Jejak Karya

Jejak Karya

Tuesday, October 19, 2010

ADAB-ADAB MANDI BESAR BAGI WANITA

MANDI USAI HAIDH, KAPAN DIWAJIBKAN

MANDI


Mandi adalah aktivitas keseharian kebanyakan manusia, baik dia muslim maupun tidak muslim, baik laki-laki maupun perempuan. Masyarakat membersihkan diri dari berbagai kotoran fisik dengan jalan mandi. Baik sebelum kedatangan Islam maupun setelahnya, mandi menjadi aktivitas yang telah dikenal oleh masyarakat dunia, dengan frekuensi dan alat bantu yang beragam. Dulu belum dikenal sabun ataupun shampo, mereka menggunakan tetumbuhan yang menghasilkan aroma wangi bagi tubuh.

Dalam Islam, mandi bukan sekedar aktivitas rutin untuk membersihkan badan. Islam meletakkan mandi sebagai bagian dari ibadah kepada Allah. Ada kondisi tertentu dimana kaum muslimah disunnahkan mandi, dan bahkan ada beberapa kondisi lagi yang mewajibkan kaum muslimah mandi. Selain dari usaha menjaga kebersihan diri, mandi juga sebagai bagian dari pensucian dari beberapa kejadian, seperti terhentinya darah haidh, selesainya nifas, dan aktivitas janabat.

Perempuan haidh harus mandi ketika darah telah terhenti dan ketika hendak menjalankan shalat. Demikian pula halnya perempuan yang telah selesai dari nifas, ia wajib mandi sebagai tanda bahwa ia telah suci dan memulai kewajiban seperti shalat. Apabila kaum muslimah tidak mandi setelah berhentinya darah haidh atau nifas, maka ibadahnya menjadi tidak sah. Inilah yang sering disebut sebagai mandi besar.


SYARAT MANDI

Adapun syarat mandi dalam konteks ini ada tiga, yaitu:

Pertama, niat mandi untuk menghilangkan hadats haidh, nifas, janabat atau niat mandi untuk menjadikan boleh apa-apa yang sebelumnya tidak boleh kecuali dengan mandi, seperti shalat, tilawah Quran dan berdiam dalam masjid. Niat ini cukup diungkapkan di dalam hati. Niat inilah yang membedakan antara mandi biasa dengan mandi

Rasulullah saw bersabda:

“Sesungguhnya sahnya suatu amal tergantung dari niatnya, dan seseorang akan mendapatkan balasan berdasarkan niatnya”.

Kedua, menghilangkan najis bila terdapat di badannya, seperti bekas tetesan darah haidh dan nifas, atau bekas mani pada janabat.

Ketiga, mengalirkan air hingga pangkal rambut dan seluruh kulit. Keseluruhan badan harus mendapatkan siraman air, baik rambut maupun kulit, meskipun rambut pada kulit tipis maupun tebal.



TATACARA MANDI


Mandi untuk membersihkan diri dari haid, nifas dan hadats janabat, dituntunkan oleh Nabi saw sebagaimana riwayat Aisyah ra berikut,

Rasulullah Saw. bila hendak mandi janabat, beliau memulai dengan mencuci kedua tangannya -dua atau tiga kali- kemudian menuangkan air dengan tangan kanannya ke tangan kirinya, kemudian mencuci kemaluannya, lalu berwudlu. Setelah itu mengambil air dan meletakkan jari-jarinya di pangkal rambut, kemudian menyiramkan air dengan kedua tangannya ke kepalanya 3 kali, lalu mengguyurkan air ke seluruh badannya, setelah itu mencuci kedua kakinya.

Dari keterangan di atas, mandi dilaksanakan sebagai berikut:

a. Mencuci kedua tangan sebelum dimasukkan ke dalam bejana

b. Mencuci kemaluan

c. Berwudlu

d. Mandi dengan jalan membasahi seluruh bagian tubuhnya sebanyak tiga kali dimulai dari kepala

e. Mencuci kedua kaki


Keseluruhannya harus dilakukan secara urut dari awal sampai akhir. Selain itu juga disunnahkan melaksanakan aktivitas berikut:

a. Membaca basmalah

b. Mendahulukan kanan atas kiri

c. Menggosok seluruh tubuh

d. Menghilangkan kotoran selain najis


Penulis kitab Al-I’tina’ mengatakan bahwa niat mandi adalah wajib bagi orang yang wajib mandi. Apabila tidak niat maka tidak sah mandinya kecuali dalam beberapa masalah berikut : Pertama, perempuan yang karena sesuatu hal tidak dapat mandi sendiri setelah haidh. Lalu suaminya memandikannya agar sah ketika menyetubuhinya. Dalam kasus ini, suami harus niat, demikian menurut pendapat yang kuat. Kedua, perempuan kafir di mana suami yang memandikannya. Ketiga, perempuan gila, demikian dalam salah satu pendapat yang benar. Wallahu a’lam.



MELEPASKAN IKATAN RAMBUT KETIKA MANDI

Perempuan ketika mandi setelah haidh dan nifas dianjurkan melepaskan ikatan rambutnya dan menyisirnya dengan sisir atau jari-jari untuk memudahkan sampainya air ke pangkal rambut. Ini berdasar sabda Nabi Saw:

Uraikanlah (rambut) kepalamu dan bersisirlah!

Sebagian ulama berpendapat atas wajibnya melepas ikatan rambut berdasar hadits ini. Akan tetapi, jika perempuan itu memiliki ikatan rambut namun air bisa sampai pangkal rambut dan kulit tanpa harus melepaskannya, maka ia tidak harus melepaskannya.

Sedangkan untuk mandi janabat, tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama, bahwa perempuan tidak diwajibkan menguraikan rambutnya. Ummu Salamah berkata, “Wahai Rasulullah, saya perempuan yang memiliki ikatan rambut panjang, apakah saya harus melepaskannya ketika mandi janabat?” Nabi Saw. menjawab,

“Tidak, cukup bagimu menyiramkan air sebanyak tiga kali ke kepalamu, kemudian kamu guyurkan air itu ke seluruh tubuh.”

Tatkala sampai suatu berita kepada Aisyah ra bahwa Abdullah bin Umar menyuruh para wanita untuk menguraikan rambut kepalanya ketika mandi, maka Aisyah berkata:

Sungguh sangat mengherankan Ibnu Umar ini. Dia menyuruh para wanita menguraikan rambutnya ketika mereka mandi, mengapa dia tidak menyuruh menggundul kepalanya sekalian? Saya pernah mandi bersama Rasulullah saw dari satu bejana dan saya tidak melebihkan siraman ke atas kepala saya (riwayat Muslim).

Hanya saja jika air tidak sampai ke pangkal rambut kecuali dengan melepaskan ikatan rambut, maka ia harus melepaskannya, karena sampainya air ke rambut dan kulit adalah wajib. Wallahu a’lam.

MENGUSAP BEKAS DARAH DENGAN WEWANGIAN

Untuk menghilangkan kotoran bekas darah haidh dan nifas, serta untuk menghilangkan baunya, dianjurkan wanita muslimah mengusap bekas darahnya dengan wewangian. Ini berdasar hadits Ummu Athiyah r.a., “Kami telah mendapatkan keringanan ketika suci, bila salah seorang di antara kami mandi usai haidh untuk memakai sedikit minyak wangi..”

Aisyah r.a. berkata, “Seorang perempuan bertanya kepada Nabi Saw. tentang mandi setelah haidh. Kemudian beliau memerintahkan bagaimana ia harus mandi. Sabdanya, ‘Ambillah secarik kapas lalu teteskan misk (minyak kasturi) kemudian bersihkan dengannya!’ Perempuan itu bertanya, ‘Bagaimana saya membersihkannya?’ Nabi menjawab, ‘Bersihkan dengannya!’ Perempuan itu bertanya, ‘Bagaimana?’ Beliau menjawab, ‘Subhanallah, bersihkanlah!’ Maka saya tarik perempuan itu untuk mendekat dan saya katakan, ‘Usap dengan kapas ini bekas darahmu!’”

Hadits di atas menunjukkan tuntunan agar kaum wanita muslimah mengusap bekas darah haidh atau nifas dengan kain atau kapas yang diberi pewangi atau parfum, yang di zaman Nabi wujudnya adalah minyak kasturi. Para ulama berkata, “Hadits di atas menunjukkan dianjurkannya memakai wewangian bagi perempuan yang mandi setelah haidh dan nifas di organ tubuh yang terkena darah, hanya mereka berbeda pendapat tentang waktu pemakaiannya.

Sebagian dari mereka berpendapat setelah mandi. Yang lain berpendapat sebelumnya. Dianjurkan pula untuk memakai wangi-wangian pada kemaluannya dengan meletakkan sepotong wool dan dimasukkan ke kemaluan setelah mandi.



DIANJURKAN MENGGOSOK BADAN


Tatkala mandi, dianjurkan untuk menggosok badan agar bisa membersihkan kotoran. Dalam suatu riwayat Nabi saw bersabda:

“Hendaklah salah seorang di antara kalian mengambil air dan daun bidara kemudian bersuci dengannya sebaik mungkin. Kemudian menyiramkan air ke kepalanya dan menggosoknya dengan kuat sehingga sampai ke kulit kepalanya., lalu menyiramkan ke seluruh tubuhnya kemudian mengambil sepotong kain berparfum (firshah mumassakh) lalu menggunakannya untuk bersuci”.

Dalam riwayat lain Nabi saw bersabda:

Hendaklah salah satu dari kalian mengambil air dan daun bidara lalu bersihkan dengan sebersih-bersihnya, lalu tuangkan air di atas kepalanya dan gosok-gosokkan dengan gosokan yang keras sampai terasa di kulit kepala lalu tuangkanlah air.

Hadits ini menunjukkan dianjurkannya menggosok-gosok badan ketika seorang perempuan bersuci. Wallahu a’lam.



KEHARUSAN MENCUCI BEKAS DARAH

Wajib bagi perempuan yang hendak mandi haidh untuk membersihkan kulit yang terkena darah haidh. Ini berdasar sabda Nabi Saw. kepada seorang perempuan yang bertanya kepadanya tentang darah haidh yang mengenai baju, bagaimana ia harus membersihkannya? Beliau menjawab,

Ia menggosok, mengepel, kemudian menyiramnya dengan air, dan setelah itu ia sahalat dengannya.

Riwayat Turmudzi beredaksi, “Gosoklah dan shalatlah dengannya.”

Artinya, gosoklah tempat darah dengan ujung jari dan air untuk dapat mengeluarkan sisa-sisa darah yang mungkin tersebar pada baju. Setelah itu tuangkan air di atasnya.

Suatu saat Rasulullah Saw. memboncengkan seorang perempuan dari Bani Ghinar di atas tas perjalanannya. Rasulullah Saw. tidak turun dari kendaraannya sampai pagi. Ketika beliau menderumkan ontanya dan perempuan itu turun dari tas perjalanannya, tiba-tiba didapati darah padanya, dan itu adalah haidh yang pertama baginya. Ia pun segera menuju unta karena merasa malu.

Ketika Rasulullah Saw. melihat apa yang terjadi padanya dan melihat darah, beliau Saw. bertanya, “Ada apa denganmu? Kamu haidh?” “Ya,” jawab si perempuan. Beliau berkata, ”Bersihkanlah badanmu, ambillah bejana air lalu tuangkan garam padanya kemudian cucilah tas yang terkena darah dan kembalilah ke kendaraanmu”.

Dari kisah ini dapat diambil kesimpulan bahwa darah haidh diperlakukan sebagaimana darah-darah lainnya. Ia harus dicuci. Untuk itu dianjurkan untuk menggosok-gosok sisa darah yang telah kering agar mempermudah mencucinya. Tirmidzi berkata, “Para ulama berbeda pendapat tentang darah yang ada pada baju yang dipakai untuk shalat sebelum dicuci.”

Sebagian ahli ilmu dari kalangan tabi’in berkata, “Bilamana darah seukuran satu dirham dan belum dicuci lalu dipakai untuk shalat, maka ia harus mengulangi shalatnya.” Sebagian yang lain berpendapat, “Apabila darah lebih banyak dari seukuran dirham maka diulangi shalatnya.” Ini pendapat Sufyan Ats-Tsauri dan Ibnul Mubarak, dan ini juga pendapat madzhab Hanafi.

Sebagian ahli ilmu dari kalangan tabi’in dan lainnya tidak mewajibkan untuk mengulang, meskipun ukurannya lebih banyak dari satu dirham. Ahmad dan Ishaq berpendapat serupa ini. Imam Syafi’i berkata, “Wajib bagi perempuan mencucinya meskipun darah itu lebih kecil dari ukuran uang dirham.”



JIKA TIDAK MENDAPATKAN AIR DAN DEBU

Jika seorang perempuan haidh telah memasuki masa suci, namun ia tidak mendapatkan air untuk mandi, atau ia mendapatkannya tetapi khawatir berbahaya bila menggunakannya, misalnya karena sakit, maka ia boleh bertayamum. Ia boleh tayamum sebagaimana bolehnya mandi. Demikian pendapat Imam Syafi’i dan Ahmad. Imam Malik berkata, “Tidak boleh menyetubuhinya sampai ia mandi.”

Pendapat yang masyhur dari Abu Hanifah adalah, suami tidak boleh menyetubuhinya sehingga ia tayamum dan shalat. Karenanya bila ia telah tayamum suaminya boleh menyetubuhinya. Ini disebut dalam kitab Al-Hawiy tentang kebolehan suami menyetubuhinya setelah ia tayamum dengan 2 pendapat. Pertama, boleh. Kedua, tidak boleh. Pendapat ini batal.

Adapun bila ia tidak mendapatkan air dan debu, ia tetap harus melaksanakan shalat fardhu karena menghormati waktu. Akan tetapi tidak boleh bagi suami menyetubuhinya sampai ia mendapatkan salah satu dari dua media penyuci (air atau debu).

Syaikhul Islam Zakariya Al-Anshari pernah ditanya tentang perempuan yang telah berhenti haidh dan belum mendapatkan air maupun debu. Apakah ia boleh menjalankan shalat wajib dan sunah, atau wajib saja? Apakah ia boleh membaca Al-Quran dan tinggal di masjid? Apakah bila ia shalat membaca Al-Fatihah saja atau boleh dengan yang lain? Bolehkah suami menyetubuhinya atau tidak? Bila Anda berpendapat boleh shalat namun tidak boleh dijimak, lalu apa bedanya antara jimak dan shalat?

Beliau menjawab, bahwa bila ia belum mendapatkan air atau debu, hendaknya ia tetap shalat wajib tanpa shalat sunah, karena betapa tingginya nilai shalat wajib dan ia berdosa ketika meninggalkannya. Tidak demikian halnya dengan shlata sunah. Ia juga tidak boleh membaca Al-Quran dan tinggal di masjid, tetapi boleh dan bahkan wajib membaca Al-Fatihah saja dalam shalat. Itu karena alasan darurat, dan tidak boleh menyetubuhinya berdasarkan firman Allah Swt.,

Dan janganlah kamu sekalian mendekati perempuan-perempuan sehingga mereka suci, dan bila mereka telah bersuci datangilah mereka sebagaimana Allah perintahkan kepadamu.

Tentang jimak dan shalat, tentu berbeda. Shalat adalah hak Allah yang harus ditunaikan hamba, karenanya ditolerir. Sedangkan jimak adalah hak manusia, karenanya ia dipersulit. Wallahu a’lam.

No comments:

Post a Comment

Terima kasih sudah berkunjung. Mohon untuk tidak meninggalkan link hidup.


Salam,


Keisya Avicenna