Jejak Karya

Jejak Karya
Showing posts with label taksi berkualitas. Show all posts
Showing posts with label taksi berkualitas. Show all posts

Friday, April 15, 2016

BLUE BIRD, Taksi Burung Biru yang Melesat dengan Nafas Perjuangan

Friday, April 15, 2016 0 Comments

Sampai hari ini, sarana transportasi di Indonesia masih memiliki banyak ‘pekerjaan rumah’ yang tidak mudah. Faktor kenyamanan dan kemudahan masih menjadi tuntutan yang masih belum bisa terpenuhi sepenuhnya di berbagai pilihan sarana transportasi yang ada. Seperti halnya sarana transportasi darat. Rendahnya kualitas transportasi di Indonesia ditandai dengan timbulnya masalah-masalah transportasi yang saling mempengaruhi satu sama lain. Faktor-faktor penyebab rendahnya kualitas transportasi di Indonesia juga disebabkan oleh berbagai hal dan masalah lain yang cukup kompleks, diantaranya :
  1. Dana pengadaan atau peremajaan fasilitas transportasi yang tidak mencukupi.
  2. Kurangnya pengawasan dari pemerintah atau pihak yang terkait.
  3. Kurangnya kesadaran masyarakat untuk ikut menjaga fasilitas serta sarana dan prasarana transportasi.
  4. Kurangnya rasa disiplin dalam diri masyarakat itu sendiri.

Blue Bird, armada taksi yang sangat populer di Indonesia. Blue Bird hadir dengan memberikan karakter pelayanan yang khas. Armada taksi dengan simbol ‘burung biru’ ini merupakan salah satu jasa transportasi yang mengedepankan kepuasan dan kenyamanan pelanggan. Kualitas prima yang diperlihatkan Blue Bird menjadikan armada taksi ini menempati peringkat teratas dari armada taksi yang ada di Indonesia.

Kesuksesan Blue Bird tidak diperoleh dengan mudah atau dalam hitungan waktu yang singkat. Kita tidak hanya melihat bagaimana sebuah perusahaan transportasi  taksi dibangun. Namun, lebih dari itu. Blue Bird kini adalah akumulasi dari perjuangan, tekad, keteguhan dalam menjaga prinsip dan mempertahankan idealisme, hingga usaha armada taksi ini tumbuh dan berkembang dikelilingi oleh nilai-nilai yang baik.

Bu Mutiara Siti Fatimah Djokosoetono
Keteguhan dan Kekuatan Hati Seorang Ibu
          Mutiara Siti Fatimah Djokosoetono, nama lengkap sosok perempuan tangguh itu. Bu Djoko, demikian ia akrab dipanggil. Rasa sedih dan kehilangan yang sangat mendalam ia rasakan saat suaminya tercinta kembali ke pangkuan Yang Maha Esa. Prof. Djokosoetono, S.H., beliau mengembuskan nafas terakhirnya tanggal 6 September 1965. Bu Djoko seperti kehilangan separuh dirinya. Namun, hati perempuan itu sangat kuat, meskipun kesunyian terasa sangat menyayat sepeninggal suaminya. Ia pun bertekad untuk membesarkan ketiga anaknya dengan penuh semangat. Bu Djoko adalah sosok perempuan yang aktif, dinamis, dan penuh dengan ide-ide baru.
          Keluarga mereka hidup dengan sederhana. Meskipun suami Bu Djoko memiliki jabatan yang sangat terhormat, yakni Gubernur PTIK dan PTHM. Terakhir, Pak Djoko menjadi penasihat hukum Presiden RI, Ir. Soekarno. Pak Djoko juga memegang peranan penting dalam pengambilalihan Universitas Indonesia dari tangan Belanda. Dan sepeninggal Pak Djoko, Bu Djoko harus menjadi orang tua tunggal untuk Chanda Suharto, Mintarsih Lestiani, dan Purnomo Prawiro. Bagi Bu Djoko, ketiga anaknya itu adalah poros semangat yang habis-habis memberikannya kekuatan. Waktu itu, Chandra dan Mintarsih telah kuliah, Purnomo masih duduk di bangku SMA.
          Sosok perempuan yang lahir di Malang, 17 Oktober 1921 itu sudah terbiasa hidup sederhana sejak kecil. Ia terlahir dari orang tua yang kaya raya. Namun, saat ia berusia 5 tahun, orang tuanya bangkrut. Sampai makan untuk keluarga saja tak pernah cukup. Bu Djoko kecil pun mulai akrab dengan kehidupan yang serba sulit. Bu Djoko tumbuh menjadi seorang gadis remaja yang penuh semangat untuk mengejar cita-citanya. Karena kekayaan materi tidak dimilikinya, ia bertekad memperkaya diri dengan ilmu dan kepandaian.
Bu Djoko remaja sangat suka membaca buku-buku inspiratif yang diperoleh dengan meminjam. Salah satu kisah legendaris yang selalu menghiburnya adalah kisah “Si Burung Biru” atau “Bird of Happiness.” Bagi Bu Djoko, kisah Si Burung Biru bisa jadi pembakar semangat, penabur inspirasi, dan pemacu cita-cita dalam dirinya.

Sekilas tentang “Bird of Happiness”

    
Shirley Temple yang memerankan tokoh si gadis kecil dalam film The Blue Bird
(Sumber : Google)

Sebuah kisah mengharukan tentang gadis cilik yang miskin dan hidup dalam penderitaan. Tapi, ia senantiasa bersemangat dengan harapan yang berkobar dan pikiran yang positif. Tak pernah bosan ia berdoa meminta petunjuk untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Sampai suatu ketika ia bermimpi. Dalam mimpinya itu, si gadis cilik yang miskin itu diperintahkan untuk mencari burung biru. Burung biru yang dipercaya dapat membawa kehidupannya menjadi lebih bahagia. Burung biru itu terletak di tempat yang jauh dan sulit dicapai. Banyak sekali tantangan dan perjalanan yang panjang untuk menemukannya.
          Si gadis cilik segera melakukan perintah itu. Ia melakukan perjalanan panjang yang penuh dengan kesulitan. Ia mengikuti petunjuk dalam mimpinya. Begitu banyak alasan untuk membuatnya berhenti dan menyerah. Tapi, ia tidak menyerah dan tidak pernah putus asa. Hingga akhirnya, di ujung perjalanan, gadis kecil itu menemukan burung biru seperti yang ada di dalam mimpinya. Perjalanan panjang dan berat itu berubah menjadi kebahagiaan yang tak terkira bagi si gadis kecil. Itulah kisah “Si Burung Biru” yang legendaris dan kemudian difilmkan di Hollywood, gadis kecil diperankan oleh Shirley Temple dan menjadi  box office di tahun 50-an.
          Kisah “Si Burung Biru” itu begitu meresap ke sanubari Bu Djoko. Dari kisah itu, Bu Djoko meyakini bahwa kemiskinan tidak akan abadi melekat dalam kehidupan manusia jika ada usaha dan keyakinan untuk keluar dari kondisi itu.

Jejak-jejak Perjuangan Bu Djoko
Lembaran demi lembaran kisah pun bergulir…
Saat Pak Djoko masih hidup, Bu Djoko tidak pernah gengsi juga tidak pernah terbersit rasa malu dalam dirinya untuk berjualan batik door to door. Bu Djoko tidak takut direndahkan oleh sesama istri pejabat tinggi. Ia lakukan itu semua murni sebagai kepedulian istri untuk membantu suami mencari nafkah. Ketiga anak Bu Djoko pun telah terbiasa hidup sederhana, bersabar menghadapi kesulitan hidup, dan mandiri. Setelah bisnis berjualan batik berhenti, Bu Djoko beralih ke bisnis berjualan telur. Waktu itu, jualannya Bu Djoko sangat laris manis. Rumah mereka di Jalan HOS Cokroaminoto penuh dengan telur-telur dagangan Bu Djoko. Hingga akhirnya Pak Djoko meninggal dunia. Meski kesedihan menyergap hatinya, namun bisnis yang sudah berjalan itu tetap ia kelola dengan baik. Bahkan muncul ide-ide bisnis baru.
Kala itu, keluarga Bu Djoko mendapatkan hadiah dari pemerintah dua buah mobil sedan. Bu Djoko berkata kepada Chandra, Mintarsih, dan Purnomo kalau akan menjadikan dua buah sedan –Opel dan Mercedes- itu sebagai… TAKSI.
Bu Djoko lalu mengkhayalkan, taksinya nanti akan menjadi angkutan yang sangat dicintai oleh penumpangnya. Orang-orang akan merindukan naik taksinya karena perasaan aman, nyaman, dan senang karena kondisi taksi yang prima.
Inilah fase yang sangat penting dalam sejarah kelahiran Blue Bird. Yakni, ketika Bu Djoko mantap memulai bisnis taksi dalam rancangan idealisme yang ia buat. Walau di hadapannya hanya ada dua mobil saja, tapi Bu Djoko mampu berpikir visioner, jauh ke depan. Bayangan indah tentang sebuah perusahaan taksi di masa depan sudah tergambar jelas di benaknya.
Bu Djoko lalu menyusun semua konsep dan rancangan untuk perusahaan taksinya. Ia mengandaikan dirinya sebagai penumpang. Jadi, taksi yang akan ia operasikan nanti harus memiliki nilai kenyamanan, keamanan, dan kepastian. Sedangkan jantung dari usahanya itu terletak pada pelayanan. Selain sukses melayani penumpang, agar bisnisnya nanti mendulang keuntungan maka harus dibuat manajemen yang rapi, seperti perhitungan yang cermat untuk pengeluaran bensin, komisi pengemudi, dan bengkel. Begitulah, konsep sederhana dari perempuan dengan semangat baja itu. Bu Djoko pun akan memperlakukan para karyawannya nanti seperti keluarganya sendiri. Bu Djoko yakin, bisnis taksinya akan berumur panjang juga berkembang besar.
Awalnya, Chandra –si sulung- mendapatkan kepercayaan untuk mengelola langsung bagian operasional, dengan bimbingan Bu Djoko. Di Jakarta, bisnis taksi gelap –berplat hitam- sudah merebak. Chandra dan Purnomo pun selalu siap menarik taksi bila mereka tidak kuliah. Taksi milik Bu Djoko pun terkenal dengan sebutan Taksi Chandra.
Bisnis taksi ini pun berkembang pesat, Taksi Chandra memiliki banyak pelanggan. Bu Djoko akhirnya menambah armada taksi dan merekrut pengemudi dan karyawan.
Banyak pengalaman menarik yang manusiawi selama menjalankan bisnis Taksi Chandra pada tahun pertama. Pernah usai menarik taksi hingga tengah malam, Purnomo dengan letih menemui ibunya. Ada dompet penumpang yang tertinggal di jok belakang taksi. Bu Djoko pun menyuruh Purnomo untuk mengantarkan dompet itu ke sang pemilik. Hingga akhirnya, sang pemilik dompet itu merasa sangat terharu dengan apa yang dilakukan oleh Purnomo. Dari peristiwa itu, Purnomo sendiri belajar tentang kepercayaan, kejujuran, dan ketulusan. Tiga poin penting yang selalu Bu Djoko ajarkan.

Perjuangan Mendapatkan Lisensi
Pengalaman yang diperoleh keluarga Bu Djoko selama menjalankan taksi gelap menghasilkan banyak “ide-ide berharga”. Idealisme yang kuat, konsep manajemen, sistem, pengelolaan karyawan, dan penguasaan medan, ditambah dengan ‘jam terbang’ dalam mengatasi situasi sulit adalah simpul-simpul kekuatan yang akhirnya melahirkan “BLUE BIRD”.
Memasuki tahun 1971, Bu Djoko mulai mengupayakan surat izin operasional untuk Taksi Chandra. Namun, ia ditolak oleh pejabat DLLAJR. Bu Djoko dianggap tak layak mengajukan surat izin bisnis taksi karena tidak memiliki pengalaman yang memadai. Bu Djoko dan keluarganya kecewa. Namun, hari itu saja mereka kecewa. Esoknya, bisnis Taksi Chandra tetap berjalan dan upaya untuk memperoleh surat izin tetap Bu Djoko perjuangkan. Berkali-kali Bu Djoko ke kantor DLLAJR, tapi tetap ditolak. Alasan penolakan kesekian kalinya yang sangat menyakitkan hati Bu Djoko adalah karena Bu Djoko itu perempuan dan perusahaan angkutan adalah dunia laki-laki. Namun, Bu Djoko tetap tegar dan tak gentar.
Sampai akhirnya, Bu Djoko mendapatkan ide untuk mengumpulkan komentar dan tanda tangan dari orang-orang yang merasa bahwa Taksi Chandra adalah taksi yang baik dan berkualitas. Bu Djoko juga mengajak para janda pahlawan untuk bersama-sama menyerukan petisi kemampuan perempuan dalam memimpin usaha. Mereka mendatangi kantor Gubernur dan menghadap langsung Ali Sadikin. Hingga akhirnya, Ali Sadikin memberikan izin usaha untuk mengoperasikan taksi.
Tanggal 1 Oktober 1971, kegembiraan menyeruak di rumah Jalan HOS Cokroaminoro nomor 107. Ada surat dari DLLAJR. Isinya, Bu Djoko atas nama PT Sewindu Taksi akhirnya memperoleh izin operasional. Kesabaran keluarga Bu Djoko membuahkan hasil baik. PT Sewindu Taksi itulah yang merupakan cikal bakal PT Blue Bird di masa mendatang.

Lahirnya Blue Bird
          Bu Djoko pun memberikan ide nama taksi mereka “Blue Bird” dengan warna biru sebagai nuansa logo dan badan taksi mereka. Biru dinilai sebagai warna yang jernih, sejuk, dan mencerminkan energi. Logo Blue Bird dibuat oleh Pak Hartono –pematung asal Yogyakarta-, berbentuk siluet burung berwarna biru tua yang sedang melesat. Logo ini seperti menggambarkan cita-cita yang diilhami dari kisah “The Bird of Happiness”.
          Tanggal 1 Mei 1972, jalan-jalan di Jakarta mulai diwarnai taksi-taksi berwarna biru dengan logo burung yang tengah terbang melesat. Blue Bird semakin berkembang ketika diberlakukan alat dan pencatat tarif, argometer. Bisa dibilang tahun 1970-an itu merupakan masa penggodokan idealisme Blue Bird.

         Setelah sukses mengalirkan nafas perjuangan dan idealisme pada ketiga anaknya, Bu Djoko juga berhasil menularkan semangat pada cucu-cucunya. Semua cucunya, dengan pengabdian yang tinggi, turut andil dalam membesarkan perusahaan yang dirintis sang nenek.
          Setelah perjuangan berat di era 70-an dan 80-an, maka era 90-an memberikan Blue Bir Group buah yang manis. Kemajuan demi kemajuan tak terbendung lagi di tubuh Blue Bird. Manajemen yang rapi, idealisme yang dijaga ketat, pengaturan finansial yang sangat matang, dan strategi ekspansi yang arif, membuat perkembangan Blue Bird semakin pesat.
      Di era 90-an, jumlah taksi mencapai hampir 5.000 mobil. Jumlah pool terus bertambah. Blue Bird juga telah berkembang di sejumlah provinsi di Indonesia. Gedung kantor pusat dengan megah berdiri di Jalan Mampang Prapatan, diresmikan tahun 1991. Sebuah inovasi baru dimunculkan oleh Blue Bird Group dengan peluncuran Silver Bird, executive taxi pada tahun 1993. Taksi kelas eksekutif dengan tarif yang lebih tinggi dibandingkan Blue Bird.
     Tanggal 1 Mei 1997, Blue Bird juga meresmikan kelahiran Pusaka Group yang kemudian dikelola oleh cucu-cucu Bu Djoko. Pengelolaan Pusaka Group sama dengan Blue Bird dari sisi kualitas. Setelah Silver Bird ada inovasi baru dengan peluncuran Golden Bird. Beberapa tahun kemudian, logo seluruh anak perusahaan di Blue Bird Group dibentuk lebih seragam untuk menunjukkan visi dan semangat yang sama. Hanya warnanya yang berbeda, Golden Bird memakai warna gold. Silver Bird, warna silver. Big Bird, warna hijau. Dan Iron Bird, warna tembaga.
     Noni Purnomo –cucu Bu Djoko- sejak tahun 1997 mulai menggagas SOP dan pembaruan dalam keseluruhan sistem kerja Blue Bird Group. Selain itu, dengan kemajuan teknologi, Blue Bird Group pun mulai mengenalkan budaya baru, budaya kerja berteknologi modern dengan kekayaan filosofi dari masa lalu. Blue Bird Group terus terbang melesat meraih kesuksesan demi kesuksesan dengan perjuangan orang-orang luar biasa di dalamnya.

Armada Blue Bird Group

“Orang yang berada dalam kondisi sulit atau diadang ujian berat adalah orang-orang terhormat yang dipercaya Tuhan untuk belajar survive, untuk ditempa. Mereka dilatih untuk mencari jalan keluar dan terlepas dari kesulitan.
Orang-orang seperti itu akan mengisi hidupnya dengan terus berusaha, mereka memiliki kapasitas besar untuk menjadi sukses.”
[Bu Djoko]
Film Sejarah Blue Bird :

Sumber bacaan :

Sang Burung Biru, Alberthiene Endah