Jejak Karya

Jejak Karya

Saturday, August 24, 2013

[Re-Post]: PENGALAMANKU BELAJAR MENULIS NOVEL ANAK-ANAK [Dian Kristiani]

Saturday, August 24, 2013 0 Comments
PENGALAMANKU BELAJAR MENULIS NOVEL ANAK-ANAK
Oleh: Dian Kristiani

“Aku? Nulis novel? Enggak dulu deh. Aku hanya bisa nulis cerita pendek,” dulu aku selalu berkata begitu di dalam hati. Dan, you are what you think!
Ternyata, kalau berpikir enggak mampu, ya jadi enggak mampu beneran ya. Hehe.

Lama-lama, setelah (merasa) mampu menulis cerita pendek, saya pengen banget meng-upgrade skill, pengen bisa menulis novel anak!

Gayung bersambut. Sinopsis saya lolos untuk sebuah workshop yang diadakan oleh sebuah penerbit.

Namun sayang, mungkin karena alam bawah sadar saya masih terus mem-brain wash saya dengan, “Memangnya kamu bisa?” maka saya tidak mendapat hasil apa-apa dari workshop tersebut.

Mungkin, saya juga menggampangkan.
“Ah, novel itu kan sama saja dengan bikin cerpen. Tapi cerpennya nyambung dari satu bab ke bab lain, titik,”
“Yang penting nulis. Abaikan dulu segala teori menulis,”

Hasilnya? Novel saya tidak lolos. Dan sampai sekarang novel itu masih duduk manis di harddisk saya, tanpa saya tau mau saya apakan ^^

Sejak kejadian itu, tekad saya semakin bulat. Bahwa saya tidak akan menulis novel!
Haha, hebat ya? Punya tekad baja untuk tidak melakukan sesuatu.

Namun, ternyata tidak bisa.
Ada dorongan kuat dari dalam diri saya, untuk tidak “jalan di tempat”. Saya tahu, saya PASTI mampu, jika saya membuang keraguan saya, PLUS membuang tingkah “menyepelekan” itu.
“Someday, I will write my novel,” begitu janji saya dalam hati.

Semesta seperti mendukung. Tak lama kemudian, ada audisi lagi untuk mengikuti workshop menulis. Sayangnya, itu bukan untuk novel anak-anak, melainkan untuk novel romance.
Ah, tapi apa bedanya? Saya pikir, tekniknya pasti sama. Maka, saya pun nekad mengirim sinopsis untuk proses audisi.

Mbikin sinopsisnya cepet banget (well, saya memang cepet kalo bikin sinopsis, tapi pas eksekusi bisa ngowoh berkepanjangan).  Saya emailkan, dan Alhamdulillah saya lolos J

Workshop pun dimulai.
Dan yang paling membuat saya lega adalah, saat mentornya berkata, “Semua bisa dipelajari, dan semua itu ada tekniknya. Ketika kamu sudah tahu susunan tulangnya, dagingnya bisa kamu sesuaikan sendiri. The most important thing is, TULANGnya kudu bener,”
Semangat saya berkobar. Saya jadi rajiiiin banget mencatat semua omongan mentor. Semua ada tekniknya!

Dan ternyata benar. Dari workshop tersebut, saya baru tahu apa itu premis.  Saat itu kami “dipaksa” menyetor premis dari novel yang akan kami tulis.
Premis adalah INTI dasar cerita. Mentor mencontohkan, premis Harry Potter adalah “bertahan hidup”. Dan dalam tiap2 ceritanya, ada ide dan tema-tema lain. Tapi meski banyak ide dan tema lain, premisnya tetap sama. Yaitu tentang usaha bertahan hidup seorang anak laki-laki yang juga seorang penyihir.
Nah, sudahkah sinopsis kita memiliki premis?

Selain itu, saya juga belajar bahwa dalam tiap paragraph, hanya boleh ada satu permasalahan. Nggak boleh berjejal-jejal kayak penumpang Kopaja. Tiap ganti masalah, harus ganti paragraph. Duileh, kok selama ini saya nggak merhatiin yang beginian ya?


Setelah premis, langkah berikutnya adalah mengurai premis tersebut menjadi ide-ide khusus. Juga tentukan karakter dan settingmu.

Ruwet?  Ndak juga. 
Setelah sinopsis jadi, ide khusus pun sudah diuraikan dalam bentuk plot cerita, maka mulailah kami semua menulis.
Saat itu, target dari penerbit ybs adalah 45 ribu kata.

Huaa, kebayang kan saya yang biasanya cuma nulis 300an kata per cerita, harus bertungkus lumus menulis 45rb kata?
Namun, karena plot, karakter, dan setting sudah saya bikin dengan jelas, saya nulisnya ya ndak berat-berat amat. Yang berat adalah: SAYA TIDAK TERBIASA ROMANTIS!

Eh tapi saya keingetan lagi, kata si mentor, “Romance itu tidak berarti romantis, dan romantis tidak otomatis menjadi romance,”
Aha! Jadi saya pun menulis apa adanya, dengan gaya saya sendiri. Bukan dengan diksi indah nan puitis. Really, it’s not my expertise.

Novel pun (Alhamdulillah) selesai, dan saya kirim untuk penilaian akhir.
Hasilnya? TIDAK LOLOS. Hihihihi.

Sedihkah saya? Tentu tidaaaak. Karena ada satu kegembiraan yang luar biasa: SAYA UDAH BISA BIKIN NOVEL  45 RIBU KATA!

Dan saya semakin bersemangat, karena pemred penerbit ybs bilang, bahwa novel yang saya tulis tidak sejalan dengan keinginan penerbit tsb (terlalu banyak komedinya). Namun, beliau YAKIN, jika saya mengirimkan novel saya ke penerbit lain yang sedang mencari novel romance comedy, pasti novel saya diambil!
Ah, tapi nanti dulu deh. Saya masih banyak kerjaan lain. Ini itu sok sibuk deh. Saya bahkan tidak sempat menengok lagi novel saya itu. (Singkat cerita, novel ini akhirnya udah diACC oleh satu penerbit dan sedang dalam proses editing).

Berikutnya, bagaimana kok akhirnya saya nulis novel anak-anak?
Ceritanya, Penerbit Kiddo kontek saya. Menawarkan pada saya untuk menulis pictorial book dengan tema bla bla. Saya diminta ikutan pitching.
Eh, saya kalah pitching. La iya, wong yang ikut pitching kaliber piala dunia :p
Trus, di saat yang sama, kakak saya, Kiki Kristiani, yang baru saja menyelesaikan novelnya hasil bimbingan kelas Mbak Ary Nilandari, bertanya ke saya enaknya dikirim ke siapa?

Saya jawab, coba aja ke Penerbit Kiddo. Dan dia pun menghubungi pihak Kiddo.
Ternyata, novel itu diACC! Hebat juga dia. Baru sekali menulis novel, udah langsung diACC aja. Hasil gemblengan Mbak Ary sih, hihihi.

Lalu, Penerbit Kiddo menghubungi saya lagi. Mereka berencana membuat serial untuk mendampingi novel Kiki yang memang bertema tentang persahabatan hewan dan anak.
Saya pun merekomendasikan beberapa teman, yang saya tahu gape menulis novel.
Tapi, pihak Kiddo juga meminta saya untuk ikut menulis.

Huaa? Saya pun galau.
Tahu nggak, saat saya menulis novel romance, saya sempat kepikiran. Inilah novel “Alfa Omega” alias yang pertama dan yang terakhir, hehe (karena benar-benar butuh pikiran, waktu, dan proses self edit yang maha dahsyat).

Tapi saya pikir lagi, masa sih saya nolak? Kalau 45rb kata saja saya mampu, mosok sekitar 9ribuan kata kok nggak mampu?
Saya pun akhirnya mengambil jalan tengah, kirim sinopsis  dulu deh J

Eh, ternyata sinopsisnya disukai! Jangan tanya idenya dari mana. Untuk novel seri Pet-O-Love-Gic nya Penerbit Kiddo ini, ide-idenya dapat begitu saja. Langsung nemplok di ujung jari (Alhamdulilah).

Saya pun mengamalkan lagi ilmu dan teknik yang saya dapatkan di workshop. Saya bikin lembar karakter, plot per bab, dst dst.
Saya meminta deadline tiga minggu, tapi ternyata saya bisa menyelesaikannya dalam dua minggu.

Revisi tentu ada (apalagi ada perubahan konsep awal), namun tidak besar. Revisi kecil-kecil saja.
Saya bersyukur, editornya baiiiiik bangettt. Masukan-masukan dari beliau amat bernas, dan menjadikan kualitas naskah saya jauh lebih baik.

Setelah novel pertama ini selesai, eh saya diminta untuk bikin novel ke dua. Huaaa. Baru saja saya bernapas lega, eh jadi sesak napas lagi.

Saya benar-benar mati gaya, saat diminta menulis tentang leopard gecko!
Apaan sih? Bukannya binatang peliharaan tuh ya yang manis-manis saja? Kenapa melihara tokek? Bagaimana mungkin saya bisa menuliskan sesuatu yang saya takuti setengah mati, dalam sebuah novel yang manis, lucu, dan mengharubiru?

Aih, tapi daripada galau dan bingung, lebih baik browsing saja tentang leopard gecko. Setelah browsing, saya tahu kalau gecko ini harganya mahal. Dan tiba-tiba TRIIINNGGG …. Saya tahu saya mau nulis apa!
Akhirnya, novel kedua ini juga selesai dalam waktu dua minggu. Tak ada revisi yang berarti juga.

Editor (kayaknya) puas, dan saya sendiri sebagai penulisnya juga suka banget saat membaca novel saya sendiri.  Berkali-kali saya membaca proof, dan berkali-kali pula saya tertawa, terharu, dan menggumam “how sweet”.

Nah, jadi sebenarnya, dari tulisan saya yang panjang lebar dan tak jelas mau ke mana ini, saya hanya mau memberitahukan.
Kalau memang ada niat untuk menulis sesuatu, dan kalian tahu bahwa sebenarnya kalian memiliki kemampuan di situ, go grab for it!
Cari tahu tekniknya. Semua ada tekniknya.

Dulu saya setuju dengan kalimat, “Tulis aja, nggak perlu teknik-teknikan,”
Namun untuk bisa menulis novel, ternyata saya butuh teknik.
Teknik bisa didapatkan dari mana saja. Sebenarnya, kalau rajin googling, saya pun bisa dapat info tentang teknik menulis novel. Tapi mendapat penjelasan face to face, jauh lebih membantu saya yang agak lola ini, untuk mengerti teknik-teknik tersebut. Jadi, saya memburu workshop offline J

Nah, buat yang mau belajar, tak ada kata tak bisa. Tapi kalau memang passion dan niatnya tidak di novel anak-anak, ya free yourself dari pikiran ‘kok yang lain bisa nulis novel anak? Kok aku nggak bisa?’
La kalau passionnya memang nggak di situ, bagaimana mau niat?
Jadi, ujung-ujungnya memang kembali ke passion J

Passion saya mau menjadi penulis bacaan anak yang baik. Jadi saya tidak mau hanya mengandalkan bakat alam, dan saya mau tulisan saya HARUS lebih baik dari hari ke hari. Saya tidak mau bermegah diri dengan berkoar-koar berapa buku yang sudah saya terbitkan, lalu memandang sebelah mata pada orang yang bicara teori dan teknik. No, kalau memang cocok untuk saya, why not?

Saya tidak mau berhenti di pictorial book saja. Saya juga ingin menyajikan novel anak yang baik untuk pembaca setia saya, salah satunya yaitu Edgard yang udah 9 tahun.

Sekali lagi, passion saya adalah mau menjadi penulis bacaan anak yang baik. Jika nanti ada novel dewasa yang terbit, sungguh itu passion yang ke-2 J *mbulet*

Note:
Cuplikan tentang premis, saya dapatkan dari materi workshop dengan Gradien Mediatama.





Tuesday, August 20, 2013

[Re-Post] MENUJU MUNAS FLP 2013, tulisan Mbak Sinta Yudisia

Tuesday, August 20, 2013 0 Comments

Menuju MUNAS FLP 2013, Bali 30 Agustus- 1 September

August 19, 2013 at 3:33am


            Masih ingat MUNAS FLP 2009 di Kaliurang?
            Hawa  dingin, makan bersama, mendaki lereng Merapi sembari berdiskusi seputar dunia literasi. Tak lupa bertemu penulis-penulis favorit, sang inspirator, sembari meminta tanda tangan dan foto bersama. Bagi saya pribadi, MUNAS FLP 2009 memiliki kenangan tersendiri saat Existere dikuliti habis-habisan oleh suhu kami, mas Joni Ariadinata.
            Demikian cepat waktu berlalu.
            4 tahun kemudian, para penulis terus mencoba eksis dengan cara masing-masing.
            Sebagian terus menulis buku, fiksi maupun nonfiksi. Sebagian lebih suka berkiprah di organisasi, menyelenggarakan event perbukuan semisal bedah buku sembari mengundang selebritis perbukuan –kang Abik misalnya. Sebagian lebih suka mendirikan indie publishing atau menjadi writer agency. Sebagian lebih suka mengamati, menjadi kritikus andal yang mencermati .karya-karya FLP.
            Bila FLP dianalogikan sebuah keluarga, kita dapat membayangkan bagaimana pola keluarga dengan anak-anak balita atau anak remaja. Memiliki anak-anak usia prasekolah dan SD misalnya, masih perlu dibimbing, disuapi, dimarahi sesekali dan si anak akan merunduk ketakutan. Menginjak remaja, anak-anak yang semakin berkembang menuju kematangan cortex prefrontalnya akan lebih mampu menimbang, menelaah, memutuskan sehingga seringkali timbul ketidak sefahaman dengan orangtua. Orangtua yang telah makan asam garam kehidupan seringkali ingin mengambil jalan cepat : jangan sampai si anak tertimpa kesulitan. Sementara anak remaja yang tengah dipenuhi gairah kehidupan, energi vitalitas beranggapan : memang kenapa kalau aku ambil pengalaman sebanyak-banyaknya, yang paling ekstrim sekalipun?
            FLP kini ibarat remaja.
            Elok nian. Paras rupawan, ranum, energik, imajinatif, melompat dari satu impian ke impian yang lain.
            Pernahkah pula melihat segerombolan anak balita dan anak remaja?
            Di pesta ulang tahun, anak-anak kecil akan diam sembari menggenggam balon, menyesap permen, menyaksikan badut pertunjukan. Di pesta ulang tahu si remaja akan ada clique, peer group, bunga pesta, saling lirik pesona atau lirik curiga. Bisik-bisik, kenapa dia mendominasi? Kenapa yang ini diam saja? Senggol, sikut, kelakar, atau juga tersinggung dan sesekali mungkin, adu kekuatan yang bisa diselesaikan dengan damai atau berlanjut lebih jauh : tawuran

Forum Lingkar Pena, anugerah untuk Indonesia
            Ini bukan sekedar kredo omong kosong. FLP memang anugerah bagi bangsa. Bila anda pernah bertemu dengan komunitas-komunitas sastra, biasanya mereka berisi 5-10 orang. Solid memang, mereka mengejar kualitas dan kuantitas. Target sasaran : tergantung. Koran, penerbit, film, dll.
            FLP? Aduh, ribet banget.
            Ada AD/ART. Ada  Galibu. Ada Munas yang berongkos besar. Ada aturan logo. Ada keputusan pusat. Padahal kan, menulis itu karya kreatif? Menulis itu imajinasi, sastra, karya seni, produk budaya dll dsb. Apalagi, FLP dibatasi frame ke-Islam-an. Bukankah seni untuk seni?
            Ah, indahnya FLP.
            Maka kita bukan hanya memburu produktivitas.
            “Eh, berapa sudah bukumu?”
            “Tahun ini aku terbit 4 buku,” sembari menyebut sederet penerbit kondang nasional.
            FLP, juga ranah belajar.
            Sama seperti ketika saya belajar kepada mas Joni Ariadinata tentang Existere.
            “Sinta, kamu menulis tentang pelacuran tapi tanggung banget! Kamu pingin menulis Dolly, tapi kamu nggak mau menuliskan tentang dunia remang-remangnya.”
            Saya, yang merasa harus mempertahankan nilai-nilai keIslaman sempat bersitegang.
            “Lho? Kan saya nggak mungkin menggambarkan adegan ranjang? Saya nggak mau menuliskan hal erotis, mengandung muatan pornografi.”
            Ah, ternyata ilmu saya masih sangat cetek dalam dunia literasi. Mas Joni Ariadinata dengan bijak menyebutkan sebuah novel bertema pelacuran, yang menggambarkan hubungan suami istri bukan seperti proses alat reproduksi pelajaran biologis . Hal yang dianggap tabu oleh penulis boleh dituliskan, dengan…simbolisasi. Saya ingat sekali mas Joni memberikan nasehat,
            “kamu kan bisa menggambarkan hubungan lelaki perempuan seperti setangkai bunga dan kumbang yang menghisap madu?”
            Ups, saya benar-benar terpana. Dan sungguh banyak belajar.
            Bila anda membaca Gadis Berbunga Kamelia – Alexander Duma Jr, sungguh tak ada adegan ranjang meski pekerjaan Margeurite adalah penjaja cinta. Pemuda yang jatuh cinta padanya dengan tulus – Armand Duval- mengantarkan Margeurite hingga pintu apartement. Disitu telah menunggu Count D., sang pelanggan. Margeurite menyapa Count dengan manis, meninggalkan Armand sendiri. Margeurite dan Count naik ke lantai atas, lalu mereka berdua mematikan lampu.
            Cukup disitu, dan kita mendapatkan gambaran bagaimana hubungan Margeurire dan para pelanggan cintanya.
            FLP.
            Saya belajar banyak dari orang-orang berilmu tentang bagaimana mengungkapkan dakwah indah dengan tulisan. Kita boleh membahas tema apa saja : cinta, pelacuran, hubungan sejenis, politik, pembunuhan, detektif, fantasi dll tetapi semua tidak meninggalkan ciri khas seorang penulis santun. Saat ia menyampaikan, tujuan kisahnya adalah untuk memberikan hikmah dan pengajaran, bukan mengajari kesesatan.
            Bagi saya pribadi, FLP memang anugerah bagi bangsa Indonesia.
            Berhimpun remaja, anak-anak, orangtua, yunior senior, menyebarkan semangat literasi. Ditengah kesulitan ekonomi dan apapun keputusan pemerintah, FLP terus bergerak dengan dakwah yang manis, menghibur, dan memberikan edukasi.

FLP dan organisasi
            Bacalah buku-buku tentang Steve Jobs dan kita akan temukan, kenapa Apple yang merajai, bukan Xerox. Saya kenal Xerox sejak kecil. Pendek kata, kalau mau fotokopi, orang akan berkata,
            “…di Serok aja.” (Xerox, maksudnya)
            Ternyata , si mouse ( alat yang sering kita genggam sebagai penunjuk cursor) semula ditemukan litbang Xerox. Steve Jobs berkunjung sebagai studi banding, belajar dari Xerox termasuk teknologi si mouse tikus. Terlepas dari kesan orang-orang bahwa Jobs mencuri teknologi “si tikus” , ada salah satu filosofi Jobs yang tidak dimiliki Xerox dan terbukti, hal itu menjadikan Xerox raksasa fotokopi yang ekslusif, hebat, tapi stagnan. Jobs selalu beranggapan yang intinya, semua teknologi yang ia dapatkan akan ia kembangkan dan bagikan untuk kesejahteraan ummat manusia (tentu, tidak mengesampingkan efek hak paten dan perolehan ekonomis J).
            (Baca tulisan saya Hasan Al Banna dan Steve Jobs).
            Bagi Steve Jobs, setiap manusia akan meninggalkan jejak di alam semesta ketika ia tidak henti-henti selalu berpikir untuk menyumbangkan hal terbaik bagi ummat manusia, apapun bentuknya.
            Saya, anda, bisa menjadi individu sukses tanpa bergabung di FLP. Toh Stephen King, JRR Tolkien, JK Rowling, dsb tidak bergabung di FLP. Mereka sukses juga. Tapi saya sangsi, apakah tanpa FLP saya dapat berbagi semangat kepenulisan hingga Sumenep atau Banyuanyar, Pamekasan sana – bertemu santri-santrai tradisional yang sangat sederhana? Toh dengan menjadi penulis terkenal dan punya cukup royalti, impaslah sudah semua jerih payah.

            FLP dan piramida Abraham Maslow
            FLP istimewa. Sangat, malah.
            Kalau di dunia ini secara manusiawi, hasrat manusia mengikuti piramida Maslow yang terbagi antara 5 atau 7 tingkatan. Paling bawah adalah kebutuhan fisiologis seperti makan, minum, bernafas dst hingga tertinggi adalah aktualisasi. Belakangan, Maslow mengubah 5 menjadi 7, bahwa tingkat tertinggi manusia adalah hasrat hubungan transendental. Artinya, manusia biasanya baru berpikir berbagi dan berpikir tentang Tuhan bila terpenuhi semua kebutuhan nya : makan, sex, keamanan, sosial.
            Pertanyaannya, adakah orang-orang yang hasrat hidupnya justru terbalik?
            Kata Maslow ada, orang-orang special macam bunda Theresa yang selalu berpikir tentang Tuhan dan orang lain, meski ia kekurangan.
            Saya, menemukan teman-teman FLP seperti piramida terbalik Maslow.
            Berpikir Tuhan, ketika mereka sendiri masih merintis bisnis, menapaki tertatih jalan awal kepenulisan, mahasiswa dengan kantong pas-pasan.
            Berpikir sosial dan orang lain, ketika kebutuhan individu mereka masih jauh dari tercukupi. Masih banyak teman-teman FLP yang harus berjuang untuk mencapai kemandirian financial, berusaha memenuhi kebutuhan primer, tetapi mereka tak segan menyumbang Galibu dan membeli karya teman-teman yang lain sebagai bentuk kepedulian.
            Steve Jobs adalah manusia unggul di abad ini, tapi ia sadar, tanpa kerja tim ia tak akan sesukses sekarang. 1977, ketika Apple di ambang kehancuran, Jobs mengumpulkan semua karyawannya dan berkata kuranglebih,” …yakinlah, bahwa orang dengan passion, dapat  mengubah manusia menjadi lebih baik.”
            Ingatlah nasehat Michaelangelo.
            “Bahaya bagi kebanyakan manusia bukan terletak pada menetapkan tujuan terlalu tinggi dan gagal, tetapi dalam menetapkan tujuan terlalu rendah dan mencapainya.”
            Kerja tim.
            Tujuan yang tinggi.
            Maka FLP tidak akan pernah sama dengan yang lain. Mirip mungkin, tapi FLP organisasi yang unik. Sebagai penulis mungkin seseorang bersikap individualis : mencari ide, membuat outline, mengejar deadline, menembus penerbit. What next? Jawabannya : kerja tim.
            Penerbit dan timnya merumuskan bentuk buku, membaca pasar, membuat produk, menyiapkan ilustrasi, menetapkan harga. FLP-FLP  di tempat lain menyiapkan komunitas, membantu meresensi, membantu mempromosikan, menyiapkan network. Di sisi lain, terketuk hati kita untuk berbagi semangat kepenulisan dan membangkitkan gairah literasi, bahwa Islam pernah mencapai masa keemasan di ere medieval age karena setiap lapisan masyarakat mulai khalifah, wazir, ulama, umara, cendekiawan, masyarakat – semua tergila-gila buku dan ilmu.
            Maka, ayo tetapkan target unggul tentang anda dan FLP.
            Selain target tenggat buku, mari jadikan FLP sebagai organisasi yang rapi, solid, tangguh dan menjadi salah satu produk unggulan bangsa Indonesia. Kemana orang akan bertanya tetnang wawasan literasi mulai anak-anak hingga senior, jawabannya adalah FLP. Untuk hal tersebut, dibutuhkan kesadaran untuk berkerja layaknya tim dengan dengan otak computer tercanggih.
            Bukan kerja tim dengan lelet, lambat.
            Ayo, sambut SMS-SMS dari panitia, respons email-email panitia. Jawab dengan bersungguh-sungguh. Sumbang dana. Sumbang pemikiran. Sumbang alternative solusi. Tetapkan siapa yang akan berangkat mewakili wilayah dan cabang. Apa aspirasi anda, apa harapan anda untuk FLP dan Indonesia.
            Bersitegang? Berbeda pendapat? InsyaAllah, FLP adalah komunitas santun yang tak akan saling melemparkan kalimat-kalimat buruk yang dimurkaiNya dan tidak membawa keberkahanNya.
            Saya sendiri, tak sabar menanti MUNAS FLP 2013.
            Bersiap menjemput semangat magma literasi, bersiap merapikan organisasi, bersiap menyumbang dana terbaik yang kita bisa. Dan, tak sabar menimba ilmu dari suhu-suhu dunia literasi terbaik se jagad, insyaAllah.
            Dan, menulis adalah passion kita. Anda, saya, akan menjadi penulis yang meninggalkan jejak di alam semesta! Bukan sekedar menghasilkan produk-produk individual, tapi FLP akan menghasilkan produk-produk komunal, international, madaniyah, melintasi batas geografis dan masa! Bersiap menuju Bali, 30 Agustus -1 September 2013 J

Salam Pena
“Jadikan penamu, bagaikan tongkat Musa”
Sir Muhammad Iqbal