Jejak Karya

Jejak Karya
Showing posts with label duka dunia. Show all posts
Showing posts with label duka dunia. Show all posts

Tuesday, October 04, 2022

DUKA OKTO, DUKA AREMANIA, DUKA DUNIA

Tuesday, October 04, 2022 11 Comments

 



Kanjuruhan, 30 September 2022

“Okto, besok kamu nonton Arema sama Persebaya tanding nggak? Aku sudah dibelikan tiket ayahku. Aku mau nonton sama kakak dan ayah. Bakalan seru, nih! Aku yakin Arema yang bakal menang,” cerocos Ozan, sahabat Okto di Klub Sepakbola Kanjuruhan. Sore itu mereka selesai latihan bersama di lapangan tak jauh dari rumah Ozan. Bulan depan akan ada pertandingan persahabatan dengan klub sepakbola kota Malang. Okto dan Ozan juga selalu semangat untuk latihan sepakbola karena mereka punya cita-cita yang sama: kelak jadi pemain TIMNAS INDONESIA.

Sudah 3 bulan klub ini kembali berkegiatan secara offline. Ozan dan Okto sangat senang bisa berkumpul lagi bersama teman-temannya yang sudah mereka kenal sejak 2 tahun lalu. Karena pandemi Corona, klub ini sempat berhenti untuk berkegiatan secara offline.

“Eh, Okto! Kamu dengerin aku ngomong nggak, sih?” Ozan sewot. Ia sudah melepas sepatu bolanya dan dimasukkan tas kresek. Sandal jepit Swallow kini sudah ia kenakan.

“Oh… eh, aku belum tahu, Zan. Aku belum nanya Bapak,” ucap Okto dengan nada sedikit kecewa. Padahal sebenarnya Okto sudah tahu karena waktu Okto merajuk minta dibelikan tiket nonton, Bapak bilang kalau tidak bisa, "Sabtu malam ada rapat di kantor kecamatan," katanya. Semenjak jadi Lurah, bapak semakin sibuk rapat sana-sini.

“Ya sudah. Kabari ya kalau jadi nonton biar bisa janjian barengan dan duduk di tribun yang sama. Kan seru banget tuh bisa teriak yel-yel bareng kamu,” kata Ozan lalu sibuk nyanyi yel-yel Arema sambil membereskan bawaannya.

 

Kami Arema… dukung Arema…

Jadi juara… juara liga

Aremania, siap berpesta

Salam satu jiwa, untuk Indonesia

Ooooh…

 

Ah, Ozan. Sebagai Aremania, siapa sih yang nggak pengen nonton klub sepakbola kesayangannya tanding. Apalagi kali ini tanding di Stadion Kanjuruhan, lawan rival abadinya pula, Persebaya. Sayang sekali kalau tidak nonton langsung. Hmmm…

Okto mengayuh sepedanya dengan lesu. Jarak rumah dengan lapangan sepakbola tempat ia berlatih hanya sekitar 10 menit kayuhan sepeda.

“Assalamu’alaykum. Okto pulang, Buuuk…” ucap Okto saat masuk rumah. Bu Yuni, ibunya Okto sedang menata lauk di meja makan.

“Wa’alaykumussalam. Alhamdulillah, kamu sudah sampai rumah, Okto. Segera mandi sebentar lagi azan Magrib, terus ke mushola ya, nanti Ibu tunggu buat makan malam bareng, ya,” kata Bu Yuni.

“Bapak kemana, Bu? Kok sepeda motornya tidak ada?” tanya Okto.

“Bapak ada rapat di kantor kecamatan sejak sore tadi, Nak,” jawab Bu Yuni.

“Lho, katanya besok malam rapatnya?” tanya Okto lagi.

“Kata Bapak tadi rapatnya dimajukan sore ini. Paling nanti sampai malam Bapak baru pulang,” ucap Bu Yuni yang membuat Okto hanya ber-O panjang.

 

Kanjuruhan, 1 Oktober 2022

Kuuuk… kuuuuk… kugeruuuk… kuuuk…

Suara burung derkuku piaraan Bapak terdengar merdu pagi ini. Sejak Subuh Okto sudah bangun dan pergi ke mushola bersama Bapak. Selanjutnya jadi Minggu pagi yang sangat sibuk di keluarga itu. Bu Yuni sibuk menyiapkan sarapan istimewa, Pak Sapto -bapaknya Okto- sibuk mencuci motor dibantu Okto yang juga sekalian mencuci sepatu bola dan sepedanya.

Jam di dinding ruang tamu sudah menunjukkan pukul 07.00

“Bapak, Okto, ayo, sarapan dulu. Ibu punya kejutan, nih!” seru Bu Yuni.

Okto dan Bapak sudah menyelesaikan pekerjaannya dan bergegas menuju ruang makan. Mereka berdua benar-benar terkejut saat melihat ada tumpeng nasi kuning dengan segala lauk pauknya terhidang di meja makan.

“Selamat ulang tahun, Pak. Selamat ulang tahun, Okto, anak kesayangan Ibu. Semoga Allah selalu memberikan umur yang panjang, sehat selalu, senantiasa dijaga Allah,” ucap Bu Yuni bersama dengan lantunan doa-doa yang kemudian diaminkan oleh Pak Sapto yang berulang tahun 28 September kemarin dan Okto yang berulang tahun hari ini, 1 Oktober.

“Wah, terima kasih banyak, Ibu. Bapak bahagia sekali hari ini,” sahut Pak Sapto.

“Okto juga, Pak. Ibu memang selalu keren dan penuh kejutan! Terima kasih doa-doa dan nasi tumpeng istimewanya ya, Bu,” timpal Okto.

“Eh, Bapak juga punya kado spesial untukmu, Nak. Tunggu sebentar,” ucap Pak Sapto kemudian. Bapak lantas beringsut ke kamar dan kembali ke ruang makan dengan membawa sebuah amplop coklat.

“Bukalah!” perintah Pak Sapto saat amplop itu sudah berpindah ke tangan Okto. Dengan antusias, Okto membukanya perlahan. Matanya tampak berbinar.

“Waaaaa… tiket Arema vs Persebaya malam ini!” seketika Okto jingkrak-jingkrak kegirangan ketika mengetahui ada 3 lembar tiket yang kini ada dalam genggaman tangannya. Artinya, nanti malam mereka akan merayakan ulang tahun Okto dengan menyaksikan pertandingan bola bersama. Ibu juga menyerahkan sebuah kado yang isinya baju bola seragam Timnas Indonesia, kaos Aremania, juga slayer Aremania. Hadiah yang sungguh istimewa di usianya yang ke-11!

Adegan berikutnya, keluarga kecil itu menikmati sarapan nasi kuning dengan hati yang hangat penuh cinta.

 

Sabtu malam, 1 Oktober 2022

Stadion Kanjuruhan malam ini dibanjiri Aremania. Tua-muda, besar-kecil, tumpah ruah di stadion. Teriakan yel-yel menyemangati para pemain Arema membahana di segala penjuru. Keluarga Okto duduk berdekatan dengan Ozan juga ayah dan kakaknya Ozan di Tribun 10. Ozan senang sekali, akhirnya keinginannya untuk menonton pertandingan “Si Singo Edan” bersama sahabatnya terwujud. Dan kini mereka di sini, di stadion yang akan menjadi saksi Arema akan bertarung sengit dengan rival sejatinya, Persebaya.

Pertandingan berlangsung sangat seru. Setelah memasuki babak kedua, tim Persebaya berhasil mencetak golnya yang ke-3, Arema FC semakin tampil menyerang berusaha membobol gawang Persebaya, namun sayangnya tidak ada gol yang tercipta. Semakin banyak serangan, semakin gemas pula para supporter menyaksikannya, termasuk Ozan dan Okto yang sesekali berdiri dan berteriak memberi semangat untuk para pemain Arema. Hingga akhirnya…

 

Priiit… priiiiiit…. Priiiiit…

Peluit panjang tanda pertandingan usai pun dibunyikan sang wasit. Raut kecewa tampak menghiasi para pemain  Arema. Mereka tertunduk lesu karena harus menelan pil pahit kekalahan di kandang sendiri.

“Ayo, Okto. Kita pulang. Pertandingan ya pertandingan, pasti ada yang menang dan kalah. Arema pasti banyak belajar dari kekalahan malam ini,” ucap Pak Sapto. Bu Yuni pun mulai beranjak dari tempat duduknya. Ozan beserta ayah dan kakaknya juga beringsut ingin segera keluar dari stadion.

Bersamaan dengan itu, suasana di lapangan tampak tidak kondusif. Okto menyaksikan sendiri suasana yang mendadak gaduh dan semakin ricuh tatkala banyak supporter yang turun ke lapangan. Kata-kata umpatan keluar diikuti dengan lempar-lempar berbagai macam benda ke arah lapangan. Para supporter semakin banyak yang berhamburan ke lapangan dan semakin beringas, tak terkendali. Para pemain Arema tampak digiring masuk ke dalam ruang ganti dengan kawalan petugas keamanan. Setelah pemain masuk, supporter semakin tidak terkendali dan semakin banyak yang masuk ke lapangan.

“Ayo, Okto. Percepat langkahmu. Suasana mulai rusuh. Orang-orang sudah mulai ribut ingin segera keluar stadion!” ucap Bu Yuni mulai panik. Pak Sapto menggenggam erat tangan istri dan anaknya. Penonton di tribun 10 mulai berlarian menuju pintu keluar.

Okto sesekali masih menengok ke arah lapangan. Ada banyak manusia berseragam aparat berusaha memukul mundur para supporter. Pemandangan yang seharusnya tidak disaksikan oleh bocah yang baru memasuki usia 11 tahun. Dengan mata kepalanya sendiri, Okto melihat kondisi yang semakin kacau tatkala aparat mulai melancarkan serangannya dengan menembakkan sesuatu secara membabi buta. Saat tembakan ke sekian, tiba-tiba…

“Bapak, Ibu… mataku perih sekali!” teriak Okto. Karena ingin mengucek matanya, gandengan tangan Bapaknya terlepas. Para penonton di belakang mereka mulai merangsek ingin segera keluar. Lautan manusia saling berdesakan menuju pintu keluar yang saat itu belum semua pintu dibuka.

“Bapaaaak, Ibuuu, kalian di mana?” Okto mulai panik karena terpisah dari Bu Yuni dan Pak Sapto. Semua berlarian menuju pintu keluar, saling berdesakan, tampak sesak karena “sesuatu” itu ternyata gas air mata. Okto mencoba bertahan untuk tetap berjalan mengikuti arus desakan dari arah belakang. Kedua matanya benar-benar perih, nafasnya mulai tersengal. Dalam hati, Okto terus berharap kedua orang tuanya juga keluarga Ozan dalam keadaan baik-baik saja.

Alhamdulillah, Okto berhasil keluar dari desakan lautan manusia. Sesampai di luar stadion, suasana masih ricuh. Ia saksikan mobil Polisi yang dibakar massa. Ia saksikan puluhan manusia bergelimpangan, terkapar. Mungkin ada yang sudah tidak bernyawa, atau hanya sekadar pingsan saja. Okto juga melihat anak-anak kecil yang menangis karena terpisah dari orang tuanya, ibu-ibu yang berteriak histeris karena mencari anaknya, laki-laki dewasa yang kebingungan mencari keluarganya. Semuanya sangat mencekam.

“Bapak, Ibu, kalian di mana?” gumam Okto lirih. Dengan sekujur tubuh yang terasa linu karena terhimpit, terdesak, terinjak, terdorong kerumunan massa, Okto berjalan tertatih mengitari stadion. Ia berusaha mengamati satu persatu, namun sudah lama ia berjalan, kedua orang tuanya belum bisa ia temukan. Okto akhirnya duduk dekat tempat parkir motor bapaknya. Ia masih ingat karena tidak jauh dari tempat parkir itu ada warung milik teman sekelasnya, Fani. Tadi sebelum masuk ke stadion Okto dan kedua orangtuanya sempat membeli air mineral dan jajanan ke warung Fani.

Okto mulai menangis membayangkan kalau hal buruk terjadi kepada orang tuanya.

“Eh, kamu Okto, kan?” suara anak perempuan membuat Okto menoleh ke sumber suara.

“Alhamdulillah, kamu tidak apa-apa, Okto. Ayo, ikut aku ke warung!” Fani menarik tangan Okto. Di rumah Fani, Okto diberi teh hangat agar sedikit lebih tenang.

“Sambil menunggu suasana lebih aman, kamu di sini dulu ya, Okto,” ucap ayahnya Fani. Okto hanya mengangguk.

“Kamu istirahat dulu saja, biar ayah Fani yang mencari kedua orang tuamu. Kondisi di luar masih tidak aman,” kata ibunya Fani sambil menyerahkan bantal ke Okto. Ayah Fani tampak keluar rumah. Suasana di luar masih sangat gaduh.

Okto mencoba memejamkan mata, tapi kantuk itu tidak juga datang. Pikirannya hanya dipenuhi wajah bapak dan ibunya. Perlahan terlintas peristiwa membahagiakan pagi tadi saat menikmati tumpeng nasi kuning bersama-sama, saat membuka amplop berisi tiket pertandingan malam ini dari Bapak, juga kado istimewa dari Ibu.

Akhirnya, Okto pun terlelap dan berharap ketika terbangun esok hari sudah ada kabar dari kedua orangtuanya.

[*]

Kanjuruhan, 2 Oktober 2022

Suasana Stadion Kanjuruhan sangat mencekam. Mayat-mayat bergelimpangan. Pagi ini tersiar berita, ada lebih dari 100 korban meninggal dunia akibat tragedi semalam. Mata Okto masih terasa perih dan dadanya sesak menahan rasa sedih. Setelah Subuh tadi, ayah Fani kembali melakukan pencarian.

Sekitar jam 7, usai Okto sarapan bersama Fani, adiknya, juga ibunya Fani, ayah Fani pulang dan tiba-tiba langsung memeluk Okto.

“Sabar ya, Okto. Pak Sapto, bapak kamu, iya bapak kamu… tadi ditemukan sudah dalam kondisi tidak bernyawa. Ibu kamu masih dalam proses pencarian. Nanti coba Bapak cari ke rumah sakit. Ya Allah, sabar ya, Okto,” ayah Fani menyampaikan berita duka itu dengan suara bergetar.

Hancur hati Okto, semakin perih rasanya tatkala Okto tahu kalau Ozan, ayah, dan kakaknya juga menjadi korban meninggal dunia karena tragedi semalam. Pecah tangis Okto karena kehilangan sosok laki-laki kesayangan yang menjadi panutannya selama ini, juga kehilangan sahabat terbaiknya, sahabat yang selalu memberikannya semangat untuk mewujudkan impian bersama.

“Ibu… Okto masih ingin dipeluk Ibu. Semoga Ibu ditemukan dalam kondisi baik,” batin Okto mengeja pinta. Dipegangnya kaos Aremania dan syal yang masih melilit lehernya, kado istimewa dari ibu tercinta. Langit Kanjuruhan pagi itu mendadak kelam, berselimut luka dan duka.

[*]

Sebulan berlalu pasca tragedi Kanjuruhan itu…

Okto terduduk lesu di dua pusara yang berdampingan.

“Bapak, Ibu, Okto kangen. Okto ingin bersama Bapak dan Ibu lagi kaya dulu. Bapak, Ibu, sekarang Okto tinggal bersama Paklik dan Bulik. Mereka sangat sayang pada Okto. Bapak, Ibu, Okto kangen. Coba kemarin Okto tidak ngajakin nonton, coba kemarin kita nontonnya di rumah saja… hiks, hiks, Okto tidak akan jadi yatim piatu, Okto tidak akan kehilangan orangtua yang penuh cinta seperti Bapak dan Ibu. Hiks… hiks…,” Okto terisak.

[*]

Cerita ini hanya fiktif belaka.

Turut berduka yang sedalam-dalamnya atas tragedi Kanjuruhan tanggal 1 Oktober silam. Semoga semua korban yang meninggal dunia diampuni segala dosanya, mendapatkan tempat terbaik di sisi-Nya. Keluarga yang ditinggalkan senantiasa diberikan kekuatan dan kesabaran.

Tidak ada sepakbola yang seharga nyawa.

Duka Kanjuruhan, duka kami semua…