Jejak Karya

Jejak Karya
Showing posts with label film. Show all posts
Showing posts with label film. Show all posts

Sunday, November 29, 2020

COPY-PASTE SEMANGAT PAHLAWAN DARI FILM-FILM PERJUANGAN

Sunday, November 29, 2020 0 Comments

 


 


Saat ini, generasi muda bangsa Indonesia banyak yang mengalami krisis moralitas, miskin akhlak dan tak mengerti adab. Banyak faktor yang mempengaruhi, salah satunya tontonan mereka. Saat ini banyak tontonan yang menampilkan adegan kekerasan, perbuatan tidak baik, berita kriminalitas, hedonisme, dan banyak lagi. Tanpa pendampingan orang dewasa, khususnya orang tua, mereka mungkin akan menelan mentah-mentah apa yang tertangkap retina mereka. Tanpa mem-filter sebelumnya. Ya, karena tontonan bisa jadi tuntunan. Karena itu, butuh tontonan yang mendidik, yang mampu memberikan keteladan dan mengandung banyak nilai-nilai kehidupan yang baik. So, saya sangat setuju ketika film-film perjuangan untuk mengenang sejarah para pahlawan Indonesia itu sering-sering saja diputar. Apalagi saat ini, dunia perfilman tanah air menunjukkan geliat yang semakin baik. Aktor dan aktrisnya sudah tak perlu diragukan lagi kemampuan akting mereka.

 

Di bawah ini saya paparkan beberapa film perjuangan kemerdekaan karya anak negeri. Beberapa judul saya sudah menonton, dan memang patut direkomendasikan khususnya ditonton untuk para generasi muda, calon pemimpin bangsa ini.

 

Wage (2017)

Film ini menceritakan biografi pencipta lagu "Indonesia Raya", yaitu Wage Rudolf Soepratman. Dalam pembuatannya lagu "Indonesia Raya" merupakan perwujudan dari bangkitnya kesadaran pemuda-pemuda Indonesia untuk melawan penjajah. Film ini juga memperlihatkan Wage yang merasakan ditahan oleh Belanda karena terlalu vokal dan memiliki jiwa nasionalisme yang tinggi. Perjuangan sosok Wage harus terhenti tatkala penyakit paru-paru melemahkan fisiknya hingga akhirnya beliau wafat.

 

Perburuan (2019)

Film yang diangkat dari novel karya Pramoedya Ananta Toer dengan judul yang sama ini diperankan oleh Ayushita, Ernest Samudra, Khiva Ishak dan Michael Kho. Film ini berkisah tentang enam bulan setelah kegagalan PETA melawan Jepang. Hardo (Adipati Dolken) diburu oleh tentara Jepang karena dianggap sebagai otak dari pemberontakan. Alur dalam film ini sungguh asik untuk dinikmati.

 

Jendral Soedirman (2015)

Film yang berkisah tentang perjuangan Jendral Soedirman ini memperlihatkan taktik dan strategi gerilya yang membuat Belanda kehabisan logistik dan waktu.

Meski menderita sakit paru-paru, Jenderal Soedirman mampu bertahan dan bersembunyi di balik hutan-hutan Jawa selama berbulan-bulan untuk berjuang melawan Belanda. Sosok jenderal yang pantas dijadikan teladan dalam setiap perjuangannya, pengorbanannya, juga semangat cinta tanah air yang membara dalam jiwanya.

 

Guru Bangsa Tjokroaminoto (2015)

Film besutan Garin Nugroho ini dibintangi oleh Reza Rahardian (Tjokroaminoto), Alex Abbad (Abdullah), Putri Ayudya (Soeharsikin), Maia Estianty (Mrs. Mangoenkoesoemo), Didi Petet (Haji Hasan), Chelsea Islan (Stella) dan lainnya. Siapa yang tak terpesona dengan akting Reza Rahardian? Hehe. Film ini berkisah tentang Haji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto yang memiliki andil besar pada masa awal kemerdekaan Indonesia. Kala itu, pendidikan masih minim, rakyat miskin di mana-mana dan tidak ada sekolah untuk rakyat. HOS Tjokroaminoto merupakan salah satu guru terbaik sekaligus mertua Proklamator RI Soekarno. Kita bisa belajar banyak nilai-nilai kehidupan dalam film ini.

 

Kartini (2017)

Film yang disutradarai Hanung Bramantyo ini mengangkat biografi dari RA Kartini yang dibintangi Dian Sastro Wardoyo. Aha, aktris Indonesia ini memang tak perlu diragukan lagi pesona aktingnya. Jempol banget pokoknya. Film ini mengisahkan perjuangan RA Kartini untuk mengangkat kesetaraan hak untuk perempuan khususnya di bidang sosial dan pendidikan. Yups, habis gelap terbitlah terang. Film ini membuat pemikiran kita semakin terang benderang.

 

Trilogi "Merah Putih"

Film pertama "Merah Putih" rilis pada 2009, menyusul sekuel selanjutnya "Darah Garuda" pada 2010 dan "Hati Merdeka" 2011. Berlatar belakang tahun 1947, film ini mengisahkan tentang para pemuda dari berbagai suku yang berjuang mempertahankan kemerdekaan Tanah Air.

 

Soekarno (2013)

Film garapan Hanung Bramantyo ini menceritakan biografi Soekarno, tentang masa kecil Presiden pertama RI yang bernama Kusno, masa remaja, kisah cinta hingga saat memperjuangkan kemerdekaan bangsa. Film ini juga menampilkan pidato-pidato Soekarno yang membakar semangat nasionalisme, dan masa-masa pengasingannya.

 

Bagi saya, film-film ini sungguh menggugah jiwa dan semangat kebangsaan. Sahabat punya rekomendasi film yang mampu menumbuhkan sikap cinta tanah air dan semangat kepahlawanan? Sharing di kolom komentar, ya. Terima kasih.

 


Friday, February 19, 2016

[Review Film Ketika Mas Gagah Pergi] : MALAIKAT UNTUK ‘DIK MANIS’ ITU BERNAMA ‘MAS GAGAH’

Friday, February 19, 2016 1 Comments
  • Judul Film  : Ketika Mas Gagah Pergi
  • Sutradara : Firman Syah
  • Produser : Helvy Tiana Rosa
  • Penulis Naskah : Helvy Tiana Rosa
  • Produksi : IndoBroadcast Production, ACT
  • Genre : Drama Religi 
  • Pemain: Hamas Syahid Izzudin, Aquino Umar, Masaji Wijayanto, Izzah Ajrina, Wulan Guritno, Mathias Muchus, Nungki Kusumastuti, Miller Khan, Epy Kusnandar, Ali Syakieb, Shireen Sungkar, Joshua Suherman, Irfan Hakim, Virzha Idol, Fendy Chow, dll.


Ini film kita! Kita yang modalin, kita yang buat, dunia yang nonton!
Inilah jargon penuh semangat dari para pejuang KMGP (Ketika Mas Gagah Pergi).  Alhamdulillah, setelah penantian yang cukup panjang selama kurang lebih 12 tahun, KMGP The Movie yang diadaptasi dari cerita karya Helvy Tiana Rosa, pendiri Forum Lingkar Pena, inipun bisa tayang dalam bentuk layar lebar mulai 21 Januari 2016.

Lihat dulu trailer-nya, nih!




Sinopsis Cerita
Bagian pembuka film Ketika Mas Gagah Pergi (KMGP) ini penonton sudah dimanjakan dengan pemandangan wilayah Indonesia Timur yang begitu memesona. Adegan pertama dimulai ketika Gagah (Hamas Syahid Izzudin) naik sepeda motor menuju suatu tebing lalu mengambil beberapa gambar (memotret), sampai akhirnya dia terpeleset dan terjatuh. Selanjutnya, alur melompat saat ada narasi dari Gita (Aquino Umar) tentang kehidupan keluarganya dan ditampilkan flashback saat Gagah dan Gita kecil.

Mas Gagah adalah segalanya bagi Gita. Mas Gagah selalu ada untuknya. Mas Gagah dan Gita pun tumbuh dewasa. Mas Gagah kuliah di jurusan Teknik Sipil dan Gita SMA. Kesedihan menghinggapi mereka saat sang Papa (Dwiki Dharmawan) meninggal dunia. Setelah Papa meninggal, Mas Gagah yang menggantikan peran Papa sebagai kepala keluarga dan tulang punggung keluarga. Mas Gagah mampu mengisi ruang kosong di hati adiknya yang tomboy itu. Selain tampan, ia juga cerdas, gaul, dan sangat penyayang. Mas Gagah tak pernah keberatan memenuhi kemauan adiknya. Semuanya berjalan sangat menyenangkan. Keakraban yang selalu dirindukan terjalin antara kakak beradik itu.

Konflik mulai muncul saat Mas Gagah harus pergi ke Ternate karena tugas kuliah. Sepulangnya dari Ternate, Mas Gagah berubah, drastis! Begitu menurut Gita dan juga Mama (Wilan Guritno). Mas Gagah lebih suka mengenakan baju koko dan berjenggot. Ia pun membatasi dirinya dari hal-hal yang berbau duniawi. Mas Gagah lebih suka mengaji daripada nge-mal dan nonton konser musik. Ia pun memutuskan untuk tidak jadi model lagi.

Mas Gagah pun memberanikan diri untuk menjelaskan semua perubahannya itu pada Mama dan Gita. Bagi Gagah, dirinya berhijrah mengikuti ajaran Islam untuk hidup yang lebih baik sesuai tuntunan Al-Qur’an dan Hadits. Tapi, bagi Gita yang ABG gaul, perubahan pada kakaknya itu ‘sangat lebay dan enggak banget’. Hubungan keduanya pun membeku. Tidak ada lagi keceriaan dan keakraban antara Gagah dan Gita. Perang dingin berkecamuk di rumah itu. Apalagi Mas Gagah yang dulu sering berkelakar memanggilnya “Gito”, sekarang ganti dengan panggilan “Dik Manis” yang terdengar sangat aneh di telinga Gita.

Gagah pun terus bersemangat dalam menjalankan ajaran Islam.
“Islam itu indah… Islam itu cinta…”

Mas Gagah kerap menasihati Gita untuk menjalankan perintah-perintah agama. Gita sebal. Menurutnya, abangnya itu terlalu fanatik dan norak. Ia hanya mau sosok kakaknya kembali seperti dulu. Tak hanya memusuhi Mas Gagah, Gita pun benci dengan sosok Kyai Ghufron -yang menurut Gagah beliaulah yang telah memberikan banyak pelajaran berharga saat di Ternate. Gagah tak pantang menyerah untuk mengajak Gita dan Mama untuk lebih mengenal Islam.

Puncak kekesalan Gita ia lampiaskan dengan menolak untuk diantar jemput Mas Gagah lagi. Saat naik bis umum, Gita kerap dipertemukan dengan sosok laki-laki berkemeja kotak-kotak yang suka berceramah. Aneh! Bagi Gita, sosok laki-laki itu sangat aneh. Berceramah kok di bis, tidak mau dibayar pula.

Laki-laki ganteng yang sering memakai kemeja kotak-kotak itu bernama Yudi (Masaji). Cara dakwahnya ditentang oleh abahnya (Mathias Muchus). Tapi, Yudi berusaha membela diri, kalau berdakwah itu bisa dimana saja. Dakwah Yudi yang anti mainstream itu awalnya membuat Gita jengah karena Yudi mengingatkan Gita dengan sosok abangnya yang kini berubah.

Gita seringkali bertemu sosok Yudi di bis umum dan tempat-tempat umum lainnya, termasuk di area pemukiman penduduk yang terkena musibah. Sosok Yudi selalu menjadi orang yang paling dulu dalam membantu mereka yang sedang membutuhkan. Sampai akhirnya, Gita ditolong oleh Yudi saat handphone-nya mau dicopet. Beberapa hari setelah kejadian itu, Gita berjumpa lagi dengan Yudi saat ia sedang berceramah di bus umum yang ia naiki. Mereka pun berkenalan dengan singkat dan cepat. “Fisabilillah”, nama itu yang terdengar di telinga Gita. Hingga akhirnya, Gita memanggil Yudi dengan sebutan “Mas Fisabilillah”.

Mas Gagah pun mendirikan sebuah rumah singgah di perkampungan kumuh yang ia beri nama “Rumah Cinta” bersama para preman insaf. Lalu, bagaimana kisah selanjutnya? Ada banyak kejutan yang ada di film berdurasi 96 menit ini.

Keunggulan film KMGP :
  • Ruh novelnya masih sangat terasa. Meskipun ada beberapa hal yang berbeda seperti setting tempat (di novel Madura, di film Ternate). Namun, hal ini justru menunjukkan kepiawaian sang penulis skenario, Mas Fredy Aryanto.
  • Akting para pemainnya yang sangat natural. Saya sangat suka dengan adegan Gita yang diperankan Aquino Umar, sosoknya sesuai angan saya tentang adik yang tomboy, gaul, dan asyik. Akting Yudi dan Gagah juga tak kalah keren. Itu semua juga tak bisa lepas dari didikan dan gemblengan dari Mas Otig Pakis yang memang sudah malang melintang di dunia seni peran. Akting para pemain pendukung pun juga tak kalah keren. Wulan Guritno sebagai Ibu Mas Gagah dan Mathias Muchus sebagai Ayah Yudi, berperan sangat gemilang. Trio “preman insyaf” Bang Urip (Epy Kusnandar), Maxi (Abdur Arsyad) dan Kang Asep Codet (Muhammad Bagya) menambah kesegaran film ini. Tokoh Tika (Meta Rizki Nurmala) sahabat ‘nongki-nongki chanci’ nya Gita yang sangat gaul juga mencuri perhatian penonton. Hahaha, saya sampai nyengir mencoba memahami bahasa-bahasa alay-nya seperti sya-bi, leh uga, dll. Ada 30 bintang terkenal yang turut meramaikan film ini antara lain: Shireen Sungkar, Ali Syakieb, Mentari De Marelle, Joshua Suherman, Virzha Idol, Miller Khan, Arbani Yasiz, Elovii, Rendy Martin, Nungki Kusumastuti, dan masih banyak lagi.

  • Teknik sinematografi yang cukup matang, benar-benar mampu memanjakan mata para penontonnya. Setting Ternate ditampilkan dengan sangat indah meskipun hanya sekilas.
  • Soundtrack film/musik yang digarap Dwiki Dharmawan  benar-benar mampu membawa penonton hanyut dalam setiap adegan. Lagu yang menjadikan film ini lebih kece diantaranya “Rabbana” dibawakan dengan sangat indah oleh Indah Nevertari juga lagu "Ketika Mas Gagah Pergi" yang dibawakan oleh Olivia Wardhani.




  • Dalam KMGP disinggung sedikit tentang persoalan kemanusiaan di Palestina. Saat dibawa ke rumah-rumah produksi, mereka ingin menghapus ‘bagian’ tersebut dalam film, namun Bunda Helvy berjuang untuk mempertahankannya. 12 tahun mempertahankan hal ini, ternyata nama pemeran utama film KMGP adalah Hamas Syahid Izzuddin, sebuah nama yang akan selalu mengingatkan kita pada Palestina. Masya Allah...
  • KMGP mengajarkan nilai-nilai kemanusiaan dan kekeluargaan yang dikemas dengan beragam fenomena kekinian. KMGP merupakan film yang menggugah kesadaran kita tentang arti hijrah, perubahan ke arah yang lebih baik, dan bagaimana kita harus menyikapi dan menghargai sebuah perbedaan. Seperti kata Tika pada Gita saat mereka ‘nongki-nongki chanci’ : “Berbeda itu kece.” Atau seperti yang disampaikan Gagah saat Tika mengkonfirmasi perubahan yang terjadi pada diri Mas Gagah : “Jika kita tidak menyetujui suatu kebaikan yang mungkin belum bisa kita pahami, kita bisa coba untuk menghargainya."
  • Film ini dibuat dari dana patungan (crowdfunding) para pembacanya dan lebih dari 50% keuntungan bersih film ini disalurkan untuk dana kemanusiaan. Dan juga tercatat 12 Komunitas resmi mendukung film ini yaitu: Masyarakat Relawan Indonesia (MRI), Komunitas Sukses Mulia (KSM), Bulan Sabit Merah Indonesia (BSMI), Rumah Kepemimpinan (RK), Forum Lingkar Pena (FLP), Hijaber Moms Community (HMC), Jaringan Sekolah Islam Terpadu (JSIT), One Day One Juz (ODOJ), Smart Club (SC), Tangan Di Atas (TDA), Sahabat Mas Gagah (SMG) dan Matasinema.
Tapi, memang tak ada karya yang tak retak. Saya tetap menjumpai beberapa kelemahan dalam film ini :
  •  Ada beberapa alur cerita yang cukup aneh buat saya. Lompatannya terasa begitu cepat sehingga terkesan kurang jelas dan membingungkan. Terutama saat adegan Mas Gagah yang pergi ke Ternate lalu adegan saat pulang yang terkesan sangat cepat.
  • Kesalahan kecil juga terekam mata saya, seperti jenggot Mas Gagah cukup aneh dan kurang konsisten. Hehe. Ada juga adegan saat Yudi yang tidak menanyakan nama gereja saat ia menolong seorang ibu korban kebakaran, Yudi akan menyusul sang suami ibu itu, tapi kan belum disebutkan gerejanya apa namanya dan dimana letaknya, Yudi langsung lari saja.
Film ini tetap keren. Kesalahan-kesalahan kecil itu tertutupi dengan teriakan takbir dalam hati saya. Allah Maha Besar! Rasanya, setelah selesai menonton film itu, saya ingin menghambur ke pelukan Bunda Helvy. Akhirnya, atas izin Allah, KMGP bisa difilmkan. Saya kembali terisak saat di akhir film, saya melihat melihat foto tiga “Mas Gagah” in memoriam : Chaerul Umam, Didi Petet dan Ferasta “Pepeng” Soebardi.

Selama 12 tahun memperjuangkan film KMGP, Bunda Helvy kehilangan 3 ‘abang’ yang sangat mendukungnya itu. Sejak 2004, sutradara terkemuka Chaerul Umam berkata bahwa kalau KMGP difilmkan, ia harus menjadi sutradaranya karena ia sangat suka kisah yang menurutnya bisa membangun karakter pemuda Indonesia tersebut. Tahun 2013 beliau meninggal dalam keadaan menjadi sutradara film KMGP. Enam bulan sebelum wafat, dalam keadaan sehat, beliau berwasiat pada Helvy, bila beliau meninggal, orang yang tepat menyutradarai film KMGP adalah Firman Syah. Pepeng sejak tahun 2004 ingin membuat kuis televisi “Mencari Mas Gagah” dimana para pemuda muslim diadu wawasan, akhlak, bacaan Al Qur’an, dan prestasinya. Pemenangnya akan menjadi pemeran utama KMGP. Sayang, tahun 2005 Pepeng sakit hingga lumpuh dan kemudian wafat. Didi Petet terlibat dalam casting pemain. Ia penasaran karena saat casting tak berhasil menemukan orang yang cocok memerankan Mas Gagah. Ia berharap bisa bertemu dengan Mas Gagah, namun sayang, tak sempat karena beliau wafat.

Film produksi IndoBroadcast bekerjasama dengan Aksi Cepat Tanggap ini telah ditunggu selama lebih dari 20 tahun oleh para pembacanya yang turut “patungan” untuk kehadiran film ini. Bunda Helvy berkomitmen menyumbangkan 50% keuntungan film untuk dana kemanusiaan dan apabila tercapai 1 juta penonton, akan ditambah lagi 1 Milyar untuk pendidikan anak-anak di Indonesia Timur dan 1 Milyar lagi untuk pendidikan anak-anak Palestina.

Ayo, segera tonton filmnya! Kalau ada agenda nonton bareng di kotamu, segera ajak sahabat dan semua keluargamu!

Baca bukunya! Tonton filmnya!


Sssst, ini ada trailer KMGP The Movie #2