Jejak Karya

Jejak Karya
Showing posts with label salim a fillah. Show all posts
Showing posts with label salim a fillah. Show all posts

Tuesday, March 15, 2016

[Resensi Buku] : DALAM DEKAPAN UKHUWAN (Salim A Fillah)

Tuesday, March 15, 2016 0 Comments

MENGASAH CAKRAWALA RASA DALAM DEKAPAN UKHUWAH
*Norma Keisya Avicenna

Judul Buku          : Dalam Dekapan Ukhuwah
Penulis                 : Salim A. Fillah
Penerbit               : Pro-U Media, Yogyakarta
Tahun Terbit        : 2010
Jumlah Halaman  : 472
ISBN                   : 979-1273-66-9

Alangkah syahdu menjadi kepompong; berkarya dalam diam, bertahan dalam kesempitan. Tetapi bila tiba waktu untuk jadi kupu-kupu, tak ada pilihan selain terbang menari; melantun kebaikan di antara bunga, menebar keindahan pada dunia. Dan angin pun memeluknya, dalam sejuk dan wangi surga.

Kalimat pembuka yang manis dan sarat makna. Rangkaian kalimat yang menyiratkan sebuah perjalanan hidup manusia, sebuah metamorfosis kehidupan.

Ustadz Salim mengawali bahasan dalam buku Dalam Dekapan Ukhuwah ini dengan prolog ‘Dua Telaga’. Prolog yang menggambarkan dua kisah sarat hikmah. Telaga pertama adalah air telaga yang wanginya semerbak melebihi wangi kasturi. Telaga yang rasanya lebih lembut dari susu, lebih manis dari madu, dan lebih sejuk dari salju. Di telaga itu, ada seorang lelaki yang kerap memberi minum mereka yang kehausan. Wajahnya selalu berseri dan selalu menanti kedatangan umatnya. Telaga dengan segala keistimewaannya itu adalah Al-Kautsar dan lelaki itu adalah Muhammad, namanya terpuji di langit dan bumi. Telaga yang kedua berkisah tentang Narcissus yang selalu bercermin di telaga untuk mengagumi pesona dirinya, mengagumi bayangannya. Narcissus menggambarkan sosok jiwa manusia yang hanya takjub pada dirinya sendiri.

Kisah dua telaga ini, mengajak pembaca untuk berhijrah dari kecintaan pada diri sendiri menjadi cinta sesama yang melahirkan peradaban cinta. Awal untuk memulainya adalah IMAN. Iman yang akan menjadi ukuran kualitas hubungan kita dengan sesama.

Ukhuwah disebut juga persaudaraan. Persaudaraan ini tidak dibangun atas dasar darah, nasab, dan keluarga, tetapi atas dasar keimanan dan ketaqwaan kepada Allah.

Dalam buku ini, Ustadz Salim memilah bahasan besar tentang ukhuwah menjadi beberapa bab dengan judul-judul yang sangat menggugah, yang menjelma menjadi bata demi bata yang akan menyusun menara cahaya. Dalam setiap bab itu masih dibagi lagi menjadi beberapa judul tulisan.

‘Ambil Cintamu di Langit, Tebarkan di Bumi’ menjadi judul di bab pertama. Bab ini menjelaskan tentang ukhuwah, kedudukan ukhuwah dalam Islam, serta pentingnya bekerja dan beramal karena keduanya adalah bentuk kesyukuran terindah.

Bab selanjutnya adalah Tanah Gersang’. Salah satu judul yang menarik dalam bab ini yaitu ‘Segalanya adalah Cermin’ (halaman 83). Kita akan belajar dari kisah Mu’awiyah dan ‘Uqail ibn Abi Thalib. Darinya kita belajar setiap saudara adalah tempat kita bercermin untuk melihat bayang-bayang kita. 

Bab berikutnya adalah  ‘Sebening Prasangka’. Prasangka adalah batu bata cahaya dalam membangun menara ukhuwah. Salah satu nikmat terbesar dalam dekapan ukhuwah adalah keberanian untuk menerima penilaian atau kritikan dari orang lain sebagai masukan yang sangat berharga. Itu sikap agung yang telah diambil oleh Az-Zubair (penjaga setia Sang Nabi), Thalhah, ‘Ali, Sa’d ibn Abi Waqqash, ‘Abdurrahman ibn ‘Auf, dan juga ‘Utsman ibn ‘Affan (halaman 215).

Bahasan selanjutnya, Selembut Nurani’. Kita bicara tentang ruh-ruh yang diakrabkan iman, bicara tentang cinta, tentang jiwa yang mendamba naungan Allah SWT dalam mencintai sesamanya.

‘Sehangat Semangat’, menjadi judul bab selanjutnya. Semangat menjadi modal untuk terus bergerak menuju kebaikan dan ber-fastabiqul khoirot. Seperti upaya-upaya ‘Umar untuk mengungguli Abu Bakar yang terus berlangsung dalam setiap kesempatan. Cinta di antara mereka telah saling menyengat dalam bentuk gelora untuk mempersembahkan yang terbaik bagi Allah dan Rasul-Nya.

Selanjutnya, kita akan semakin memahami indahnya persaudaraan yang Senikmat Berbagi’.  Berbagi bagaikan cinta yang dapat menawarkan luka.

Batu bata lain dalam menara cahaya ukhuwah ini adalah ikrar. Kita membangun menara ukhuwah dalam ‘Sekokoh Janji’.  Membangun rasa saling percaya adalah puncak tertinggi kualitas hubungan.

Bagian epilog, kita diberikan jamuan sebuah kondisi yang Gelap, Tapi Hangat’. Kita harus terus saling bercermin tanpa lelah hingga bisa saling memahami dan mencintai saudara kita.

Buku ini membuat kita lebih banyak merenung, lebih banyak menangis, dan gelisah karena kita belum bisa menjadi saudara yang terbaik, belum bisa memahami urgensi ukhuwah yang sebenarnya. Ustadz Salim mengemas semuanya dengan bahasa yang akrab dan indah. Kombinasi kisah-kisah para sahabat, ditambah pula dengan penelitian dari buku-buku seperti ‘Winning With People’ (John C. Maxwell), ‘Every Word Has Power’ (Yvonne Oswald) dan sebagainya, semakin memperkaya bahasan dalam buku ini. Selain itu, hampir di setiap pergantian judul baru, juga diselingi puisi yang mampu membuat diri ini menutup buku sejenak lalu berpikir dan merenung.

Saya sangat kesulitan dalam mencari letak kekurangan buku ini. Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliya berkata, “Temukan tujuh puluh dalih untuk menganggap benar perilaku saudara yang tampak keliru di matamu. Dan jika setelah tujuh puluh alasan terasa tak masuk akal juga, maka katakan pada dirimu: ’Saudaraku ini punya ‘udzur yang tak kutahu.’” Memang, ‘tak ada karya yang tak retak’. Ada satu hal yang menjadi kekurangan. Ustadz Salim dan buku Dalam Dekapan Ukhuwah ini telah membuat pembacanya tidak tenang; setiap kali pembaca membuka halaman pertama, akan muncul rasa penasaran untuk segera membaca halaman-halaman berikutnya hingga akhir.

Buku yang dapat mengasah ‘cakrawala rasa’ ini, sangat saya rekomendasikan untuk dibaca dan dikoleksi bagi siapapun yang berharap dan menginginkan kebaikan ukhuwah dalam cinta-Nya. Buku ini juga sangat layak dibaca oleh para pejuang dakwah, para remaja dan para orang tua yang ingin selalu menggelorakan semangat untuk berlomba-lomba menyemai hikmah, memelihara ukhuwah, memetik barokah, menjadi pribadi yang merindu dan dirindu Jannah.

*Resensi ini mendapatkan JUARA 1 dalam Lomba Resensi yang diselenggarakan oleh Perpustakaan Nuruh Huda UNS