Jejak Karya

Jejak Karya

Saturday, April 30, 2011

Catatan Aisya [30] : Untukmu Para Muharrik Dakwah

Saturday, April 30, 2011 0 Comments

Allah memberikan ganjaran yang sebesar-besarnya dan derajat yang setinggi-tingginya bagi mereka yang sabar dan lulus dalam ujian kehidupan di jalan dakwah. Jika ujian, cobaan yang diberikan Allah hanya yang mudah-mudah saja tentu mereka tidak akan memperoleh ganjaran yang hebat.

Disitulah letak hikmahnya, yakni bahwa seorang da’i harus sungguh-sungguh dan sabar dalam meniti jalan dakwah ini. Perjuangan ini tidak bisa dijalani dengan ketidaksungguhan, azzam yang lemah dan pengorbanan yang sedikit.

Dakwah berkembang di tangan orang-orang yang memiliki militansi, semangat juang yang tak pernah pudar. Ajaran yang mereka bawa bertahan melebihi usia mereka. Boleh jadi usia para mujahid pembawa isi dakwah tersebut tidak panjang, tetapi cita-cita, semangat dan ajaran yang mereka bawa tetap hidup sepeninggal mereka.

Itulah ibrah yang harus dijadikan pusat perhatian para da’i. apalagi berkorban di jalan Allah adalah sekedar mengembalikan sesuatu yang berasal dari Allah jua. Kadang kita berat berinfaq, padahal harta kita dari-Nya. Kita terlalu perhitungan dengan tenaga dan waktu untuk berbuat sesuatu di jalan Allah padahal semua yang kita miliki berupa ilmu dan kemuliaan keseluruhannya juga berasal dari Allah.

Semoga kita dipermudah dalam menyuarakan Islam di muka bumi ini. Mari kita warisi dan teruskan risalah para nabi dan para pendahulu dakwah kita.

Sahabat perjuanganku,
Jika ada bintang yang bersinar paling indah
Itu adalah kalian…
Ketika aku temukan cinta bersama kalian
Semakin kuat diri ini mensyukuri pergerakan
Bergerak dan meregang nyawa tuk pertahankan keyakinan
Lebih aku sukai daripada pasrah terhinakan

Sahabat perjuanganku,
Jika ada orang yang sangat merindukan kematian,
Aku tahu itu adalah kalian,
Semakin teratur nafas-nafas juang ini menghirup wangi syurga yang terjanjikan
Setiap peluh dan darah yang keluar dengan cinta,
Mempertegas langkah ini tuk siapkan keabadian

Sahabat perjuanganku,
Pejuang sejati bukan pejuang gadungan yang mengaku teman berjuang namun ruhul istijabahnya lemah dan semakin meruntuhkan bangunan dakwah dari dalam.

Sahabat perjuanganku,
Pertemuan dengan kalian begitu mencerahkan. Berjuang bersama kalian merasakan ujian Allah adalah sebuah tarbiyah yang mendewasakan. Bersama kalian, tiada yang membuatku merasa berduka selain detik-detik yang terlewat tanpa nafas-nafas juang, nafas-nafas yang menyambung kehidupan.

Sahabat perjuanganku,
Perjalanan masih sangat panjang, jauh tak berujung. Mohonlah kekuatan untuk terus berjuang sampai habis aliran darah dan keringat. Mohonlah agar tak terhenti penuh sesal karena nafsu dan kekecewaan. Selamat berjuang MUHARRIK DAKWAH, semoga setiap tetes keringat dan darah yang akan tertumpah tergantikan senyum di surga

Ya Allah kokohkanlah kami dalam ikatan dakwah di jalan-Mu…

Aisya Avicenna

Friday, April 29, 2011

Catatan Aisya [29] : Cara Ibu Menyuruh Anak

Friday, April 29, 2011 0 Comments

Ada seorang ibu yang berprinsip dalam hal 'menyuruh anak'
- saat menyuruh pertama kali, berarti ia menyampaiken pesan 'minta tolong'
- jika mengulang 1x, brarti ia termasuk ibu yang cerewet
- jika mengulang 2x, berarti ia termasuk ibu yang bawel..
Karena ia tidak mau jadi ibu yang cerewet/bawel, maka ia tidak pernah mengulang ketika minta tolong, jika 1x meminta tolong tapi tidak ditanggapi, maka ia kerjakan sendiri, tidak marah dengan kata-kata, meski muka nampak agak masam.. Alhasil, anak-anaknya selalu bersegera dengan perintah pertama ibunya..

Copas dari notenya mbak Aniska :)

Thursday, April 28, 2011

Catatan Aisya [28] : Doa

Thursday, April 28, 2011 0 Comments
Ya Allah Maha Pengasih tunjukkan jalan bagiku
Agar kami tak sesat dalam rimba raya-Mu, Ya Allah..
Ya Allah Maha Pemurah berikan kami cahya-Mu
Agar kami tak jatuh dalam lembah azab-Mu, Ya Allah...

Kami hanyalah manusia yg penuh noda dan dosa
Ampuni kami semua dalam belaian sayang-Mu
Setulus doa dariku
Senikmat iman di kalbu
Agar kami tetap tegar
Dalam cobaan yang datang
Ya Allah...

Catatan Aisya [27] : Dua Status yang Kontroversial

Thursday, April 28, 2011 0 Comments

Melihat ke atas: Memperoleh semangat untuk maju
Melihat ke bawah: Bersyukur atas semua yg ada
Melihat ke samping: Semangat kebersamaan
Melihat ke belakang: Sebagai pengalaman berharga
Melihat ke dalam: Untuk introspeksi diri
Melihat ke depan: Untuk menjadi lebih baik!


~Melihat ke dompet.. Hmm, baru ingat kalau ini tanggal tua! ^^~

Status di atas aku posting di FB pada hari Selasa, 26 April 2011 dan langsung mengundang banyak jempol dan komenter. Teman-teman baru tahu kalau aku tuh tipikal orang yang humoris. Hehe...

Melihat ke atas: Memperoleh semangat untuk maju
Melihat ke bawah: Bersyukur atas semua yg ada
Melihat ke samping: Semangat kebersamaan
Melihat ke belakang: Sebagai pengalaman berharga
Melihat ke dalam: Untuk introspeksi diri
Melihat ke depan: Untuk menjadi lebih baik!


~Melihat ke dompet.. alhamdulillah.. terima rapelan gaji! ^^v~

Nah, kalau status ini aku posting hari Rabu, 27 APril 2011 dan tetap mengundang jempoldan komentar. Komentar yang masuk kebanyakan minta traktiran. Hadehh...


Aisya Avicenna

Wednesday, April 27, 2011

KELUARGA SEBAGAI LABORATORIUM PERADABAN

Wednesday, April 27, 2011 0 Comments


Posted by pak cah on August 19, 2010

Oleh : Cahyadi Takariawan

“Mengapa keluarga dapat dikatakan sebagai batu pertama untuk membangun negara ?” demikian pertanyaan Husain Muhammad Yusuf dalam bukunya Ahdaf Al Usrah Fil Islam mengawali pembahasan tentang Posisi Keluarga dalam Negara. “Sebab”, tulisnya, “Sejauh mana keluarga dalam suatu negara memiliki kekuatan dan ditegakkan pada landasan nilai, maka sejauh itu pula negara tersebut memiliki kemuliaan dan gambaran moralitas dalam masyarakatnya”.

Keluarga, dalam terminologi sosial sebagaimana dikemukakan Robert MZ. Lawang, dipahami sebagai kelompok orang-orang yang dipersatukan oleh ikatan perkawinan, darah atau adopsi; yang membentuk satu rumah tangga; yang berinteraksi dan berkomunikasi satu sama lain dengan melalui peran-perannya sendiri sebagai anggota keluarga; dan yang mempertahankan kebudayaan masyarakat yang berlaku umum, atau bahkan menciptakan kebudayaan sendiri. Empat karakteristik universal keluarga, tercermin dari definisi di atas.

Pertama, keluarga terdiri dari orang-orang yang bersatu karena ikatan perkawinan, darah atau adopsi. Kedua, mereka hidup bersama dalam satu rumah dan membentuk satu rumah tangga (house hold). Ketiga, mereka merupakan satu kesatuan yang berinteraksi dan berkomunikasi. Keempat, mempertahankan kebudayaan bersama yang sebagian besar berasal dari kebudayaan umum yang luas, atau mereka menciptakan kebudayaan sendiri.

Islam memiliki pandangan yang spesifik tentang keluarga, dan memberikan penghargaan yang tinggi. Menurut Hibbah Rauf Izzat, dalam konsepsi Islam keluarga adalah unit yang sangat mendasar di antara unit-unit pembangunan alam semesta. Ismail Raji Al Faruqi menganggap keluarga juga merupakan infrastruktur bagi masyarakat Islam yang bersaing dengan infrastruktur masyarakat lain di dalam mewujudkan tujuan-tujuan konsep istikhlaf.

Fungsi Edukatif (Tarbiyah) dalam Keluarga

William J. Goode menyebutkan tiga fungsi keluarga, yaitu fungsi reproduktif, ekonomi dan edukatif. Sedangkan William Ogburn, selain fungsi edukatif dan ekonomi, menambahkan dengan fungsi perlindungan, rekreasi, agama dan status pada individu. Lebih dari itu, Islam sejak empat belas abad silam telah memberikan perhatian yang amat spesifik dalam masalah keluarga, dan menempatkan keluarga sebagai batu bata kokoh dalam membangun peradaban umat.

Di antara fungsi besar dalam keluarga adalah edukatif (tarbiyah). Dari keluarga inilah segala sesuatu tentang pendidikan bermula. Apabila salah dalam pendidikan awalnya, peluang untuk terjadi berbagai distorsi pada diri anak demikian tinggi. Demikian pula sebaliknya. Di sini kita akan menggunakan kata tarbiyah, bukan ta’dib, sebagai makna pendidikan atau juga pembinaan.

Pada dasarnya Islam telah menjadikan tarbiyah (pendidikan) sebagai atensi yang dominan dalam kehidupan. Di antara bukti yang bisa diungkapkan adalah, banyaknya istilah Ar Rabb yang digunakan dalam Al Qur’an, yang menurut Ibnu Manzhur, diturunkan dari akar yang sama dengan kata tarbiyah. Abul A’la Al Maududi menyatakan, “mendidik dan memberikan perhatian” adalah salah satu dari makna-makna implisit kata Rabb. Al Qurthubi berpendapat, kata Rabb dipakai untuk menggambarkan siapa saja yang melakukan sesuatu menurut cara yang sempurna.

Ar Razi membuat perbandingan antara Allah sebagai Pendidik dan manusia sebagai pendidik, menyatakan bahwa Allah sebagai Pendidik -tidak seperti manusia- tahu betul segala kebutuhan yang dididikNya lantaran Dia adalah Dzat Pencipta. “PerhatianNya tidak terbatas hanya pada sekelompok manusia; Allah memperhatikan dan mendidik seluruh makhluk dan karenanya kemudian digelari Rabbul Alamin”, lanjut Ar Razi.

Abdurrahman An Nahlawi berpendapat, ada tiga akar kata untuk istilah tarbiyah. Pertama, raba – yarbu yang maknanya bertambah dan berkembang. Kedua, rabiya – yarba sebagaimana wazan khafiya – yakhfa, yang bermakna tumbuh dan berkembang. Ketiga, rabba – yarubbu sesuai wazan madda – yamuddu, yang berarti memperbaiki, mengurusi, mengatur, menjaga dan memperhatikan. Najib Khalid Al Amir dalam bukunya Min Asalibi Ar Rasul Fi At Tarbiyah, mengemukakan hal yang senada. Seterusnya Najib menambahkan, “Kata Ar Rabb ditujukan kepada Allah Swt yang artinya Tuhan segala sesuatu, raja dan pemiliknya, Tuhan yang ditaati, Tuhan yang memperbaiki”.

Penulis tafsir Anwarut Tanzil wa Asrarut Ta’wil, Imam Baidhawi, menyebutkan bahwa pada dasarnya kata Ar Rabb itu bermakna tarbiyah yang artinya menyampaikan sesuatu hingga mencapai kesempurnaannya setahap demi setahap. Senada dengan itu, penulis Al Mufradat, Ar Raghib Al Asfahani berpendapat bahwa Ar Rabb berarti tarbiyah yang bermakna menumbuhkan sesuatu setahap demi setahap hingga mencapai batas kesempurnaannya.

Berdasarkan makna itu, Abdurrahman Al Bani mengambil empat unsur penting dalam pendidikan. Pertama, menjaga dan memelihara fitrah obyek didik. Kedua, mengembangkan bakat dan potensi obyek didik sesuai kekhasan masing-masing. Ketiga, mengarahkan potensi dan bakat tersebut agar mencapai kebaikan dan kesempurnaan. Keempat, seluruh proses tersebut dilakukan secara bertahap.

Tak bisa disangkal lagi bahwa pendidikan bermula dari rumah, bukan dari sekolah. Bahkan, meminjam istilah Bobbi DePorter dan Mike Hernacki dalam teori Quantum Learningnya, pembelajaran masa kecil di rumah adalah saat-saat yang amat menyenangkan. Mereka menyebut contoh belajar berjalan pada anak usia satu tahun. Kendati dengan tertatih dan berkali-kali jatuh, toh anak pada akhirnya mampu berjalan, tanpa merasa ada kegagalan, suatu hal yang amat berbeda dengan pembelajaran orang dewasa.

Fungsi edukatif dalam keluarga menjadi sedemikian vital untuk mempersiapkan masa depan umat. Khalid Ahmad Asy Syantuh menyebutkan, pendidikan merupakan sarana perombakan yang fundamental. “Sebab”, katanya, “ia mampu merombak jiwa manusia dari akar-akarnya”. Seluruh anggota keluarga harus mendapatkan sentuhan tarbiyah untuk menghantarkan mereka menuju optimalisasi potensi, pengembangan kepribadian, peningkatan kapasitas diri menuju batas-batas kebaikan dan kesempurnaan dalam ukuran kemanusiaan.

Adapun tujuan tertinggi dari proses pendidikan, menurut Omar Mohammad Al Toumy Al Syaibany, bisa dirumuskan dengan beberapa rumusan berikut: perwujudan diri, persiapan untuk kewarganegaraan yang baik, pertumbuhan yang menyeluruh dan terpadu, serta persiapan untuk kehidupan dunia dan akhirat. Dengan demikian, pendidikan dalam keluarga tengah menyiapkan anggotanya mencapai tujuan tertinggi tersebut, atau dalam bahasa Muhammad Quthb diistilahkan dengan ungkapan ringkas, “manusia yang baik”, sebagaimana ungkapan Al Qur’an:

“Sesungguhnya orang yang terbaik di antara kalian adalah yang paling bertaqwa” (Al Hujurat: 13).

“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mu’min, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu’, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-klaki dan perempuan yang menjaga kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah; Allah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar” (Al Ahzab: 35).

“Muhammad itu adalah utusan Allah, dan orang-orang yang bersma dengan dia adalah tegas terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka; kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud” (Al Fath: 29).

Kapan Dimulainya Pendidikan ?

Glenn Doman pernah menuturkan kisah seorang ibu yang bertanya kepada ahli perkembangan anak tentang mulai kapan ia harus mulai mendidik anaknya.

“Kapan anak ibu akan lahir?” tanya sang ahli.

“Oh, anak saya telah berusia lima tahun sekarang” jawab ibu.

“Cepatlah ibu pulang. Anda telah menyia-nyiakan lima tahun yang paling baik dari hidup anak anda”.

Kisah di atas diangkat dari pertanyaan: kapan mulai mengajar anak membaca? Apabila kita perluas dalam bahasa pendidikan, maka pendidikan anak dimulai bukan saja ketika bayi telah lahir, atau ketika masih dalam kandungan si ibu. Akan tetapi prosesi pendidikan itu telah dimulai sejak seorang laki-laki memilihkan calon ibu bagi calon anak-anaknya, dan ketika seorang wanita memilihkan calon bapak bagi calon anak-anaknya. Ikatan perkawinan merupakan awal mula terjadinya pendidikan, dan awal mula pendirian laboratorium peradaban. Husain Muhammad Yusuf berpendapat:

“Islam tidak menganggap perintah untuk melaksanakan perkawinan hanya sebatas jalan resmi menurut hukum untuk membentuk keluarga, atau sebagai cara yang mulia untuk melahirkan anak-anak shalih, atau untuk menundukkan pandangan mata, atau untuk merendahkan gejolak nafsu, atau untuk memenuhi tuntutan biologis saja. Tetapi Islam menganggap perkawinan sebagai sesuatu yang lebih agung dari masalah-masalah tersebut. Islam menganggap keluarga sebagai jalan untuk merealisir tujuan yang lebih luas lagi, yang mencakup seluruh sektor kehidupan masyarakat Islam. Perkawinan mempunyai pengaruh yang lebih luas dalam kehidupan orang-orang Islam dan pembentukan umat Islam”.

Dengan demikian pendidikan telah dimulai dari awal: pembentukan pribadi muslim yang bertemu dalam ikatan pernikahan untuk membentuk sebuah keluarga. Pendidikan tidak dimulai ketika bayi telah lahir, atau ketika sudah saatnya sekolah. Sejak awal, orang tuanya telah mempersiapkan bekal yang baik bagi calon anak-anak yang diharapkan baik pula.

Kendati demikian, prosesi pendidikan secara operasional baru dapat dilakukan ketika anak sudah maujud. Adnan Hasan Shalih Baharits mengemukakan bahwa pada lima tahun pertama dalam kehidupan anak, 90 % pendidikan sudah dapat dilakukan secara tuntas. Sejalan dengan itu adalah pernyataan ulama besar Ibnul Qayim al Jauzi bahwa pembinaan yang paling baik adalah di waktu kecil. Hal ini menuntut peran orang tua sebagai pendidik pertama dan utama bagi anak-anaknya, sebagai suatu kewajiban besar yang tak mungkin dihindarkan.

Pendidikan Integratif dalam Keluarga: Sebuah Laboratorium Peradaban

Di antara fungsi keluarga dalam tinjauan sosiologis, baik menurut Goode maupun Ogburn, adalah fungsi edukatif. Secara normatif, Abdullah Nasih Ulwan menyebutkan tujuh macam pendidikan integratif dalam keluarga, yaitu pendidikan iman, pendidikan moral, pendidikan fisik, pendidikan intelektual, pendidikan psikis, pendidikan sosial, dan pendidikan seksual. Ketujuh macam pendidikan tersebut harus terintegrasikan secara sistemik dalam keluarga.

Hibbah Rauf Izzat menambahkan perlunya pendidikan politik dalam keluarga, sekaligus melancarkan kritik pedas terhadap wacana fiqih keluarga yang cenderung mengabaikan perhatian terhadap masalah politik:

“Sisi-sisi politik di dalam institusi keluarga tidak mendapatkan perhatian di dalam pemikiran dan fiqih Islam. Tulisan-tulisan filsafat yang memberikan perhatian kepada politik kaum lelaki telah mempergunakan politik dengan makna kaidah-kaidah pergaulan antara manusia dan perilaku mereka dan berpusar pada kerangka moralitas. Berbagai tulisan yang membahas politik agama sama sekali tidak pernah menyebut institusi keluarga sebagai salah satu unit politik, sedangkan buku-buku fiqih hanya bertumpu kepada segi-segi muamalah, hukum perkawinan dan perceraian, serta tidak menyentuh sama sekali kepada bidang-bidang yang lainnya. Begitulah institusi keluarga tetap menjadi medan kajian fiqih dan akhlaq, dan tidak pernah dikaji dalam kerangka politik agama”.

Pendidikan iman merupakan pondasi yang kokoh bagi seluruh bagian-bagian pendidikan. Komitmen ideologis yang tertanam pada diri setiap anggota keluarga akan memungkinkannya mengembangkan potensi fitrah dan beragam bakat. Pendidikan moral akan menjadi bingkai kehidupan manusia, setelah memiliki landasan kokoh berupa iman. Pada saat budaya masyarakat menyebabkan degradasi moral, maka penguatan moralitas melalui pendidikan keluarga menjadi semakin signifikan kemanfaatannya.

Pendidikan psikis membentuk berbagai karakter positif kejiwaan, seperti keberanian, kejujuran, kemandirian, kelembutan, sikap optimistik, dan seterusnya. Karakter ini akan menjadi daya dorong manusia melakukan hal-hal terbaik bagi urusan dunia dan akhiratnya. Pendidikan fisik tak kalah penting. Keluarga muslim harus menampakkan berbagai kekuatan, termasuk kekuatan fisik: agar tubuh menjadi sehat dan kuat. Kekuatan fisik termasuk alasan yang diberikan Allah atas diangkatnya Thalut sebagai pemimpin bani Israil, bashthatan fil ilmi wal jismi. Konsumsi fisik yang halal dan thayib harus mengarah kepada penyiapan kekuatan peradaban masa depan.

Pendidikan intelektual harus dilakukan dalam keluarga sejak dini, karena peradaban masa depan umat amat bergantung kepada kapasitas intelektual mereka. Anggota keluarga harus memiliki kecerdasan yang memadai, sebab mereka harus bersaing dengan beraneka kebudayaan sebagai konsekuensi logis globalisasi informasi. Pendidikan sosial bermaksud menumbuhkan kepribadian sosial anggota keluarga, agar mereka memiliki kemampuan bersosialisasi dan menebarkan kontribusi positif bagi upaya perbaikan masyarakat.

Keluarga muslim tidak boleh menjadi eksklusif dengan keislamannya, sebab Islamlah agama yang melarang sikap-sikap antisosial. Pendidikan sosial memunculkan solidaritas sosial yang pada gilirannya akan mengoptimalkan peran sosial seluruh anggota keluarga. Wanita, yang kadang tersterilkan peran sosialnya lantaran pemahaman tradisional, dalam keluarga muslim harus memiliki kontribusi yang sejalan dengan fitrahnya. Muhammad Abdul Halim Abu Syuqah menyebutkan, wanita berpertan serta dalam kegiatan sosial, politik dan tindakan lain yang dapat dikerjakannya di masa Rasulullah Saw. Malah menurut Abu Syuqah, “peran serta dalam bermasyarakat ini tidak diikat kecuali oleh sejumlah tata cara luhur yang melindungi mereka”.

Pendidikan seksual juga diperlukan dalam keluarga muslim. Kesadaran diri sebagai laki-laki atau perempuan penting untuk mendapatkan perhatian sejak dini agar tidak menimbulkan bias. Pengertian tentang kesehatan reproduksi bukan hanya diberikan kepada anak perempuan, tetapi juga kepada anak laki-laki. Penghormatan satu pihak dengan pihak yang lainnya -antara laki-laki dan perempuan- sehingga tidak terjadi dominasi laki-laki atas perempuan, bagian dari kesadaran gender yang mesti ditumbuhkan.

Pendidikan politik dalam keluarga, sebagaimana disampaikan oleh Izzat, mendesak untuk mendapatkan perhatian. Ia menuliskan:

“Keluarga (suami isteri) atau keluarga kecil, dianggap sebagai proyek percontohan kecil umat dengan berbagai karakteristik yang dimilikinya. Hal ini tercermin dalam nilai-nilai mendasar yang menentukan sistem Islam dan pada saat yang sama dianggap sebagai tonggak Islam dan batu pondasi yang sangat penting bagi sistem ini. Barangkali konsep kepemimpinan dan konsep syura merupakan karakteristik yang paling menonjol padanya”.

Sebenarnya kajian mengenai pendidikan politik telah dimulai bersamaan dengan munculnya pandangan Plato dan Aristoteles yang mengasumsikan pendidikan anak-anak itu serupa dengan tabiat negara. Pemikir lainnya, Boden, dalam tulisan-tulisannya mengemukakan mengenai urgensi ketaatan dalam institusi keluarga sebagai dasar ketaatan terhadap institusi pemerintah. Kendati demikian, kesadaran akan adanya pendidikan politik dalam keluarga seperti ini memang belum dimiliki oleh sebagian masyarakat kita. Mereka hanya memberikan hak pendidikan politik ini kepada pemerintah dan partai politik.

Pendidikan politik bisa dilakukan melalui berbagai macam media, seperti keluarga, sekolah, kelompok, dan sarana informasi. Media-media itulah yang dapat memindahkan budaya politik suatu masyarakat kepada generasi lainnya, yang dalam hal ini satu konsep berkaitan dengan konsep-konsep lainnya seperti syari’at, identitas, kepemimpinan dan kewarganegaraan. Semua itu, menurut Ahmad Jamal Zhahir dalam bukunya At Tansyi’ah Al Ijtima’iyah wa As Siyasiyah fil Alam Al Arabi, ditujukan untuk mewujudkan stabilitas dalam hubungan antara rakyat dengan negara.

Praktik pendidikan politik dalam institusi keluarga dapat berlangsung dengan baik apabila didukung oleh berbagai perangkat dan mekanisme. Menurut Izzat, yang paling penting di antaranya adalah, pertama, hierarki kekuasaan dalam institusi keluarga, kedua, suasana keluarga, dan ketiga, bahasa, konsep serta simbol-simbol. Hierarki kekuasaan dalam keluarga merupakan cara pendidikan politik, karena institusi keluarga merupakan negara mini bagi anak-anak. Bagi Dean Jaros dalam bukunya Socialization to Politics, pengetahuan anak-anak tentang kekuasaan yang ada dalam institusi keluarga merupakan awal pengetahuannya terhadap kekuasaan di dalam negara dan kedudukannya di dalam negara.

Sumbangan besar dari hierarki dalam keluarga beserta segala implikasinya dalam konteks pendidikan keluarga, bisa dilihat dari beberapa tema berikut: konsep kepemimpinan (al qiwamah), ketaatan dalam kebaikan, serta konsep syura. Keluarga harus memiliki kepemimpinan yang jelas, dan untuk itu Allah menunjuk laki-laki sebagai pemimpin (al qawwam) dalam rumah tangga. Perkataan al qiwamah (kepemimpinan) ini muncul tiga kali dalam Al Qur’an, yaitu:

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita” (An Nisa’: 34)

“Hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah… ” (An Nisa’: 135).

“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-oranmg yang selalu menegakkan keadilan karena Allah” (Al Maidah : 8).

Dengan demikian kepemimpinan mengharuskan sikap adil terhadap yang dipimpinnya. Agar bisa berlaku adil dalam memimpin, sehingga kepemimpinannya layak ditaati, diperlukan prinsip syura. Dalam keluarga, Islam menuntunkan umatnya untuk membina kehidupan di atas prinsip syura. “Oleh karena itulah”, kata Yusuf Qardhawi, “nash-nash syari’at menolak adanya paksaan seorang ayah untuk menikahkan putrinya tanpa meminta pendapatnya, walaupun putri itu masih gadis. Sebaliknya Islam mewajibkan agar anak gadis itu dimintai izin, meskipun ia merasa malu, maka keizinannya adalah diamnya”.

Rasul Saw memerintahkan kepada wali pihak wanita (yaitu ayah) untuk bermusyawarah dengan ibu wanita tersebut dalam urusan pernikahannya, yaitu suami melakukan musyawarah dengan isterinya untuk menikahkan anak gadisnya, sebagaimana hadits berikut:

“Bermusyawarahlah dengan kaum wanita (isteri-isteri kalian) dalam urusan anak-anaknya” (Riwayat Imam Ahmad).

Al Qur’an menyebutkan pentingnya syura dan saling ridha antara suami dan isteri dalam kaitannya dengan menyusui anak dan menyapihnya, meski setelah cerai di antara keduanya sekalipun:

“Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya” (Al Baqarah: 233).

Suasana keluarga juga memegang peranan penting dalam pendidikan politik. Cinta, kasih sayang dan kemesraan hubungan yang diperoleh anak-anak dalam keluarga merupakan sesuatu yang dapat mencetak jiwa dan perilaku sosial serta politik mereka. Kajian yang dilakukan oleh Kenneth P. Langton dan M. Kent Jennings untuk masyarakat Barat memberikan petunjuk bahwa ketika anak kecil dihadapkan kepada pemilihan afiliasi partai politik kedua orang tuanya, ia akan cenderung kepada orientasi ibunya. Ini dianggap sebagi pengaruh ibu dalam pembinaan orientasi politik individu. Langton juga menunjukkan hasil kajian yang lain, adanya pengaruh ayah terhadap perilaku politik anak-anaknya sebagai pemain politik dalam masyarakat.

Izaat mengungkapkan bahwa simbol-simbol politik bukanlah simbol-simbol yang berkaitan dengan kekuasaan dan negara saja, melainkan semua simbol budaya memiliki muatan makna politik. Bahkan sesungguhnya simbol-simbol itu sifatnya tidak langsung, tetapi terkadang lebih besar dan lebih dalam pengaruhnya dalam membentuk kesadaran politik anak-anak daripada simbol-simbiol yang langsung. Dalam hal ini institusi sosial khususnya keluarga, lebih efektif dibandingkan dengan institusi-institusi politik pada umumnya.

Contoh simbol-simbol yang memiliki indikasi pendidikan politik banyak sekali dijumpai dalam keluarga. Simbol ini bisa terkandung dalam kisah kanak-kanak sebagai tokoh sentral atau pahlawan, atau nilai-nilai yang terkandung dalam kisah kepahlawanan pada umumnya. Permainan senjata pada anak-anak bisa menghantarkan pada nilai kepejuangan dan patriotisme. Bahkan nama anak itu sendiri bisa mencerminkan suatu simbolisasi politik yang diambil dari nama tokoh-tokoh dalam sejarah.

Pendidikan integratif yang terjadi dalam keluarga akan menghasilkan produk yang berkualitas, sebagai bahan baku meretas peradaban baru. Perubahan sosial, budaya dan politik dari masyarakat senantiasa beranjak dari perubahan individu, sebagaimana jastifikasi Qur’an:

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri” (Ar Ra’du : 11).

Maa bi anfusihim, apa yang ada pada diri mereka sendiri adalah faktor kejiwaan masyarakat. Tentu saja pembinaan kepribadian ini harus dimulai dari rumah. “Atas dasar ini”, kata Hibbah Rauf Izzat, “Perhatian pandangan Islam memulai perubahan dari institusi keluarga, kemudian melangkah kepada kelompok, dan akhirnya menjangkau umat, untuk menciptakan kemajuan kepada Islam”. Tak bisa disangsikan lagi, bahwa keluarga merupakan laboratorium bagi sebuah peradaban yang dicitakan.

Model Pendidikan Keluarga

Di depan telah diuraikan secara ringkas bahwa pendidikan dalam keluarga bersifat integratif, dimana segala aspek potensi kemanusiaan mesti terberdayakan. Paulo Freire mengembangkan wacana pendidikan yang humanis, ungkapan antagonistik dari sistem pendidikan dominasi dan dehumanisasi. Dalam pandangan Freire, salah satu perbedaan utama antara pendidikan sebagai sebuah kewajiban humanis dan liberal di satu sisi, dengan dominasi dan dehumanisasi di sisi yang lain, adalah bahwa dehumanisasi merupakan proses transformasi ilmu pengetahuan, sedangkan humanisasi merupakan proses pemberdayaan masyarakat melalui ilmu pengetahuan.

Dalam hubungannya dengan kesadaran manusia dan dunia, menurut Freire, pendidikan yang dilihat sebagai bentuk dominasi menganggap kesadaran manusia semata-mata merupakan wadah kosong yang harus diisi; sedangkan pendidikan sebagai sebuah proses pembebasan dan humanisasi memandang bahwa kesadaran itu sebagai suatu ‘hasrat’ (intention) terhadap dunia. Selanjutnya Freire menambahkan:

“Dengan mengasumsikan pendidikan sebagai proses dominasi, orang yang menguasai ilmu pengetahuan justru meniadakan prinsip kesadaran aktif. Pendidikan ini menjalankan praktik-praktik yang digunakan orang untuk ‘menjinakkan’ kesadaran manusia, mentransformasikannya ke dalam sebuah wadah kosong. Pendidikan budaya dalam dominasi ini diarahkan pada situasi dimana guru merupakan satu-satunya orang yang mengetahui dan mengajarkan ilmu pengetahuan kepada peserta didik sebagai orang yang tidak tahui apa-apa”.

Dalam wacana pendidikan keluarga, yang terjadi haruslah sebuah pemberdayaan yang aktif. Kendatipun ada kekuatan dominasi karena otoritas kepemimpinan laki-laki (suami) dalam rumah tangga, tetapi tidak boleh mengarah kepada prosesi pendidikan yang melakukan praktik dehumanisasi. Di rumah tak sekadar terjadi transformasi pengetahuan secara sepihak dan searah dari suami kepada isteri dan anak-anak, akan tetapi terjadi proses pembelajaran bersama sebagai wujud kesadaran kosmopolis manusia terhadap alam.

Dalam bahasa Freire, pendidikan dan aksi budaya yang membebaskan, “merupakan proses yang otentik untuk mencari ilmu pengetahuan guna memenuhi hasrat keinginan peserta didik dan guru dengan kesadaran untuk menciptakan ilmu pengetahuan baru”. Interaksi yang terjadi dalam keluarga tidak boleh terkungkung hanya kepada upaya untuk menghafalkan teori-teori, atau mengumpulkan konsep-konsep, kendatipun tentang kebenaran, akan tetapi harus sampai kepada dataran pencarian-pencarian makna serta hakikat yang lebih mendalam untuk mendapatkan kebaruan.

Pendidikan dalam keluarga juga tidak cukup sebatas upaya preventif terhadap munculnya ketidakbaikan. Eksplorasi optimal terhadap potensi-potensi kebaikan harus dimunculkan secara seimbang dalam keluarga. Tidak tepat memegangi prinsip Jean Jacques Rousseau dalam prinsip pendidikan anak-anak, “pendidikan pemula harus sepenuhnya negatif. Ia bukan pendidikan mengenai kebajikan dan kebenaran, melainkan mencegah atau melindungi hati dari kejelekan dan pikiran dari kesalahan”.

Model pendidikan dalam keluarga ditentukan oleh banyak faktor, di antaranya adalah landasan ideologis keluarga, model interaksi dan komunikasi yang dibangun di dalamnya, juga lingkungan sosial, politik serta budaya yang melingkupi keluarga tersebut. Bagi keluarga muslim, landasan ideologis mereka amat kokoh, yaitu Islam, sehingga menggampangkan untuk merunut model pendidikan yang diinginkan. Tatkala keluarga memiliki keterikatan yang kuat dengan keyakinan hidup materialisme, maka model-model pendidikan yang ada di dalamnya juga bersifat material sentris. Artinya, model pendidikan yang terjadi tak bisa dipisahkan dari keyakinan primordial keluarga tersebut.

Model interaksi yang dibangun dalam keluarga amat menentukan model pendidikan yang terjadi di dalamnya. Allah memerintahkan Rasul Saw dalam surat Al Hijr ayat ke 88 agar bersikap rendah hati dalam berkomunikasi dengan pengikutnya. Ungkapan wahfidh janahaka dalam ayat tersebut dipahami oleh Al Qurthubi sebagai keintiman hubungan Rasul dan para sahabat, yang pada awalnya digunakan untuk mendeskripsikan burung-burung yang menyelimuti anak-anak mereka dengan sayapnya. Keluarga hendaknya memiliki hubungan yang akrab dan intim satu dengan yang lain, karena akan memudahkan untuk proses pencerapan nilai-nilai.

Akan tetapi keintiman hubungan saja tidak cukup, kata Abdurrahman Shalih Abdullah. Diperlukan perangkat lainnya berupa metoda, pertimbangan waktu dan kondisi. Prinsip ini dianggap sesuai dengan makna hadits Nabi saw dari Ibnu Mas’ud:

“Nabi saw biasa mengajari kami dengan memilih hari (waktu) yang tepat, sehingga kami tidak merasa bosan” (Riwayat Bukhary).

Segala sisi yang memungkinkan hasil pendidikan menjadi lebih baik, perlu mendapat perhatian dalam keluarga. Akan tetapi model yang dipilih tentu yang akan membawa anggota keluarga menuju nilai kebaikan optimal mereka. Sebagaimana dikemukakan oleh Muhammad Quthb bahwa metodologi Islam dalam melakukan pendidikan adalah dengan melakukan pendekatan yang menyeluruh terhadap wujud manusia, sehingga tidak ada yang tertinggal dan terabaikan sedikitpun, baik jasmani maupun ruhani, baik kehidupannya secara fisik maupun kehidupan secara mental, serta segala kegiatannya di bumi ini. Bukan model pendidikan yang akan mematikan potensi dan memandulkan bakat mereka sebagaimana digambarkan Freire sebagai proses dehumanisasi.

Muhammad Quthb menggambarkan proses pendidikan dalam Islam seperti menggesek biola:

“Ia menganalisa fitrah manusia itu secara cermat, lalu menggesek seluruh senar dan seluruh nada yang dimiliki oleh senar-senar itu, kemudian menggubahnya menjadi suara yang merdu. Di samping itu ia juga menggesek senar-senar secara menyeluruh, bukan satu demi satu yang akan menimbulkan suara sumbang dan tak serasi. Tidak pula menggeseknya hanya sebagian dan mengabaikan bagian yang lain, yang menyebabkan irama tidak sempurna, tidak mengungkapkan irama yang indah sampai ke tingkat gubahan yang paling mengesankan”

Wallahu a’lam bish shawab.

Rujukan

1. Abdul Karim Zaidan, Ushulud Da’wah, Mu’assasah Ar Risalah, Beirut, 1987
2. Abdullah Nasih Ulwan, Ruhaniyah Ad Da’iyah, Darussalam, Kairo, 1986
3. Abdurrahman An Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat, Gema Insani Press, Jakarta, 1983
4. Abdurrahman Shalih Abdullah, Landasan Pendidikan menurut Al Qur’an serta Implementasinya, CV. Diponegoro, Bandung, 1991
5. Abdul Halim Muhammad Abu Syuqah, Tahrir Al Mar’ah Fi Ashri Ar Risalah, Darul Qalam, Kuwait, 1990
6. Abdullah Nasih Ulwan, Pedoman Pendidikan Anak dalam Islam, Asy Syifa, Semarang, 1988
7. Adnan Hasan Shalih Baharits, Tanggung Jawab Ayah terhadap Anak Laki-laki, Gema Insani Press, Jakarta, 1996
8. Bobbi DePorter dan Mike Hernacki, Quantum Learning Membiasakan Belajar Nyaman dan Menyenangkan, Kaifa, Bandung, 1999
9. Cahyadi Takariawan, Pernik-pernik Rumah Tangga Islami, Intermedia, Solo, 1997

10. Hibbah Rauf Izzat, Wanita dan Politk: Pandangan Islam, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1997

11. Hussain Muhammad Yusuf, Motivasi Berkeluarga, Pustaka Al Kautsar, Jakarta, 1992

12. Ibrahim Muhammad Al Jamal, Fikih Wanita, Asy Syifa’, Semarang, 1986

13. Isham Muhanmmad Asy Syarif, Shurah Al Bait Al Muslim, Darush Shfawah, Kairo, 1993

14. Khalid Ahmad Asy Syantuh, Tarbiyah Al Banat Fi Al Usrah Al Muslimah, Darul Mujtama’, 1991

15. Muhammad Quthb, Sistem Pendidikan Islam, PT. Al Ma’arif, Bandung, 1984

16. Najib Khalid Al Amir, Min Asalibi Ar Rasul Saw Fi At Tarbiyah, Maktabah Al Busyrah Al Islamiyah, Kuwait, 1990

17. Omar Mohammad Al Toumy Al Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1979

18. Paulo Freire, Politik Pendidikan: Kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebasan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1999

19. Robert MZ. Lawang, Pengantar Sosiologi, Depdikbud, Jakarta, 1985

20. Syed Sajjad Husain dan Syed Ali Asharaf, Menyongsong Keruntuhan Pendidikan Islam, Gema Risalah Press, Bandung, 1994

21. Yusuf Qardhawi, Malamih Al Mujtama’ Al Muslim Alladzi Nansyuduhu, Maktabah Wahbah, Kairo, 1997

22. Yusuf Qardhawi, Al Khasha’ish Al Amah Lil Islam, Maktabah Wahbah, Kairo, 1989

<< Disampaikan dalam Seminar Nasional Pendidikan RDK 1420 UNY>>

Yogyakarta, 18 Desember 1999

Celoteh Aksara [27]: “M-Four: Mengenang Masa-Masa Mbolang #1”

Wednesday, April 27, 2011 0 Comments


by Norma Keisya Avicenna on Wednesday, April 27, 2011 at 10:34am



Catatan ini hanya sebagai sarana refreshing aja, tatkala hari-hariku disibukkan untuk menyelesaikan satu PR yang benar-benar ekstra menguras tenaga, waktu, pikiran, dan harta tentu saja. Bagian terkuras yang terakhir itu lantaran ketika menulis atau asyik membenamkan diri dalam buku, lebih asyik kalau ada yang menemani. Bukan berwujud manusia, tapi camilan. Hehe…Lanjut!



Karena asyik menulis tentang PNS sakwadyabalane, tangan ini tergerak untuk mengambil satu dari deretan buku DNA yang berbaris manis di pojokan rak kiri bawah di perpus pribadi AL FIRDAUS 2. [NO]stalgia [R]o[MA]ntic bulan September-Desember 2010. Ah, sampai saat ini, catatan harian yang terdokumentasikan di buku ini masih menempati rating teratas. Jika dibandingkan dengan catatan-catatan harianku yang lain. Banyak kisah seru yang takkan terlupakan, yang sudah tertulis, terjadi diantara 4 bulan itu. Kapan-kapan moga bisa bikin memoar. Hihi…



Salah satunya kisah seru bulan Oktober 2010. Masa-masa mbolangku saat mengikuti audisi abdi negara. Tertulis di buku DNA-ku itu, hari Jumat tanggal 22 Oktober 2010 aku berangkat ke Bandung dengan kereta Lodaya bersama keluarganya Gestin Mey Ekawati (Gest-Chay). Sahabat terbaikku zaman putih abu-abu sampai sekarang. Bersama keluarganya (bapak “kepala suku”, ibuk, dan Resha –adiknya-) kita menikmati perjalanan ke Bandung. Dah kayak keluarga sendiri deh. Ini perjalanan keduaku ke Bandung naik kereta. Dulu pertama kali sendirian…mewujudkan impian dan janji pada diri sendiri setelah dapat gelar S.Si.



Wisuda Chay di ITB

Yupz, keesokan harinya (tanggal 23 Oktober 2010) aku mendampingi mahasiswi Teknik Geofisika itu wisuda. Ya, akhirnya aku pun bisa mewujudkan salah satu impian yang sempat tertuliskan. Mendampingi sahabat terbaikku itu di salah satu hari bersejarah dalam hidupnya. Senangnya bisa menginjakkan kaki di kampus Ganesha lagi, kampus yang sampai detik ini pun masih menjadi kampus impianku. “Hm, kalau belum rejekinya tahun ini, semoga tahun depan…”. Setidaknya, kalau bukan aku, semoga saudari kembarku atau mungkin anak cucu kelak. Kalau suami? Hm, ntahlah. Hehe…semuanya masih dalam bingkai rahasia-Nya. Xixixi. Yang jelas, ITB selalu punya cerita tersendiri dalam hidupku. Setidaknya sekarangpun aku merasakan menjadi bagian dari keluarga besarnya. Keluarga Ganesha! Alhamdulillah…^^v. Waktu itu, aku juga sempat menangkap sosok Teh Ninih yang ternyata mengantarkan salah satu putrinya wisuda juga. Hm…



Jejak yang Terpetakan di Ibukota

Kisah selanjutnya, tanggal 24 Oktober. Ahad pagi itu aku berangkat mruput dari kost Gestin menuju stasiun Bandung. Kali ini aku kembali mbolang sendirian. Ya Rabb, hanya kepada-Mu hamba memohon perlindungan. Padahal lebih baik ada mahram yang menemani, tapi mau gimana lagi Mas Dhody juga sibuk dengan pekerjaannya di Solo. Bismillah, dengan ACC dan restu bapak-ibuk akhirnya aku benar-benar berani mbolang sendirian ke Jakarta. Walaupun itu bukan kali yang pertama. Hehe…



Jam 08.45 sampai di stasiun Jatinegara. Tadi sempat beli teh panas di kereta buat mengganjal perut karena belum sempat sarapan, e…pas turun minumanku yang belum habis itu tersenggol dan tumpah. Hehe…aku hanya nyengir! Keluar stasiun, nunggu Mbak Thicko. Dan akhirnya SUPERTWIN berkumpul! Nyampe RedZone, sarapan dulu, tyuz pergi lagi! Kali ini Nungma mau diselundupkan Mbak Thicko di acaranya rekan-rekan FLP Jakarta. Naik kopaja tyuz naik bajaj sampai depan Taman Ismail Marzuki. Oh no, bajaj pertamaku nih! Ah, ku jadi terkenang dengan komunitas dan genk-ku zaman kelas 3 SMA dulu. Hahaha…3 IPA 4 SMA 1 Wonogiri yang mengatasnamakan keluarga mereka (keluargaku juga ding) “BAJAJ COMMUNITY”. Alasannya cukup simple, karena “icon” kelas kita yang bernama Ali, wajahnya plek-njiplek pemeran utama dalam sinetron Bajaj Badjoeri. Hihihi…Ali, no coW no enJoy dah!





Jadi Penyusup di FLP Jakarta

Serunya nyusup di pertemuan FLP Jakarta pagi mpe siang itu. Seneng banget! Ketemu para penulis yang biasanya aku hanya bisa menikmati tulisan-tulisannya, dan pada kesempatan itu aku bisa bertatap muka dan ngobrol langsung. Hihi…ketemu Kang Taufan E.Prast (ketua FLP Jakarta) yang saat aku mengeluarkan oleh-oleh berupa mete, tu mete langsung beliau bawa kemana-mana. Hahaha…gubrak! Tyus ketemu istri beliau yang cantik, Mbak Erawati. Terima kasih donatnya, ya Mbak! Ketemu Mbak Lia Octavia, Mbak Icha, Soson, Ikal, Mas Sakti Wibowo juga ada, dll…



Cobalah.Perjuangkan.Nikmati.Syukuri (side A…^^v)

Nah, keesokan harinya. Senin, 25 Oktober 2010. Agenda hari ini pengambilan kartu test Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dan BATAN. Dari Jak-Tim aku mbolang ke Jak-Sel buat ngambil kartu KKP yang berlokasi di Sekolah Tinggi Perikanan Jakarta. Sempet nyasar pas sampai daerah Pasar Minggu karena salah masuk angkot, untungnya segera ngeh! Adegan paling seru pas ngambil kartu test BATAN di GOR Pertamina Simprug. Motoran sama Tanti. Byuuuh…benar-benar merasakan romantika kerasnya perjuangan di ibukota. Menikmati si Komo lewat yang bikin macet kaya ular naga panjangnya bukan kepalang, bising, polusi, dan pemandangan yang bikin miris. Ah, negeriku…Hampir 1,5 jam kita motoran. Lebih mungkin! Akhirnya sampai juga di lokasi. Hadeh, gak nyampe 5 menit kartu kita di ACC. Betapa singkatnya! kelkelkel...Mubeng-mubeng GOR dulu sekalian sholat.



Selanjutnya, ikut Tanti ke Bintang Pelajar, tyuz aku naik busway dari halte di dekat situ. Saatnya menikmati perjalanan. Turun Dukuh Atas-Pulogadung-Matraman-Kampung Melayu. Naik angkot 06, ke arah Jl. Otista daerah kampus STIS. Mendadak aku lupa harus turun dimana. Pengalaman perdana turun daerah situ sendirian je…akhirnya, apa yang terjadi saudara-saudara, Nungma nyasar-nyasar! Mpe 3x ganti angkot. Tapi akhirnya nyampai juga. Haha, buat merayakan kemenangan, halah…beli eskrim deh! Gubrak… Jadi inget pesan Mbak Thicko, yang darinya aku dibekali peta JABODETABEK (xixixi…tak lengkapi dengan ngeprint jalur busway. Yupz, benar-benar bekal jadi si bolang!), dia minta maaf karna gak bisa membersamai perjuanganku di ibukota, tapi dia selalu yakin, senyasar-nyasarnya aku pada akhirnya aku pasti bisa kembali ke Redzone-nya dengan selamat! Hihihi….



Malem harinya, aku belajar buat test BATAN. Bismillah…



Selasa, 26 Oktober 2010. Kehebohan terjadi di semua stasiun televisi. Mulai dari bencana tsunami Mentawai sampai Gunung Merapi yang meletus. Ya Rabb, ampunilah dosa-dosa kami…



Keluar Redzone jam 05.30. bismillah…berdasarkan pertimbanganku lebih baik aku naik busway aja ke GOR Pertamina Simprug-nya, karena kemarin sempat lihat ada halte busway di dekat lokasi. Naik angkot 06 arah Kampung Melayu, naik busway yang ke Harmoni. Sampai di Harmoni celingukan, naik busway yang jalur apa nih. Berdasarkan peta jalur busway yang kupelajari pokoknya yang arah Grogol. Akhirnya, aku tanya petugas. Beliau nyuruh naik yang arah Blok M dulu. Antri deh, berhubung rame, desak-desakan ‘n gak kelihatan pas ada busway berhenti, aku naik aja. E, ternyata tu busway yang arah Ragunan. Seharusnya aku naik yang setelah busway ini. Hadeh. Pagi-pagi dah nyasar! Tapi seruuu…bisa menikmati gagahnya MONAS yang berdiri diterpa hangatnya sang mentari. Ops, puitis-puitisannya ntar dulu, nyasar nih!



Akhirnya, aku turun halte terdekat dan balik ke Harmoni lagi. Kemudian naik busway yang ke Grogol, pas turun halte Grogol 2 dah jam 07.30. Transit di Lebak Bulus. Tanti dah harap-harap cemas di lokasi test. SMS-an terus sama dia. Alhamdulillah, jam 07.45 nyampe juga di Halte Simprug. Langsung deh lari-lari nyebrang jalan, cukup rame euy…then nyegat metromini B6. Ternyata ada mas-mas juga yang mau ikut test. Tapi langkah kakinya cepet banget. Jalaaaan dulu sampai lokasi test. Pyuuuh, jam 07.56 di N5300-ku! Legaaa…kalau sampai datang lebih dari jam 08.00 gak bakal boleh masuk ruangan. Aku nitipin tas ke petugas dulu, kemudian masuk ke dalam GOR. Sudah dipisah-pisahkan menurut jurusan. Cari yang S1 Biologi. Ketemu Tanti, Mbak Tahan, dan Mbak Shofi. Hanya 20 orang dari jurusan S1 Biologi yang nantinya hanya diambil 5 nilai tertinggi. Hihi…sebenarnya aku dah gak terlalu berharap. Karena ada hubungannya dengan radiasi dan nuklir-nuklir gitu. Lha wong syaratnya aja ada yang tanda tangan materai mpe 3 lembar, salah satunya tidak akan hamil dalam kurun waktu sekian tahun, dll…tapi semangat CPNS tetap bergelora! Cobalah, Perjuangkan, Nikmati, dan Syukuri!



Ada kejadian lucu pas pulang. Kan hujan lebat banget ya…tapi aku tetap nekat. Dari GOR Pertamina Simprug aku naik metromini (ngasal aja, karena aku masih bingung harus naik apa pulange. Hehe…), akhirnya aku turun di Blok M, tyuz naik busway lagi deh. Ada kejadian yang bikin dongkol nih. Kan dari pagi aku belum sarapan, diem-diem aku nyuil roti “SARI ROTI” yang sedari pagi adem ayem di dalam tas backpacker hitamku. Padahal aku tahu kalau di busway gak boleh makan/minum (kalau gak ketahuan. Hehe). E, lha kok ketahuan sama mas-mas kondekturnya. Tengsin euy…hadeh mas, laper banget nih! *pasangtampangpalingmemelas. Ah, Norma! Kamu melanggar namamu sendiri sih…wkwkwk.



Seperti kemarin, turun Dukuh Atas-Matraman-Kampung Melayu-Gelanggang Remaja. Tyuz jalan kaki deh sampai RedZone. Aksi mbolang hari ini happy ending. Aku merayakannya dengan makan cireng Bandung. Uhuy…^^v.



To be continued…alias bersambel…



[Keisya Avicenna, 27 April 2011. “Langkah yang telah terlewati adalah catatan untuk menuju nilai yang sempurna. Jika kemarin diri ini belum ada hasil. Maka jadikan hari ini awal dari catatan kehidupan yang baru”. Karena mbolang selalu mengajarkan padaku apa itu bersyukur, survive, makna perjuangan, berani mewujudkan impian, berproses menjadi lebih baik, dan yang jelas…mendewasakan!!!]

Celoteh aksara [25]: "BIDADARI-BIDADARI SURGA"_Catatan Reflektif

Wednesday, April 27, 2011 0 Comments


by Norma Keisya Avicenna on Monday, April 25, 2011 at 12:14pm

Kepedihan, penderitaan, suka cita, canda tawa, cinta dan pengorbanan, tumpah ruah di pondok bambu Lembah Lahambay rumah keluarga mamak Lainuri dan Laisa. Pengorbanan tulus tiada tara seorang Laisa. Setelah bapaknya meninggal dicabik-cabik harimau gunung Klendeng, mamak Lainuri lantas berjuang demi kelangsungan hidup anak2nya. Laisa memutuskan berhenti sekolah dan berjanji dalam hatinya untuk memperjuangkan pendidikan adik2nya hingga mereka sukses.



Suatu saat mereka menerima pesan dari mamak Lainuri: “PULANGLAH. Sakit kakak kalian semakin parah. Dokter bilang mungkin minggu depan, mungkin besok pagi, boleh jadi pula nanti malam. Benar-benar tidak ada waktu lagi. Anak-anakku, sebelum semuanya terlambat, pulanglah..”



Kisah perjalanan mereka diceritakan apik dan sederhana tapi menyentuh oleh penulis. Dengan gaya penceritaan alur mundur dan meloncat-loncat, cerita tetap enak dinikmati.



Novel ini LUAR BIASA!!! tentang pengorbanan seorang kakak (Laisa) demi kesuksesan keempat adik tirinya (Dalimunte, Ikanuri, Wibisana, dan Yashinta). Juga cinta, semangat, kerja keras, dan doa kepada Tuhan. Namun, Tere-Liye mengemasnya dengan begitu cantik, apik, menyentuh, dan sangat manusiawi. Deskripsinya tentang keindahan alam Lembah Lahambay yang dikelilingi batu cadas setinggi lima meter, Gunung Kendeng, sungai, hutan rimba, dan kebun strawberry nyaris sempurna. Pembaca seolah-olah menyaksikan sendiri panorama-panorama tersebut di depan matanya, persis menonton sebuah film dengan alur maju-mundur yang begitu rapat.



Kak Laisa, seorang teladan dalam keluarga yang sudah terbiasa bekerja keras setelah babak (ayah) nya meninggal karena dimakan harimau Gunung Kendeng. Kak Lais, begitu ia dipanggil, memiliki keterbatasan fisik. Tubuhnya pendek (ketika dewasa hanya setinggi dada adik-adiknya), hitam, rambut kumal, dan gemuk serta dempal. Berbeda sekali dengan keempat adiknya yang tampan-tampan dan cantik. Ia mungkin tidak memiliki kecantikan fisik yang didambakan oleh setiap lelaki, tetapi ia memiliki kecantikan hati yang luar biasa yang mungkin sebetulnya lebih dibutuhkan oleh semua lelaki.



Bagaimana tidak, Kak Lais dengan ikhlas meminta kepada mamak (ibu) nya untuk berhenti sekolah saja saat kelas 4 SD, demi melihat keempat adik tirinya bisa sekolah, karena ia tahu saat itu mamaknya tidak punya cukup uang untuk menyekolahkan kelima anaknya sekaligus. Dengan ketekunan kerjanya bersama mamak, akhirnya Lais berhasil memiliki ribuan hektar kebun strawberry yang sebelumnya sama sekali belum pernah ditanam oleh penduduk Lembah Lahambay.



Dari kampung terpencil di pinggir hutan, Dalimunte, Profesor muda yang mengejutkan dunia science dengan penelitiannya “Pembuktian tak terbantahkan Bulan yang pernah terbelah”. Dalimunte berhasil menciptakan rangkaian kincir air saat umurnya beranjak 12 tahun, sebagai cikal bakal kemakmuran di lembah Lahambay. Dalimunte akhirnya berhasil menjadi profesor di bidang fisika yang terkenal di seluruh dunia, dengan penelitian terbarunya tentang “Badai Elektromagnetik Antar Galaksi” yang akan menghantam planet ini sebelum kiamat. Ikanuri dan Wibisana meskipun beda jarak usianya satu tahun tetapi sering dianggap kembar, berhasil mendirikan bengkel mobil modifikasi dan akan membangun pabrik spare-part mobil sport, dan Yashinta si bungsu yang mendapat beasiswa S2 ke Belanda dan menjadi peneliti untuk konservasi ekologi, meneliti tentang burung Peregrin atau Alap-alap Kawah dan sejenisnya, serta menjadi kontributor foto untuk majalah National Geographic.



Keempat adiknya tergolong mudah dalam mencari jodoh. Bagaimana tidak, mereka secara fisik menarik, pandai, shaleh, bisa menempatkan diri dengan baik, dan tetap rendah hati. Sedangkan Kak Lais? Hingga usianya 40 tahun lebih, belum juga mendapatkan jodohnya. Kak Lais bukannya tidak peduli dengan omongan penduduk kampung, apalagi setelah dilintasi (ditinggal menikah lebih dulu) tiga kali oleh adik-adiknya, tetapi Kak Lais selalu mengatakan kepada Dalimunte bahwa Allah telah mengirimkan keluarga terbaik dalam hidupnya, dan itu sudah cukup. Ia menerima takdir Tuhannya dengan lapang dada, meski tak dipungkiri setiap habis shalat tahajjud ia sering menghabiskan waktu sendirian di lereng bukit, bernostalgia tentang adik-adiknya yang dulu nakal sekali sekarang sudah sukses semua, dan tentunya merenungi tentang hidupnya sendiri; memandangi kebun strawberry yang luas, menuggu hingga langit menyemburatkan cahayanya tanda subuh menjelang. Dalimunte lah yang sering menemani kakaknya disana, setiap dua bulan sekali kepulangannya dari luar negeri. Haru, sedih, tawa, bangga, bergantian saat membaca kisah ini. Saya dibuat menangis oleh penulis saat detik-detik kematian Laisa, bersamaan dengan pernikahan Yashinta dan Goughsky, saat Laisa menerjang hujan mencari dokter demi Yashinta. Saat ikanuri mengatakan kau bukan kakak kami.



Romantisme juga disuguhkan dalam cerita ini. Saat Dalimunte dan Cie Hui menikah di lembah strawberry. Saat Yashinta bertengkar dengan Pria setengah-setengah bermata biru keturunan Uzbekisthan. Dan saat 2 sigung bebal, Ikanuri dan Wibisana meminang Wulan dan Jasmine pada hari dengan kata2 yang sama, menikah di hari yang sama, ditambah istrinya melahirkan anak di hari yang sama pula Hingga hari kematian Kak Lais tiba karena kanker paru-paru stadium IV yang telah disembunyikan dari adik-adiknya selama sepuluh tahun, Allah belum juga menurunkan jodohnya ke bumi. Tapi mamaknya yakin sekali bahwa Lais adalah bidadari surga.



Dan sungguh di surga ada bidadari-bidadari bermata jeli (QS Al-Waqiah: 22), Pelupuk mata bidadari-bidadari itu selalu berkedip-kedip bagaikan sayap burung indah. Mereka baik lagi cantik jelita (QS Ar-Rahman: 70), Bidadari-bidadari surga, seolah-olah adalah telur yang tersimpan dengan baik (QS Ash-Shaffat: 49).





Maka, dalam epilog novel ini, Tere-Liye menulis:

"Dengarkanlah kabar gembira ini. Wahai wanita-wanita yang hingga usia tiga puluh, empat puluh, atau lebih dari itu, tapi belum juga menikah (mungkin karena keterbatasan fisik, kesempatan, atau tidak pernah ‘terpilih’ di dunia yang amat keterlaluan mencintai materi dan tampilan wajah), yakinlah, wanita-wanita shalehah yang sendiri, namun tetap mengisi hidupnya dengan indah, berbagi, berbuat baik, dan bersyukur, kelak di hari akhir sungguh akan menjadi bidadari-bidadari surga. Dan kabar baik itu pastilah benar. Bidadari surga parasnya cantik luar biasa."



Novel yang sarat akan makna keikhlasan dalam kerja keras, pengorbanan dan keteguhan hati. Satu pesan yang tersirat dalam novel ini adalah, bahwa kecantikan hati jauh lebih penting daripada kecantikan paras, dan sesungguhnya kecantikan hati seseorang dapat mengantarkannya menjadi seorang bidadari di surga kelak.



Dalam novel ini kita bisa belajar banyak hal, selain yang saya sebutkan di atas. Salah satunya adalah tentang takdir Tuhan, yaitu bahwa HIDUP, JODOH, REZEKI, dan MATI adalah sepenuhnya milik Allah. Manusia hanya bisa berikhtiar dan berdoa, tapi keputusan akhir tetaplah di tangan Allah.



[Keisya Avicenna, saat membuka file lama "Catatan 02 November 2010 (saat ku mbolang di Jakarta), BACALAH, dan RESAPI KEDALAMAN MAKNANYA!]



Special thx untuk Om Dude "dr.Risang" atas kado novelnya...^^

Celoteh Aksara [23]: "MENJEMPUT TAKDIR-NYA #2"

Wednesday, April 27, 2011 0 Comments
by Norma Keisya Avicenna on Saturday, April 23, 2011 at 9:25am

Detik-detik bergulir menuju siang

Jiwanya terbang bagaikan layang-layang putus

Air mata menggenang bak lautan kesedihan



Barangkali ia lupa, hidup ini memang penuh dengan rahasia

Saat angin bertiup setengah hati

Dia pun harus pergi untuk sebuah mimpi…



[Keisya Avicenna, 23 April 2011...sebelum berdiskusi di Taman Pujangga Ronggowarsito]

Celoteh Aksara [24]: "MENGEJA SENJA"

Wednesday, April 27, 2011 0 Comments
by Norma Keisya Avicenna on Sunday, April 24, 2011 at 5:13pm
Senja mengajak kita duduk merenung
Dengan kemilauan mentari pantulkan seberkas cahaya jingga
Membuncahkan rasa yg tlah lama terendap dlm dada...

Selepas gerimis sore tadi
Bersama butiran air mata langit yg menghujam bumi
Sedikit mengaburkan bayangan...
Berbaris kata dlm untaian nasihat,
"Terkadang kita perlu menghadirkan sesuatu untk mengaburkan yg lainnya..."

Slalu kujaga rasa itu agar mengambang sempurna hingga senyumku mengembang sempurna!

Catatan senjaku yg sederhana, sesederhana cinta yg mendewasakan jiwa..

[Keisya Avicenna, 24 April 2011...@istana KYDEN]