Jejak Karya

Jejak Karya
Showing posts with label Muslimah. Show all posts
Showing posts with label Muslimah. Show all posts

Sunday, January 10, 2016

HIJAB, MAHKOTA SURGA TERINDAH

Sunday, January 10, 2016 0 Comments
Menikmati deburan ombak di Pantai Pacitan


Ajaibnya sang waktu, masa lalu yang menyakitkan
lambat laun bisa menjelma menjadi nostalgia romantis yang tak ingin dilupakan…

Serpihan Kenangan Masa Silam
Juli 2003. Tak terasa sudah 11 tahun lalu, tapi peristiwa itu selalu melekat dalam memori otakku. Saat ini, aku seperti memutar kembali sebuah rekaman skenario kehidupan yang telah dituliskan-Nya dengan luar biasa dan pastinya sarat akan makna.
Waktu itu, aku adalah seorang gadis remaja yang tengah asyik menikmati masa putih abu-abu. Juli 2003, aku naik kelas 2 SMA. Seperti biasa, tahun ajaran baru selalu identik dengan MOS (Masa Orientasi Siswa). Aku berangkat pagi ke sekolah, bertemu dengan teman-teman baru di kelas yang baru. Aku memutuskan untuk duduk satu bangku dengan Ifang.
“Ifang, ayo kita ke bawah! Aku pengin lihat MOS anak-anak kelas satu,” ajakku pada Ifang.
Sebelum bel masuk berbunyi, aku dan Ifang serta beberapa teman yang lain ke lapangan upacara. Kami ingin melihat murid-murid kelas satu yang di-MOS oleh para senior yang kebanyakan dari pengurus OSIS. Aku menyaksikan MOS tengah ‘panas-panasnya’ berlangsung. Peraturan senior masih sama: “Pertama, senior selalu benar. Kedua, jika terjadi kesalahan, kembali ke peraturan pertama!” Hah, peraturan macam apa ini? Tiba-tiba…
 Dejavu! Aku mengalami suatu hal yang membuat diriku seolah kembali ke masa MOS satu tahun silam. Setahun lalu, aku memang pernah mengalami kejadian yang sangat tidak menyenangkan saat MOS. Ketika melihat MOS adik kelas, aku merasa seperti ‘di-MOS’ lagi. Ya, mungkin ini yang disebut trauma. Trauma MOS! Mendadak kepalaku pusing bukan main. Aku benar-benar tidak bisa berkonsentrasi dengan kegiatan pengenalan kelas, pelajaran pertama Biologi, dan semua hal yang seharusnya aku nikmati pada hari pertama masuk sekolah. Di telingaku berdengung suara-suara para senior yang berteriak-teriak, membentak-bentak, marah-marah seperti kejadian MOS yang aku alami satu tahun silam. Ketika di rumah pun, aku mengalami hal-hal yang membuat seisi rumah kebingungan.
Pada akhirnya, aku ambruk. Aku mengalami sebuah guncangan psikologis yang cukup hebat. Hasil Computerized Tomography Scan (CT-scan), menunjukkan ada yang bermasalah dengan syaraf otakku. Rasa trauma ini bukan hal yang biasa, terlalu rumit untuk dijelaskan dengan istilah kedokteran.
Cobaan yang cukup berat dialami keluargaku. Waktu itu, rumahku tengah direnovasi. Tapi, karena aku harus opname dan menjalani perawatan di rumah sakit, dengan terpaksa renovasi dihentikan dan dialihkan untuk biaya pengobatanku. Biaya rumah sakit, biaya obat, biaya terapi, semuanya tidak murah. Puncak cobaan terberat itu adalah saat tim dokter memutuskan bahwa aku harus cuti sekolah selama satu tahun. Saat itu menjadi saat paling rapuh dan terpuruk dalam hidupku. Tapi keberadaan keluarga mampu membuatku belajar untuk bisa kuat dan tegar. Karena Allah SWT pasti sudah menyiapkan  hikmah di balik setiap peristiwa.



Al waqtu juz’un minal ‘ilaj: “Waktu adalah sebagian dari proses penyembuhan.
Detik merangkak menjadi menit, sang jam berlalu menggulung hari demi hari, bulan demi bulan pun berganti. Tak terasa, sudah memasuki tahun ajaran baru. Alhamdulilah, aku sudah sembuh total. Aku sudah bertekad tahun ajaran 2004/2005 akan kembali masuk sekolah. Pada suatu malam di sepertiga bagiannya, aku sempat mengalami kejadian luar biasa saat sholat Tahajud. Allah SWT benar-benar menunjukkan kebesaran-Nya kala itu.
Ada sebuah azzam di hatiku. Ketika naik kelas tiga nanti aku mampu membuktikan dengan berprestasi masuk peringkat tiga besar -yang itu artinya aku sudah benar-benar sembuh dari sakit-, aku akan mengenakan jilbab. Sebuah azzam untuk merealisasikan gambaran peristiwa unik dalam mimpiku malam itu. Aku tersenyum damai saat mengenakan mahkota bercahaya, mahkota yang akan menjaga hati, jiwa, dan ragaku. Begitulah mimpiku.
Aku menjalani masa-masa kelas 2 SMA dengan sangat menyenangkan dan berprestasi gemilang. Aku pun mulai dikenalkan oleh sahabat-sahabatku dengan organisasi ROHIS (Kerohanian Islam) dan aku pun mulai aktif di mentoring. Aku selalu tersenyum saat mengenang masa jahiliyah-ku dulu ketika kelas 1 SMA. Gaulnya dengan anak-anak basket dan pernah memprakarsai aksi membolos satu kelas saat pelajaran Bahasa Inggris.
Perjuangan Hijab Cintaku
18 Juli 2005
“Dee, hari ini adalah hari baru bagiku. Keinginanku untuk berhijrah dan berhijab akhirnya terealisasikan. Ya Allah, istiqomahkan aku untuk selalu berada di jalan-Mu. Semoga ini menjadi salah satu ikhtiarku untuk senantiasa memperbaiki diri. Ya Allah, sujud syukur atas segala hal terindah yang telah Engkau berikan dalam hidupku…” [Catatan harianku]
Hari ini MOS hari pertama. Hari pertama pula aku menjadi siswa kelas 3 SMA. Pukul 5 pagi aku diantar Ayah ke kost Gestin, sahabat dekatku. Mereka berangkat bersama ke sekolah. Hari ini aku mendapatkan amanah menjadi panitia MOS. Subhanallah, dulu aku pernah sakit akibat trauma MOS dan sekarang harus mengemban amanah menjadi senior MOS. Skenario Allah SWT yang sangat luar biasa!
Ketika bertemu para panitia MOS, mereka langsung mengucapkan selamat dan mendoakanku semoga senantiasa istiqomah.
Aku sempat merasa terkejut ketika ada SMS masuk, ternyata dari seorang ikhwan yang menjabat sebagai Wakil Ketua ROHIS SMA sekaligus Ketua II OSIS. Ardi namanya. SMS itu berbunyi: “Alhamdulillah, Subhanallah…Allahu Akbar! Barokallahu ya ukhti, selamat karena telah berjilbab, semoga istiqomah. Be A Good Muslimah! Your Brother.” SMS pertama, yang menjadi pemula SMS-SMS lain.
Hari-hariku pun semakin ceria. Meski ada kejadian yang mengusik ketenangan hatiku. SMS-SMS itu! SMS dari Ardi. Semula hanya bertujuan untuk sharing, diskusi, dan menguatkan semangat. Tapi berlanjut menjadi ajang curhat pribadi, SMS-SMS tidak penting, bahkan ungkapan kekaguman. Astaghfirullah, aku tahu kalau kedekatanku dengan Ardi sudah melampaui batas. Tapi, aku pun menyadari muncul benih-benih cinta di dalam hati ini.
“Ya Rabbi, di saat hamba ingin memulai kehidupan yang baru, kenapa ujian yang Engkau berikan justru semakin berat dan menyesakkan hati? Ujian cinta!” jerit batinku kala itu. Mungkin inilah salah satu bukti bahwa manusia adalah insan fluktuatif. Tegar, namun terkadang rapuh...
Sampai akhirnya, ada SMS dari seorang sahabat untukku:
“Bukanlah hal yang aneh jika manusia futur. Tapi, yang aneh adalah manusia yang membiarkan dirinya tetap futur. Bahkan ada yang tertawa, tersenyum senang saat futur, walau hanya diwujudkan di hati. Pernahkah membaca firman-Nya,”Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati akan dimintai pertanggungjawabannya.” (QS.Al-Isra’:36).”
Belum selesai aku baca, linangan air mata sudah menciptakan jejak di pipiku. Aku lanjutkan membaca SMSnya…
Betapa ruginya jika manusia hatinya berkurang keimanannya dan hanya terisi dengan nikmatnya menjalani kehidupan dunia. Maka Allah memberikan tawaran: surga atau neraka, taat atau ingkar! Tapi jangan takut! Jangan bersedih! Tidak ada yang lebih indah dari tetap berharap akan ampunan dari Yang Maha Sempurna. Dia-lah pemegang masa depan dan takdir kita. Tak ada yang lebih baik dari pemberian-Nya. Kembali ke jalan-Nya adalah sebaik-baik ibadah. Karenanya, terhapuslah dosa terdahulu. Sahabat, tiada lain ini hanyalah nasihat. Tapi sahabat yang baik itu saling menasihati, bukan hanya saling memuji. Semoga tetap dalam lindungan-Nya dan ini diambil manfaatnya. Afwan jiddan…”
Aku menangis sejadi-jadinya. Betapa selama ini aku begitu terlena! Terlalu lama aku berkubang dalam lumpur dosa. Astaghfirullah…
“Terima kasih Ya Rabb, diri ini seketika tersadar, keistiqomahan itu mahal harganya! Jilbabku, hijabku, izinkan aku memperbaiki semuanya dan membuka lembaran baru dengan hati yang baru…” ratapku dalam tangisan taubatku.

Dream ‘N Action : Hijab, Cinta, dan Cita-Cita
“Setiap orang harus memiliki  cita-cita besar, mimpi yang tinggi dan harapan yang ideal. Namun, dalam menghadapi realitas keseharian, berpikir dan bertindaklah secara sederhana. Gak usah neko-neko! Karena kebahagiaan adalah  sesuatu yang harus diperjuangkan. Energi kasih sayang harus terus dinyalakan, agar visi untuk mengetuk pintu surga dapat terus diupayakan.”

Atas skenario-Nya yang indah, lulus SMA aku diterima di Universitas Sebelas Maret, Solo. Aku sangat bersyukur karena tidak satu kampus dengan Ardi. Ardi diterima di Universitas Diponegoro, Semarang. Aku belajar untuk cepat beradaptasi di lingkungan baru.
Setelah agenda orientasi mahasiswa selesai, aku mulai disibukkan dengan jadwal kuliah dan praktikum yang cukup padat. Aku menimba ilmu di jurusan Biologi, Fakultas MIPA.
Tak disangka, Ardi masih saja mencoba menghubungiku. Tapi aku acuhkan semuanya. Aku sudah bertekad untuk benar-benar membentengi diri dan menjaga hati. Aku terus berusaha menyadari bahwa Allah SWT sedang memberikan ujian dan terkadang Allah SWT menguji pada titik terlemah dari diri seorang manusia.
Ya Rabb, selalu kupinta tunjukkan padaku jalan terindah menuju keridhoan-Mu…
Aku putuskan untuk bergabung di kerohanian Islam. Aku ingin memperbaiki diri, belajar untuk menjadi seorang muslimah yang shalihah. Aku harus memperbaiki caraku berhijab, baik secara fisik terlebih hati. Terus memperkaya diri dengan ilmu. Tekadku, hijab tidak akan menghalangiku untuk bisa berprestasi!
Sempat muncul rasa minder pada awalnya. MIPA terkenal sebagai pesantrennya kampus. Banyak muslimah yang sudah mengenakan hijab secara syar’i. Adab-adab pergaulan dengan lawan jenis pun sangat diperhatikan. Ada sedikit rasa canggung saat bergaul dengan mereka. Tapi, menjadi pribadi yang lebih baik itu butuh perjuangan.
“Ya Allah, Engkaulah yang Maha Kuasa. Jika Engkau menghendaki sesuatu, tiada sesuatu pun di bumi dan di langit yang menghalangi-Mu. Apapun yang Engkau kehendaki akan terjadi. Jika Engkau menghendaki untuk memudahkan suatu urusan, tidak ada seorang pun yang mampu menyulitkan-Mu. Engkau berkuasa atas segala sesuatu.”
Pada suatu hari, usai mengikuti sebuah training motivasi di kampus, aku tuliskan semua impianku di sebuah buku yang aku beri nama “Dream Book”.  Sebenarnya, malu rasanya tatkala menuliskan impian nomor 44 yaitu MENIKAH. Aku tuliskan lengkap visi dan misi pernikahanku serta kriteria calon pendamping hidupku. Ada sosok sholeh yang kurindukan. Tapi, saat aku merindukan sosok itu aku merasa tak pantas, karena diri ini belumlah shalihah.
Dan sederet impian lainnya, lulus kuliah dengan IPK cumlaude, jadi penulis, jadi trainer muslimah, jalan-jalan keliling Indonesia dan dunia, umroh, naik haji bersama keluarga, bertemu sosok-sosok inspiratif dengan kisah luar biasa mereka tatkala memutuskan untuk berhijab (Asma Nadia, Helvy Tiana Rosa, Oki Setiana Dewi, Alyssa Soebandono, Meyda Safira, dll.) dan masih banyak lagi impian yang kutuliskan. Aksara-aksara yang menjelma jadi doa. DNA! Dream N Action! Tekadku waktu itu, kita boleh bermimpi sebanyak-banyaknya, setinggi-tingginya, tapi harus dibarengi dengan aksi nyata yang hebat, pantang menyerah, yakin Allah SWT selalu melihat usaha kita dan Allah SWT pasti akan menjawab setiap doa kita.

Tidak ada yang tidak mungkin jika KUN FAYAKUUN-Nya telah bekerja sepenuh energi CINTA.
Namun adakah yang layak untuk ditangisi kalau semua dijalani dengan semangat tinggi dan niat yang bersih? Tidak ada kesusahan bagi orang yang menempuh perjalanan dengan keikhlasan. Karena Allah tidak pernah ingkar dengan janji-Nya. It can be a MIRACLE if you believe. Tepat dan terbaik!
Semakin membara semangat dalam hati ini untuk memperbaiki diri dan terus menyempurnakan hijab ini, aku rasakan semakin dahsyat pula cara kerja Allah SWT dalam mewujudkan impian-impian yang pernah aku tuliskan itu.
Alhamdulillah, aku  lulus kuliah dalam waktu 3,6 tahun dengan prestasi yang sangat memuaskan. Aku langsung kerja sambil terus belajar menulis dari para mentorku. Aku harus punya buku. Buku yang best seller! Mengapa harus best seller? Karena semakin banyak yang membeli, semakin banyak yang membaca, Insya Allah akan semakin banyak kebermanfaatan yang tersampaikan. Jika satu kalimat saja yang aku tulis itu bisa membuat kehidupan atau pribadi seseorang menjadi lebih baik, pasti Allah SWT telah menyiapkan hadiah istimewa juga buatku, entah di dunia atau di akhirat sana. Aksara-aksara berdaya yang bisa menjelma menjadi tabungan jariyah kelak. Aku ingat, dulu waktu sakit saat SMA, salah satu terapi yang aku jalani adalah MENULIS. Karena itu, akupun menulis! Menulis bisa menjadi terapi jiwa bahkan bisa bermanfaat buat sesama.
Ada kisah baru yang akan dimulai, ada kisah lain yang menunggu untuk segera diakhiri. Ini bukan cinta yang terbungkam oleh diam tapi cinta yang terlanjur malu untuk menngungkapkan. Bukan karena apa atau siapa, menjawab kapan atau mengapa, bertanya bagaimana atau mencari tahu ada di mana? Bukan, bukan tentang itu semua! Semestinya pikirmu tahu dan hatimu semakin mengamini, bahwa dirimu adalah milik-Nya dan dirinya juga milik-Nya. Jadi, biarkan saja Sang Pemilik Jiwa berkehendak sesuka atas apa yang menjadi milik-Nya. Semuanya tak akan tertukar, maka tetap tersenyumlah biar segalanya semakin indah, mudah, dan full barokah…”
Impian menikah tanggal 10-11-12 yang aku tuliskan di Dream Book pun menjejak nyata atas izin-Nya. Proses dapat tawaran untuk menikah (tanggal 27 September) sampai (H-1) aqad nikah total 44 hari dan MENIKAH itu impian yang aku tulis di nomor 44. NIM (Nomor Induk Mahasiswa) ku ketika kuliah pun M0406044. Allahu Akbar! Benar janji Allah, laki-laki yang baik diperuntukkan untuk wanita yang baik. Maka, aku akan terus memperbaiki diri. Terus memantaskan diri di hadapan-Nya. Perjuangan menjadi muslimah shalihah, istri shalihah, dan nanti ibu shalihah baru saja dimulai.
Dan kini… Alhamdulillah, sudah lebih dari 10 buku yang aku tulis. Salah satunya berjudul “BEAUTY JANNATY”. Buku yang berisi motivasi untuk para muslimah agar menjadi wanita dunia yang layak dicemburui para bidadari surga. Sebuah buku istimewa buah dari perjuangan panjang. Sebuah buku istimewa yang menjadi pengingat dan penyemangat bagi diri ini. Sebuah buku istimewa yang terbit setelah aku menikah. Sebuah buku istimewa yang membuatku bisa berbagi inspirasi sekaligus traveling di berbagai kota di Indonesia dengan mengisi bedah buku, seminar, dan talkshow. Hingga terwujud pula impianku bertemu sosok-sosok inspiratif yang dulu aku tuliskan di Dream Book. Aku bulatkan tekad, aku akan terus menulis, terus berkarya. Karena aku tidak ingin, jika kelak jatah hidupku di dunia ini habis, aku hanya dikenang orang dari tiga kalimat saja : nama, tanggal lahir, dan tanggal wafat. Tapi, harus ada warisan karya yang bisa aku tinggalkan. Maka, aku harus terus menulis, aku harus terus berkarya, aku akan terus berusaha menjadi pribadi yang inspiratif, produktif, dan kontributif.

Mahkota Surgaku Kini Hingga Nanti
“Katakanlah kepada wanita yang beriman, “Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutup kain kerudung ke dadanya…" (QS. An-Nuur [24]: 31)
Hidup berisi dengan aneka macam peristiwa. Peristiwa yang menghadirkan silih berganti perasaan yang mengisi jiwa. Maka, kokohkanlah keimanan saat perjalanan membuat kita bertanya, saat membuat kita meragu dan kecewa. Yakinlah, skenario Allah SWT tengah berlangsung dan jadilah penyimak yang baik dengan penuh sangka yang baik pada-Nya. Tanamkan dalam diri kita Allah Mahatahu yang tepat dan terbaik bagi hamba-Nya!
Sesungguhnya Allah menjadikan seluruh tubuh seorang wanita ini perhiasan dari ujung rambut hingga ujung kaki. Segala sesuatu dari tubuh seorang wanita yang terlihat oleh orang yang bukan mahromnya, semuanya akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah kelak.
Hakekat jilbab adalah hijab lahir dan batin. Hijab mata kita dari hal-hal yang mendatangkan murka Allah, jagalah pandangan dari hal-hal yang dilarang. Hijab lidah kita adalah menjauhkan diri dari ghibah dan perkataan yang sia-sia, usahakan selalu basahi lisan kita dengan berdzikir kepada Allah. Hijab tangan kita adalah ringan berbuat tatkala ada orang lain yang membutuhkan bantuan. Hijab kaki kita adalah saat kita gunakan menapak di jalan-jalan kebaikan. Hijab pikiran kita adalah saat kita mampu berpikir visioner jauh menatap masa depan serta menjauhkan pikiran kita dari hal-hal negatif. Hijab hati kita untuk selalu meletakkan nama Allah di tingkatan tertinggi, kemudian Rasulullah, orang tua, dan seterusnya.
Akupun bertekad, segala hal yang aku torehkan di dunia sebagai bagian dari perwujudan cita-cita menjadi bagian dari para perempuan langit, para perempuan yang dirindukan surga. Teringat nasihat seorang sahabat, “Mereka yang dalam diam tiada henti menyebut nama Allah. Mereka yang selalu giat menghafalkan Al-Qur'an demi mendapat keridhoan Allah. Mereka yang hendak memberikan mahkota penuh cahaya untuk kedua orang tua kelak di surga nanti. Mereka yang bersikukuh mengenakan hijab sebagai bentuk kecintaan kepada Allah. Walau ‘diancam’ akan kehilangan pesona dunia, mereka tiada gentar untuk tetap bertahan. Mereka yakin bahwasanya perhiasan sejati seorang muslimah itu adalah dari amal ibadah dan akhlaknya yang jernih, bukan berasal dari moleknya tubuh yang mengundang nafsu dan syahwat. Ya, mereka adalah perempuan langit!” Dan aku ingin menjadi bagian dari mereka.
Bismillah… Semoga istiqomah untuk menjaga hati dan diri dengan mengenakan mahkota surga terindah. Karena menjadi seorang muslimah itu indah dan mulia, seperti sejarah para ummul mukminin dan para shohabiyah. Semoga senantiasa mampu menjadi muslimah shalihah yang dirindu Jannah. Aamiin…

Saturday, October 15, 2011

Peran Muslimah itu Strategis dan Kontributif

Saturday, October 15, 2011 0 Comments

Oleh: Almarhumah Ustadzah Yoyoh Yusroh

Peran sahabiyyah di zaman Rasulullah Saw. sangat banyak dan beragam. Sementara sekarang ada pemikiran yang mengerucutkan peran muslimah itu menjadi dua poin ekstrim ibu bekerja dan ibu rumahtangga. Bagaimana sebenarnya? Peran muslimah, sesungguhnya bukan sekedar pelengkap, pemanis, atau sekedar peran di belakang layar. Dari siroh (sejarah) kita belajar bahwa mereka juga menjalankan peran-peran strategis.
Dalam perencanaan penempatan pasukan, misalnya, muslimah ditempatkan pada tempat yang sesuai dengan fitrahnya, di belakang. Namun, pada saat-saat genting, Rasul tidak melarang muslimah untuk mengambil peran-peran penting, bahkan meski itu mengambil tempatnya para sahabat. Contoh, Nasibah Al-Mazniyyah, Srikandi Perang Uhud. Di saat genting, Umar, dan bahkan Abu Bakar minggir ketika mendengar kabar Rasulullah telah mati. Mereka tidak punya semangat lagi untuk berjihad, karena mereka pikir, siapa lagi yang mau dibela? Saat itu Rasul pingsan. Saat tersadar, ia tidak melihat kehadiran orang lain kecuali Nasibah. Kemudian Rasulullah mempersilakannya meminta kepadanya, ''Ya Nasibah, salmi, salmi/mintalah , mintalah''. Kemudian Nasibah meminta ''Ya Allah jadikanlah aku sebagai temannya di surga''. Rasullah langsung memohon kepada Allah '' Ya Allah jadikanlah Nasibah ini menjadi temanku di surga,''

Nasibah berperan langsung, bahkan dalam perang fisik. Tadinya ia memegang dua pedang. Tapi, setelah ia kehilangan sebelah tangannya, ia memberikan salah satu pedangnya kepada anaknya.

Dalam peperangan itu, Nasibah kehilangan suami, anak, dan sebagian anggota badannya. Dalam kondisi genting seperti itu, Rasulullah tidak mengatakan ''Nasibah, ngapain kamu di sini?'' Tidak. Jadi, meski sebelumnya ia berada di deretan pasukan belakang, saat itu Nasibah berperan sebagai pendamping rasul karena tidak ada yang melakukannya.

Bagaimana kerjasama yang dibangun oleh para sahabiyat sehingga mereka mampu menjalankan peranan yang beraneka ragam?

Pada masa itu, muslimah itu adalah obyek sekaligus subyek. Seperti yang dikatakan Rasulullah an-nisaai saqoo iqurrijal, wanita itu saudara kandungnya laki-laki. Namanya saudara kandung, ya harus tolong menolong.

Bentuk realisasi tolong-menolongnya bagaimana?

Ada penjelasan dalam buku alakhwatul mu̢۪minah, karangan Munir Gadhban. Saat Ja̢۪far Aththoyyar meninggal, para muslimah menjalankan aksi untuk meringankan beban keluarganya, terutama istrinya, Asma̢۪ binti Umais. Tidak ada aktivitas masak saat itu di rumah Asma karena para sahabiyat telah memasakannya di rumah mereka masing-masing.

Aplikasinya zaman sekarang, kita harus saling membantu saat akhwat yang lain membutuhkan kita. Sebagaimana kita mengetahui bahwa suksesnya dakwahnya rasul sangat didukung oleh kerjasama para sahabiyat. Bila suami-suami para sahabiyat lain sedang berjihad, mereka saling tolong-menolong. Padahal perginya para sahabat itu bukan cuma berbilang hari, tapi berbilang bulan. Dan hal itu kan tidak mudah. Saat suami tidak ada di rumah, para sahabiyat kan harus menjalankan peran ibu sekaligus ayah, yang antara lain adalah sebagai penyangga ekonomi.

Lalu, bagaimana kaitannya dengan muslimah sekarang yang menjalani peran profesionalnya?

Peran profesional muslimah adalah peran kontributif. Peran utamanya adalah di rumah. Ketika dia ke luar rumah dan menjalankan peran sesuai dengan kapasitasnya secara jujur, sesungguhnya ia tengah ikut bersama kaum pria untuk membangun bangsa ini. Meski demikian perlu diingat, bahwa kalau mau dilihat secara jumlah atau prosentasenya, sebenarnya wanita yang dikaruniai peran kontributif itu jumlahnya lebih kecil daripada ‘wanita rata-rata’.

Ketika seorang muslimah memiliki potensi dan kesempatan untuk menjalani peran publik, maka ia harus menjalaninya dengan baik. Ia harus didukung oleh keluarganya, juga oleh masyarakat (negara). Keluarga harus merelakan waktu dan tenaga muslimah ini tidak hanya untuk keluarga, tapi juga untuk menjalankan amanah profesi. Muslimah itu juga harus menjalaninya profesinya secara amanah, sejujur-jujurnya. Caranya adalah dengan mencari cara yang efektif dan efisien untuk berperan optimal.

Keluarga, tetangga, dan kerabat pun seharusnya mendukung dengan cara bekerjasama. Misalnya, tetangga bisa terlibat dengan pengasuhan anaknya. Bukan mencemooh.

Pemerintah juga berkewajiban menyediakan Tempat Penitipan Anak (TPA) karena menggunakan tenaga dan pikiran ibu2. Idealnya, setiap instansi itu kan punya.

Kita memang perlu menciptakan dunia yang ramah bagi muslimah, ramah untuk peran reproduksi wanita.

Sekarang ini muslimah kita yang menjalankan amanah publik menjadi penuh perasaan bersalah. Tidak ada dukungan dari keluarga, dari tempat bekerja, dari pemerintah. Bahkan, sedihnya sesama muslimah pun tidak bekerjasama, tapi malah mencemooh. Akibatnya, muslimah yang bekerja di luar rumah tidak optimal karena tidak ada daya dukung.

Bagaimana dengan muslimah yang masih membuat dikotomi peran secara ekstrim? Apa yang dapat dilakukan untuk menjembatani keduanya?

Muslimah harus jujur melaksanakan potensinya. Ketika dia punya potensi publik, ia harus menjalankan peranan publiknya tanpa mengabaikan peranannya yang utama, sebagai ibu dan istri. Ketika dia tidak memiliki kapasitas publik, maka ia harus berupaya optimal menjalankan peranan utamanya itu.

Idealnya, keduanya dapat membangun kerjasama nyata. Bukan saling mencemooh, atau merasa diri paling shalihat di antara yang lain.