Jejak Karya

Jejak Karya

Tuesday, May 12, 2009

DICARI : ILMUWAN YANG MEMBUMI!!!

Bagaimana mengemas suatu kisah temuan saintifik menjadi dongeng indah di telinga masyarakat? Jangankan di Indonesia, di negara maju pun hal itu masih sulit dilakukan. Lantas bagaimana agar orang awam tak langsung mengerutkan kening begitu menengar kata “sains”? Betulkah ilmuwan kita tak punya aplikasi sederhana yang mampu mempermudah hidup kita sehari-hari?

Dalam suatu bincang-bincang, sempat terbetik keluh kesah seorang ilmuwan bahwa sesungguhnya mereka punya teknologi untuk mengembangkan padi-padi canggih yang tahan wereng, tahan kering dan sebagainya. Menurutnya kalau teknologi itu dikomersialisasikan, akan bisa menjawab masalah krisis pangan belakangan ini. Lantas kalau tak salah salah satu pengunjung bertanya, “Lho, saya tak pernah dengar. Minimal saya tak pernah dengar di media massa atau ada iklannya.” Si ilmuwan langsung terdiam.

Beberapa teman ilmuwan langsung tersinggung saat wakil presiden Jusuf Kalla beberapa waktu lalu mengatakan bahwa ilmuwan Indonesia hanya bisa seminar saja. Sebuah kritik pedas tapi tentunya bukan tanpa alasan. Bisa jadi komentar Kalla itu hanya representasi dari suara masyarakat yang menganggap bahwa sejauh ini ilmuwan tak menciptakan suatu temuan yang cukup berarti dalam mengatasi beragam masalah keseharian.

Padahal jika ditilik, semua problem yang kita hadapi saat ini selayaknya bisa diselesaikan dengan sains dan teknologi. Namun agaknya banyak orang lupa fakta tersebut akibat ilmuwan sendiri kadang justru menjadi “alien” di tengah komunitas sosial bernama masyarakat.

Popularisasi

Sebenarnya, mahluk apakah ilmuwan itu? Dari pengalaman saya sekitar 5 tahun meliput beragam acara sains dan teknologi di Indonesia, berputar-putar sekitar LIPI, BPPT, Bakosurtanal, BATAN dan LAPAN, semoga saja presepsi saya tentang ilmuwan Indonesia tidak terlalu salah kaprah. Kelima instansi tersebut adalah Lembaga Penelitian Non Departemen (LPND), yakni lembaga yang melakukan penelitian namun bukan di bawah naungan departemen pemerintah. Artinya mereka selayaknya independen, mampu melakukan tugas penelitian secara bebas, mandiri, dan selayaknya mampu mensosialisasikannya.

LT Handoko, ilmuwan fisika dari LIPI sempat mendebat saya dalam tulisan saya sebelumnya, “Mengapa Ilmuwan Harus Menulis Ilmiah Populer “. Menurut peraih Habibie Awards 2004 ini, kenapa pakai kata “harus”? Tidakkah itu pemaksaan ala Orba? Handoko juga mengemukakan bahwa penulisan ilmiah populaer tidak harus dilakukan oleh ilmuwan, melainkan ada orang yang memang berprofesi sebagai itu, yakni penulis sains alias science writer.

Betul, saya setuju bahwa ilmuwan tetap membutuhkan pihak ketiga untuk membantu mereka meleburkan ilmunya. Membumikan pengetahuan yang didapatnya dari negeri luar, dengan teori-teori yang tak dipahami publik awam, temuan yang melibatkan serangkaian rumus rumit, dan seterusnya. Betul, sains bukan sulap abrakadabra yang bisa langsung dinikmati masyarakat walau sudah menghabiskan banyak dana dan riset tahunan. Benar sekali bahwa ilmuwan bukan ahli pemasaran yang mampu cuap-cuap “jual diri” sehingga masyarakat langsung paham apa manfaat berkutat di laboratorium atau menghabiskan waktu di depan monitor komputer.

Keseharian

Jangankan kita di negara berkembang, Jenny Gristock, penulis sains asal Inggris saja masih melihat bahwa ada gap tajam antara ilmuwan dan masyarakat sekitarnya. “Sains bukan hanya menghadirkan sesuatu yang terputus dari kehidupan orang banyak. Hari ini kita bicara bahwa sains itu melibatkan para pakar. Itu adalah urusan mereka, bukan kita,” demikian tulis Gristock dalam webnya mengenai kondisi popularitas sains di negaranya.

Sesungguhnya mudah saja membumikan sains. Menurut perempuan yang menulis di New Scientist dan The Guardian ini, selama sains bisa menjelaskan bagaimana membuat agar mata tak perih saat mengupas bawang, maka sains bisa dikatakan sukses. Intinya, selayaknya ilmuwan bisa mencoba membumikan ilmunya menjadi satu informasi ringan yang berkaitan dengan keseharian. Namun mayoritas tulisan sains popular sekalipun saat ini lebih refokus pada fakta-fakta ilmiah daripada pengalaman sehari-hari.

Mike Kenward, profesor biostatistik dari London School of Hygiene and Tropical Medicine mengatakan bahwa jurnalisme sains adalah penjelasan segala sesuatu dimana semua orang bisa memahami namun sayangnya masih ada yang ingin menyembunyikannya. Sebagai jurnalis dan penulis, saya seide dengan hal ini.

Saya dan barangkali penulis sains lainnya masih sangat membutuhkan pengetahuan sains yang cukup serta kemampuan komunikasi sains demi bisa membungkus suatu temuan sains menjadi dongeng menarik bagi masyarakat luas. Membuat bagaimana orang tidak langsung mengerutkan kening begitu mendengar kata “sains”. Untuk ini saya butuh kerjasama dengan komunitas ilmuwan kita. Kerjasama untuk saling sharing informasi, apa yang ingin mereka sampaikan? Apa yang ingin mereka tulis? Apa yang ingin mereka bagikan kepada masyarakat agar ilmu mereka bisa membumi, bukan berdiri arogan di atas menara gading bernama instansi penelitian atau perguruan tinggi.

Arogansi

Masalahnya adalah, seringkali saya bertemu dengan ilmuwan yang bahkan tak mau berbagi mengenai apa yang diketahuinya, apa yang dimauinya, dan seterusnya. Banyak juga ilmuwan yang berkeras bahwa sosialisasi sains ke masyarakat itu bukan urusan dia. “Tugas saya meneliti, bukan menjual atau memasarkan.”, “Kalau menulis ya menulis di jurnal ilmiah bergengsi, bukan di media massa tidak jelas. Itu menurunkan kredibilitas.”, ” Tugas andalah sebagai jurnalis untuk melakukan sosialisasi, bukan saya.”, “Anda tahu apa soal sains dan komunitas sains? Anda kan bukan bagian di dalamnya.”, dan sebagainya.

Ya, barangkali kami jurnalis dan penulis popular memang bukan bagian dari komunitas sains yang bergengsi itu. Tapi justru ilmuwanlah yang merupakan bagian dari komunitas sosial bernama masyarakat. Kecuali kalau para ilmuwan itu sudah tidak menginjakkan kaki di bumi lagi. “Bumi kepada ilmuwan, bumi kepada ilmuwan, apakah Anda mendengar?”

Kredit foto:http://www.terragame.com/

No comments:

Post a Comment

Terima kasih sudah berkunjung. Mohon untuk tidak meninggalkan link hidup.


Salam,


Keisya Avicenna