Jejak Karya

Jejak Karya

Monday, April 18, 2011

Catatan Aisya [16] : Masih Antara Senja dan Aku

Monday, April 18, 2011 0 Comments

Hari ini akhirnya kulalui
Meski rasa sakit masih mendominasi
Agenda hari ini berhasil dijalani
Tapi apa yang kan terjadi esok hari?

Bagaskara sudah bertahta di ufuk barat
Aku pun terdiam sesaat
Memikirkan apa yang telah kuperbuat
Ku hanya berharap ridho-Nya yang kudapat

Apa yang kan kulakukan kemudian?
Ketika esok bagaskara menyapa kembali
Dan apa yang kan kulakukan
Jika esok aku pulang menghadap Ilahi???

***

Masih demam... Allahumma 'afini fii badanii...
Ya Allah, aku ingin sehat kembali agar besok bisa membersamai sahabat sejati
Dalam acara yang sudah lama dinanti )i( 13 )i(

Jakarta, 160411_17:42
Aisya Avicenna
writer@www.aisyaavicenna.com

Friday, April 15, 2011

Catatan Aisya [15] : Menghafal Hadist

Friday, April 15, 2011 1 Comments

Saya tergugah dengan pertanyaan Ustadzah Win tadi pagi saat memuroja'ah hafalan hadist kami. Beliau adalah ustadzah kami dalam kelas tahsin pekanan di LBQ Al-Utsmani pada semester ini. "Hadistnya cuma pendek kan? Insya Allah mudah kok dihafal. Apa kendalanya?" Beliau bertanya seperti itu kepada kami semua. Sindiran yang halus, tapi sangat mengena. .

Ya, pagi ini kami memang harus setoran hafalan hadist yang menjadi tugas kami sepekan yang lalu. Hadist tersebut berkaitan dengan urgensi mempelajari tajwid Al-Qur'an. Kami semua belum berhasil memenuhi target setoran. Terkait kendala, beberapa dari kami mengakui bahwa kendala utama memang berasal dari diri kami sendiri. Kalau masalah waktu, ya tidak adil rasanya kalau waktu yang dipersalahkan. Karena kami sama-sama punya waktu 1 pekan untuk menghafal 8 hadist dan artinya itu.

Saya sendiri baru bisa menyetorkan 5 hadist yang sudah saya hafalkan. Hmm, berarti masih hutang 3 hadist untuk disetor pekan depan. Semangat!!! Selain bisa menghafal hadist, mohon doanya juga semoga bisa menghafal Al-Qur'an sebelum usia 30 tahun (target pribadi). Pokoknya ni lagi semangat memperbaiki hafalan karena setelah belajar tahsin, ternyata tajwidnya masih banyak yang perlu dibenahi.

Pada catatan kali ini saya fokuskan tentang bahasan menghafal hadist. Maksudnya tak lain sebagai motivasi pada diri sendiri pada khususnya. Harapan besarnya sih semoga menjadi motivasi juga bagi yang membaca tulisan ini.

Hadist telah disepakati oleh kaum muslimin sebagai sumber ilmu dan hukum Islam yang kedua, setelah Al-Qur’an. Sebagai sumber ilmu dan hukum, peran hadist terhadap Al-Qur’an antara lain sebagai berikut:
1. Menegaskan hukum-hukum yang ada di dalam Al-Qur’an
2. Menjabarkan penjelasan Al-Qur’an yang ringkas dan
3. Menetapkan hukum yang tidak ditetapkan di dalam Al-Qur’an.

Salah satu upaya penjagaan sunnah yang terlupakan pada generasi ini adalah menghafal hadits (hifzhul hadits. Para sahabat Nabi merupakan contoh ideal dari orang-orang yang berdiri di awal penghimpunan hadits dengan cara menghafal, mereka memusatkan pikiran dan tenaga demi kecintaan mereka terhadap tegaknya Islam dengan sunnah.

Karena itulah, para sahabat dan tabi'in serta ulama-ulama hadits sangat besar perhatiannya kepada hadits. Bahkan mereka mengadakan perjalanan panjang untuk mendapatkan satu hadits sekalipun.

Di antara kalangan sahabat, yang masyhur dalam menghafal hadits adalah Abu Hurairah, Abdullah bin 'Abbas, Aisyah, Abdullah bin 'Umar, Jabir bin 'Abdullah, Anas bin Malik, Abū Sa'id al-Khudri Radhiyallahu 'anhum. Mereka semua termasuk para sahabat yang menghafalkan hadits lebih dari 1000 hadits.

Masih banyak lagi generasi penghafal hadist setelahnya. Mereka berupaya semampu mereka dalam menghafalnya. Bahkan banyak di antaranya mewariskan hafalannya kepada anak-anak mereka. Maka, lahirlah generasi penghapal hadits berikutnya. Inilah gambaran yang membuktikan kepada kita bahwa menghafal hadits pada kalangan salafus shâleh telah menjadi tradisi yang dilazimkan dalam rangka menjaga agama ini.

Alangkah baiknya tradisi yang dilahirkan sekaligus diamalkan generasi terbaik ummat ini dapat kita mulai dari kita dengan menghafal satu atau dua hadits dan membiasakannya kepada anak-anak kita sebagai generasi yang akan datang agar kita juga termasuk dalam generasi yang ikut serta menjaga dan memelihara sunnahnya.

Dengan kedudukan hadits yang tinggi tersebut, maka mempelajari dan menghafalkan hadist memiliki banyak manfaat, di antaranya:
1. Menghafal hadits termasuk dalam tafaqquh fiddin (mendalami ilmu agama) yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya.
2. Hadits adalah sumber hukum Islam, maka menghafalnya termasuk dalam salah satu bentuk pembelaan Islam dan Rasul-Nya.
3. Mengutamakan kata-kata beliau di atas kata-kata siapapun juga termasuk bukti kecintaan dan keimanan kepada Nabi Muhammad Saw.
4. Menghafal hadist merupakan salah satu cara untuk menjaga keaslian hadits dari berbagai upaya perusakan hadits, baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja.

Berkatalah Anas bin Malik Radhiyallâhu Anhu: ”Dulu ketika kami berada di dekat Rasulullah Saw., kami mendengarkan hadits-hadits dari beliau, apabila kami berdiri(telah bubar dari majelis Nabi Shallallâhu Alaihi wa Sallam) kami saling mengulang hafalan hadits tersebut sampai kami menghafalnya."

Rasulullah Saw. pernah bersabda: “Semoga Allah menjadikan berseri-seri wajah seseorang yang mendengar dari kami hadits lalu dia menghafalkannya dan menyampaikannya kepada orang lain…” (HR. Tirmidzi, Abu Dawud dan Ibnu Majah dari sahabat Zaid bin Tsabit Radhiyallahu 'anhu)

Mari berusaha semaksimal mungkin menghafal hadits-hadits Rasulullah Saw sebagaimana menghafal Al-Qur'an karena keduanya merupakan keutamaan. Mari bersemangat dalam mempelajari, menghafalkan dan mengamalkannya, karena dengan begitu kita turut andil dalam menghidupkan amal kebaikan ini.


Renungan Sore...
Jakarta, 150411
Aisya Avicenna
writer@www.aisyaavicenna.com

Celoteh Aksara [15]: “Titik. Tak Ada Koma Lagi!”

Friday, April 15, 2011 0 Comments
Ungkapan ini tak kan pernah mati di dalam hati. Ketika nafsu kita menginginkan segala apa yang ada di dunia, kita akan mendapati rasa kecewa. Tatkala apa yang kita inginkan dan harapkan tiba-tiba sirna ditelan masa. Harapan ini sudah tidak ada di hati lagi, hingga rasa kecewa tak akan pernah menghinggapi relung jiwa.

Dunia ini semu, sesemu impian di dalam kalbu. Kesuksesan datang dari seberapa besar keikhlasan kita pada sesama. Bukan seberapa besar kita dapat untung di dunia.

Dalam menulis, tanda titik menandakan berakhirnya sebuah kalimat. Dan kali ini sudah cukup bagiku menyelesaikan kisah pertama, kedua, ketiga, keempat,... Titik. Tak ada koma lagi. Cerita ini selesai. Air yang keruh membutuhkan waktu untuk dijernihkan. Maka, jangan sampai terpancing lagi di air yang keruh. Selalu ada hikmah dibalik semua kejadian. Cukuplah kesalahan ini menjadi jalan untuk menghisab diri sendiri. Allah berfirman bahwa di balik kesulitan pasti akan ada kemudahan. Alhamdulillah, satu permasalahan selesai sudah dan semuanya mengandung hikmah. Akhirnya, aku sampaikan…Titik. Tak ada koma lagi.

Maka, para pecinta sejati menikmati kecintaannya bersama Allah Azza wa-Jalla, mereka adalah kalangan terpilih dari makhluk-Nya. Dan kepada Sang Penggenggam Jiwa…kuserahkan sepenuh hidupku pada-Mu, hingga syahid menjemput nyawaku…


[Keisya Avicenna, 15 April 2011. Sahabat sejati bukan benci tuk ditinggal pergi, tetapi bahagia di saat dia bahagia dan sedih di kala sahabat kita dirundung duka. "tuk sahabatku, berbahagialah…"]

Thursday, April 14, 2011

Catatan Aisya [14] : Deepest Contemplation

Thursday, April 14, 2011 0 Comments

Saudaraku, sejenak membayangkan euforia kegembiraan para sahabat ketika Baginda Rasulullah Saw dengan wajah berseri memberitakan kabar gembira tentang diterimanya taubat Ka'ab bin Malik, Murarah bin Rabi’ah dan Hilal bin Umayah Al-Waqifi yang lupa menyiapkan diri untuk ikut perang Tabuk. Kesabaran mereka dalam menerima iqab dari Rasulullah SAW berupa boikot dan penghilangan sebagian hak-haknya selama 50 hari berbuah manis, Allah SWT menerima taubat mereka.

“Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubat) mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas, dan jiwa mereka pun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah melainkan kepada-Nya saja. Kemudian, Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap dalam taubatnya. Sesungguhnya Allah-lah Yang Maha Menerima taubat lagi Maha Penyayang.” (Q.S. At-Taubah:118)

Saudaraku, mereka tidak berpaling sedikitpun. Surat bujukan untuk berkhianat terhadap Allah Swt dan Rasulullah Saw pun dicabik-cabik dan dibakar demi mendapatkan ridho dan ampunan-Nya. Dan kisah ini menjadi bagian penting pembelajaran tentang keteguhan, ketsiqohan, kesabaran tentang bagaimana menerima pahit manisnya dinamika dakwah ini.

Saudaraku, kisah tersebut menjadi pelajaran bahwa bersabar itu jauh lebih baik, walaupun sesak dada ini dalam menerima sebuah keputusan, walaupun dunia seakan menyempit, tetap teguhlah bersama janji yang kau ucapkan, sehingga kita termasuk orang-orang yang dimaksudkan dalam firman-Nya: "Dari antara orang-orang yang beriman, ada orang-orang yang benar dalam berjanji kepada Allah." (Q.S. Al-Ahzab : 23)

Saudaraku, ketika Allah menegur kita karena sebuah maksiat, kadang teguran itu tidak datang langsung, terkadang Allah menegur lewat orang lain.


Astaghfirullahaladzim…

La haula wala Quwwata illa billah….

Teringat sebuah saran dari seorang sahabat tadi pagi.



“Tik, baca tulisannya Pak Cah deh di http://cahyadi-takariawan.web.id/ judulnya “Menyublimkan Kepedihan”. Bagus!”

Akhirnya saya cari tulisan itu dan perkenankan untuk saya sharingkan dalam catatan kali ini. Benar-benar menjadi bahan renungan yang sangat mendalam.

***

MENYUBLIMKAN KEPEDIHAN

Sesungguhnyalah epos setiap pahlawan dan pejuang selalu menyimpan kisah-kisah kepedihan. Karena semua pahlawan, semua orang besar, tidak bisa menghindarkan diri dari keterbatasan dirinya yang tidak dimengerti publik. Kebesaran nama dirinya telah menyihir opini masyarakat, seakan dia adalah manusia tanpa cela, serba sempurna dan serba tidak ada kekurangannya. Di titik ini, setiap pejuang ditempatkan secara terasing, di posisi yang tidak dia kehendaki.

Ada pejuang yang memilih menjaga citra diri dengan mencoba menjadikan dirinya sesuai harapan publik. Tentu ini tidak mudah. Dia adalah magnet bagi kamera media. Omongannya, responnya, perbuatannya, tindakannya, adalah sebuah berita. Semua mata memandang kepadanya, dimanapun ia berada. Tak ada ruang privat lagi bagi orang seperti dirinya. Media bisa masuk ke semua ruang-ruang pribadinya.

Dengan pilihan ini, ia harus menjadi seseorang seperti yang diharapkan publik. Bukan menjadi dirinya sendiri yang memiliki banyak keterbatasan. Namun ia harus menjadi hero, menjadi superman, menjadi seseorang yang selalu diidolakan semua kalangan masyarakat. Tak ada kesempatan bagi dirinya untuk menjadi dirinya sendiri, menjadi manusia biasa yang bisa menangis, bisa salah, bisa lupa, bisa khilaf, bisa berbuat dosa. Dia dipaksa menjadi seseorang seperti harapan masyarakat terhadap sosok pahlawan dan pejuang. Bahwa para pahlawan selalu tampil elegan, tanpa cela, tanpa cacat. Sedikitpun.

Celakanya, para pemuja sosok pahlawan ini hampir tidak bisa membedakan mana sosok manusia biasa yang tengah berusaha menjadi pejuang atau pahlawan, dengan manusia pilihan yang Tuhan takdirkan menjadi Nabi. Bagi seorang Nabi utusan Tuhan, dirinya mendapatkan dukungan Ketuhanan secara penuh. Karena semua perkataan dan perbuatannya adalah hukum untuk diikuti oleh pemeluk agama sang Nabi. Berbeda dengan manusia yang lainnya, kendati dia adalah seseorang yang berusaha menempatkan diri dalam barisan para pejuang dan para pahlawan, namun tetap saja dia adalah manusia biasa.

Sebuah harapan yang berlebihan bahkan absurd. Saat dunia telah sangat lama ditinggalkan oleh Nabi terakhir, akhirnya menjadi defisit keteladanan dan contoh kebaikan. Dunia muak dengan kemunafikan dan kepura-puraan yang sering ditampakkan banyak aktor politik dan banyak pejabat publik. Masyarakat menghendaki dan mencoba mengidentifikasi tokoh-tokoh yang bisa menjadi sumber inspirasi dan keteladanan dalam kehidupan. Sangat langka. Begitu menemukan beberapa gelintir orang yang dianggap masih memiliki harapan untuk menjadi panutan, maka harapan mereka menjadi berlebihan dan tidak masuk akal.

Para pejuang ini telah dipajang dalam bingkai harapan yang sangat ideal. Tak boleh berdebu, mereka bersihkan setiap hari dengan puji-pujian dan sejuta doa. Para pejuang ini yang akan menjadi penyelamat bangsa, akan menjadi harapan perubahan bagi Indonesia. Sebuah obsesi yang lahir dari dahaga berkepanjangan akan munculnya sosok keteladanan dari para pahlawan. Sangat lama masyarakat menunggu para pahlawan yang akan mensejahterakan rakyat Indonesia dan membebaskan masyarakat dari kebodohan, kemiskinan, kelaparan, ketertinggalan dan keterbelakangan.

Para pejuang telah ditempatkan pada posisi yang mustahil melakukan kesalahan. Mereka tidak ditolerir memiliki kelemahan, bukan hanya untuk diri pribadinya. Namun juga bagi isteri, anak-anak dan semua keluarganya. Masyarakat mudah mengalami kekecewaan fatal bahkan keputusasaan apabila melihat ada kekurangan pada diri sang hero, atau pada isteri dan anak-anaknya. Keteladanan dituntut untuk selalu dipenuhi, bahkan oleh anak-anak yang tidak banyak mengerti beban orang tua mereka yang terlanjurkan diidolakan sebagai sosok pahlawan super. Isterinya harus super, anak-anaknya harus super, keluarga besarnya harus super. Betapa berlebihan tuntutan ini.

Namun ada pula para pejuang yang memilih menikmati menjadi dirinya sendiri apa adanya. Seorang manusia yang penuh kelemahan dan keterbatasan. Di tengah kelemahan dan keterbatasan diri, ia mencoba menjadi seseorang yang memberikan kemanfaatan bagi orang lain. Memberikan kontribusi kebaikan sekuat kemampuan yang dia miliki. Waktu, tenaga, pikiran, harta benda dia curahkan untuk melakukan hal terbaik yang bisa dia sumbangkan bagi perbaikan bangsa dan negara. Mungkin tidak terlalu memuaskan masyarakat, mungkin tidak heroik, mungkin tidak dielu-elukan oleh para pemuja kepahlawanan. Namun ia selalu berusaha memberikan yang terbaik


Dia melihat dunia dengan dua kacamata pada saat bersamaan. Satu kacamata idealis, dia memiliki visi yang sangat jelas tentang hal-hal ideal yang harus dilakukan dan harus terjadi bagi bangsa dan negara. Satu lagi kacamata realis, bahwa dia melihat Indonesia tidak cukup diubah oleh keteladanan beberapa sosok pahlawan. Indonesia hanya memerlukan kebersamaan untuk melakukan perubahan, memerlukan konsistensi untuk menegakkan aturan, memerlukan kedisiplinan untuk menjalankan agenda kebangsaan dan kenegaraan. Indonesia memerlukan harmoni dari pagelaran orkestra berbangsa dan bernegara.

Dia tidak mau terkurung ke dalam sosok pahlawan ideal seperti yang digambarkan masyarakat. Benarkah perubahan Indonesia harus dimulai dari sosok-sosok profan yang tak memiliki sedikitpun kekurangan, cacat, kelemahan dan kesalahan ? Bukankah itu hanya layak dinisbatkan kepada para Nabi dan Rasul yang dimuliakan Tuhan dengan tugas-tugas Ketuhanan ? Dia merasa hanyalah manusia biasa yang berusaha melakukan perubahan ke arah kebaikan, semaksimal kemampuan yang dia miliki. Namun dia mengetahui ada sejumlah sisi-sisi kemanusiaan dalam dirinya yang akan sulit dipahami oleh publik.

Sering terbersit dalam kesendiriannya, apakah hanya ada dua pilihan menjalani kehidupan bagi bangsa Indonesia? Pilihan menjadi pahlawan super hero yang dipuja-puja seluruh masyarakat, dan pilihan menjadi pecundang yang dicela oleh semua media, tanpa sisa? Tidak adakah pilihan menjadi diri sendiri yang jujur apa adanya, menjadi seseorang yang penuh keteterbatasan dan kelemahan, namun selalu berusaha menyumbangkan kontribusi terbaik bagi bangsa dan negara? Dimanakah tempat orang-orang seperti ini? Apa nama dan nilai mereka ini? Menjadi pahlawan ataukah pecundang?

Menjadi super hero tanpa cela betapa sangat sulitnya. Siapa yang akan sanggup menempati posisi seperti ini, siapa yang akan merelakan dirinya berada dalam sebuah suasana pencitraan, untuk memenuhi harapan dahaga masyarakat akan sosok-sosok keteladanan? Menjadi pejuang tanpa kelemahan dan kekurangan, betapa beratnya. Menjadi pahlawan tanpa sedikitpun tercemar oleh cela yang dilakukan oleh dirinya, isteri, anak-anak dan keluarga besarnya, siapa sanggup menempuhnya? Inilah episode kepedihan setiap pahlawan dan pejuang.

Saya berusaha memilih sesuatu yang masuk akal dan sesuai hati nurani. Saya bukan seorang pahlawan, bukan seorang super hero, bukan seorang super man, atau semacam itu. Saya hanyalah seorang anak bangsa yang memiliki teramat sangat banyak kekurangan, kelemahan, keterbatasan dan hal-hal tidak ideal. Dari sudut pandang apapun. Namun saya sangat meyakini bahwa kebaikan besar bermula dari kebaikan-kebaikan kecil. Saya sangat meyakini hal-hal luar biasa bisa bermula dari konsistensi melakukan hal-hal yang biasa.

Terserah orang menyebut apa terhadap hal yang saya lakukan. Saya berjalan pada sebuah keyakinan, pada sebuah arah tujuan. Saya berjalan pada sebuah bingkai cita-cita perubahan, namun saya hanyalah seorang manusia yang penuh keterbatasan. Isteri saya hanyalah seorang perempuan biasa, sangat biasa, yang memiliki sangat banyak kekurangan. Anak-anak saya hanyalah anak-anak yang terlahir dari sejarah pernikahan, dan mereka menjadi dirinya yang tidak bisa dibebani dengan harapan orang atas ayah mereka. Namun dengan segala titik kelemahan dan kekurangan kemanusiaan tersebut, saya selalu berusaha melakukan hal-hal baik yang mampu saya lakukan. Memproduksi kebajikan semaksimal kesanggupan yang ada pada saya.

Tidak bolehkah memiliki pilihan sederhana seperti ini? Haruskah kita memilih menjadi pahlawan tanpa cela, atau sekalian memilih menjadi pecundang yang dicela serta dilaknat seluruh media? Sedih sekali hidup kita, jika terbelenggu oleh “apa kata orang kepada kita”. Sedih sekali, jika hidup kita harus menyesuaikan dengan selera media. Sempit sekali dunia, jika kita harus menjadi sosok-sosok utopis yang diimpikan para pemuja epos kepahlawanan dunia. Hingga orang tidak berani berbuat dan berkata apa-apa, karena takut dilaknat media. Hingga orang takut melakukan upaya perbaikan semampu yang dia bisa, karena takut dicela massa.

Setiap hari berseliweran sms, mengkonfirmasi berita ini dan itu di media massa. Mencela, melaknat, mencaci maki, menghakimi semau sendiri, memastikan keburukan orang, mengimani berita media massa tentang perilaku seseorang. Sms berseliweran tanpa tuan, menghakimi tanpa persidangan, memutuskan tanpa penjelasan, memastikan tanpa pertanyaan, menuduh tanpa kelengkapan persyaratan, membunuh karakter tanpa alasan. Semua orang ketakutan, semua orang gelisah, tiarap, takut dirinya tengah dirilis media. Takut dirinya tengah dibicarakan koran. Takut dirinya menjadi berita utama di sms yang berseliweran setiap detik, setiap kesempatan.

Seakan dunia telah kiamat, saat seseorang pejuang dituduh melakukan kesalahan. Seakan kebaikan telah hilang, saat sosok pahlawan yang diidamkan teropinikan melakukan pelanggaran. Hancur sudah dunia kepahlawanan, habis sudah sejarah para pejuang, tamat sudah riwayat para pembela kebenaran. Hari ini juga semua jiwa telah binasa. Kita menjadi orang yang berlebih-lebihan melihat, menanggapi, mengomentari segala sesuatu. Baru running text, baru rilis koran, baru kilas berita televisi dan cybermedia. Tiba-tiba sms sudah menyebar kemana-mana. Tiba-tiba kepercayaan sudah sirna. Tiba-tiba kehangatan sudah tiada. Berpuluh tahun kita merajutnya. Hilang sesaat begitu saja?

Inilah sisi kepedihan dalam setiap epos kepahlawanan dan kepejuangan. Setiap pahlawan, setiap pejuang selalu dihadapkan kepada kondisi-kondisi kemanusiaan yang sulit dimengerti para pemuja mereka. Media telah menghukum tanpa ampunan. Headline setiap hari. Heboh, bombastis, sinistis. Mematikan hati yang terlalu ciut menerima kritik dan lontaran tajam. Mematikan semangat yang terlampau dingin untuk melakukan berbagai kebajikan. Cita-cita dan tujuan seakan sudah terlupakan oleh opini koran dan berita harian.

Silakan tidur dan berhenti dari kebaikan, maka para setan akan pesta pora merayakan kemenangan. Silakan menyesal menempuh jalan panjang bernama kebajikan, tempuh jalan lain yang lebih menyenangkan pemberitaan. Hanya itukah tujuan kita? Mendapat pujian, mendapat pengakuan, mendapat ucapan selamat dan penghargaan atas kesantunan, kesalehan, kebaikan, kejujuran, dan kebersihan yang ditampilkan? Tidak siap mendengar kritik tajam, caci maki, cemoohan masyarakat dan media massa? Tidak kuat mendengar ledekan, tertawaan, gunjingan, dan kekesalan orang?

Adakah anda rasakan kesedihan yang saya tuliskan ? Kesedihan di setiap epos kepahlawanan dan kepejuangan. Kesedihan yang tidak bisa dibagi dengan para pemuja pahlawan. Kesedihan yang harus dikunyah dan dinikmati sendiri oleh setiap orang yang berjuang dalam kebaikan. Jika anda merasakan, saya ajak anda menyublimkan kesedihan itu menjadi sebuah karya nyata, sekecil apapun yang kita bisa.

Menyublimkan kepedihan menjadi amal kebaikan berkelanjutan yang kita lakukan dalam setiap tarikan nafas. Jangan menguapkannya, karena jika diuapkan kesedihan hanya akan hilang namun tidak menghasilkan karya. Ya, anda harus menyublimkan kepedihan ini menjadi sesuatu yang sangat berarti. Menjadi sesuatu yang menyemangati diri. Menjadi sesuatu yang menasihati. Menjadi sesuatu yang bernilai abadi. Menjadi sesuatu yang bernama kontribusi.

Setiap cemoohan dan ejekan akan menambah kesedihan di hati para pejuang. Setiap ketidakberhasilan akan menggoreskan kegetiran pada dada setiap pejuang. Kesedihan itu harus disublimasi menjadi karya yang berarti. Setiap hari kita telah terbiasa menumpuk kelelahan, kesedihan, kegetiran, kepedihan, dari yang terkecil hingga yang paling dalam. Menyublimkan kegetiran akan mengubahnya menjadi kerja nyata bagi bangsa dan negara. Apa artinya dipuji-puji jika tidak memiliki kontribusi yang berkelanjutan? Apa salahnya dicaci maki jika itu memacu kontribusi yang lebih berarti bagi perbaikan?

Mari bekerja di ladang-ladang amal kita yang sangat luas tanpa batas. Silakan mencela bagi yang hobi mencela. Silakan melaknat bagi yang gemar melakukannya. Silakan berhenti dan menepi bagi yang sudah tidak memiliki kepercayaan lagi. Sekecil apapun langkah kebaikan kita lakukan, pasti tetap menjadi kontribusi yang berarti bagi negeri. Keyakinan ini tak bisa ditawar lagi. Tuhan telah mengumandangkan, hal jaza-ul ihsan illal ihsan. Apakah kita tetap juga tidak memahami?

Kita serahkan semuanya kepada Tuhan Yang Maha Mengerti.
Malili, Luwu Timur, Sulawesi Selatan 9 April 2011

***

"Berjuanglah untuk kebaikan dan kebenaran, sepahit dan sesulit apapun. Bersatulah dalam jama'ah, sebenci dan sekecewa apapun, karena berjama'ah lebih baik daripada sendirian. Bangkitlah ketika jatuh dan jangan menyerah. Peganglah prinsip kita, selama itu benar. Bertausyiahlah setiap saat, agar saudaramu merasa memiliki dan dimiliki. Jangan tinggalkan yang dibelakangmu, tunggu dengan kesabaran dan keikhlasan. (Imam Hasan Al Banna)



Deepest Contemplation…

Saat senggang dan pikiran leluasa merenung…
Jakarta, 14042011
Aisya Avicenna
writer@www.aisyaavicenna.com

Catatan Aisya [13] : Aku dan Kau, Sahabat!

Thursday, April 14, 2011 0 Comments
Ada kelegaan tersendiri tatkala sebuah beban sudah dibagi...
Ada syukur tak bertepi ketika sahabat mau belajar mengerti...
Adalah kesepakatan yang melanggengkan persahabatan...
Adalah pengertian yang membuat ukhuwah makin menawan...

Maafkan aku sahabat..
Kala kataku membuat luka hatimu..
Kala lakuku membuat jiwamu jemu..

Tolong sahabat..
Bantu aku semakin mendekat
Pada Sang Penggenggam Nikmat..
Bantu aku menjadi muslimah yang teguh, tegas, dan kuat...

Terima kasih sahabat..
Atas segala pengertian yang jadi kesepakatan..
Atas segala nasihat yang menjadi pengingat..

Mari saling menjaga diri..
Jangan biarkan hati ternodai..
Mari kembali arungi..
Hidup dalam ridho Illahi..
***

menikmati jingga di langit solo dgn backsong "cinta berkawan"nya Edcoustic..
@Adi Soemarmo Airport, 130411
Aisya Avicenna

Catatan Aisya [12] : Akupun Seperti Kaca yang Berdebu

Thursday, April 14, 2011 0 Comments

Ia ibarat kaca yang berdebu
Jangan terlalu keras membersihkannya
Nanti ia mudah retak dan pecah
Ia ibarat kaca yang berdebu
Jangan terlalu lembut membersihkannya
Nanti ia mudah keruh dan ternoda
Ia bagai permata keindahan
Sentuhlah hatinya dengan kelembutan
Ia sehalus sutera di awan
Jagalah hatinya dengan kesabaran
Lemah-lembutlah kepadanya
Namun jangan terlalu memanjakannya
Tegurlah bila ia tersalah
Namun janganlah lukai hatinya
Bersabarlah bila menghadapinya
Terimalah ia dengan keikhlasan
Karena ia kaca yang berdebu
Semoga kau temukan dirinya
Bercahayakan iman

(Nasyidnya Maidany yang pagi ini aku putar berulang kali, menemaniku berkontemplasi)


Alhamdulillah, segala puji bagi Allah Swt, Sang Pencipta alam semesta. Shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad Saw, keluarga, dan siapapun yang menegakkan sunnah-sunnahnya. Sungguh, baik engkau masih gadis maupun sudah bersuami, dirimu adalah pendidik generasi, yang dilahirkan sebagai pahlawan, sumber cahaya kehormatan dan kecantikan. Engkau adalah ibu yang lemah lembut, awan yang teduh, kawan yang penuh perhatian, dan wanita berhati sutra. Engkau juga seorang istri yang setia, taat lagi bertaqwa, sholihah dan suci, terhormat dan pemalu, bunga yang selalu mekar dan harum, hadiah yang sangat berharga dari Allah untuk suamimu, senyummu selalu menghiasi bibirmu. Engkaulah daratan tempat kapal berlabuh, setelah mengarungi samudera yang penuh ombak dan badai. Belaian tanganmu selalu mendatangkan kesejukan.

Akan tetapi, dengan segala kelebihan yang telah menjadi milikmu itu, haruslah engkau tetap sadar bahwa dirimu adalah seorang da’i, penyebar ajaran Islam. Yang tidak pernah bosan mengingatkan dan menasihati, selalu rajin puasa dan sholat malam, penuh ilmu dan pemahaman, selalu ruku’ dan sujud. Bersyukur kepada Allah dan memuji-Nya, sabar dalam menghadapi segala cobaan, berkemauan keras dan selalu menjaga kehormatan diri.

Saudariku...

Sungguh selalu terbayang wajahmu yang teduh, pribadimu yang lemah lembut, rendah hati lagi peduli, kebajikan selalu menjadi pilihanmu. Setiap sepertiga akhir malam tiba, tak pernah kau lewatkan untuk menangis dan merintih, mengharap kasih sayang dan ampunan dari Yang Maha Mendengar. Selalu kau jauhkan dirimu dari hal yang haram. Kau berlari kencang menyebut panggilan Allah. Semua kewajiban kau tunaikan tanpa cela.

Seorang ibu adalah sekolah, jika engkau menyiapkannya, berarti engkau menyiapkan generasi yang baik. Seorang ibu adalah taman, jika seseorang memeliharanya ia akan tumbuh dengan baik. Seorang ibu adalah guru pertama. Seorang wanita adalah ibu bagi masyarakat yang bijaksana di rumah suaminya, Rasulullah bersabda : ”Seorang wanita adalah seorang pemimpin di rumah suaminya dan ia bertanggung jawab terhadap yang dipimpinnya”

Saudariku….

Mengingatmu juga berarti mengingat anak-anakmu nantinya yang masih kecil. Dan sikapmu kepada mereka. Terbayang dalam benakku, bagaimana kau begitu sayang dan perhatian kepada mereka. Semua tugas dan aktifitas, betapapun pentingnya, akan kau tinggalkan jika anak-anakmu membutuhkanmu. Kau selalu dekat dan akrab dengan mereka. Sungguh beruntung mereka, mempunyai ibu seperti dirimu. Mendidik anak-anak yang masih suci hatinya, jernih pikirannya, belum mempunyai banyak kesibukan, lebih banyak waktunya dalam belaian dan dekapan kita, dengan metode yang dicontohkan Rasulullah Saw. Terbayang dalam benakku, dirimu akan selalu mendorong anak-anakmu menghafal Al Quran mulai dini, karena dengan menghafal di waktu kecil bagaikan memahat di atas batu. Jadikan mereka mujahid. Jadikan mereka tentara-tentara Allah. Jangan biarkan mereka bermanja-manja. Jangan biarkan mereka bermalas-malasan. Siapkan mereka untuk menjadi hamba yang sholeh, yang selalu bertaqwa dan bertambat kepada Allah. Jadilah ibu yang memberi tauladan kepada anak-anakmu.

Saudariku...

Dirimu memang bukanlah muslimah yang sempurna, dirimu bukanlah Khadijah yang begitu sempurna di dalam menjaga diri, dirimu bukanlah Hajar yang begitu setia dalam sengsara, dirimu memang tidak setegar Aisyah dan juga tidak setabah Fathimah yang tetap mulia dalam sahaja, dirimu adalah wanita akhir zaman yang berusaha menjadi shalehah.Semoga Allah selalu memberkahimu….



Bukan dari tulang ubun kamu dicipta
Sebab berbahaya membiarkannya dalam sanjung dan puja
Tak juga dari tulang kaki
Karena nista menjadikannya diinjak dan diperbudak
Tetapi dari rusuk kiri
Dekat ke hati untuk dicintai
Dekat ke tangan untuk dilindungi


"Selalu wasiatkan kebaikan pada para wanita. Karena mereka diciptakan dari tulang rusuk, dan bagian yang paling bengkok dari jalinan tulang rusuk ialah tulang rusuk bagian atas. Jika kalian paksa diri untuk meluruskannya, ia akan patah. Tapi jika kalian mendiamkannya, ia akan tetap bengkok. Karena itu, wasiatkanlah kebaikan pada para wanita," (HR. Bukhari dari Abu Hurairah)

~Bukan ubun, bukan kaki, tapi rusuk kiri...~



Sumber inspirasi : “Agar Bidadari Cemburu Padamu” (Salim A. Fillah)

KONTEMPLASI PAGI
Wonogiri, 120411_05:35
Aisya Avicenna

writer@www.aisyaavicenna.com

Catatan Aisya [11] : Antara Aku, Itsar, dan Cut Mala

Thursday, April 14, 2011 0 Comments

“Tik, aku ingin bercerita padamu,” kata sahabat saya di suatu pagi. Sebut saja namanya Dinda.

“Ya, ada apa?” tanyaku.

“Tadi aku sempat diskusi dengan Kak Adit. Kamu tahu dia kan? Dia sekelas sama aku di kampus,” jelasnya padaku. Sahabatku itu tengah melanjutkan S2-nya.

“Oh, Kak Adit? Insya Allah aku tahu.

“Hmm... awalnya kami diskusi masalah tugas kuliah, hingga akhirnya dia bertanya kapan aku akan menikah,” jelasnya lirih.

“Hah??? Trus kamu jawab apa???” tanyaku kaget bin penasaran.

“Aku jawab insya Allah segera. Setelah itu Kak Adit malah berencana mengenalkanku dengan temannya yang sudah siap menikah,” terangnya kemudian.

“Masya Allah...” aku tambah terkejut.

“Tik, aku tanya. Apakah sikap Kak Adit ini termasuk itsar? Dia lebih mendahulukan saudaranya, sedangkan dirinya sendiri juga belum menikah. Ataukah sikapku menerima tawaran Kak Adit tersebut juga termasuk itsar padahal sebenarnya aku menginginkan orang seperti Kak Adit-lah yang kelak menjadi pendampingku. Aku mendahulukan ikhwan temannya Kak Adit itu dan mengalahkan perasaanku pada Kak Adit. Aku bingung, Tik!”

“Sama. Aku juga. Hehe...,” aku pun spechless.

Percakapan di atas terinspirasi dari sebuah kisah nyata seorang sahabat. Semoga yang bersangkutan bisa segera menemukan jawaban atas pertanyaan yang masih bercokol dalam dirinya. Hmm, aku pun mencoba merenungkan dan mengambil pelajaran dari kisah di atas. Hingga akhirnya aku menemukan petikan cerita dari Novel berjudul Ketika Cinta Bertasbih 1, karya Habiburrahman El Shirazy, hal. 341-343. Berikut petikan kisahnya. Semoga sedikit tulisan ini juga bisa menjadi jawaban.

***

Cut Mala membawa diktat kuliahnya. Segala yang musykil baginya ia tanyakan dengan tanpa rasa malu pada Anna. Anna menjawab sejelas-jelasnya dengan penuh kesabaran.

”Kak Anna, maksud kaidah ini apa?” tanya Cut Mala.

”Coba baca kaidahnya!” pinta Anna.

”Kaidahnya begini Kak, Al Itsar bil Qurbi makruuhun wa fii ghoirihaa mahbuubun. Di sini tidak ada penjelasan dan contohnya sama sekali Kak. Saya belum benar-benar paham”

Anna langsung menjawab dengan tenang,

”Kaidah itu artinya, al-itsar(mengutamakan orang lain), dalam hal mendekatkan diri kepada Allah atau mengutamakan orang lain dalam hal ibadah itu hukumnya makruh. Adapun mengutamakan orang lain pada selain ibadah itu dianjurkan.

Dalam ibadah, yang dianjurkan dan disunahkan adalah berlomba-lomba mendapatkan yang paling afdhol, mendapatkan pahala yang paling banyak. Maka mengutamakan orang lain dalam hal ini sangat tidak dianjurkan alias makruh.

Contohnya, jika seseorang memiliki air yang hanya cukup buat berwudhu untuk dirinya saja, maka ia tidak boleh memberikan air itu pada orang lain, agar orang lain bisa berwudhu sementara ia tayamum. Yang benar adalah dia menggunakan air itu untuk wudhu biarkan orang lain tayamum. Kecuali jika ada orang lain yang membutuhkan air untuk minum karena kehausan, maka ia sebaiknya memberikan air itu padanya dan dia bisa bersuci dengan tayamum.

Contoh lain, jika seorang muslimah memiliki satu mukena, lalu datang waktu sholat. Ia tidak diperbolehkan mempersilakan orang lain sholat dulu menggunakan mukenanya dan ia menunggu setelah orang-orang selesai menggunakan mukenanya. Yang benar adalah ia harus segera sholat sebelum yang lain. Ia harus mengutamakan dirinya, sebab sholat di awal waktu itu lebih afdhol (utama). Baru setelah ia sholat ia bisa meminjamkan pada orang lain. Dalam ibadah, sekali lagi dimakruhkan mengutamakan orang lain.

Begitu maksud kaidah itu Dik. Kau bisa menganalogkan dengan yang lain”

Cut Mala tampak puas mendengar jawaban itu. Tiba-tiba ia terpikir sesuatu yang menarik untuk ia tanyakan,

”Maaf Kak saya mau tanya, Kalau misalnya. Sekali lagi ini misalnya lho Kak. Misalnya ada seorang akhwat dilamar oleh seorang ikhwan yang sangat baik. Baik agamanya, akhlaqnya, prestasinya juga wajahnya. Lalu ia mengalah, mengutamakan saudarinya yang menurutnya lebih baik darinya dan lebih pantas menikah dengan ikhwan tadi. Apa itu termasuk makruh Kak?”

Anna menatap kedua mata Mala. Sebuah pertanyaan yang membuatnya tersenyum sekaligus kagum akan kreativitas gadis Aceh tersebut. Bukankah pertanyaan yang baik adalah sebagian dari ilmu?

”Menurutmu menikah itu ibadah nggak Dik?” tanya Anna.

”Ibadah Kak, bukankah menikah itu menyempurnakan separoh agama?”

”Jadi jelas kan jawabannya. “

***

Terus terang aku tertarik pada pemaparan yang terdapat di dalamnya, yaitu tentang al-Itsar (mengutamakan orang lain). Banyak kita jumpai dalam keseharian, sebagian orang masih salah dalam memahami kaidah itsar tersebut. Sehingga kesalahan pemahaman itu bedampak pada aplikasi amal perbuatan yang juga salah. Di satu sisi ada orang yang cenderung senantiasa mengutamakan orang lain dalam segala aspek kehidupan sosial, termasuk didalamnya aspek ibadah. Di sisi yang lain, ada sebagian orang yang cenderung eksklusif dalam segala aspek. Mereka cenderung hanya mementingkan diri sendiri, tidak mau berbuat itsar sedikitpun kepada orang lain.

Sekarang, marilah kita bersikap adil, menempatkan segala persoalan pada tempatnya dan mensifatinya sesuai dengan sifatnya masing-masing. Dalam soal ibadah, mari kita utamakan diri kita dahulu baru orang lain, tetapi dalam urusan sosial kemasyarakatan kita utamakan orang lain terlebih dahulu. Ada juga kisah yang cukup mengharukan, tentang itsar, bagaimana sahabat mengutamakan saudaranya dalam urusan dunia. Simak baik-baik kisah berikut:

Abu Hurairah berkata:

Telah datang seorang laki-laki kepada Rasulullah dan berkata: “Sesungguhnya aku dalam keadaan lapar”. Maka Rasulullah menanyakan kepada salah satu istrinya tentang makanan yang ada dirumahnya, namun beliau menjawab: “Demi Dzat Yang mengutusmu dengan haq, aku tidak memiliki apa-apa kecuali hanya air, kemudian beliau bertanya kepada istri yang lain, namun jawabannya tidak berbeda. Seluruhnya menjawab dengan jawaban yang sama.

Kemudian Rasulullah bersabda:

“Siapakah yang mau menjamu tamu ini, semoga Allah merahmatinya”.

Maka berdirilah salah seorang Anshar yang namanya Abu Thalhah seraya berkata: “Saya wahai Rasulullah”. Maka dia pergi bersama tamu tadi menuju rumahnya kemudian sahabat Anshar tersebut bertanya kepada istrinya (Ummu Sulaim): “Apakah kamu memiliki makanan?”. Istrinya menjawab: “Tidak punya melainkan makanan untuk anak-anak”. Abu Thalhah berkata: ”Berikanlah minuman kepada mereka dan tidurkanlah anak-anak kita. Nanti apabila tamu saya masuk maka akan saya matikan lampu lalu kuperlihatkan bahwa saya ikut makan, apabila makanan sudah berada di tangan maka berdirilah.

Mereka duduk-duduk dan tamu makan hidangan tersebut sementara kedua sumi-istri tersebut bermalam dalam keadaan tidak makan. Keesokan harinya keduanya datang kepada Rasulullah lalu Rasulullah bersabda: “Sungguh Allah takjub (atau tersenyum) terhadap fulan dan fulanah”.

Dalam riwayat lain, Rasulullah bersabda:

“Sungguh Allah takjub terhadap apa yang kalian berdua lakukan terhadap tamu kalian” .

Di akhir hadits disebutkan:

Maka turunlah ayat yang artinya

“Dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu).” (QS. Al-Hasyr : 9).



KONTEMPLASI SORE

Wonogiri, 11 April 2011

Aisya Avicenna

writer@www.aisyaavicenna.com

Catatan Aisya [10] : Sakinah Bersamamu

Thursday, April 14, 2011 0 Comments

Tulisan kali ini memang berjudul sama dengan sebuah buku Nasional Best Seller karya Mbak Asma Nadia. Memang sengaja mengambil judul yang sama, tapi saya mencoba mengambil konteks yang berbeda. Coba perhatikan arti dari sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Muslim di bawah ini.

“Tidak berkumpul suatu kaum di salah satu rumah Allah untuk membaca dan mempelajari Al-Qur’an kecuali turun atas mereka sakinah dan rahmat serta diliputi oleh malaikat serta Allah sebut di hadapan (malaikat) di sisi-Nya.”

Sudah menangkap maksud judul dan hadist di atas?

Sudah?

Ya, tepat! Sakinah (ketenangan) bisa didapat dengan membaca dan mempelajari Al-Qur’an. Ingat Al-Qur’an, ingat tajwid. Saya teringat sebuah materi saat belajar di LBQ Al-Utsmani tentang Tajwid Al-Qur’an. Secara bahasa, tajwid Al-Qur’an berarti tahsin/memperbaiki. Sedangkan secara istilah, tajwid Al-Qur’an adalah membaca Al Qur’an dengan benar. Makna “BENAR” di sini ada 3 hal yang harus dipenuhi, antara lain :

1. Sebagaimana bacaan Rasulullah Saw dan para sahabatnya
2. Memperhatikan hukum-hukum/kaidah bacaan
3. Mengeluarkan huruf dari makhrajnya serta memperindah suara

Hukum mempelajari tajwid Al-Qur’an : secara praktek hukumnya wajib (Q.S. Al-Muzzammil (73) ayat 4 yang artinya “Bacalah Al-Qur’an dengan tartil”). Sedangkan mempelajari teorinya hukumnya Fardhu Kifayah. Tujuan tajwid Al-Qur'an adaah untuk menjaga lidah agar tidak salah ketika membaca Al-Qur'an.

Keutamaan mempelajari tajwid Al-Qur’an antara lain :

1. Memberi syafa’at pada hari kiamat
2. Merupakan amal terbaik
3. Mendapat derajat yang tinggi
4. Mendapat sakinah dan rahmat
5. Mendapat sebaik-baik anugerah Allah
6. Dll.

“Bacalah Al-Qur’an, sesungguhnya ia pada hari kiamat akan datang menolong pembacanya.” (HR. Muslim).

Ya Allah, rahmatilah kami dengan Al- Qur’an. Jadikanlah ia pemimpin, petunjuk dan rahmat bagi kami. Ya Allah, ingatkanlah apa-apa yang kami lupa dari Al-Qur’an, dan ajarkanlah apa yang belum kami ketahui darinya. Berilah kami kekuatan untuk terus membacanya sepanjang malam dan sepanjang hari. Jadikanlah Al-Qur’an sebagai penyelamat kami dan janganlah Engkau jadikan ia bumerang bagi kami (yang menyeret kami ke neraka), dengan rahmat-Mu, Ya Allah….

Ya Allah, sesungguhnya kami adalah hamba-hamba-Mu, putera dari hamba-hamba-Mu yang laki-laki dan perempuan. Ubun-ubun kami berada dalam genggaman-Mu (kami berada dalam genggaman-Mu), hukum-Mu berlaku atas kami, taqdir-Mu berjalan adil kepada kami, kami mohon kepada-Mu dengan setiap nama-Mu yang Engkau berikan kepada diri-Mu, nama yang Engkau turunkan dalam kitab-Mu atau nama yang hanya Engkau yang mengetahuinya dalam ilmu ghoib di sisi-Mu, jadikanlah Al-Qur’an sebagai penyubur hati kami, penghapus kesedihan kami, cahaya jiwa kami dan penghilang gundah gulana kami. Jadikanlah kami termasuk orang-orang yang mencintai Al-Qur’an yang mereka adalah keluarga-Mu dan orang-orang pilihan-Mu, Ya Allah….


Ya Allah… jadikanlah kami orang-orang yang membaca Al-Qur’an kemudian meningkat (kehidupan kami) dan janganlah Engkau jadikan kami orang-orang yang membaca Al-Qur’an namun kami menderita…. Ya Allah, jadikanlah kami orang-orang yang menghalalkan apa-apa yang dihalalkan Al-Qur’an, mengharamkan apa-apa yang diharamkan Al-Qur’an, mengerjakan ayat-ayat yang tersurat dalam Al-Qur’an, beriman kepada apa yang tersirat di dalamnya dan membaca dengan bacaan yang sesungguh-sungguhnya. Jadikan kami golongan orang-orang yang menegakkan hukum-hukum Al-Qur’an dan jangan jadikan kami termasuk orang-orang yang menyia-nyiakan huruf-hurufnya serta hukum-hukumnya.

Ya Allah, jadikanlah kami, anak-anak dan keluarga kami sebagai penghafal Al-Qur’an. Masukkan kami ke dalam golongan orang-orang yang dapat mengambil manfaat di dalamnya, termasuk orang-orang yang dapat mengambil kelezatan mendengarkan kalam-kalamnya. Anugerahkanlah kepada kami istiqomah dan kesabaran di dalam membacanya, menghafalnya serta mempelajarinya…


Aamin Yaa Rabbal ‘alaamiin....


MARI MENGGAPAI SAKINAH BERSAMA AL-QUR'AN...
Wonogiri, 10 April 2011
Aisya Avicenna
writer@www.aisyaavicenna.com

Celoteh Aksara [14]: “FLP SOLO RAYA: KESAN PERTAMA BEGITU MENGGODA, SELANJUTNYA…”

Thursday, April 14, 2011 0 Comments


Salah satu aktivitas Nungma pagi ini menata buku di perpustakaan pribadi “AL FIRDAUS 2”. Rak kayu susun 3 itu dah overload bahkan Nung sudah naruh 2 kardus di depannya. Dan itupun sudah penuh semua. Termasuk almari pakaian yang bagian bawah juga sudah disulap menjadi rak buku. Hadeh…pengin rasanya segera “pindah rumah”. Tapi, road mapping untuk tahun ini maksimal sampai bulan September masih di Solo dan menempati Zona Inspirasi di kost Pink ini. Selanjutnya…sudah banyak rencana yang bergentayangan di kepala.

Gak sengaja tangan ini tergerak menarik salah satu buku yang berdiri bersejajar rapi di pojokan paling kiri. Di barisan ini memang khusus Nung gunakan untuk meletakkan buku-buku catatan harian. Buku-buku yang Nung kasih nama “NORMA” yang merupakan singkatan dari [NO]stalgia [R]o[MA]ntic dengan semangat DNA: “Dream ‘N Action”. Nung ngambil buku edisi Agustus-Desember 2009. Pas baca di bagian bulan November tepatnya pada tanggal 1, ada sesuatu yang menarik! Ya, Nung jadi flash back ke masa itu…(saat Nung masih jadi mahasiswi yang imut-imut di semester 7).

***
Ahad, 1 November 2009
Pagi-pagi aku dah sibuk nulis-nulis (nulis apa Nung?), nyuci (hadeh…), dan beres-beres kamar. Hm, semoga hari ini menjadi hari yang dahsyat di awal bulan ini (Amiin). Setelah semuanya beres, aku sarapan bareng anak-anak kost. Riyadhoh pagi ke boulevard, beli nasi liwet, roti bakar, dan tempura (busyeet, banyak amat, Nung?). Setelah balik lagi ke kost, aku pun bersiap-siap. Agenda hari ini: kunjungan SKI FMIPA ke FLP Solo Raya yang berlokasi di Taman Budaya Surakarta (mungkin dulu pas namanya masih TBS kali ya?).

Kumpul dengan teman-teman SKI di depan gedung B. Para ikhwan dikomandoni oleh Akh. Rocky, sedangkan yang akhwat oleh Ukhty Griya. Sekitar jam 9 kita pun berangkat. Sesampai di sana, kita disambut oleh rekan-rekan FLP di dekat Teater Arena. Kita lesehan di situ. Nung duduk di barisan terdepan. Benar-benar saat yang tepat untuk mencuri inspirasi nih! Senangnya bisa bertemu Bp. Aries Adenata (dah keliatan kebapakan sih. Xixixi), Bp. Runu (hahaha…aku salah nulis, Mas! Tenanan kie di buku diaryku tulisane ky ngene…), Mas Singgih, Mbak Ungu, Mbak Diah (uwuh…), dkk. Wah, semakin semangat berkarya nih!

***
Nung benar-benar merasakan banyak sekali manfaat yang bisa didapat dari aktivitas menulis catatan harian. Ya, menulis untuk mendokumentasikan hidup! Nung jadi teringat moment itulah kali pertama Nung kenal lebih dekat dengan FLP Solo Raya dan mulai berkeinginan bergabung dengan komunitas para penulis itu. Nung ingin belajar menjadi seorang penulis, yang dengan karya-karyanya mampu bermanfaat bagi diri sendiri terlebih bisa mencerahkan orang lain. Nung juga jadi ingat, moment itulah kali pertama Nung ngobrol dengan Mas Aries Adenata, Mas Ranu Muda, Diah Cmut, dan Mbak Ungu. Keempat orang itu sekarang dah kayak keluarga Nung sendiri.

Ingaaaat banget waktu Mas Aden cerita tentang FLP, kariernya di dunia kepenulisan, semangatnya untuk berbagi lewat tulisan. Begitupun dengan Mas Ranu yang bercerita tentang FLP Kids-nya. Beliau pun menunjukkan salah satu karya dari anak-anak di FLP Kids. Hihihi…kemudian Mbak Ungu, beliau yang menyemangati untuk berkarya dengan terus menulis. Beliau juga menantang siapa yang benar-benar serius pengin menjadi penulis, Mbak Ungu siap mengenalkan dengan salah satu penerbit di Solo (Dan di tahun 2010 Nung jadi penulis freelance di penerbit itu, Mbak! Alhamdulillah, dari menulis pun Nung bisa “menghasilkan”. Mbak Deasylawati pun pernah berkarya juga di penerbit itu. Dan Alhamdulillah, Nung sudah menulis 7 buku untuk penerbit itu, meski royalty kedua belum cair juga…padahal pengin nraktir Mas Tyo bebek bakar presto nih! Hahaha…). Kemudian Diah Cmut, dia pun cerita tentang hobinya menulis. Salah satunya menulis puisi. Dan kebiasaannya membawa note kecil kemana-mana. Tapi si doi nie masih malu-malu meong untuk mempublikasikan karyanya di media. Uwuh…kelkelkel….^^v

Ah, begitu banyak kenangan yang sayang jika terlewat begitu saja. Maka dari itu, kebiasaan menulis catatan harian semoga bisa terus Nungma lakukan untuk mendokumentasikan hidup. Nung jadi teringat Kang Nassirun Purwokartun yang dulu juga punya hobby menulis catatan harian, tapi Nung masih penasaran kenapa setelah menikah aktivitas itu tidak dilanjutkan lagi? (hehe…jawab, Kang!). Nung pengin pasca nikah nanti pun aktivitas ini tidak akan terhenti. Amin. (Suamiku, kita nulis bareng ya!). halah…wkwkwkwk.

Oya, Nungma juga masih menyimpan catatan harian di tahun 2003-2004, curahan hati saat mengalami masa-masa rapuh dan terpuruk dalam hidup. Ada puisi-puisinya juga. Bisa jadi bahan bikin novel DATD dah! Amin. Hm, bahkan waktu masih kelas 1 SMA dulu, SMS-SMS, puisi-puisi dari para fans dan ‘secret admirer’ pun catatannya masih ada (kurang kerjaan banget sih. Swear, kalau sekarang mbaca lagi ‘tu catatan bikin medungdung deh. Hehehe…). Surat-surat dari sahabat pena pun juga masih tersimpan dengan baik. Surat-surat dari para sahabat yang menyemangati saat Nungma sakit dulu pun juga masih tersimpan dengan baik. Surat-surat dengan untaian-untaian aksara yang punya ruh dan “menyembuhkan”.

Dan sekarang, buku NORMA yang ke-12 (Januari-April 2011) sudah hampir penuh dengan catatan-catatan dokumentasi hidup. Ingat, salah satu tugas pecan ini: menyiapkan buku yang ke-13 untuk edisi Mei-Agustus 2011. Uhuy…TERUS SEMANGAT MENULIS, Nung! (dan ini salah satu caraku untuk berproses “menjadi”. Menjadi “dewasa” dan menjadi “PeNuliS” tentunya…)

Betapa berharganya untaian aksara, yang dengannya aku belajar mengenal cinta, merasakan cinta, dicintai, dan mencintai…

[Keisya Avicenna, 14 April 2011. Saat mengenang awal jumpa dengan keluarga FLP Solo Raya. Kesan pertama begitu menggoda, selanjutnya…LUAR BIASA!!!]

CELOTEH AKSARA [13]: "SEMANGAT BIRRUL WALIDAIN"

Thursday, April 14, 2011 0 Comments
by Norma Keisya Avicenna on Wednesday, April 13, 2011 at 11:41am

Pernahkah engkau memperhatikan seorang anak kecil yang tengah bersama orang tuanya? Atau, ingatlah masa kecilmu dulu sampai masa sekarang?



Ingatlah betapa besar kasih sayang kedua orang tuamu kepadamu. Ingatlah betapa besar perhatian mereka akan tempat tinggalmu, makan dan minummu, pendidikanmu, serta penjagaan mereka pada waktu malam dan siang. Ingatlah betapa besar kekhawatiran mereka ketika engkau sakit hingga pekerjaan yang lain pun mereka tinggalkan demi merawatmu. Uang yang mereka cari dengan susah payah rela mereka keluarkan tanpa pikir panjang demi kesembuhanmu. Ingatlah kerja keras siang malam yang mereka lakukan demi menafkahimu. Maka engkau akan mengetahui kadar penderitaan kedua orang tuamu pada waktu mereka membimbing dirimu hingga beranjak dewasa.



Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memerintahkan di dalam Al qur’an, agar manusia berbakti kepada kedua orang tuanya.

“Dan Rabbmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah melainkan hanya kepada-Nya dan hendaklah berbuat baik kepada kedua orang tua. Dan jika salah satu dari keduanya atau kedua-duanya telah berusia lanjut dalam pemeliharaanmu maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah kamu membentak keduanya. Dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang mulia, dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah: ‘Wahai Tuhanku, sayangilah mereka keduanya, sebagaimana keduanya telah menyayangi aku waktu kecil.’” (Al Israa’: 23-24)



Jika kita perhatikan, berbuat baik kepada kedua orang tua seperti yang tercantum pada ayat-ayat tersebut di atas menunjukkan bahwa berbakti kepada kedua orang tua menduduki peringkat kedua setelah mentauhidkan (mengesakan) Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam beribadah. Karena itu bisa kita pahami bahwa tidak boleh terjadi bagi seorang yang mengaku bertauhid kepada Allah tetapi ia durhaka kepada kedua orang tuanya.



Allah SWT yang Menciptakan dan Allah yang Memberikan rizki, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala sajalah yang berhak diibadahi. Sedangkan orang tua adalah sebab adanya anak, maka keduanya berhak untuk diperlakukan dengan baik. Oleh karena itu, merupakan kewajiban bagi seorang anak untuk beribadah kepada Allah kemudian diiringi dengan berbakti kepada kedua orang tuanya.



Andaikan (kelak) kita menjadi orang tua, tidakkah kita akan kecewa dan bersedih hati bila anak kita berkata kasar kepada kita, orang tuanya yang telah membesarkannya. Lalu, apakah kita akan tega melakukannya terhadap orang tua kita saat ini? Mereka yang selalu berusaha meredakan tangis kita ketika kecil. Ingatlah, doa orang tua terutama ibu adalah doa yang mustajab. Maka janganlah sekali-kali engkau menyakiti hati mereka meskipun engkau dalam pihak yang benar.

Cermatilah kisah berikut ini





Dari Abdurrahman bin Ahmad, meriwayatkan dari ayahnya bahwa ada seorang wanita yang datang menemui Baqi’ dan mengatakan, “Sesungguhnya anakku ditawan, dan saya tidak memilki jalan keluar. Bisakah anda menunjukkan orang yang dapat menebusnya; saya sungguh sedih sekali.” Beliau menjawab, “Bisa. Pergilah dahulu, biar aku cermati persoalannya.” Kemudian beliau menundukkan kepalanya dan berkomat-kamit. Tak berapa lama berselang, wanita itu telah datang dengan anak lelakinya tersebut. Si anak bercerita, “Tadi aku masih berada dalam tawanan raja. Ketika saya sedang bekerja paksa, tiba-tiba rantai di tanganku terputus.” Ia menyebutkan hari dan jam di mana kejadian itu terjadi. Ternyata tepat pada waktu Syaih Baqi’ sedang mendoakannya. Anak itu melanjutkan kisahnya, “Maka petugas di penjara segera berteriak. Lalu melihatku dan kebingungan. Kemudian mereka memanggil tukang besi dan kembali merantaiku. Selesai ia merantaiku, akupun berjalan, tiba-tiba rantaiku sudah putus lagi. Mereka pun terbungkam. Mereka lalu memanggil para pendeta mereka. Para pendeta itu bertanya, ‘Apakah engkau memilki ibu?’ Aku menjawab, ‘Iya.’ Mereka pun berujar, ‘mungkin doa ibunya, sehingga terkabul’.”



Maukah engkau kuberitahu amalan utama yang dapat membuatmu dicintai Allah? Tidakkah engkau ingin dicintai Allah? maka sambutlah hadist berikut ini.

“Dari Abdullah bin Mas’ud katanya: ‘Aku bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang amal-amal paling utama dan dicintai Allah,’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Pertama shalat pada waktunya (dalam riwayat lain disebutkan shalat di awal waktu), kedua berbakti kepada kedua orang tua, ketiga jihad di jalan Allah.’” (HR. Bukhari I/134, Muslim No.85, Fathul Baari 2/9)

Saudaraku...

Tidakkah engkau ingin selalu dalam keridhaan Allah? Maka, jadikanlah kedua orang tuamu ridha kepadamu, sebab keridhaan Allah berada dalam keridhaan kedua orang tuamu. Dan kemurkaan Allah berada dalam kemurkaan kedua orang tuamu. Seandainya ada seorang hamba datang di hari kiamat dengan membawa amal perbuatan seribu orang shiddiq, namun dia durhaka kepada kedua orang tuanya, maka Allah Tabaaraka wa Ta’ala tidak akan melihat amalannya yang begitu banyak walau sedikit pun. Sedangkan tempat kembali orang seperti ini tidak lain adalah neraka. Dan tidak ada seorang hamba laki-laki atau perempuan yang membuat wajah kedua orang tua atau salah satu dari mereka tertawa, kecuali Allah akan mengampuni semua kesalahan dan dosanya. Dan tempat kembali orang seperti ini adalah surga. Tidakkah kita menginginkan surga, saudaraku?



Saudaraku

Sesungguhnya hak-hak kedua orang tuamu atas dirimu lebih besar dan berlipat ganda banyaknya sehingga apapun yang engkau lakukan dan sebesar penderitaan yang engkau rasakan ketika kamu membantu bapak dan ibumu, maka hal itu tidak akan dapat membalas kedua jasanya. Di dalam hadist yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari disebutkan bahwa ketika sahabat Abdullah bin Umar radhiyallahu anhu melihat seseorang menggendong ibunya untuk thawaf di Ka’bah dan ke mana saja ’si ibu’ menginginkan, orang tersebut bertanya, “Wahai Abdullah bin Umar, dengan perbuatanku ini apakah aku sudah membalas jasa ibuku?” Jawab Abdullah bin Umar radhiyallahu anhu, “Belum, setetes pun engkau belum dapat membalas kebaikan kedua orang tuamu.” (Shahih Al adabul Mufrad no. 9)



Tidakkah engkau ingin diluaskan rizkimu dan dipanjangkan umurmu oleh Allah? Maka perhatikanlah dengan baik sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barang siapa yang suka diluaskan rizkinya dan dipanjangkan umurnya maka hendaklah ia menyambung tali silaturahim.” (HR. Bukhari 7/72, Muslim 2557, Abu dawud 1693)



Saudaraku, betapa besar semangat dan bahagianya hati kita ketika silaturrahim kepada teman-teman kita. Perjalanan jauh pun tidak kita anggap sulit. Ketika sudah bersama mereka, waktu seakan berjalan dengan cepat. Lalu, manakah waktu untuk silaturrahim kepada kedua orang tua kita? Beribu alasan pun telah kita siapkan.



Tahukah engkau, bukankah orang tua adalah keluarga terdekat kita. Maka merekalah yang haknya lebih besar untuk kita dahulukan dalam masalah silaturrahim. Ingatlah pula bahwa merekalah yang selalu berada di sisi kita baik ketika bahagia maupun duka, berkorban dan selalu menolong kita lebih dari teman-teman kita. Lalu, masih enggankah kita membalas segala pengorbanan mereka?



Berbuat baik kepada kedua orang tua merupakan sebuah keharusan, bahkan hal ini harus didahulukan daripada fardlu kifayah serta amalan-amalan sunnah lainnya. Didahulukan pula daripada jihad (yang hukumnya fadlu kifayah) dan hijrah di jalan Allah. Pun harus didahulukan daripada berbuat baik kepada istri dan anak-anak. Meski tentu saja hal ini bukan berarti kemudian melalaikan kewajiban terhadap istri dan anak-anak.



Saudaraku, taatilah kedua orang tuamu dan janganlah engkau menentang keduanya sedikit pun. Kecuali apabila keduanya memerintahkan padamu berbuat maksiat kepada Tuhanmu, karena sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Tidak ada ketaatan bagi makhluk apabila pada saat yang sama bermaksiat kepada Sang Pencipta.” (HR. Ahmad)



“Dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada kedua orang tuanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu, hanya kepada-Kulah tempat kembalimu. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuannya tentang itu, maka janganlah kamu menaati keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Kuberitahukan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (Luqman 14-15)



Sering kali, ketika rasa kecewa telah memenuhi hati kita, kekecewaan yang muncul akibat orang tua yang tidak tahu dan tidak paham akan kebenaran Islam yang sudah kita ketahui, bahkan ketika mereka justru menjadi penghalang bagi kita dalam tafaquh fiddin, kita jadi seakan-akan mempunyai alasan untuk tidak mempergauli mereka dengan baik.

Ingatlah bahwa sejelek apapun orang tua kita, kita tetap tidak akan bisa membalas semua jasa-jasanya. Ingatlah, bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala pun tetap memerintahkan kita untuk mempergauli mereka dengan baik, meskipun mereka telah menyuruh kita berbuat kesyirikan. Ya, yang perlu kita lakukan hanyalah tidak mentaati mereka ketika mereka menyuruh kita untuk bermaksiat kepada Allah dan tetap berlaku baik pada mereka. Lebih dari itu, tidakkah kita ingin agar bisa mereguk kebenaran dan keindahan Islam bersama mereka? Tidakkah kita menginginkan kebaikan dan keselamatan bagi mereka sebagaimana mereka yang selalu menginginkan kebaikan dan keselamatan bagi kita? Tidakkah kita ingin agar Allah mempertemukan kita di Jannah-Nya? Karena itu, bersabarlah saudaraku. Bersabarlah dalam membimbing dan berdakwah pada mereka sebagaimana mereka selalu sabar dalam membimbing dan mengajari kita dahulu. Jangan pernah putus asa, batu yang keras sekalipun bisa berlubang karena ditetesi air terus menerus.

Tahukah engkau, salah satu doa yang mustajab? Yaitu doa dari seorang anak yang shalih untuk orang tuanya.

Dalam hadist Abu Hurairoh radhiyallahu anhu disebutkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila manusia mati, putuslah amalnya kecuali tiga perkara: sadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat atau anak shalih yang mendoakan orang tuanya.” (HR. Muslim)



Dari Abu Hurairoh radhiyallahu anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah pasti mengangkat derajat bagi hamba-Nya yang shalih ke surga, maka ia bertanya, ‘Ya Allah, bagaimana itu bisa terjadi?’ Allah menjawab, ‘Berkat istigfar anakmu untukmu.’” (HR. Ahmad)



Nah, janganlah engkau enggan untuk berdoa demi kebaikan orang tuamu. Sekeras apapun usaha yang engkau lakukan, bila Allah tidak berkehendak, niscaya tidak akan pernah terwujud. Hanya Allahlah yang mampu Memberi petunjuk dan membukakan pintu hati kedua orang tuamu. Mintalah pada-Nya, karena tidak ada yang tidak mungkin bagi-Nya. Memohonlah terus pada-Nya dan jangan pernah bosan meski kita tidak tahu kapankah doa kita akan dikabulkan. Pun seandainya Allah tidak berkehendak untuk memberi mereka petunjuk hingga ajal menjemput mereka, ingatlah bahwa Allah tidak pernah mendzalimi hamba-Nya. Janganlah berhenti berdoa saudariku, karena tentu engkau sudah tahu bahwa doa seorang anak shalih untuk orang tuanya tidaklah terputus amalannya meski kedua orang tuanya sudah meninggal.



Allahummaghfilana wa li waalidainaa warham huma kamaa robbayanaa shighoro

Untuk bapak ibu, yang telah merawat dan memberikan kasih sayang berlimpah padaku. Tiada yang kuinginkan bagi kalian selain kebaikan dan keselamatan dunia akhirat. Semoga Allah menyelamatkan kita dan keluarga kita dari api neraka yang bahan bakarnya dari batu dan manusia, serta mengumpulkan kita di dalam Jannah-Nya. LOVE U



[Serakan Inspirasi...betapa dik Nung sangat menyayangimu,BaBe...Ibu...!!! *jadi semakin sering pulang ke Wonogiri!!!SEMANGAT BIRRUL WALIDAIN...Bahagianya bisa melihat senyum Babe saat asyik merawat ternak-ternaknya, ngobrol seru dengan ibu dan bercerita banyak hal...menatap wajah teduh beliau. Alhamdulillah, terima kasih ya Rabb...jagalah mereka dengan sebaik-baik penjagaan-Mu, Ya Rabb...Dengan sangat tegas, kukatakan: "AKU BAHAGIA DAN BERSYUKUR MENJADI PUTRI MEREKA!!!"]