Jejak Karya

Jejak Karya
Showing posts with label cerpenQ. Show all posts
Showing posts with label cerpenQ. Show all posts

Tuesday, October 19, 2010

Maaf Tuk Berpisah

Tuesday, October 19, 2010 1 Comments

“Oh, burungpun bernyanyi melepas segala rindu yang terendam malu di balik qalbu..
Oh, anginpun menari mencari arti, adakah ini fitrah ataukah hiasan nafsu.
Di dalam sunyi ia selalu hadir, di dalam sendiri ia selalu menyindir.
Kadang meronta bersama air mata, seolah tak kuasa menahan duka…”
(Menunggu di Sayup Rindu – Al Maidany)

Kalau disuruh memilih, aku tak ingin kisah ini ada. Tapi, Allah berkehendak lain. Dia menuntunku menjadi seorang tokoh sentral yang harus melakoni kisah ini. Allah memang sudah berjanji, bahwasanya Dia tidak akan menguji hamba-hambaNya di luar batas kemampuan. Pun demikian dengan rasa ini yang aku anggap sebagai ujian dari-Nya. Berawal dari sebuah interaksi yang tak disengaja dengan Kak Edo. Awalnya, kami
saling berdiskusi masalah novel. Kami memang penyuka sastra. Namaku Dira, saat ini aku tengah belajar menjadi seorang novelis. Aku banyak belajar tentang dunia menulis dari Kak Edo.

Setelah tiga bulan berkomunikasi, akhirnya kami bertemu. Sebuah pertemuan yang singkat, karena Kak Edo hanya mengambil novel milikku yang ingin dipinjamnya. Hanya beberapa kalimat yang berhasil ia sampaikan. Dalam posisi saling menunduk, kami tidak bisa mengetahui suasana hati masing-masing. Tapi, aku merasa ada sesuatu yang berbeda setelah pertemuan singkat itu. Terlebih pada diriku.

“Biarlah semua mengalir,
berikanlah kepada ikhtiar
Dan sabar untuk mengejar…”
(Menunggu di Sayup Rindu – Al Maidany)

Mencoba menjaga jarak, ternyata masih ada saja komunikasi yang harus terkuak. Entah saling komentar di status facebook, chatting via YM, dan lain sebagainya. Sempat terselip impian ingin berkolaborasi tulisan dengannya. Hingga suatu ketika, kesempatan itu datang. Sebuah kompetisi cerita mini yang akan dibukukan. Tanpa berkomunikasi sebelumnya, ada nama kami yang sama-sama menjadi nominatornya. Saat pengumuman tiba, aku hanya bisa gigit jari ketika tahu hanya namanya yang lolos. Ada rasa sedih juga karena ternyata kesempatan melahirkan karya bersama belum datang. Harus kuakui, Kak Edo memang penulis yang berbakat. Tulisannya sangat menyentuh hati. Itulah yang membuatku simpati.

“Sabarlah menunggu, janji Allah kan pasti
Hadir tuk datang menjemput hatimu
Sabarlah menanti, usahlah ragu
Kekasih kan datang sesuai dengan iman di hati
Bila di dunia ia tiada, moga di surga ia telah menunggu
Bila di dunia ia tiada, moga di surga ia telah menanti”
(Menunggu di Sayup Rindu – Al Maidany)

Salah! Jika sesuatu yang fitrah ini ternyata hanya hiasan nafsu! Aku tersadar! Allah menegurku lewat “kegagalan” masuknya tulisanku dalam kompetisi itu. Karena ada selipan asa, bahwa aku ingin menyandingkan karyaku dengan karya Kak Edo. Aku menangis dalam samudera penyesalan. Aku tak ingin kisah ini diteruskan. Hingga datanglah hari itu, suatu hari di mana aku bertemu Kak Edo untuk yang kedua kalinya. Kali ini kita berada dalam sebuah acara. Pada acara itu, Kak Edo ingin mengembalikan novel yang dipinjamnya.

Pertemuan kedua yang lebih singkat dari pertemuan sebelumnya. Rasa-rasanya ingin cepat kabur saat harus berhadapan dengan Kak Edo. Sepulang dari acara, aku buka tas berisi novel yang dipinjamnya, ternyata ada sebuah bungkusan lain yang ternyata “hadiah” darinya. Bahagia, tapi terselip perih dalam rintihan yang lirih. Rabb, aku ingin menghentikan rasa ini. Cukup!!! Setelah pertemuan itu, harapku tak ada interaksi lagi dengan Kak Edo.

Di langit senja ini, garis-garis lembayung bagai permadani tak bertepi.
Lambaian tangan itu berselimut kabut dan menjelma menjadi sungai yang mengalir deras menuju muara
Melibas segala keraguan!!!
Aku kembali pulang ke samudera cinta-Nya
~Maaf, kata untuk akhir sebuah kisah~

Maaf ya Kak Edo, jika selama ini aku salah menangkap interaksi kita. Mungkin Kak Edo menganggap ini sebagai interaksi yang biasa, seperti layaknya kakak dan adik. Maaf, jika aku menanggapinya lain.

Kau tahu tentang hatiku yang tak pernah bisa melupakanmu
Kau tahu tentang diriku yang selalu mengenangmu selamanya
Kini kusadari bahwa semua itu
Adalah salah, juga keliru
Akan membuat hati menjadi ternodai
Maafkanlah segala khilaf yang tlah kita terlewati
Tlah membawamu kedalam jalan yang melupakan Tuhan
Kita memang harus berpisah
Tuk menjaga diri
Untuk kembali mngarungi hidup
Dalam ridho Ilahi

Kutahu bahwa dirimu
Mendambakan kasih suci yang sejati
Kuyakin bahwa dirimu
Merindukan kasih sayang yang hakiki

Kini kusadari bahwa semua itu
Adalah salah, juga keliru
Akan membuat hati menjadi ternodai
Dan bila takdirnya kita bersama
Pastilah Allah akan menyatukan kita
(Maaf Tuk Berpisah – Tashiru)

Jakarta, 19 Oktober 2010
Aisya Avicenna

Thursday, October 07, 2010

Benci jadi Simpati

Thursday, October 07, 2010 3 Comments

Oleh : Aisya Avicenna*)

Pacaran? Seperti apa sih rasanya? Duduk berduaan, berboncengan, kemana-mana bersama! Serasa dunia milik berdua, yang lain ngontrak! Mungkin itu ya rasanya pacaran. Tapi sayang, diri ini belum pernah merasakannya! Haha, kuno! Tidak gaul! Tidak laku ya? Hmm, mungkin itu tanggapan orang-orang yang pro pacaran. “Ditembak” cowok memang sudah pernah, tapi aku tolak! Jatuh cinta juga pernah, tapi dirahasiakan saja! Menurutku pacaran hanya buang-buang waktu, mending buat baca buku daripada berduaan tidak bermutu. Begitu opiniku waktu ABG dulu. Alhamdulillah, tekad untuk tidak pacaran terus aku tanamkan dalam diri ini sampai lulus SMA. Bahkan semakin membaja tekad itu setelah membaca buku “Nikmatnya Pacaran Setelah Pernikahan” karya Salim A. Fillah. Pacarannya sama suami setelah nikah saja, tekad bulatku!
Oh ya, nama panggilanku Yanda. Setelah melewati masa putih abu-abu, pada tahun 2005 secara resmi aku memasuki dunia baru dengan gelar baru pula. Mahasiswa, itulah gelar baruku. Saat memasuki dunia kampus ini, akupun mulai mengenakan jilbab. Menjadi mahasiswa luar biasa, mahasiswa yang tidak hanya bagus nilai akademisnya tapi juga memiliki softskill yang kompeten. Itulah impianku saat memasuki sebuah kampus negeri di Solo. Untuk mewujudkan impian tersebut, aku aktif dalam dua organisasi. Pertama, aku ikut menjadi pengurus di organisasi mahasiswa tingkat jurusan. Karena organisasi tersebut bersifat akademis, untuk mengimbanginya aku juga masuk organisasi Kerohanian Islam (Rohis) sebagai penopang sisi ruhiyahku. Di Rohis inilah aku mulai mengenal istilah “akhwat”, “ikhwan”, “akhi”, “ukhti”, “anti”, “afwan”, “syukron”, dll. Akhwat. Ya, istilah yang kemudian melekat juga padaku. Semakin membulatkan tekadku untuk terus memperbaiki diri, menjadi muslimah sejati.
Waktu terus bergulir. Sudah banyak kisah yang terukir. Semuanya memang sudah suratan takdir. Tak terasa sudah tiga tahun aku menjadi mahasiswa. Sepak terjang sebagai seorang aktivis dakwah kampus memang telah membuatku menyadari akan makna perjuangan di medan ini. Padatnya aktivitas membuat diri ini lolos dari Virus Merah Jambu (VMJ) atau Cinta Bersemi Sesama Aktivis (CBSA) yang sering merebak di kalangan aktivis dakwah.
Masuk di bulan Ramadhan tahun 2009, pada malam ke-23 aku i’tikaf di masjid kampus. Waktu itu, aku lagi senang mendengarkan nasyid berjudul “Doa Kalbu” yang dinyanyikan oleh Fika Mufla. Pagi harinya, ba’da Subuh aku update status Facebook (FB) menyunting lirik nasyid itu.
Di malam penuh bintang, di atas sajadah yang kubentang Sedu sedan sendiri, mengadu pada Yang Maha Kuasa Betapa naif diriku ini hidup tanpa ingat pada-Mu Urat nadipun tahu aku hampa Di malam penuh bintang, di bawah sinar bulan purnama Kupasrahkan semua keluh dan kesah yang aku rasa Sesak dadaku menangis pilu saat ku urai dosa-dosaku Di hadapan-Mu ku tiada artinya Doa kalbu tak bisa aku bendung deras bak hujan di gurun sahara Hatiku yang gersang terasa oh tenteram.. Hanya Engkau yang tahu siapa aku tetapkanlah seperti malam ini Sucikan diriku selama-lamanya
-bersambung-

Lantas, bagaimana kisah Yanda selanjutnya???
Penasaran, ditunggu aja deh... Soalnya kisah ini tengah dilombakan ^^v

Thursday, September 23, 2010

Permata yang Dicari

Thursday, September 23, 2010 5 Comments

Di suatu sore, seorang anak datang kepada Ayahnya yang sedang membaca koran.
“Ayah, ayah” kata sang anak
“Ada apa?” tanya sang Ayah
“Aku capek, sangat capek. Aku capek karena aku belajar mati-matian untuk mendapat nilai bagus sedang temanku bisa dapat nilai bagus dengan mencontek, aku mau mencontek saja! Aku capek, sangat capek. Aku capek karena harus terus membantu ibu membersihkan rumah, sedang temanku punya pembantu, aku ingin kita punya pembantu saja! Aku capek, sangat capek. Aku capek karena harus menabung, sedang temanku bisa terus jajan tanpa harus menabung, aku ingin jajan terus!
Aku capek karena harus menjaga lisanku untuk tidak menyakiti, sedang temanku enak saja berbicara sampai aku sakit hati. Aku capek karena harus menjaga sikapku untuk menghormati teman-temanku, sedangkan teman-temanku seenaknya saja bersikap kepada ku. Aku capek Ayah, aku capek menahan diri. Aku ingin seperti mereka. Mereka terlihat senang, aku ingin bersikap seperti mereka Ayah!” sang anak mulai menangis.

Kemudian sang Ayah hanya tersenyum dan mengelus kepala anaknya sambil berkata ”Anakku ayo ikut Ayah, Ayah akan menunjukkan sesuatu kepadamu”, lalu sang ayah menarik tangan sang anak. Kemudian mereka menyusuri sebuah jalan yang sangat jelek, banyak duri, serangga, lumpur, dan ilalang. Lalu sang anak pun mulai mengeluh ” Ayah mau kemana kita?? Aku tidak suka jalan ini, lihat sepatuku jadi kotor, kakiku luka karena tertusuk duri. Badanku dikelilingi oleh serangga, berjalanpun susah karena ada banyak ilalang… aku benci jalan ini Ayah” sang Ayah hanya diam.
Sampai akhirnya mereka sampai pada sebuah tempat yang sangat indah, airnya sangat segar, ada banyak kupu-kupu, bunga-bunga yang cantik, dan pepohonan yang rindang.
“Wwaaaah… tempat apa ini Ayah? aku suka! aku suka tempat ini!” sang Ayah hanya diam dan kemudian duduk di bawah pohon yang rindang beralaskan rerumputan hijau.
“Ayah, aku boleh berenang ya?”
“Iya.. airnya tidak dalam kok!”
Beberapa saat kemudian.
“Ayah, aku menemukan kerang berisi permata! Ini buat ibu ya yah!”
Sang ayah hanya tersenyum.
“Kemarilah anakku, ayo duduk di samping Ayah” ujar sang Ayah, lalu sang anak pun ikut duduk di samping ayahnya setelah mengeringkan bajunya.
”Anakku, tahukah kau mengapa di sini begitu sepi? Padahal tempat ini begitu indah…”
”Tidak tahu Ayah, memangnya kenapa?”
”Itu karena orang-orang tidak mau menyusuri jalan yang jelek tadi, padahal mereka tahu ada tempat yang indah di sini, tetapi mereka tidak bisa bersabar dalam menyusuri jalan itu”
“Ooh… berarti kita orang yang sabar ya Yah? Alhamdulillah”
“Nah, akhirnya kau mengerti”
”Mengerti apa? aku tidak mengerti”
”Anakku, butuh kesabaran dalam belajar, butuh kesabaran dalam bersikap baik, butuh kesabaran dalam kejujuran, butuh kesabaran dalam setiap kebaikan agar kita mendapat kemenangan, seperti jalan yang tadi. Bukankah kau harus sabar saat ada duri melukai kakimu, kau harus sabar saat lumpur mengotori sepatumu, kau harus sabar melewati ilalang dan kau pun harus sabar saat dikelilingi serangga, dan akhirnya semuanya terbayar kan? Ada tempat yang sangat indah. Bahkan kau berhasil menemukan permata. Seandainya kau tidak sabar, apa yang kau dapat? Kau tidak akan mendapat apa apa anakku, oleh karena itu bersabarlah anakku”
”Tapi Ayah, tidak mudah untuk bersabar ”
”Ayah tahu, oleh karena itu ada Ayah yang menggenggam tanganmu agar kau tetap kuat. Begitu pula hidup, ada Ayah dan Ibu yang akan terus berada di sampingmu agar saat kau jatuh, kami bisa mengangkatmu. Tapi, ingatlah anakku… Ayah dan Ibu tidak selamanya bisa mengangkatmu saat kau jatuh, suatu saat nanti, kau harus bisa berdiri sendiri. Maka jangan pernah kau gantungkan hidupmu pada orang lain, jadilah dirimu sendiri.. seorang pemuda muslim yang kuat, yang tetap tabah dan istiqomah karena ia tahu ada Allah di sampingnya. Maka kau akan dapati dirimu tetap berjalan menyusuri kehidupan saat yang lain memutuskan untuk berhenti dan pulang. Maka kau tahu akhirnya kan?”
”Ya Ayah, aku tahu.. aku akan dapat surga yang lebih indah dari tempat ini. Sekarang aku mengerti. Terima kasih Ayah, aku akan tegar saat yang lain terlempar”
Sang Ayah hanya tersenyum sambil menatap wajah anak kesayangannya.
***
Untukmu yang beriman
Allah telah berjanji padamu
Allah akan menolongmu
Allah akan meneguhkan kedudukanmu
Jika kau menolong agamanya...
Sekalipun dengan setetes peluh penuh keikhlasan...
Bahkan air mata atau darah sekalipun!
Dan selemah-lemahnya adalah rintihan hati yang terdzolimi...
Rintihan, bukan umpatan atau rasa kekesalan..
Tapi untaian harapan dan keyakinan, bahwa Allah tak pernah menyiakan..
Sekalipun menjadi yang terasing...
Ya, terasing! Karena di awal kemunculannya, dien Islam ini juga dalam keadaan asing
Dan kelak akan kembali asing sebagaimana awal mulanya
Berjuanglah!
Tiket Syurga itu tak murah!
Mendapatkannya juga tak mudah!
Semoga setiap letih yang dikumpulkan karena-Nya, mampu membayar jaminan Syurga-Nya...
Semoga setiap amalan kita terbalaskan dengan ridho-Nya...
Dan harapan terbesar adalah semoga Allah ridho menjadikan kita penghuni jannah-Nya..
Aamiin Ya Rahman.. Aamiin Ya Rahiim.. Aamiin ya Rabbal 'alamiin...
Karena setiap kita inginkan yang TEPAT dan TERBAIK!!!!
***
“Jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu”. (Q.S. Muhammad:7)
“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan : Rabb kami adalah Allah, kemudian mereka tetap istioqamah maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada pula berduka cita. Mereka itulah penghuni-penghuni Al Jannah, mereka kekal di dalamnya, sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan.” (Q.S. Al-Ahqaf: 13-14)

Jakarta, 23 September 2010_05:55
Aisya Avicenna

Tuesday, April 06, 2010

TUKANG OJEK PERMANEN

Tuesday, April 06, 2010 4 Comments

Bandung, 30 Maret 2010

Langit Bandung tampak mendung. Itulah sambutan perdana saat Andini menginjakkan kaki untuk pertama kalinya di kota itu. Dingin masih nekat merangsek jalinan benang tebal dari jaket hitam yang dikenakannya. Hari itu, Andini bersama Lina, rekan kerjanya. Mereka mendapat tugas dari kantor untuk mengikuti seminar hasil penelitian yang diselenggarakan oleh sebuah instansi pemerintah di kota Bandung.

Setelah Andini dan Lina turun dari bus Prima Jasa, mereka sedikit bingung mencari tempat acara karena peta yang tertera di undangan kurang begitu jelas.

“Din, habis ini kita naik apa ya?” Tanya Lina bingung.

“Wah, yang ditanya juga tidak jauh beda dengan yang bertanya… hehe!” jawab Andini

“Tanya tukang ojek itu aja yuk!” lanjutnya.

Lina dan Andini berjalan mendekati seorang tukang ojek yang sedang duduk santai di pos ojek.

“Punten Pak, Pusat Litbang Cileunyi di mana ya?” Tanya Lina pada tukang ojek itu.

“O… eneng nyebrang jalan itu dulu. Nanti ada jalan masuk… lurus saja…” kata tukang ojek itu sambil sesekali menghisap rokoknya yang tinggal separuh.

“Nuhun Pak…”

“Mangga, Neng!”

Mereka pun menyeberang jalan. Pagi itu arus lalu lintas di perempatan ujung tol Cileunyi lumayan padat. Mereka menunggu beberapa menit sampai akhirnya bisa menyeberang jalan sambil berlari-lari. Olahraga pagi nih!

Sampai di seberang jalan, mereka bertanya pada penjual toko kelontong tentang keberadaan Pusat Litbang Cileunyi. Wow, ternyata masuknya masih jauh dan tidak ada angkot yang lewat ke sana. Padahal acara akan segera dimulai.

Lina akhirnya berkata, “Naik ojek aja yuk!”

Andini berkomentar dalam hati “Weleh, naik ojek??? Hmm… gimana nih?”

Dengan agak terpaksa, akhirnya Andini menyetujui usulan Lina karena satu-satunya cara ke sana dengan ojek itu… (kalau jalan kaki jauh sekali… tidak ada bajaj ataupun taksi…).

Bismillahirrahmanirrahim…

Untuk pertama kalinya naik ojek. Andini banyak-banyak istighfar selama dalam boncengan sang tukang ojek yang tentu tak dikenalnya. Ya Allah… ini terpaksa saya lakukan… batin Andini di sepanjang perjalanan menuju Pusat Litbang Cileunyi yang ternyata memang sangat jauh. Kalau mungkin saat itu ia sudah menikah, pasti ada suami yang akan setia mengantarnya dan yang ia bonceng saat itu mungkin adalah sang suami tercinta… batin Andini…

Sesampai di Puslitbang Cileunyi, Andini mengeluarkan uang 4000 dari dompet bermotif bunga mawar miliknya untuk membayar ongkos pada si tukang ojek. Lina sudah sampai duluan.

“Din, punya uang 4000-an gak?” tanya Lina yang masih berdiri di dekat tukang ojek yang ia tumpangi.

“Punya…” jawab Andini sembari mengeluarkan uang 4000 lagi.

Tukang ojek yang dinaiki Lina sudah berputar balik dan melaju pergi. Andini membayar 8000 rupiah pada tukang ojek yang masih menunggunya. Andini berpikir 8000 itu sekalian untuk membayar tukang ojek yang ditumpangi Lina. Tukang ojek itu pun pergi.

“Din, kamu tadi bayar berapa?”

“8000, yang 4000 kan buat tukang ojek yang kamu naiki.” Jawab Andini

“Lhoh, aku dah bayar!” ujar Lina

“Walah, kirain kamu tadi tanya punya 4000-an karena kamu belum bayar dan ga punya uang receh. Pantesan tadi tukang ojeknya tersenyum mengembang… ih, harusnya dia bilang kalau bayarku cuma 4000 ajah…” protes Andini

“Ya sudahlah… itung-itung buat amal… hehe… “ ledek Lina.

“Dasar tukang ojek! Hehehe.. tapi lucu juga tadi… pengalaman pertama naik ojek… “ senyum Andini pun akhirnya mengembang.

***

Saat sedang asyik mengikuti pembukaan seminar di Pusat Litbang Cileunyi, ada SMS masuk dari kakaknya. Namanya Didi. Dia seorang ikhwan, mantan takmir masjid di kampus Andini dulu. Sekarang sudah bekerja di salah satu instansi pemerintah.

“Aslmkm. Din, sudah sampai??”

“Wa’alaykumslm. Alhamdulillah, sudah Kak! Kak, tadi Andini naik ojek. Menurut kakak, akhwat naik ojek boleh ga sih?”

Kak Didi pun membalas SMS adiknya lagi.

“Lhoh, kenapa tidak boleh?? Kalau kondisinya darurat tidak masalah. Asalkan akhwat itu tetap menjaga izzahnya… Akhwat juga manusia dek… dia bukan superhero yang bisa terbang… Kan tidak ada tukang ojek akhwat juga kan?? Hiihii…Ya sudah, kalau begitu segera saja cari tukang ojek permanen. Biar kemana-mana ada yang njaga dan nganterin…!”

Andini tersenyum saat membaca SMS dari kakaknya itu.

“Tukang ojek permanen??? Hmm… tak perlu dicari Kak. Dia akan datang sendiri dengan gagahnya dan berkata : ‘Ukh, mari bersama menuju jannahNya… Silakan anti duduk di boncengan ini, ana akan membawa anti menuju jannahNya…akan melindungi dan menjaga anti dalam mengarungi perjalanan panjang yang masih akan kita tempuh … ‘. Hihihi… ngaco ah! Gara-gara Kak Didi nih….” Balas Andini dalam SMS-nya.

“Dasar adikku ini… Ya sudah, selamat menikmati seminarnya. Semoga muntijah dan barokah. Amiin… Hati-hati ya pulangnya nanti…”

“Iya Kak, syukron” balas Andini.

***

Jakarta, 30 Maret 2011

Pukul 17.30, Andini masih di kantornya. Dia telepon Adnan, laki-laki yang baru menikah dengannya bulan Februari yang lalu.

“Assalamu’alaykum. “

“Wa’alaykumussalam Warahmatullahi Wabarakatuh.”

“Mas Adnan, adek dapat tugas dari Pak Direktur yang harus diselesaikan hari ini juga. Adek diizinkan pulang ba’da Isya’ ga?”

“Tugas apa Dek?”

“Besok Pak Direktur ada rapat penting, ada data yang harus diolah berkaitan dengan bahan rapat besok. Adek dipercaya untuk mengolah datanya dan malam ini harus jadi.”

“Ow… tidak apa-apa kalau begitu. Mas Adnan izinkan. Tapi nanti pulangnya jangan kemalaman, hati-hati ya… Agenda Mas di Bandung belum selesai. Ini masih syuro.”

“Terima kasih Mas, mohon doanya semoga pengolahan datanya segera selesai dan bisa lekas pulang.”

“Semoga dipermudah ya Dek. Sudah ya… selamat melanjutkan aktivitas.. Assalamu’alaykum Warahmatullahi Wabarakatuh…”

“Wa’alaykumussalam Warahmatullahi Wabarakatuh… hati-hati juga ya Mas.”

**

Andini kembali melanjutkan aktivitasnya. Pukul 19.00 ternyata belum selesai juga. Akhirnya baru bisa keluar kantor pukul 20.00.

Sampai di luar kantor, hujan turun rintik-rintik. Andini menyusuri trotoar menuju halte yang letaknya lumayan jauh dari kantornya. Saat berjalan menuju halte, Andini melewati pangkalan ojek. Beberapa tukang ojek menawarinya. Andini berpikir untuk naik ojek saja menuju halte yang letaknya masih cukup jauh. Akan tetapi, ia segera mengurungkan niatnya. Ia melanjutkan perjalanan lagi. Beberapa langkah kemudian, ada seorang tukang ojek yang berhenti di samping kanannya. Mengenakan pakaian serba hitam. Lengkap dengan helm dan slayer berwarna hitam.

“Assalamu’alaykum. Mbak, mari saya antar… “

Wah, sopan juga ni tukang ojek, pikir Andini.

“Wa’alaykumussalam. Maaf Mas, saya naik metromini saja.”

Andini terus berjalan menuju halte. Sesampainya di halte sudah ada metromini yang mangkal dan iapun menaikinya.

Perjalanan agak macet. Pukul 20.30, Andini baru tiba di ujung jalan menuju rumahnya. Gelap dan sunyi. Andini berjalan menyusuri jalan kecil menuju rumahnya yang masih berjarak beberapa ratus meter. Tiba-tiba ada seorang tukang ojek yang berhenti di dekatnya.

“Ojek, Mbak!” tawarnya

“Maaf Mas, saya jalan kaki saja. Sudah dekat kok!”

Sejurus kemudian, tukang ojek itu mengeluarkan sebilah pisau.

Andini terperanjat…

“Keluarkan dompet dan HP sekarang!”

Meski agak takut, Andini mencoba tenang… dengan gemetaran ia mengeluarkan dompet dan HP nya…

Sebelum dompet dan HP itu berpindah tangan… Tiba-tiba…

Bukk!!!

Seseorang memukul tukang ojek yang akan mencoba merampok Andini. Pisau yang ia pegang terpelanting jatuh. Tukang ojek itu pun ambruk bersama motornya.

“Mari Mbak, naik di boncengan saya…”

Meski agak ragu, Andini naik juga di boncengan orang yang baru saja menyelamatkannya.

Selang berapa lama…

“Stop Mas, saya turun di sini!”

Andini turun dari boncengan dan mengeluarkan uang 50.000 rupiah.

“Tidak usah Mbak!”

“Mohon diterima, Mas… sebagai tanda terima kasih saya juga..”

Tukang ojek itu diam beberapa saat.

“Gratis kok! Karena istriku pulang dengan selamat sampai rumah ongkosnya jauh lebih mahal!”

Tukang ojek berpakaian serba hitam itu akhirnya membuka helm.

“Mas Adnan!!!” Andini terkejut

Adnan tersenyum..

“Setelah tahu adek pulang malam, Mas langsung pulang dari Bandung… Pengin njemput adek di kantor. Tadi ditawari ngojek di depan kantor nggak mau sih… akhirnya mas buntuti sampai sini deh…”

“Masya Allah, Mas Adnan… Andini baru sadar, ternyata tukang ojek yang tadi adek temui di depan kantor tadi Mas Adnan juga… terima kasih banyak ya…”

**

Jakarta, 31 Maret 2011

Pagi itu, saat mentari sudah menunjukkan senyumnya di ufuk timur… Adnan sedang asyik menyirami tanaman di depan rumahnya. Mawar merah, bunga favorit istrinya, sedang bermekaran menghiasi taman di depan rumahnya itu. Andini berjalan keluar rumah.

“Mas, adek ke pasar dulu ya!”

“Diantar ga? Sendirian berani???” tanya Adnan

“Sendiri aja Mas. Mas Adnan kan masih capek habis pulang dari Bandung.”

“Ya sudah kalau begitu…Titi DJ ya dek” canda Adnan pada Andini

“Insya Allah… Assalamu’alaykum…”

“Wa’alaykumussalam Warahmatullahi Wabarakatuh..”

Andini berjalan menuju pasar dengan perasaan yang sangat bahagia. Sambil bersenandung lirih…

Selama ini kumencari-cari teman yang sejati buat menemani perjuangan suci… Bersyukur kini padaMu Illahi, teman yang dicari… selama ini… telah kutemui…”

Tiba-tiba langkahnya terhenti karena dikejutkan dengan suara motor yang berhenti di belakangnya.

“Mbak… Ojek! Gratis kok!!!”

Andini menoleh. Senyum Andini mengembang karena Adnan sudah ada di belakangnya.

Andini langsung duduk di boncengan Adnan, “Ke pasar ya Mas! Hehe… ”

Betapa bahagianya Andini, karena sekarang ada Adnan, sang “tukang ojek permanen” yang siap menjaga dan melindunginya bahkan mengantarkannya ke manapun dia pergi…

“Terima kasih banyak Mas Adnan…,” kata Andini

Suaranya terkalahkan oleh suara deru motor yang ia naiki bersama “tukang ojek permanen” nya…

***

Cileunyi, 30 Maret 2010_18.00

Aisya Avicenna

Monday, February 15, 2010

17 Tahun Mencari Cinta

Monday, February 15, 2010 0 Comments

Prolog : Cerpen ini adalah hasil kolaborasi antara saya (Aisya Avicenna) dan sahabat karib saya kala masih berseragam putih abu-abu, namanya Noer Fuadiyah Uyun (Fadhilah Fuady). Alhamdulillah, cerpen ini berhasil menyabet juara 3 dalam sebuah sayembara menulis cerpen yang diadakan oleh ROHIS (Kerohanian Islam)-nya SMA N 1 Wonogiri yang akhirnya bisa bertahta di salah satu rubrik di buletinnya ROHIS SMANSA (bulletin Al Azhar). Cerpen ini kami susun berdua saat kelas 2 SMA, waktu itu kami duduk sebangku. Cerpen ini terinspirasi dari kisah hidup kami berdua. Benar-benar kami kombinasikan mulai dari setting tempat, waktu, tokoh, sampai alur ceritanya.

Emmm… malam ini saya menuliskan kembali cerpen itu. Sekedar untuk mengenang sebuah persahabatan yang semoga tetap selalu dipenuhi dengan cinta. Ah, cinta…

Bertuturlah CINTA… mengucap satu nama

Seindah goresan sabdaMu dalam kitabku

Cinta yang bertasbih mengutus hati ini

Kusandarkan hidup dan matiku padaMu

Bisikan doaku dalam butiran tasbih

Kupanjatkan pintaku padaMu, Maha Cinta…

Sudah di ubun-ubun cinta mengusik rasa

Tak bisa kupaksa walau hatiku menjerit

Ketika cinta bertasbih, nadiku berdenyut merdu

Kembang kempis dadaku merangkai butir cinta

Garis tangan tergambar tak bisa aku menentang…

Sujud syukur padaMu

Atas segala cinta…

CINTA…

Lhoh, kok malah yang keluar soundtracknya KCB… (maklum, waktu nulis ini… lagu yang didendangkan ni laptop pas lagu itu… Sttt, laptop pinjeman euy… ^^v . Ehm, jadi kangen ma laptop Aisya di Solo… “Miss 13”! baik-baik ma MY SUPERTWIN ya… biarlah kau jadi pendamping MY SUPERTWIN menyelesaikan proyek dahsyatnya… SEMANGAT!!!)

Ya sudah, simak ya!!!

***

17 TAHUN MENCARI CINTA

Kudus, 2 Februari 1987

Oeek… oeek… oeek…

Allahu akbar… Allahu akbar… Gema adzan menyusup di gendang telinga mungilku. Indah nian! Aku belum bias apa-apa, selain menangis dan menangis. Aku belum tahu siapa-siapa. Aku siap menjalani sandiwara-sandiwara hidup di dunia ini. Aku jadi new comer in this world. Yup, inilah aku NANTA NIA.

Kudus, 2 Februari 1988

Aku berulang tahun yang pertama. Aku sangat mencintai ibu dan bubur beras merah. Aku menyukainya. Aku sudah bisa duduk dan belajar berdiri. Menyenangkan sekali!

Kudus, 2 Februari 1989

Aku berulang tahun yang kedua. Pipiku tembem sehingga banyak orang mencubit pipiku. Sebel deh! Apalagi dua kakakku. Mereka berdua hobby banget nyubit pipiku. Sakit tau! Aku kesal sama semua orang yang suka nyubit pipiku. Aku tidak mencintai mereka,

Kudus, 2 Februari 1990

Ultah ketigaku. Aku sudah bisa berlari. Aku tidak mencintai bubur beras merah lagi. Gigiku sudah mulai tumbuh. Kini aku menyukai tim ayam buatan ibu. Enaak dech!

Kudus, 2 Februari 1991

Aku mencintai ayah. Ayah baeeek banget! Ketika aku mau masuk sekolah, aku dibelikan ayah tas, buku gambar, crayon, kotak pensil, tempat makanan, dan penghapus. Aku akan sekolah! Yess!!

Kudus, 2 Februari 1992

Ultahku yang ke-5. Aku sudah sekolah TK nol kecil. Aku mencintai teman-temanku karena mereka lucu-lucu dan baik padaku. Ada Lili, Cia, Fadhil, si kembar Rasya dan Keisya, Delia, Rama, Adi, Faiz, Axel, Rahma, Sandi, dan banyak lagi. Aku sekarang tidak suka tim ayam lagi. Kini aku cinta berat sama es krim dan permen coklat. Ehm… enak deh! Aku juga suka tas berbentuk monyet punyaku. Lucu abis!

Kudus, 2 Februari 1993

Aku sudah di TK nol besar. Aku mulai benci dengan es krim dan permen coklat. Gara-gara mereka aku sering diomelin ayah ibu. Gigiku pun banyak yang hitam dan berlubang. Gigiku sering sakit. Ugh… sebel!

Ayah membelikan sepatu baru untukku. Kakakku Adnan juga membelikanku pita berbentuk boneka. Ah Ayah, kakak, aku mencintai kalian.

Kudus, 2 Februari 1994

Aku sudah masuk SD. Tapi aku kehilangan cintaku. Teman-temanku kini berpisah. Hanya aku, Cia, Sandi, dan Rama yang masih satu sekolah. Aku sangat sedih kehilangan mereka. Mereka bukan cintaku.

Kudus, 2 Februari 1995

Aku sudah kelas 2 SD. Aku sedikit bertambah tinggi. Di hari ultahku ini, aku dibelikan bandana merah oleh Kak Ifa. Terima kasih Kak Ida chayang!

Kudus, 2 Februari 1996

Aku sudah kelas 3 SD. Aku mencintai film kartun. Aku suka sekali nonton Casper dan Doraemon. Lucu deh!Tadi pagi aku mentraktir teman-teman sekelas minum es cincau sama keripik singkong di dekat sekolahku. Tiap orang aku beri uang 500 perak, lalu kami makan bersama. Asyik banget! Aku sangat mencintai kebersamaan ini.

Kudus, 2 Februari 1997

Kini aku sudah kelas 4 SD. Usiaku sudah… ehm… berapa tahun ya… kuhitung dulu ah! Oh ya! Usiaku kini 10 tahun. Udah gede ya. Tapi badanku masih aja kelihatan mungil disbanding teman-teman. Aku benci dengan Bu Hada. Habis setiap pelajaran Matematika aku selalu disuruh maju. Aku selalu jadi kelinci percobaan. Sebenarnya kau bisa mengerjakan soal tersebut tapi Bu Hada tidak pernah memanggil kawanku yang lain. Jadi, mereka yang tidak bisa ya… tetap saja tidak bisa mengerjakannya.

Kudus, 2 Februari 1998

Aku sudah kelas 5 SD! Selamat tinggal Bu Hada. Aku sekarang mencintai guruku, Ibu Yetti, orangnya baek banget. Nggak heran kalau nilaiku melesat meninggalkan teman-teman. Ya… itu karena aku senang dengan Ibu Yetti.

Kudus, 2 Februari 1999

Ah…, ternyata Bu Yetti bukan cintaku. Kalau dia cintaku, pasti dia selalu mengikutiku. Aku sudah kelas 6 SD. Udah 12 tahun. Mau masuk SMP nih! Moga aja aku masuk SMP 1. SMP terfavorit di kota ini. Aku juga bisa bareng Kak Ifa.

Di SMP nanti, apa aku bisa ketemu cinta ya?? Cinta… oh… cinta… Ciee.. anak kelas 6 sudah kenal arti cinta. Ya… iya dong. Menurutku cinta itu… pacaran itu kan… he… he… he… sebodo amat deh, aku belum tahu banyak tentang cinta.

Kudus, 2 Februari 2000

Yes!! Aku sudah diterima di SMP 1. Iya jelas dong! DANEM-ku aja memenuhi syarat : 45, 27. Nggak pake acara sogok-menyogok segala. Horeee… Aku seneng banget. Udah 6 tahun lamanya aku di SD. Uuh… bosen!

Sayang banget Cia dan Sandi beda sekolah. Mereka di SMP 2. Aku kehilangan cintaku deh! Tapi… aku menemukan cintaku lagi. Si kembar Rasya dan Keisya, Faiz, Rama, Lili, dan Axel satu sekolah lagi denganku. Surprise banget loo!

Aku sekarang suka bercermin dan berdandan. Aku senang pake parfum. Biar wangi nih! Terkadang ayah dan ibuku marah kalo aku terlalu lama mematut-matut diri di depan cermin dan tidak segera berangkat sekolah. Wuih… aku dah jadi ABG nih!

O… ya! Di SMP ini aku mendapat pelajaran Bahasa Inggris. Bahasa aneh yang masih terasa asing di telingaku. Tapi aku menyukainya. Gurunya bernama Pak Hendi. Cakep dan baeek banget. He… He…

Di ultahku yang ke-13 ini aku dikasih kaset Westlife oleh Lili. Lagu-lagunya Westlife bagus-bagus. Apalagi personelnya yang keren dan cakep-cakep, Aku ngefans berat sama Westlife. Dinding kamarku penuh dengan tempelan poster mereka. I love them!

Kudus, 2 Februari 2001

Aku sebeel deh! Bulan Januari lalu aku mendapatkan menstruasi pertamaku. Aku nangis di depan keluargaku. Eh… keluargaku malah ketawa! Mereka bilang itu tandanya aku udah dewasa. Ehm… aku sudah dewasa ya…? Berarti aku boleh mencari cintaku dong! Cinta… Cinta itu kayak apa sih? Aku belum paham betul dengan ini, cinta… Ah, sebodo amir, mending nyanyi ah!

Cinta… di manakah kau berada… rindu aku ingin jumpa…

Ah… fals banget. Ntar Mas Katon marah lagi, lagunya aku ganti.

Cinta selembut awan masih tersimpan di hati…

…ehm…ehm…ehm…

Uh… bodo! Habis nggak hafal sich! Mending nyanyi lagu anak-anak saja.

Kuambil buluh sebatang… Kupotong sama panjang…

Kuraut dan kutimbang dengan benang… Kujadikan layang-layang…

Aku ingin begini… aku ingin begitu.. ingin ini ingin itu banyak sekali…

Semua semua semua dapat dikabulkan… dapat dikabulkan dengan kantong ajaib!

Lho, kok nyanyinya jadi nyleneh sih? He… he… he…

Yah…aku sangat mencintai masa kecilku. Indah sekali, di mana kudapati cinta silih berganti, datang dan pergi.

O.. ya di ultah ke-14 ini si kembar Rasya dan Keisya member aku seekor kucing kecil lucu yang oleh mereka diberi nama yang aneh dan sangaaat panjang. Tuh meong bernama : PUSQUITO APRILLIO HEKSA DEVO LUCIANO VENUS MOKO WHISKASTO FELIS DOMESTICO. Panjang banget kan? Entah si Kembar mendapat nama aneh itu dari mana. Tapi yang pasti, cintaku juga terbagi untuk kucing kecil itu. Moko, kucing itu selalu setia menemaniku.

Kudus, 2 Februari 2002

Di ulang tahunku kali ini, bagiku adalah titik balik dari keceriaanku. Betapa menyakikan di hati ditemani hari-hari yang rasanya gamang. Ibu telah menghadap Yang Esa, seminggu sebelum hari ulang tahunku. Semua begitu terasa cepat. Ibu terserang maag akut. Aku hanya bisa memandang beliau saat nafas terakhirnya akan ditangkap oleh Izrail. Baru aku tahu betapa mati itu amat menyakitkan, ketika harus melafalkan “Lailahailallah Muhammadarrasulullah”. Betapa kematian Ibu sangat merapuhkan jiwaku. Aku seperti tak punya suara, kelu… aku tak bisa menangis. Tapi jauh di dalam hatiku tergali lubang yang sangat dalam, perih… perih sekali… Ulang tahunku ini kulalui dengan berteman senyap yang menggantung di ujung hari. Sepi… perih… dan sedih…

Ayah kini sering ke luar kota untuk urusan dinas sedang Kak Ifa, 4 hari setelah Ibu meninggal, ia menjadi gadis yang aneh, dia mengenakan jilbab yang besar. Dia menjadi sangat alim dan baik padaku. Sekarang Kak Ifa selalu bangun di tengah malam. Aku sering mendapatinya menangis dalam sholatnya. Dia menjadi seorang yang sangat tabah dan sabar. Tiap pagi Kak Ifa menyiapkan sarapan untuk kami. Tapi dia sering meninggalkanku untuk kegiatan keagamaan. Seperti acara MABIT atau kegiatan lainnya. Sedangkan Kak Adnan, dia sibuk dengan urusan kuliahnya di STIS, dia menjadi aktivis di bidang keagamaan. Dia sangat menyayangi aku dan Kak Ifa. Sering dia memberikan puisi untuk kami. Memang bukan materi, tapi kasih sayangnya tampak dalam untaian syairnya.

Untungnya si Kembar Rasya dan Keisya tadi ke rumahku sehingga aku cukup terhibur dengan gaya ‘childish’ mereka.

“Udah deh Nia, nggak usah sedih. Kan ada kita-kita. We will always be there for you.” kata Keisya.

“Ya, mending kamu mikirin wajah imut kita, eh enggak ding! Becanda lho! Mendingan kamu mikirin EBTANAS bulan Mei nanti. Kamu jangan terlalu larut dalam air eh… dalam kesedihan dong! Gitu ya!” sahut Rasya.

Kata-kata mereka sedikit membuatku tersenyum. Aku mencintai teman-temanku. Teman adalah segalanya bagiku. Aku mencintai mereka.

Kudus, 2 Februari 2003

Alhamdulilah aku diterima di SMA favorit di kota Kudus ini. Ternyata aku bisa melupakan kesedihanku. Ya… karena aku menemukan cintaku, Rama. Dialah yang membangkitkan semangatku. Kami sering jalan dan belajar berdua. Di SMA ini ada si kembar Rasya dan Keisya, Lili, Delia, Dika, Fadhil, dan cintaku… Rama. Ultahku kini penuh kebahagiaan.

Rama… dialah cinta pertamaku. Dia perhatian sekali denganku hingga aku bisa bertahan dalam kesedihan. Rama… engkaulah segalanya bagiku. Terima kasih Rama, atas segala perhatianmu.

Kudus, 15 April 2003

Hari ini Kak Ifa dan Kak Adnan pulang dari kampus. Aku senang sekali. Ayah juga ada. Kami bercengkerama di ruang tamu.

“Adnan, Ifa, Nia, Ayah mau berembug dengan kalian… Setelah ayah pertimbangkan, Ayah memutuskan untuk menghadirkan ibu baru buat kalian. Ayah hanya ingin bertanya, apakah kalian merelakannya anak-anakku?”

“Ayah, bila bagi Ayah itu yang terbaik. Pilihlah Ayah! Pilihlah orang yang bisa membimbing, menyayangi, dan menuntun kami dalam Islam,” kata Kak Adnan.

“Iya, Ayah. Bila Ayah bahagia, insya Allah, kami ikut bahagia,” sambung Kak Ifa.

“Bagaimana denganmu, Nia?” Tanya Ayah.

Aku terdiam. Kelu. Sulit untuk menerima kenyataan bahwa posisi ibu akan diganti wanita lain.

“Bagaimana menurutmu Nia?” Ayah mengulangi pertanyaannya.

“Ayah, Nia tidak ingin posisi ibu diganti oleh siapapun juga. Nia benci Ayah. Ayah tidak sayang Ibu!”

Aku tinggalkan Ayah yang terpekur dalam diam panjangnya dengan Kak Ifa dan Kak Adnan. Aku menjadi dingin dengan Ayah.

Kudus, 25 Mei 2003

Aku merenung di kamar. Sekali lagi aku kembali rapuh, aku akan kembali kehilangan satu cintaku, Ayah. Aku jenuh, aku ingin bertemu Rama. Kini dia selalu sibuk dengan OSISnya sehingga aku jarang bertemu dengannya. Mungkin dia bisa mencairkan hatiku. Semoga!

“Nia,,,, ada telepon dari Keisya!” suara Kak Ifa membuyarkan lamunanku.

“Ya… bentar”

Sesaat kemudian…

“Hallo, ini Keisya ya?”

“Iya, ini aku, Keisya. Gini, besok kamu datang ke ultahku dan Rasya ya! Bawa kado ya, kalo nggak, kujitak kau! He… he… becanda kok. Datang ya! Temen-temen kakakku juga diundang. Hari ultah kami kan sama. So, kamu bisa cuci mata dan cari vitamin lho! Pokoknya kamu harus dateng, kalo nggak, kamu akan rugi, nyesel, dan 1 lagi… kupeer! Makasih ya. Dah Nia.”

Klik. Gagang telepn ditutup oleh Keisya. Aku hanya tersenyum dan geleng-geleng kepala. SI kembar aneh, unik, lucu itu temenku yang childish banget. Padahal besok mereka mo ultah yang ke-16. Mereka sangat baik dan lucu. Aku mencintai mereka.

Kudus, 26 Mei 2003

“Rasya, Keisya, met ultah ya! Moga panjang umur.” Kataku pada si kembar saat menyerahan kado untuk mereka.

“Makasih ya!” kata mereka berbarengan. Aku tertawa melihatnya.

“Eh, Nia. Duduk-duduk dulu ya, biar ditemani Rasya,” pinta Keisya.

“Nih Nia, minum buatmu.”

“Makasih, Rasya!”

Aku berbincang-berbincang dengan Rasya. Acara belum dimulai walaupun tamu-tamu sudah banyak. Tapi… tapi… ups benar. Penglihatanku belum cacat. Rama… dan… Delia bergandengan bersama dan menyerahkan kado untuk Keisya. Aku bangkit. Aku tidak tahan lagi. Rasya mengerti perasaanku.

“Rasya, aku tak bisa ikut keseluruhan acara ini karena…”

“Sudahlah Nia. Aku mengerti.”

“Makasih Rasya, antarkan aku ke Keisya.”

“Keisya, Nia mau pamit. Dia mau diajak pergi oleh Kak Ifa,”kata Rasya

“Oh ya. Makasih attentionnya ya Nia!”

“Ya… sama-sama.”

Aku berjalan di depan Rama dan Delia.

“Eh… Nia… ini.. ini… ada Delia.”

“Iya, Nia. Delia hanya berteman dengan Rama kok!”

“Maaf, Rama. Aku sudah tidak mempercayaimu lagi. Kita… putus!”

“Tapi… Nia… ini…”

“Sudah Rama, Ini adalah keputusanku. Permisi!”

Aku berlalu meninggalkan mereka. Rama… ternyata engkau bukan cintaku. Sekarang aku menyadari cintaku selalu pergi. Adakah cinta yang selalu membuatku senang dan cinta itu bersifat abadi? CInta… dimanakah engkau cinta??

“Nia, kamu melamun?” Kak Ifa mengagetkanku.

“Kak…!” Aku menangis di pangkuan Kak Ifa. Kulepaskan persoalan di hatiku. Kepergian Ibu, keinginan ayah untuk menikah lagi, Rama yang berkhianat dan hatiku yang selalu tertipu oleh cinta.

“Kak, aku muak dengan cinta!”

“Adikku sayang, kamu mau nggak Kak Ifa tunjukin cinta yang benar-benar membuat Nia bahagia di dunia dan akherat. Yaitu cinta pada Allah.”

“Tapi… kan kita tidak dapat melihatnya?”

“Apakah setiap cinta itu kita harus melihatnya dengan mata adikku. Kita semua cinta Ibu, tapi Ibu sudah tidak ada. Tapi kita masih cinta Ibu kan?”

“Iya… ya.”

“Kalau begitu, mau nggak kamu ikut liqo’ di sekolah. Nanti Kak Ifa juga akan membimbing Nia sampai Nia merasakan betapa indahnya nikmat atas cinta. Mau ya? Kak Ifa seneng deh, Nia diberi petunjuk Allah. Kak Adnan pasti juga seneng. Oh… adikku!” Kak Ifa memelukku.

Akhirnya, aku ikut liqo’. Pertama ikut, terasa asing bagiku. Istilah-istilah asing banyak kujumpai seperti : akhwat, ikhwan, ukhti, murobbi, mutarobbi, afwan, jazakillah, ana, anti, dan lain-lain. Tapi aku seneng. Sedikit-sedikit aku menemukan indahnya cinta, cinta pada Allah yang Esa.

Kudus, 2 Februari 2004

Alhamdulillah, usiaku kini 17 tahun (sweet seventeen nih!). Kini aku telah menemukan cinta abadi dan aku telah mendapat hidayah dariNya. Kini jilbab indahku akan melindungiku dari fitnah dan mendekatkanku pada cinta Sang Rabbul ‘Izzati. Kak Ifa memberikan kado sebuah mukena, sedang Kak Adnan member kaset SNADA dan kaset mrottal. Ayah… aku telah merestui Ayah menikah dengan seorang wanita shalihah yang amat menyayangiku dan kedua kakakku. Jilbab rapinya mempercantik keanggunan yang terpancar dari hatinya. Beliau resmi menjadi ibuku dua bulan yang lalu.

Terima kasih Ya Allah. Engkaulah zat pemberi cinta dan yang sepantasnya aku cinta. Aku merasa pencarianku akan cinta terjawab sudah. Tujuh belas tahun aku mencarinya dan aku menemukannya. Ya… cinta pada Allah dan cinta pada sesama. Ah cinta… betapa indah cinta itu. Indah… sekali!!!

To all our friends

You must get true love

By : Fadhillah Fuady & Aisya Avicenna

***

Epilog : Ehm, ya begitulah cerpen saya (gaya anak SMA)… semoga menginspirasi… sudah dulu ya, retina mata ini sudah tidak bisa diajak kompromi lagi. Sudah jam 23:06… jam 03.00 harus sudah bangun lagi…
Sebelum menutup laptop ini dan akhirnya menutup mata… mendengarkan nasyidnya Raihan dulu yang sekaligus sebagai bahan muhasabah sebelum tidur…

CARILAH CINTA

Carilah cinta yang sejati

Yang ada hanyalah padaNya

Carilah cinta yang hakiki

Yang hanya padaNya Yang Esa

Carilah cinta yang abadi

Yang ada hanyalah padaNya

Carilah kasih yang kekal selamanya

Yang ada hanyalah pada TuhanMu

Di dalam mencari yang sejati

Banyaknya ranjau kan ditempuhi

Di dalam menggapai cinta yang hakiki

Banyaknya onak yang ditemui

Namun janjiNya kepada hambaNya

Tidak pernah dipungkiri

Dan tidak pernah melupakanmu

Yakinlah kepada TuhanMu

Karena Dia-lah CINTA HAKIKI

Karena Dia-lah CINTA HAKIKI

Karena Dia-lah CINTA yang HAKIKI

***

Jakarta, RedZone, 140210_23:16

Yang senantiasa mendamba cintaMu,

Aisya Avicenna

Saturday, December 19, 2009

MAHABAH DI SURAU AL MUKHAROMAH

Saturday, December 19, 2009 1 Comments
MAHABAH DI SURAU AL MUKHAROMAH (Part.1)
Oleh : Suli Al Fatih

(Cerpen ini ditulis agar yang baca bisa tersenyum, walaupun senyum kecil..hehe. Perlu pembaca ketahui bahwa cerpen ini ditulis belum selesai karena penulis kehabisan ide. Yang mau melanjutkan cerpen ini dipersilahkan dengan senang hati. Pesan penulis, "Maka Tersenyumlah" :D)


"Jambret..!!! Tolong..Toloooong!!"Suara gadis berjilbab itu melengking tinggi. Seorang pemuda berpakaian preman berlari sekuat tenaga menjauhi teriakan sang gadis. Tas warna coklat sudah ada ditangannya. Siang itu misinya berhasil. Jalanan masih sepi. Sang gadis hanya menangis tak mengeluarkan air mata.
***
"Sudah pulang nak?" tanya seorang ibu pada putra semata wayangnya sambil duduk di sebuah kursi roda yang sudah agak berkarat di beberapa sisi. Tangan kanannya memegang tongkat kayu agak panjang yang kini menjadi pengganti kedua mata tuanya yang sudah tak mampu lagi melihat garis wajah putra kesayangannya.
"Iya Mi..."
"Sana segera ganti baju terus makan. Ummi goreng tempe sama bikin sambel tomat di meja. Faisal sudah sholat dhuhur kan?"
"Iya sudah Mi.."
Ia masuk kamarnya yang sempit dan pengap di dalam sebuah rumah dinding anyaman bambu di pinggiran sungai agak kumuh. Dibukanya sebuah tas coklat yang dirampasnya dari seorang gadis di pinggi jalan tadi. Ia temukan di dalamnya beberapa benda. Pulpen, buku kecil, dan juga dompet. Matanya hanya tertuju pada dompet. Ia buka dompet itu dan ia temukan uang dua ratus ribu rupiah."Alhamdulilah..cukup untuk makan satu minggu" gumamnya.Ia periksa dompet dan ia temukan sebuah foto seorang gadis bersama seorang lelaki paruh baya. Dalam foto itu, sang gadis memakai tongkat. Ia buta. Faisal tersentak. Ia tercengang. Gadis itu mirip dengan keadaan ibunya. Di bagian bawah foto itu terdapat sebuah nama, Azka Humaira. Ia periksa dompet itu sekali lagi. Ada KTP nya. Si pemilik tinggal di dusun Tegalwaru Rt 2 Rw 12, sekitar sepuluh kilometer dari tempat tinggalnya.
***
Cahaya langit sore berpendar. Sang mega merah mulai meredup. Warna gelap mulai menggeliat hendak menyelimuti angkasa raya. Burung-burung beterbangan kembali ke sarang. Senja kembali ke peraduan. Panggilan tuhan berkumandang bersahut-sahutan. Takbir menggelegar. Alam seakan ikut bertasbih memuji kebesaran Sang Pangeran Pemilik Surga.Seorang anak belia tak kalah mengumandangkan adzan di sebuah surau tengah pedesaan. Suaranya nyaring. Merdu. Orang-orang kampung menyambut seruan itu dengan penuh semangat. Anak-anak kecil berlarian ke tempat wudhu dengan riangnya. Sarung kotak-kotak melingkar di leher. Beberapa pancuran air wudhu sudah penuh sesak oleh mereka. Anak-anak putri pun tak kalah semangatnya. Berlomba-lomba menggapai cinta Sang Maha Pencinta.Tak lama kemudian di surau Al Mukharomah sudah berjajar rapi barisan hamba-hamba yang merindukan kenikmatan surga. Sholat maghrib siap ditegakkan.Takbiratul Ihram menggema di setiap sudut surau berukuran sedang itu. Barisan shaf sholat serentak mengikuti gerakan imam. Khusyu berirama pelan mengikuti gerakan demi gerakan, doa demi doa, sujud demi sujud.***"Jamaah yang dirahmati Allah, cinta tertinggi adalah cinta kepada Allah"Suara Kyai Hasan membuka kajian bada maghrib saat itu."Terkadang cinta itu diuji dengan sesuatu yang menurut akal manusia kelihatan tidak nalar. Contoh seorang hamba yang memiliki cinta tertinggi adalah Nabi Ibrahim Alaihissalam. Allah menguji beliau dengan ujian yang sangat luar biasa. Tidak masuk akal. Bertahun-tahun beliau memohon meminta seorang anak. Allah mengabulkannya. Tapi ketika anak itu lahir, Allah memerintahkannya untuk meninggalkan anak yang baru lahir itu beserta istrinya di padang tandus tak berpenghuni. Coba bayangkan, bagaimana seorang ayah tega meninggalkan bayi mungil dan istri yang amat dicintainya di tempat seperti itu. Tapi itulah namanya ujian. Tak masuk akal memang. Tak hanya itu, setelah putranya menginjak remaja, Allah memerintahkan untuk menyembelihnya. Subhanallah! Cobaan yang sangat teramat berat. Harus menyembelih putra yang sangat shalih dengan tangan sendiri. Dan juga ujian-ujian yang lain yang Allah berikan pada Nabi Ibrahim. Itu semua untuk menguji apakah Ibrahim memang menomorsatukan Allah di atas segalanya""Jamaah yang dirahmati Allah, tapi coba kita lihat, semua cobaan itu berakhir dengan bahagia. Ibrahim yakin bahwa Allah tidak akan membebani hambaNya melebihi batas kemampuannya. Itulah jalan Allah, indah pada waktunya"
***
Malam merangkak perlahan. Bulan beranjak naik ke singgasana langit. Bintang-bintang menghambur memenuhi hamparan semesta. Warga kampung terlarut dalam lelap.Sepertiga malam.Sebuah rumah sederhana tampak bercahayakan lampu minyak. Tidak terang dan juga tidak redup. Seorang pemuda tegak terpaku menghadap kiblat. Sajadah coklat terbentang menemaninya dalam keheningan malam. Hanya suara gemericik air sungai belakang rumahnya yang terdengar melantunkan syair kerinduan.Hati pemuda itu bergetar hebat. Tangis tak henti mengalir deras dari pelupuk matanya. Ia menangis karena kehilangan khusyu yang selama ini ia rasakan. Bayangan dosa yang menggunung menyelimuti hatinya."Rabbana, ampuni hamba..ampuni hamba..astaghfirullah" rintih Faisal dalam hati.Doa demi doanya terbang menembus langit. Ia mengaduh. Air matanya semakin deras. Sesal mendalam tampak terngiang menusuk batinnya.
***
Sementara itu di lain tempat, seorang wanita masih belum mampu memejamkan kelopak mata indahnya. Mata yang kini tak mampu melihat indahnya gemerlap bintang dini hari. Wanita itu adalah Azka Humaira, puteri Kyai Hasan pimpinan pondok pesantren Al Munawaroh."Ya Allah, jika hamba jatuh cinta, cintakanlah hamba pada lelaki yang melabuhkan cintanya pada-Mu" doa kecilnya terlantun perlahan.Pintu-pintu kamar santri berurutan digedor-gedor Kang Sulaiman, salah satu pengurus pesantren.
"Tahajud..!! Tahajud.!! Anak-anak ayo segera bangun!"
Lampu-lampu dalam kamar mulai menyala. Aktivitas pagi itu dimulai. Surau Al Mukharomah mulai bercahaya. Bagian depan santri putra sudah khusyu dalam sholat. Di barisan belakang santri putri turut menyemai barisan. Jutaan malaikat mengintip dari jendela langit seraya ikut bertasbih.
***
"Ummi, Faisal pergi dulu"
"Kemana Nak?"
"Ke dusun Tegalwaru mengembalikan dompet. Kemarin Faisal menemukannya di jalan"
"Ibu bangga padamu nak. Apapun keadaan kita sekarang, selalulah berlaku jujur. Walaupun kita miskin harta, kita tidak boleh miskin iman. Kita boleh miskin di dunia, tapi jangan sampai miskin di akhirat. Pantang bagi kita untuk makan hasil dari yang haram. Lebih baik mati daripada harus makan makanan haram!"Faisal menitikkan air mata. Ia merasa dosanya semakin menumpuk-numpuk, termasuk dosa berkali-kali membohongi ibunya. Juga dosa memberi makan makanan haram untuk ibunya tanpa sepengetahuan sejak ibunya buta dan sakit parah.Pagi itu Faisal berjalan kaki ke dusun Tegalwaru. Suasana pagi masih segar, belum panas. Mentari hangat menemani setiap langkahnya. Suasana pedesaan dan persawahan begitu kental saat kakinya menginjak dusun itu.
"Maaf Pak, dusun Tegalwaru sebelah mana?"
"Oh itu mas, sampeyan lurus saja terus nanti ada pertigaan belok kanan kira-kira dua ratus meter. Disana sudah ada gapura selamat datang di dusun Tegalwaru"
Langkahnya ia percepat. Sepuluh menit kemudian ia sudah sampai. Ia bertanya lagi pada seorang ibu penjual jamu gendong di pinggir jalan."
Maaf Bu, rumahnya Azka Humaira dimana ya?"
"Azka Humaira? Kayaknya ndak ada mas"
"Ini fotonya bu.." seraya menunjukkan foto Azka.Tampak ibu itu tidak mengenali Azka. Tapi ia mengenali lelaki dalam foto itu.
"Kalo bapak dalam foto ini saya tahu, ini Pak Kyai. Rumahnya di pondok pesantren Al Munawaroh. Sampeyan lurus saja. Ada perempatan belok kiri seratus meter. Pesantrennya cat warna hijau."Faisal ragu. Ternyata pemilik tas itu anak kyai. Dalam ragunya, ia bulatkan tekad untuk mengembalikan tas yang di jambretnya kemarin. Langkah kakinya terhenti di depan pesantren. Ia melihat ratusan pemuda belia mondar-mandir di setiap sudut pesantren itu. Ada yang sedang olahraga. Ada yang berkebun. Ada pula yang sedang membaca-baca buku di depan kelasnya. Ia melihat sekeliling. Ia bertanya pada salah satu santri."Mas, saya bisa bertemu Pak Kyai di mana ya?"
"Mas masuk saja ke rumah itu" jawab pemuda itu sambil menunjuk ke sebuah rumah kayu.
"Assalamualaikum"
"Waalaikumsalam. Siapa?" suara seorang wanita menyahut dari dalam rumah.Perlahan wanita itu membuka pintu. Faisal tersentak kaget. Wanita itu sama persis yang ada di dalam foto, Azka Humaira. Dengan tongkatnya, ia berjalan ke arah Faisal."Mau bertemu siapa?" tanya Azka pelan."Saya mau mengembalikan tas ini. Permisi"Tas coklat itu ia letakkan di lantai, dekat kaki Azka. Faisal buru-buru pergi tanpa mengucap salam."Mas.....Mas....!" seru Azka memanggil-manggil Faisal yang sudah berada di kejauhan."Mas namanya siapa?" panggilan itu tak berbalas.
***
Bola api raksasa menjilati bumi. Panas tak terkira siang itu. Langkah kaki Faisal menapaki teriknya jalanan."Pak, apa saya bisa bekerja disini? Jadi kuli angkut beras.." tanya Faisal pada lelaki tua berbaju gamis pemilik gudang beras di pasar Gentan. Lelaki itu memandangi Faisal dari ujung rambut hingga ujung kaki."Memangnya mas mau jadi kuli angkut beras? Sampeyan apa ndak malu? Lagipula gaji kuli disini cuma sedikit"
"Tidak pak, yang penting halal. Saya bekerja untuk menghidupi ibu saya"
"Baiklah kalau begitu. Besok mas.....siapa?""Faisal pak"
"Oiya, besok mas Faisal bisa mulai kerja dari jam satu siang sampai jam sembilan malam. Upahnya dua belas ribu per hari"
"Terimakasih pak"Satu minggu kemudian.
"Copet..! Copet.!! Tolong..!!!"
Preman bercelana jeans robek-robek di bagian lutut berlari seperti kuda. Ia berhasil mencopet lelaki agak tua. Faisal spontan mengejar pencopet itu. Mereka saling kejar beberapa menit lamanya. Faisal mampu mengejarnya. Seketika ia menghajar pencopet itu.
"Sal..ini aku! Ini aku!"
"Jafar?"
"Kamu ini kenapa Sal? Bukannya kamu ini temanku? Kita ini sama-sama pencopet Sal!"
"Tidak, aku sudah tidak mencopet lagi. Aku sudah taubat."
"Alah persetan kamu! Sekarang minggir! Aku mau pergi!"
"Pergilah. Tapi serahkan dompet itu. Kembalikan pada yang punya"
"Rupanya sudah jadi ustadz ya kamu sekarang?? Kamu nantang duel?!"
"Sadarlah Far, ini perbuatan dosa"
"Alaah..makan aja tu dosa!!"
Jafar masih tak mau memberikan dompet itu. Perkelahian pun tak terlelakkan. Faisal yang sejak kecil memang sudah terbiasa karate tak kesulitan mengalahkan Jafar. Ia berhasil mengambil kembali dompet itu.
"Awas kamu Sal!"
Jafar pergi sambil memaki-maki Faisal.
***
"Ini pak dompetnya. Lain kali hati-hati pak. Daerah sekitar sini banyak copet"
"Terima kasih nak. Ini ambillah.."
"Tidak perlu pak. Saya tidak mengharapkan ini. Sudah sepantasnya sesama manusia saling menolong"
"Nama saya Pak Hasan. Kamu siapa namanya nak?"
"Faisal"
"Ini kartu nama bapak. Kalau ada waktu mampirlah"
***
"Faisal, besok tolong antarkan beras ke alamat ini" Ibu Fatimah dusun Tegalwaru Rt 2 Rw 12, alamat yang diberikan pada Faisal. Rasanya ia mengenal alamat itu.Keesokan harinya dengan truk beras ia mengantar pesanan. Betapa terkejutnya ia ketika truk itu memasuki pekarangan pondok pesantren Al Munawaroh, tepat di depan rumah Azka Humaira. Lebih terkejut lagi ketika lelaki yang pernah ia tolong adalah pemilik rumah itu, Pak Hasan si pemilik pondok sekaligus ayah dari Azka.
"Kamu Faisal kan?"
"Iya pak"
"Alhamdulilah Allah masih mempertemukan kita"
"Beras ini harusnya pesanan Ibu Fatimah pak. Tapi kok alamatnya sama dengan bapak?"
"Iya Fatimah itu istri saya. Kemarin istri saya yang pesan beras untuk anak-anak santri"
"Nanti kalau sudah selesai menurunkan beras-beras itu masuklah ke rumah sebentar, ada sesuatu yang ingin bapak sampaikan."
"Baiklah pak"
"Langsung saja ya. Nak Faisal ini sudah berkeluarga?"
"Belum pak."
"Di pesantren ini ada seseorang yang harus Nak Faisal tolong"
"Memangnya kenapa dia pak?"
"Ada seorang wanita. InsyaAllah dia sholehah dan juga berbakti pada orangtuanya."
"Kau mau tidak bapak jodohkan dengan dia?"
"Mau..Mau..Mau..hihihi"
"Tapi dia memiliki satu kelemahan yang membuat dia merasa minder ketika dilamar. Gadis itu buta sejak kecil. Ia anak bapak. Namanya Azka Humaira"
"Tapi pak. Apa bapak tahu siapa saya? Saya dulu adalah pencopet lho. Raja Copet Profesional..Hahahaha..Hohohoho"
"Eh nak Faisal, sepertinya penulis cerpennya kehabisan ide tuh"
"Iya pak, kasihan dia. Ah biarin aja lah..haha"

- BELUM BISA SELESAI-

:)Sukoharjo
Lupa kapan tanggal bikinnya
Jam bikinnya juga lupa
****************************************************************************************************************
MAHABAH DI SURAU AL MUKHAROMAH (Part.2)
Oleh : Aisya Avicenna

Preambule (^^v) : Cerpen ini adalah kelanjutan dari cerpen SULI AL FATIH dengan judul yang sama.. Saya LANJUTKAN!!! Sudah melewati proses editing dari SULI AL FATIH lho... Selamat membaca...
***
"Langsung saja ya. Nak Faisal ini sudah berkeluarga?"
"Belum pak."
"Di pesantren ini ada seseorang yang harus Nak Faisal tolong."
"Memangnya kenapa dia, Pak?"
"Ada seorang gadis. Insya Allah dia sholehah dan juga berbakti pada orang tuanya. Kau mau tidak bapak jodohkan dengan dia?"
"Ehmm.. apa saya pantas bersanding dengan dia Pak?"
"Kenapa tidak? Tapi satu hal yang perlu kamu tahu Nak. Gadis itu memiliki satu kelemahan yang membuat dia merasa minder ketika dilamar. Gadis itu buta sejak kecil. Ia anak bapak. Namanya Azka Humaira."
Deg…degup jantung Faisal berdetak semakin kencang.. Tak disangkanya ia mendapat tawaran yang begitu membuatnya terperanjat. Dengan agak terbata-bata, dia berkata
"Ma-aa-af Pak, jujur saya katakan. Saya dulu adalah seorang pencopet."
Pak Hasan agak terkejut.
"Tapi, kamu sekarang sudah tidak mencopet lagi, kan?"
"Alhamdulillah, sekarang saya sudah bekerja menjadi kuli panggul beras. Insya Allah, saya bertekad untuk tidak mencopet lagi, Pak."
"Insya Allah, Bapak percaya dengan kamu. Bapak amanahkan anak bapak, Azka, pada kamu. Kamu bersedia menikahi anak Bapak yang buta?"
"Apakah bapak ridho dengan saya?"
"Insya Allah, Bapak ridho, Nak."
"Pak, bolehkan saya melihat Azka? Bukan untuk apa-apa, hanya untuk memantapkan hati."
"Oh tidak masalah. Kan Rasulullah juga pernah mengatakan dalam hadist Bukhari dan Muslim ‘Lihatlah terlebih dahulu perempuan itu, sebab yang demikian akan lebih menentukan bagi kebaikan hidupmu selanjutnya’"
Kyai Hasan memanggil Azka.
Selang berapa lama, Azka memasuki ruang tamu dengan membawa nampan berisi minuman. Meski tidak bisa melihat, tapi Azka sudah terampil menyajikan jamuan untuk para tamu. Dia sudah hafal setiap sudut rumahnya.
Dengan balutan gamis berwarna krem dipadukan jilbab coklat tua, dengan hati-hati Azka menaruh dua gelas teh manis di meja. Masih hangat. Faisal memperhatikan setiap gerakan Azka. Sebuah desiran halus kini singgah di lubuk hatinya.
"Bagaimana Nak Faisal, kamu siap menjadi pendamping Azka?"Pak Hasan kembali menanyakan
"Bismillahirrahmanirrahim, insya Allah saya siap, Pak!"
"Kalau begitu, besok pagi kita langsungkan akad nikah. Kamu siap?"
"Besok pagi, Pak??? Insya Allah, saya siap. Semoga Allah memudahkan. Lalu, apa mahar yang harus saya berikan?"
Dengan tenang Kyai Hasan menjawab, "Azka pernah bilang, cukuplah ayat Allah yang menjadi maharnya."
"Maksudnya apa Pak?"
"Kamu punya hafalan Al-Qur’an?"
"Insya Allah, surat Ar-Rahman adalah surat yang paling saya sukai, insya Allah saya sudah menghafalnya."
"Baiklah. Itu saja. Semoga Allah memudahkan pernikahan kalian."
***
Setelah Faisal meninggalkan pesantren, Pak Hasan memanggil Azka.
"Azka, Alhamdulillah Abi sudah menemukan pendamping yang cocok untukmu. Dia Faisal, seorang pemuda yang sholeh dan jujur. Insya Allah, besok pagi kita akan melangsungkan akad nikah. Kamu siap Nduk?"
"Alhamdulillah. Insya Allah, lahir dan batin Azka sudah siap. Terima kasih, Abi. Insya Allah, Azka percaya bahwa pilihan Abi adalah yang terbaik untuk Azka."
***
Udara malam ini terasa berbeda. Dinginnya tak biasa. Karena ada pendar-pendar halus dalam jiwa. Terpekur lama dalam sujud panjangnya. Faisal tak kuasa menahan tetesan bening dari matanya. Betapa Allah sangat mencintaiNya, sedang dia masih sering menghianatiNya.
Lantunan doa takzim juga membahana di sudut kecil pesantren AL Munawaroh, putri Kyai Hasan itu sedang menengadahkan kedua tangannya. Meminta pada Sang Pemilik Cinta.
"Ya Allah, jika hamba adalah potongan rusuknya, mudahkanlah jalan menuju pernikahan hamba dengannya. Jika telah Engkau tetapkan dia bagi hamba, bukakan tabir hati hamba untuk menerimanya apa adanya. Ya Allah, hamba mohon… keridhaanMu atas bersatunya hati kami dalam ikatan suci esok hari… Amin Ya Rabbal’alamiin"
***
Keesokan harinya, surau Al Mukharomah mendadak ramai tak seperti hari-hari biasanya. Beberapa santri mondar-mandir menata surau. Sederhana tapi cukup semarak, pertanda akan terjadi peristiwa istimewa di surau itu.
Pukul delapan pagi.
Faisal bersama ibu dan beberapa kerabatnya tiba. Kehadiran mereka langsung disambut hangat oleh Kyai Hasan dan istrinya. Faisal sedikit tegang. Sebentar lagi ia akan menyandang status baru, mengemban amanah baru. Pukul 08.30 acara dimulai. Diawali dengan pembacaan ayat suci Al Qur’an dan khutbah nikah oleh Kyai Ahmad, salah seorang sahabat karib Kyai Hasan.
Dalam khutbah singkatnya, Kyai Ahmad menyampaikan beberapa nasihat yang dikhususkan untuk calon pengantin.
"…Anakku, Faisal Kurniawan! Istrimu adalah wanita yang dijadikan Allah bagian dari hidupmu. Sambut dia dengan penuh takwa. Terimalah dia apa adanya, dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Istrimu adalah rezekimu. Bersyukurlah dengan kehadirannya. Dan bergaullah dengan mereka dengan baik. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena kamu mungkin tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak. Allah menugaskan kamu untuk melengkapi kekurangannya. Allah memerintahkan kamu untuk memperbaiki kelemahannya. Seperti itulah seharusnya suami. Sehingga andai diperbolehkan seseorang bersujud kepada sesamanya, pasti akan diperintahkan seorang wanita bersujud kepada suaminya. Begitulah sabda Rasulullah SAW. Berperilakulah yang baik pada istrimu. "Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya dan sebaik-baik kalian adalah yang paling baik akhlaknya kepada istrinya."
Faisal menyimak khutbah Kyai Ahmad dengan serius. Sementara itu, dari kamarnya Azka juga tengah menyimak khutbah tersebut. Dengan mengenakan busana pengantin muslimah berwarna serba putih berkilauan, ia bagai ratu surga.
Sebelum ijab qabul, juga dilakukan proses pemeriksaaan administrasi oleh petugas KUA. Setelah itu, Faisal melantunkan Ar Rahman sebagai mahar yang ia berikan pada calon istrinya, Semua hening saat Faisal melafazkan surat ke lima puluh lima dalam Al Qur’an itu. Sesaat kemudian, Faisal bersalaman dengan Kyai Hasan. Prosesi ijab qabul-pun dimulai.
"Saudara Faisal Kurniawan, saya nikahkan Anda dengan putri saya, Azka Humaira dengan mahar hafalan Qur’an Surat Ar Rahman dibayar tunai."
Faisalpun menjawab, dengan menjabat tangan Kyai Hasan lebih erat.
"Saya terima nikahnya Azka Humaira binti Hasan Rosyadi dengan mahar hafalan Qur’an Surat Ar Rahman dibayar tunai."
SAH!!!
Dan semua orang yang hadir berucap doa…
"Barakallahu laka wa baraka alaika wa jama’a bainakum fii khairin…"
Dengan didampingi ibu Faisal dan Bu Fatimah, Azka dibimbing masuk surau.
Pendar-pendar cinta memenuhi setiap sudut surau Al Mukharomah. Semua turut bersuka cita atas terpautnya dua hati dalam ikatan yang suci. Syukur tak terperi tak hanya membahana di ruang hati Faisal dan Azka, tapi semua yang menjadi saksi mata pernikahan suci mereka. Pagi itu, sang bagaskara menyunggingkan senyumnya. Cerah.. Secerah hati mereka.
***
Sebulan berlalu.
Sudah hampir tiga minggu Faisal disibukkan dengan usaha barunya. Semenjak menikah dengan Azka, Faisal dan ibunya tinggal di lingkungan pesantren. Faisal membuka usaha toko kelontong dengan bermodal uang tabungannya. Dia berusaha untuk tidak terlalu bergantung pada keluarga Kyai Hasan. Sekarang dia adalah qawwam bagi istrinya, bagi keluarga barunya.
***
Suatu malam menjelang jam dua belas, Pesantren Al Mukharomah sudah sepi. Para santri sudah terlelap dalam istirahat malamnya. Malam itu, Faisal masih terjaga. Saat menoleh ke kanan, dilihatnya istrinya sudah terlelap. "Subhanallah, cantiknya bidadariku ini," batin Faisal. Tanpa membuat suara, Faisal beranjak keluar kamar. Ia hendak mengambil wudhu. Sesampai di depan surau Al Mukharomah, Faisal melihat ada bayangan hitam yang berdiri di depan kamar salah satu santri, sedang mencoba membuka jendela kamar itu dengan sebuah alat.
"Hey, siapa kamu?" teriak Faisal.
Bayangan hitam itu kaget dan berlari mendekati Faisal.
"MALING!!!" teriakan Faisal tertahan karena sejurus kemudian, bayangan hitam yang ternyata maling itu sudah berada tak jauh di depannya.
Terjadi perkelahian. Faisal kurang bisa membaca gerakan lawan karena lampu yang temaram. Tapi ia cukup sigap menangkis dan menghindari serangan yang bertubi-tubi tertuju padanya. Agak terkejut Faisal tatkala lawannya itu menghunuskan sebuah pisau ke arahnya. Tangan kanannya mampu menahan tangan lawan. Faisal mencoba memutar tangan lawan dan akhirnya pisau itu terpelanting jatuh. Saat hendak mengambil pisau itu, Faisal mengarahkan tendangannya sekuat tenaga. Maling itu jatuh terjerembab. Faisal berhasil membekuk maling itu. Membuat sang maling tak kuasa berkutik. Faisal mencoba membuka topeng hitam yang dikenakan si maling. Terkejutlah ia. Karena wajah di balik kain topeng itu tak lain adalah sahabatnya.
"Jafar???"
"Faisal???" Jafar pun tak kalah kaget.
"Kenapa kamu ada di sini, Sal?" Jafar penasaran.
"Tak penting buatmu! Kenapa kamu masih mencuri, Far? Tobatlah! Ingatlah akan azab Allah yang akan kau dapatkan nanti jika kau tak mau berhenti dari pekerjaan haram ini."
"Alahh…sok suci kamu! Jangan sok mengajari aku. Biarlah aku menentukan jalan hidupku sendiri. Kalau kau memang temanku, lepaskan aku sekarang sebelum orang-orang pesantren bangun dan mengeroyokku. Aku belum mau mati. Cepat, lepaskan aku!"
"Aku akan melepaskan kamu jika kamu mau berjanji tidak akan mencuri lagi." ujar Faisal
Jafar terdiam sejenak.
"Oke..aku akan berhenti mencuri. Sekarang, lepaskan aku!"
Faisalpun melepaskan cengkeramannya. Jafar mengambil pisaunya yang terjatuh, menyelipkan di ikat pinggangnya, lalu beranjak pergi.
Faisal menatap kepergian Jafar dengan harapan besar bahwa sahabatnya itu akan bertaubat.
Selang berapa saat, Faisal hendak menuju tempat wudhu. Langkahnya tiba-tiba tertahan. Ada yang menikamnya dari belakang. Sebilah pisau menembus rongga perutnya sebelah kiri. Darah segar bercucuran. Bugh!!! Faisal menoleh. Ia tersentak setelah tahu siapa yang menikamnya. Faisal terjatuh di depan Surau Al Mukharomah sebelum sempat berteriak minta tolong.
"Mampus kamu Sal! Cuihh!" si pelaku masih sempat meludahi wajah Faisal.
***
Jam satu malam, Kang Sulaiman berkeliling membangunkan para santri untuk sholat tahajud. Saat melewati depan surau, terperanjatlah ia karena menemukan sesosok laki-laki telungkup dengan perut bersimbah darah. Kang Sulaiman semakin bertambah kaget tatkala dia mengetahui siapa yang terluka itu. Faisal. Seketika itu juga dia berteriak dan para santri menghambur ke arahnya. Faisal sudah tak bernyawa. Sontak semua berucap "Innalillahi wa inna ilaihi roji’un".
Azka bangun hendak sholat tahajud. Saat meraba pembaringan sebelah kirinya, tak ditemukannya sosok yang ia cari. Dia memanggil nama sang belahan jiwanya itu, tapi tak ada sahutan. Azka berjalan keluar. Baru beberapa langkah keluar kamar, Azka dikejutkan dengan kehadiran ibunya yang langsung memeluk dan berkata sambil menangis.
"Tabahkan hatimu Nduk."
"Ada apa, Ummi? Kenapa nangis?"
Dengan terbata-bata, Ibu Fatimah menceritakan kejadian yang menimpa Faisal.
Azka menjerit tertahan dan menangis, "Innalillahi wa inna ilaihi roji’un. La haula wala quwwata ila billah…"
"Azka, kamu harus kuat. Ini sudah menjadi suratan takdir dariNya. Kamu harus tabah."
Masih sambil menangis, Azka mencoba untuk tabah. "Ummi, antarkan Azka menemui bang Faisal."
Bu Fatimah dan Azka berjalan beriringan menuju surau Al Mukharomah.
Di surau itu, sudah ada Kyai Hasan dan ibunda Faisal. Semua masih syok dengan kejadian yang baru saja menimpa Faisal. Azka tersungkur di samping jasad Faisal. Dia menangis..
"Suamiku…maafkan aku belum bisa menjadi pendamping yang baik bagimu. Maafkan aku belum bisa membahagiakanmu sampai akhir hayatmu. Aku sangat mencintaimu. Sungguh mencintaimu. Selamanya.…"
Azka terisak dalam kesedihan yang memuncak.
"Bang Faisal….!!!"
***
Satu bulan sebelumnya. Tepat satu hari setelah hari pernikahan.
"Sudah lengkap mengisi formulirnya Pak?"
"Iya sudah. Ini Pak," Faisal menyerahkan formulir yang baru diisinya.
Faisal keluar dari RS Aini. Rumah Sakit Mata. Ia mendonorkan kornea matanya. Untuk Azka. Istri tercinta.
***
Sebuah kamar. Kamar yang penuh cinta. Kamar penuh kenangan. Kenangan bersama suami tercinta. Di kamar itu ia memadu kasih dengan Faisal. Di kamar itu ia bercanda dan berbagi cerita dengannya. Di kamar itu ia bercerita berjam-jam dan suaminya hanya mendengarkan kisahnya tanpa banyak berkomentar. Kamar yang indah.
Hari itu hari pertamanya ia bisa melihat dunia. Kamar itu kamar pertama yang ia lihat. Jauh dari yang pertama, ia sangat ingin melihat yang pertama kali, wajah Faisal, suaminya. Tapi ia sadar, itu tak mungkin. Rasanya baru kemarin ia bercanda dengan suaminya. Baru kemarin ia bermesraan dengan suaminya. Baru kemarin ia memadu kasih dengan suaminya. Baru kemarin..
Ia membuka lemari. Hanya satu yang ingin dilihatnya, wajah Faisal. Pandangan Azka seketika melesat pada album foto. Foto pernikahan mereka. Ia buka halaman pertama. Sebuah surat. Kertas warna pink. Surat cinta. Azka bergetar. Ia rasakan kehadiran Faisal begitu dekat dengannya. Perlahan ia buka lipatan surat cinta itu..
Assalamualaikum
Azka sayangku, cintaku, bidadari surgaku..
Adek apa kabar hari ini? Semoga senyum manis adek selalu mengembang setiap hari. Saat adek baca tulisan ini, mungkin abang sudah ndak ada lagi di dunia. Abang sudah di surga dek insya Allah. O iya dek, abang pengen bilang sesuatu nih, dengerin baik-baik ya…
Abang cintaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa banget sama adek..
Abang sayaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaanggg banget sama adek.
Abang selalu kangeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeen sama adek.
Cium jauh untuk Dek Azka-ku tercinta..
Air mata bening meleleh di pipi putih Azka. Air mata itu mengalir dari matanya, mata pemberian Faisal. Itu mata Faisal! Seketika senandung syair rindu bertebaran memenuhi setiap sudut kamar. Rindu pada kekasih hati. Rindu pada suami tercinta. Rindu yang tak mungkin berbalas. Rindu dari surga.
Ia lanjutkan membaca tulisan Faisal.
Adek pasti sekarang lagi bahagia kan bisa melihat dunia lagi?
Adek pasti lagi seneng ini?
Eh dek, jangan kaget ya kalo liat foto abang.
Gimana? Abang ganteng kan? Kata ibu-ibu di kampung sih abang ini paling ganteng sekampung..hehe
Dek, jangan pernah nangis ya, itu pesen abang. Selalu lah ceria. Jadi ustadzah yang baik ya di pesantren. Jadikan mereka seperti adek. Bimbing mereka ke jalan Allah. Abang nitip toko sama nitip ibu sekalian ya. Tolong jagain ibu. Titip mata abang juga ya dek.
Setiap adek membuka mata, maka di situ ada abang.
Abang akan selalu ada untuk adek.
Abang selalu menemani adek.
Dek, abang punya satu permintaan. Abang harap adek bisa memenuhi permintaan abang yang terakhir ini.
Bismillah.
Dek Azka Humaira yang paling cantik, istriku sayang..abang mohon
M-E-N-I-K-A-H-L-A-H L-A-G-I.
Abang selalu mencintai adek. Sampai mati. Abang tunggu di surga ya dek. Insya Allah.
Wassalamualaikum.
Dari yang selalu mencintaimu,
Faisal Kurniawan
Tangis Azka semakin deras tak terbendung. Pipi kemerahannya bagai diguyur derasnya air mata yang mengalir tanpa henti. Rindunya semakin besar pada Faisal. Cintanya semakin menggunung. Bagaimana mungkin ia bisa memenuhi permintaan terakhir suaminya. Azka tidak mau mengkhianati cintanya pada Faisal, meski Faisal telah tiada. Ia tak mau mengkhianati mata Faisal. Ia tak mau!
"Maafkan adek, Bang.." kata-katanya mengiringi isak tangis.
"Cinta adek hanya untuk Bang Faisal seorang."
-SELESAI-


Jakarta,131209
Aisya Avicenna