut diteladani ke-ontime-annya. Sipp… makasih yo mas, pinjeman laptop dan modemnya sore ini. Jadi bisa online sambil nunggu teman-teman dateng.
  8. Mas Alib. Kakaaaaak, kalau Mbak Santi ditabrak orang dari belakang kamu malah “nyruduk” orang dari belakang. Ah, dasar ugal-ugalan tingkat dewa.
  9. Nunu. Penampilanmu unyu sekali, Nak… *dejavuaksilemcastol.
  10. Mas Tyo. Haha…kadang memang harus begitu ya Mas?
  11. Mas Ranu. Mulai lagi deh ngledekin dengan panggilan “ustadzah”. Mana paparazinya, Mas?
  12. Danar. Kau makin kurus keriting aja, Nak…hihi…
  13. Casofa Fachmy. Kayaknya si papah nih lagi galau tingkat ranger pink ya???

Hah, apapun kondisi dan kengenesan kalian, kalian tetap yang termuah di hati. Mumumu…
I love u all because Allah Swt, Pelangiku…

Warna pelangi, seperti menaungi warna senja. Aku akan selalu mengingat setiap langit memerah saat sang bagaskara purna tugasnya. Senja seperti bisikan semangat di saat aku begitu lelah. Ia pun berbisik bahwa “cinta itu selalu ada di sana, di pelataran senja, bersama waktu yang melahirkannya…”

Hari ini sungguh indah, Dee…
“Mereka adalah nuansa-nuansa ilhamku…”
***

Sepedih apapun engkau menangis,
engkau tak akan menemukan sebuah senyuman…
Jika engkau tak ikhlas untuk rasa yang engkau jalani.
Setegar apapun dirimu, engkau tak akan merasa bahagia...
Jika ternyata dalam ketegaranmu tak ada pula keikhlasan.


Semampu apapun engkau berusaha untuk keindahan pada hatimu,
jika dalam berusaha ternyata keikhlasanmu hanya kiasan…
Maka, keindahan hatimu tetap tak akan pernah engkau rasakan.

Ikhlaslah pada kehendak-Nya dan ingatlah siapa dirimu…
yang tak mungkin berada dalam dunia,
bila Allah tak mencintaimu...

Semua yang Allah berikan, baik nikmat-Nya atau ujian-Nya.
Semata-mata untuk menguji keikhlasan hatimu…

Tetaplah jadi yang ter-ISTIMEWA, Keisya Avicenna…
Untuk duniamu yang ber-PELANGI penuh cinta hingga kekal sampai nanti di syurga-Nya.


[Keisya Avicenna, 050812. Terima kasih, Ya Rabb untuk episode terindah hari ini…]

***
Althaf: “Wah, cerita Ummi seru banget, ya? Althaf jadi kangen sama Tante Ayu’, Tante Cmut, Tante Santi, Tante Ummi, Tante Eka, Tante Amrih, Om Fachmy, Om Danar, Om Nunu, Pakdhe Alib, Pakdhe Tyo, Om Cowie, dan Pakdhe Ranu.”
(Althaf sibuk menyebutkan sosok-sosok yang sempat terdokumentasikan lewat tulisan di buku DNA-ku itu dengan jari-jari mungilnya. Althaf pernah bertemu mereka semua. Althaf juga menyimpan kenangan manis dengan mereka semua.)
Keisya: “Ummi juga kangen mereka, sayang…”
Althaf: “Althaf juga kangen temen-temen Ummi yang lain, om dan tante yang selalu baik dan ngasih mainan Althaf.”
Keisya:  “Iya, sayang. Althaf kalau berdoa, jangan lupa selain ngedoain Ummi dan Abi juga ngedoain tante dan om yang baik-baik itu ya!”
Althaf: “Insya Allah, Ummi…”
Keisya: “Dan ingat selalu, s = v x t!” (^_^)
Althaf: ??? (pasang tampang bengong)
Keisya: “Hehe… kapan-kapan coba Althaf tanyain deh ke Tante Aisya kalau kita jalan-jalan ke Jakarta!”
Althaf: “Horeee, Althaf bisa ketemu Azzam, dong!”
(Nak, kelak ketika kamu besar nanti kamu akan belajar memaknainya. Jarak tidak akan jadi penghalang jika hati-hati kita telah berpadu dalam rabithah cinta-Nya…)
Keisya: “Yuk, Althaf bantuin Ummi beres-beres rumah lagi yuk… Semangaaaaat! Ups, tapi jangan rame-rama ya. Nayla sedang tidur…”
Althaf: “Iya, Ummi. Semangaaaaat!!!”

(terdengar langkah kaki berderap ke arah kami)
Seseorang yang aku percayakan menjadi kawan seperjalananku untuk bersama-sama membangun “jembatan indah ke syurga-Nya”…
“Hm, ada apa nih kayaknya seru? Kok Abi nggak diajak?”
 (to be continued_3)

[Keisya Avicenna, ditulis dengan penuh cinta dan senyuman di lembar ke-19 Ramadhan…]