Jejak Karya

Jejak Karya

Saturday, September 15, 2012

Menggagas Fiqh Kepenulisan : Uji Nyali Penulis Fiksi ?

Saturday, September 15, 2012 0 Comments

Menggagas Fiqh Kepenulisan: 
Uji Nyali Penulis Fiksi?[1]
oleh: Hatta Syamsuddin, Lc[2]


Mukaddimah : Antara Lisan dan Tulisan
Islam sebagai syariat yang komprehensif tidak pernah memisahkan antara ‘produk’ lisan dan tulisan.  Ketika kita terbiasa dengan bahasan ‘menjaga lisan’ dalam kajian hadits maupun akhlak, maka pada saat yang sama kita juga dituntut untuk ‘menjaga tulisan’ kita. Adapun mengapa banyak riwayat yang ada masih berkutat tentang penjagaan lisan saja, itu semata karena tulis menulis belum menjadi ketrampilan umum setiap orang dan belum menjadi budaya yang mengakar pada waktu itu. Hal lain yang menyebabkan komunikasi lisan begitu mendominasi pada saat itu adalah : minimnya sarana untuk tulis menulis, serta masih banyaknya kaum yang buta huruf.

Namun dunia kini berubah, sarana komunikasi bukan lagi lisan semata tapi juga tulisan, gambar, video dan lain sebagainya. Seiring dengan perkembangan zaman maka komunikasi dengan tulisan pun mulai menunjukkan taringnya. Jika dahulu hanya sebatas artikel di Koran dan majalah, maka saat ini kita dapati tulisan menjadi media komunikasin andalan, baik bersifat umum seperti situs,blog,  maupun yang bersifat khusus seperti sms, chat, BBM, dan yang semacamnya. Maka hari ini kita menjadi saksi, setiap detik berapa kalimat yang telah tertuliskan baik melalui papan ketik laptop, maupun keyboard Qwerty dalam perangkat genggam. 

Pada kondisi saat ini, jika ada yang bertanya bagaimana seharusnya adab dan etika kita dalam menulis, maka menganalogikannya dengan adab-adab lisan adalah hal yang sudah semestinya.  Hal-hal yang jika kita ucapkan adalah salah, maka dengan qiyas aula jika dituliskan tentu akan lebih salah lagi. Mengapa qiyas aula dan mengapa lebih salah ?  Mudah saja menjawabnya, jika kesalahan lisan maka hanya mereka yang mendengar saja yang terganggu atau terpengaruhi. Namun jika kesalahan itu dituliskan dan tersebar, maka sangat mungkin mempengaruhi banyak orang yang lainnya. Pada sisi ini, sungguh kita tidak mengharapkan royalty sama sekali bukan ? 

Maka mari kita renungi sejenak bahwa perintah syariat  dalam  penjagaan atas lisan –dan pada saat yang sama tulisan-  bukan sesuatu yang main-main. Jangankan satu buku, satu lembar, satu halaman atau rangkaian beberapa kalimat, bahkan satu kata pun akan diminta dipertanggung jawabkan. Rasulullah SAW bersabda :
إِنَّ الرَّجُلَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ سُخْطِ اللهِ ، لاَ يَرَى بِهَا بَأْسًا ، فَيَهْوِي بِهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ سَبْعِينَ خَرِيفًا.
 “Sesungguhnya seorang hamba berbicara dengan satu kalimat yang dibenci oleh Allah yang dia tidak merenungi (akibatnya), maka dia terjatuh dalam neraka Jahannam.” (HR Bukhori)
Hadits di atas begitu meyakinkan kita untuk menjaga setiap kata yang terucap, dan juga setiap kalimat yang tertuang dalam karya-karya kita. Karenanya, upaya memunculkan kembali  ‘fiqh penulisan’ bukan lagi sebuah pengingatan kepada kita, tetapi pada hakikatnya adalah ‘penyelamatan’ bagi kita semua sebagai komunitas yang setiap saat siap merangkai kata dan berkarya.

Apa & Bagaimana Semangat Fiqh Kepenulisan ?
Sungguh teramat jarang literatur klasik yang menulis secara khusus tentang adab menulis atau bahasa tegasnya “ fiqh kepenulisan”. Yang tercatat cukup awal adalah kitab “ adabul katib” yang ditulis oleh Abu Muhammad  Abdullah bin Muslim Ibnu Qutaibah ad-dainuri (213-276 H). Sayangnya, kitab tersebut pun tidak membahas etika penulisan, namun lebih banyak mengungkap kaidah-kaidah bahasa dalam penulisan yang baik.  Pada saat ini pun, ketika disebut tentang ‘adab menulis’ dihadapan mesin pencari Google misalnya, maka yang segera muncul biasanya adalah metode-metode dan tips kepenulisan, baik menulis ilmiah, cerpen, dan yang semacamnya. Ada satu dua yang menuliskan tentang adab penulis kaitannya dengan fiqh atau aturan syariat, namun biasanya hanya berupa point-point sederhana yang laa yuth’imu walaa yughni min juu’.  

Karenanya, untuk menggambarkan sebuah fiqh penulisan saya memilih untuk mengikuti kaidah umum dalam dakwah, - mengingat motivasi dan semangat menulis kita adalah karena dakwah – yaitu Firman Allah SWT :
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik “ (QS An-Nahl : 125)
Dari ayat di atas, setidaknya dalam sebuah aktifitas dakwah kepenulisan kita membutuhkan dua hal yang harus saling menunjang, yaitu kejelasan konten ( al-hikmah) dan ketepatan sarana dan metodenya (al-mauidhoh hasanah). Dari sisi inilah kita akan mengembangkan fiqh kepenulisan, yaitu menjaga kualitas syar’I sebuah tulisan sisi konten dan penyampaian atau penggunaan bahasanya.

 Adapun sisi kejelasan konten perlu kita lihat dari beberapa sisi :
a)    Apakah yang kita tulis sudah selaras dengan ajaran syariat Islam yang wasatiyah, tawazun dan komprehensif? sehingga tidak membuat masalah resah dan memecah belat umat.
b)    Apakah yang kita tulis cukup mempunyai dalil argumentasi yang syar’I atau tidak ?  Atau setidaknya mempunyai periwayatan yang baik ? Sebaimana kita sudah diperingatkan oleh Rasulullah saw, beliau  menjelaskannya dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra beliau bersabda :
إنّ الرّجل ليتكلّم بلكلمة مايتبيّن فيها يزلّ بها في الناّرأبعدمابين المشرق والمغرب
Seseorang berbicara dengan suatu kalimat tanpa disertai kejelasan (bukti) oleh karena ucapannya itu, maka ia akan dijatuhkan ke dalam neraka yang jaraknya lebih jauh dari jarak timur dan barat. " (HR Muslim)

Adapun dari sisi menjaga kualitas sarana atau penyampaian, maka sebuah tulisan hendaknya menjaga beberapa kriteria syar’I sebagai berikut :
a)    Menggunakan bahasa yang Indah dan membekas. Firman Allah SWT : “dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka.” (QS An-Nisa :63)
b)    Menggunakan bahasa yang mudah dan  praktis , Firman Allah SWT : “maka katakanlah kepada mereka ucapan yang mudah .” (QS Al-Isra 28)
c)    Menggunakan bahasa yang Lembut. Firman Allah SWT : “maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut".(QS Thoha 44)
d)    Menggunakan bahasa dengan tepat waktu dan  sasaran.  Imam Ali mengatakan : “ bicaralah kepada orang-orang dengan apa yang mereka pahami, apakah engkau ingin mereka mendustakan Allah dan rasul-Nya ? (HR Bukhori)
Disamping karena dua hal di atas, tingkat kualitas syar’I sebuah tulisan juga dilihat dari cara pandang penulisnya. Ini masalah niat, visi dan misi dalam menggores pena.

Visi & Misi Menulis
Mari sedikit bicara tentang hati dan niat, sesuatu yang membuat karya kita akan menjadi besar dalam timbangan akhirat kita. Namun juga bisa berarti sebaliknya, yaitu kerja-kerja berat kita misalnya menulis siang dan malam tanpa henti, akan menjadi tanpa makna dengan niatan yang salah dan menyimpang. Kita semua sepakat, bahwa niat berawal dari kebersihan hati dan cara pandang yang benar. Niatan menulis sebagai sarana untuk mendekatkan derajat kita kepada Allah dengan mendapatkan ridhonya tentulah bukan hal yang bisa ditawar-tawar lagi.  Mari merenungi ungkapan Rasulullah SAW : “Sesungguhnya seorang hamba berbicara dengan satu kalimat dari apa yang diridhai Allah yang dia tidak menganggapnya (bernilai) ternyata Allah mengangkat derajatnya karenanya.” (HR. Al-Bukhari)

Setelah manata niatan mendapatkan ridho Allah SWT, semestinya kita bisa menyusun visi kepenulisan yang memotivasi sekaligus sesuai dengan aturan syariah. Diantara visi kita dalam menulis, setidaknya terwakili dalam tiga hal berikut :
1.    Nasyrul Fikrah wa Dakwah, yaitu menyebarkan fikroh Islam dan berdakwah kepada masyarakat secara umum.
2.    Tanmiyatul Kafaah wa tarbiyah dzatiyah: yaitu sebagai sarana mengasah dan mengembangkan potensi diri, selain itu dengan menulis juga menjadi kontrol bagi seseorang dalam sikap dan perilaku.
3.    Kasbul Maisyah wa Syabakah : yaitu mendapatkan penghasilan dan jaringan, keduanya sungguh saling berhubungan satu sama lain.

Setelah visi kepenulisan kita telah terasah dengan baik, saatnya mengkaji misi kita dalam penulis. Apa yang kita tulis dengan semangat dakwah, semestinya tidak lepas dari beberapa fungsi berikut ini.
1. Fungsi Bayan / Penjelas ( Hukum atau suatu masalah dalam Islam)
Ini memang tergolong serius dan berat. Yaitu menulis seputar tema-tema kajian Islam dan pernik-perniknya. Tulisan jenis ini tentu saja melibatkan dalil, pendapat ulama, dan juga argumen yang perlu hati-hati dan teliti dalam menuliskannya. Tentu tidak semua penulis muslim harus menuliskan tema berat semacam ini. Semua mengambil bagian sesuai dengan kapasitasnya masing-masing.

2. Fungsi Tausiyah dan Motivasi beramal
Sudah menjadi karakter orang yang sukses dalam surat Al-Ashr adalah membudayakan saling menasehati dalam kebenaran dan kesabaran. Ini berarti saling memotivasi untuk beramal shalih sekaligus menghilangkan kesedihan. Begitu pula dalam berkarya, bisa berfungsi  khusus sebagai sarana tausiyah, bertukar dan berbagi nasehat-nasehat kebaikan. Tidak harus bingung mencari dalil, karena setiap kebaikan mempunyai dalil fitrahnya dalam hati masing-masing dari kita. Meskipun tentu saja, bukan berarti dalil tidak penting dalam fungsi ini.

3. Fungsi Pelurus Anggapan salah / wacana yang salah di masyarakat
Yaitu meluruskan hal-hal yang telah mewacana dan mendarah daging dalam masyarakat. Dari mulai mitos, hingga budaya yang tidak selaras dengan ajaran kemuliaan Islam. Ini adalah kategori tulisan yang benar-benar 'membumi'. Tidak bicara terlalu berlebihan tentang gagasan-gagasan idealis, yang bisa saja dilihat sebagai mimpi oleh sebagian lain yang membaca tulisan kita.

4. Fungsi Pengarah Alternatif Islami ( Ta'shiil)
Yaitu memberikan alternatif Islami dalam banyak hal kehidupan masyarakat. Kita tidak sekedar menyalahkan atau meluruskan, tetapi juga memberikan solusi Islami yang benar dan teruji. Misalnya ketika membahas gaya hidup (life style), kita bisa menghadirkan bagaimana Islam mempunyai banyak variasi dalam 'menikmati' hidup, bukan sekedar agama 'akhirat' saja tetapi juga agama kebahagiaan dunia. Bagaimana kita memberikan 'rambu-rambu' penjaga dalam banyak aktifitas modern agar tidak bertentangan dengan Islam.

5. Fungsi Informasi, Inspirasi & Ibroh
Yaitu memberikan informasi baik berita, peristiwa, kisah dan pengalaman hidup untuk memotivasi dan menginspirasi pembaca blog kita. Kita harus meyakini, bahwa setiap kejadian pastilah menyimpan beragam hikmah, dan setiap hikmah harus kita ambil sebagai charger optimisme dalam menyambut masa depan.
Mungkin sebagian kita mengernyitkan dahi dan mulai bertanya-tanya ; bagaimana dengan penulisan Fiksi ? apakah mampu mengusung misi dan fungsi dakwah di atas ? Sebelum bicara lebih lanjut tentang penulisan fiksi dan dakwah, lebih baik kita sedikit mengulang bahasan tentang pandangan syar’I dalam masalah penulisan fiksi. 

Hukum Menulis Cerita Fiksi
Cerita fiksi adalah cerita rekaan dan khayalan yang bisa diambil dari kejadian, pengalaman sehari-hari, maupun berdasarkan tokoh dan peristiwa sejarah yang ada.Para Ulama berbeda pendapat dalam menentukan hukum penulisan cerita Fiksi. Dalam khasanah fikih tentu saja ini menjadi aroma yang biasa, namun dalam prakteknya tentu saja kita harus memilih salah satu.
Yang memfatwakan pengharaman penulisan cerita fiksi, diantaranya adalah Syeikh Sholih bin Fauzan, Lannah Daimah Saudi yang dipimpin oleh Syeikh Abdullah bin Baz.
1.    Cerita fiksi adalah bentuk kedustaan (bohong), sementara  Rasulullah bersabda : “Celaka bagi orang-orang yang berbicara(mengabarkan) sedangkan dia dusta (dalam pembicaraannya) supaya suatu kaum tertawa maka celakalah bagi dia, celakalah bagi dia.”(HR Hakim & Tirmidzi).
2.    Cerita fiksi tidak dapat dijadikan wasilah dakwah karena sifatnya yang tidak ada contohnya pada masa Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wa salam.
3.    Cerita fiksi hanya membuang-buang waktu dan melalaikan dari Al-Qur’an dan As-Sunnah serta kisah-kisah nyata lainnya, sementara kaum muslimin diminta untuk menjaga waktunya.

Sebagian ulama lain berfatwa tentang kebolehan penulisan kisah fiksi, tentunya dengan syarat dan ketentuan tertentu.  Mereka yang membolehkan diantaranya  Syeikh Ibnu Jibrin, Ibnu Utsaimin, Sholih Showy dan Syeikh Muhammad Mazrul.  Beberapa hujjah yang diajukan mereka yang membolehkan antara lain :
1.    Bahwa dalam cerita tersebut tidak ada yang disebut kedustaan, karena pembaca pun mengetahui jika hal tersebut tidak terjadi. Maka lebih tepat disebut dengan pengandaian atau perumpamaan, yang bahkan juga menjadi metode al-Quran dalam menjelaskan sesuatu. Diantaranya Allah SWT berfirman :
وَضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا رَجُلَيْنِ أَحَدُهُمَا أَبْكَمُ لَا يَقْدِرُ عَلَى شَيْءٍ وَهُوَ كَلٌّ عَلَى مَوْلَاهُ أَيْنَمَا يُوَجِّهْهُ لَا يَأْتِ بِخَيْرٍ هَلْ يَسْتَوِي هُوَ وَمَنْ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَهُوَ عَلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
Dan Allah membuat (pula) perumpamaan: dua orang lelaki yang seorang bisu, tidak dapat berbuat sesuatu pun dan dia menjadi beban atas penanggungnya, ke mana saja dia disuruh oleh penanggungnya itu, dia tidak dapat mendatangkan suatu kebajikan pun. Samakah orang itu dengan orang yang menyuruh berbuat keadilan, dan dia berada pula di atas jalan yang lurus? (QS An-Nahl : 76)

2.    Sebuah riwayat dari Rasulullah SAW, beliau bersabda :  “Sampaikanlah cerita-cerita yang berasal dari Bani Israil dan itu tidaklah mengapa” (HR Ahmad, Abu Daud dll). Dalam Mushannaf Ibnu Abi Syaibah terdapat tambahan, “Karena sesungguhnya dalam cerita-cerita Bani Israil terkandung cerita-cerita yang menarik”. Tambahan Ibnu Abi Syaibah ini dinilai sahih oleh Al Albani. Mereka mengatakan bahwa hadits ini menunjukkan bolehnya mendengarkan cerita-cerita Bani Israil yang menarik sekedar untuk hiburan, bukan untuk berdalil. Dengan kata lain, hanya untuk menghilangkan kegundahan hati, bukan untuk berdalil dan beramal dengan isi kandungannya.
Hadits di atas dijadikan dalil oleh sebagian ulama untuk menunjukkan bolehnya mendengarkan cerita-cerita yang unik dan menarik dengan tujuan hiburan dengan syarat cerita tersebut tidak diketahui secara pasti kebohongannya. Sedangkan jika cerita tersebut sudah diketahui secara pasti kebohongannya maka boleh diceritakan dengan syarat maksud dari membawakan cerita tersebut untuk membuat permisalan, sebagai nasihat dan menanamkan sifat berani baik tokoh dalam cerita tersebut manusia ataupun hewan asalkan semua orang yang membacanya pasti faham bahwa cerita tersebut hanya sekedar imajinasi atau karangan semata. Inilah pendapat Ibnu Hajar al Haitaimi, seorang ulama bermazhab syafii

3.    Para ulama (terdahulu) membolehkan kisah-kisah fiktif yang ada dalam buku Maqamat karya Badiuz Zaman al Hamdzani dan al Maqamat karya al Hariri dan buku-buku sejenis, dan tidak ada dari mereka menentang dan mengkritisi karya tersebut.

Realita Penulisan Fiksi dan Dakwah : Uji Nyali ?
Status mubah atau bolehnya penulisan fiksi nampaknya bisa menjadi celah yang baik sekaligus jebakan yang berbahaya. Terlampau berlebihan dalam hal mubah pun akan menjadikan sensitifitas waro’ seorang muslim berkurang. Karenanya, pembolehan tersebut harus ‘ditunggangi’ dengan misi dan kepentingan yang jelas, yang dalam hal ini adalah penyebaran  dakwah dan motivasi kebaikan.

Jadi misi ini harus melekat kuat bagi mereka yang menekuni fiksi Islami, yaitu tidak lah membuat sebuah kisah atau perumpaan, kecuali mentargetkan ibroh dan pelajaran yang jelas di dalamnya. Inilah rahasia pengungkapan kisah-kisah dalam Al-Quran, sebagaimana disebutkan dalam surat Yusuf, Allah ta’ala berfirman :
لَقَدْ كَانَ فِي قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لأُوْلِي اْلأَلْبَابِ مَاكَانَ حَدِيثًا يُفْتَرَى وَلَكِن تَصْدِيقَ الَّذِي بَيْنَ يَدَيْهِ وَتَفصِيلَ كُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً لِّقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ
Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al Quran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman. ( QS Yusuf : 111.)

Dari misi inilah setiap penulis Fiksi harus menguji nyalinya, karena bisa jadi ia menuliskan hal yang ‘terlampau’ fiktif dan imajinatif, mendalami hal-hal yang justru tidak bisa dijadikan perumpamaan yang mudah untuh diterima, atau menuliskan hal-hal tanpa target pembelajaran dan dakwah yang jelas, atau menuliskan hal-hal yang justru mengundang kontroversi dan kebingungan, maka pada saat itu niatan awal menulis Fiksi sebagai sebuah alternatif dakwah layak untuk kembali dipertanyakan. Wallahu a’lam bisshowab.



[1]Makalah disampaikan dalam acara Upgrading Nasional Forum Lingkar Pena di Kaliurang Jogjakarta, 5 Februari 2011
[2]Pengajar Mahad Abu Bakar UMS, blogger indonesioptimis.com

Friday, September 14, 2012

EPISODE PELANGI MANTU: “KALA CINTA TERLABUHKAN”

Friday, September 14, 2012 0 Comments
by Norma Keisya Avicenna on Sunday, September 9, 2012 at 10:52pm ·

Senin Ngangenin di bulan September lembar ke-10.
Ada agenda istimewa apa hari ini?
Jadi, pagi ini saya harus izin kuliah dan saya harus menemani "kakak Pelangi" saya dalam prosesi yang luar biasa dahsyat dan istimewa. Menemaninya saat "laki-laki asing" itu berikrar suci untuk menjadi sang nahkoda dalam biduk rumah tangga di samudera kehidupan berbenderakan sakinah, mawaddah, warohmah untuk selamanya. Hm, "MITSAQON GHALIZA". Do'akan semoga semuanya lancar... #Indah, mudah, full barokah... :)
"EPISODE PELANGI MANTU"
[status FB pagi ini]

Berangkatlah saya pagi ini dengan mengenakan gamis coklat kesayangan yang khusus saya pakai untuk agenda-agenda walimahan Pelangi (Hihi. Biar kesan episode “sunnah bersejarah nan indah” dengan gamis ituh selalu melekat di hati. Awawaw… Walaupun kalau pas sesi foto kesannya, kok bajunya itu-itu terus. Hahaha… whatepperlah…yang penting khusus Pelangi!)

Eits, ada cerita seru. Alhamdulillah, Kak Dodoy –kakak saya yang cakep ituh- akhirnya bersedia mengantarkan saya ke Songgorunggi, Nguter, Sukoharjo (tempat ijab qabul dan resepsi pernikahan mbak Avisa Guritna –Mbak Anik Pelangi-). Meski harus pake rayuan ala Cenung dan akhirnya setelah pasang muka paling memelas dengan mengungkit-ungkit kejahilan dia waktu membajak FB saya dengan kalimat “Mendadak gaLau nih…”, ugh akhirnya tu kakak mau juga jadi tukang ojek saya! Horeee… (Cuman nganterin doing sih, ntar pulangnya ya pulang sendiri. Maklumlah! Hihihi)

Setelah menempuh perjalanan yang cukup ngawu-awu sekali, akhirnya sampailah saya di lokasi acara. Setelah turun dari vega merah dengan sangat elegan dan cium tangan kakanda tercinta, saya pun melangkahkan kaki dengan sangat mantap memasuki sebuah istana yang sudah banyak hiasan janur kuningnya. Hm, kemungkinan besar anak-anak Pelangi pada datang pas resepsi siang nanti jam 13.00, beberapa juga ada yang izin nggak bisa datang. Yasudah deh… HUMAS tetap harus menjalankan amanahnya! Hehe. Eh, ketemu Mas Cowie dan kita berdua pun nongkrong di rumah tetangganya Mbak Anik yang dijadikan tempat rias calon pengantinnya. Ada sekitar 10 meter dari tempat resepsi. Jalan dulu melewati pinggir jalan raya…

Ketemu sama Mbak Anik yang benar-benar cantik dan bikin pangling. Cipika-cipiki dan iseng saya tanya bagaimana perasaannya. Hihi. Mbak Anik-nya cuman tersenyum, “Sudah kehabisan kata-kata untuk mengungkapkan semua rasa…” (Mungkin kalimat inilah yang mampu saya terjemahkan dari senyumannya. Hehe)

Prosesi ijab qabul mundur sekitar setengah jam dari jadwal semula yang seharusnya jam 09.00. Pak penghulunya baru datang sekitar jam 09.30. Setelah dapat kode dari pihak keluarga, kedua calon pengantin yang waktu itu memakai kostum putih nan elegan bersiap. Mbak Anik memanggil saya, beliau meminta saya menggandeng tangannya menuju lokasi ijab qabul. Toeeeng… Berjalanlah iring-iringan itu. Mbak Anik dan saya di baris terdepan, saya pegang erat tangan beliau yang mulai berkeringat dingin. Di belakang kami, rombongan pengiring dari pihak keluarga serta calon pengantin pria serta yang mendampinginya.

Waktu jalan itu, Mbak Anik sempat berbisik ke saya, “Nung, aku pengin nangis…”. Saya coba menenangkan beliau, “Tenang Mbak. Banyakin do’a dan dzikir. Yakin, Insya Allah semuanya lancar.”

Memasuki lokasi “sakral” itu, berasa kayak rame paparazzi. Hihi. Gubrak! Waduh, bener-bener deh… Kamera membidik dari berbagai penjuru. Lha otomatis saya jadi salting sendiri. Wkwkwk. Cenung… Cenung! (mbayangin apa jadinya kalau ada Ayu’ dan Cmut? Apalagi Mbak Santi dan Mbak Ummi. Hadeeeuh… *tepokjidat!)

Pak penghulu dan rombongan serta para saksi pun berdiri kemudian mempersilahkan kedua calon mempelai untuk menempatkan diri di posisi masing-masing. Mendadak saya jadi “speechless” saat pak penghulu menyuruh saya duduk tepat di sebelah kiri Mbak Anik. Subhanallah… Satu meja dengan dua orang saksi, pak penghulu, ayah dan ibu mbak Anik, pendamping calon pengantin pria dan kedua pasangan calon pengantin. Ya Rabb, setiap detik rasanya berlalu penuh berkah… Semoga!

Setelah pak penghulu mengucap basmalah dan serangkaian prosesi pra akad nikah (checking administrasi, checking mas kawin, dsb), kemudian beliau mengajak seluruh yang menjadi saksi mata episode istimewa itu untuk membaca Al-Fatihah bersama-sama, dilanjutkan istighfar 3x dan syahadat. Kemudian ayah Mbak Anik mengucapkan syahadat dan artinya, calon mempelai pria juga mengucapkan syahadat dan artinya demikian juga dengan calon mempelai wanita. Ada getaran bergemuruh mahadahsyat di hati ini. Alhamdulillah, ada tissue di tas saya dan saya berikan ke Mbak Anik yang saat itu sudah tidak mampu lagi membendung kristal bening yang sudah memberontak untuk menciptakan jejak di kulit pipinya. Sesekali saya genggam tangannya, isyarat untuk menguatkan dan mengokohkan hatinya. Sebentar lagi… ya sebentar lagi… (Saya jadi terkenang dengan prosesi akad nikah saudari kembar saya. Saat itupun saya duduk pas di kiri dia. Seketika air mata tumpah saat Kak Febri melantunkan hafalan Ar-Rahman yang saat itu menjadi mahar terindah dari beliau untuk saudari kembar saya… dan mereka pun SAH menyandang amanah sebagai suami dan isteri. TOBI, mumumu…)

Setelah khotbah nikah singkat yang disampaikan oleh pak penghulu, ayah Mbak Anik pun menggenggam erat tangan Mas Saiful (calon suami Mbak Anik). Ada kesalahan pengucapan di kata “mas kawin” dan akhirnya diulang lagi… pengulangan yang kedua langsung dijawab dengan suara yang bergetar oleh Mas Saiful. Tapi saksi meminta untuk diulangi karena pengucapan “anak Anik…” dirasa kurang pas. Kemudian “kertas contekan” ayahnya Mbak Anik pun ditambahi “…anak perempuan saya, Anik…dst…”. Saya benar-benar ikutan deg-degan. Hadeuh, yang nikah siapa yang deg-degan siapa. Toeeeng! Tidak berkedip mata saya saat menyaksikan ayah Mbak Anik mengucapkan lafal ijab itu lanjut kemudian Mas Saiful yang menjawab qabul-nya dengan sangat tegas dan mantab. Dan Alhamdulillah, SAH??? SAH!!! Barokallahulakumma wabaroka’alaikumma wajama’a bainakumma fii khoir… Alhamdulillah, Ya Rabb…

Seketika saya merasa banyak malaikat berada di sekitar kami. Menghujani kami dengan doa-doa terindah…untuk sebuah pernikahan yang barokah dalam menuju gerbang keluarga yang sakinah, mawaddah, warohmah… Saya pun berpelukan dengan Mbak Anik, “Selamat mengemban amanah yang baru ya mbak! Jadilah ISTRI SHALIHAH!” (Sambil mbatin dan berdoa, semoga amanah itu pun bisa segera saya sandang. Awawaw… ^_^ berlaku juga untuk para single bahagia di keluarga Pelangi. Hm, istri yang shalihah itu jika diperintah suaminya ia patuh, jika dipandang membuat suaminya merasa senang, jika suaminya bersumpah membuatnya merasa adil, jika suaminya pergi ia akan menjaga dirinya dan harta suaminya.) Yukz, semangat untuk terus mempersiapkan diri!

Subhanallah, inilah “MITSAQAN GHALIZA” euy…, perjanjian yang berat. Dari seluruh perjanjian antara Allah dengan manusia, hanya tiga yang disebut Allah sebagai “Mitsaqan Ghalizha.”

Pertama, perjanjian Allah dengan Bani Israil. “Dan kami angkat ke atas kepala mereka bukit Thursina untuk menerima perjanjian yang telah kami ambil dari mereka dan kami perintahkan kepada mereka: masukilah pintu gerbang itu sambil bersujud. Dan kami perintahkan pula kepada mereka: janganlah kamu melanggar peraturan mengenai hari Sabtu. Dan Kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang berat, mitsaqan ghalizha.” (QS. An-Nisa: 154). Apa yang terjadi ketika sebagian mereka melanggar perjanjian berat ini? Allah Swt berfirman: “Dan sesungguhnya telah kalian ketahui orang-orang yang melanggar diantaramu pada hari Sabtu. Lalu Kami berfirman kepada mereka: jadilah kamu kera yang terhina.” (QS. Al-Baqarah: 65)

Kedua, Allah Swt menyebut Mitsaqan Ghalizha ketika berbicara tentang perjanjian Dia dengan para utusan-nya yang mulia. Allah Swt membuat perjanjian bukan hanya dengan para Nabi as, tetapi secara khusus dengan Nabi-nabi besar yang dikenal sebagai Ulul Azmi. Dia bersabda, “Dan ingatlah ketika Kami mengambil perjanjian dari Nabi-nabi dan dari engkau sendiri, dari Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa putra Maryam, dan Kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang berat, Mitsaqan Ghalizha.” (QS. Al Ahzab: 7)

Ketiga, Allah Swt menyebut akad nikah antara dua orang anak manusia sebagai Mitsaqan Ghalizha. Allah Swt  menegur suami-suami yang berbuat zalim, yang merampas hak istrinya dengan berfirman, “Bagaimana kalian akan mengambilnya kembali, padahal kalian sudah berhubungan satu sama lain sebagai suami istri. Dan para istri kalian sudah melakukan dengan kalian perjanjian yang berat, Mitsaqan Ghalizha.” (QS. An-Nisa: 21)

Karena itu, akad nikah adalah sebuah perjanjian yang sama beratnya dengan perjanjian Bani Israil dengan bukit yang berada di atas kepala mereka, sama agungnya dengan perjanjian para Rasul di hadapan Allah SWT. Bila ada yang melanggar perjanjian itu, seperti Bani Israil, Allah Swt akan mengutuk menjadi kera yang hina dina. Bila mampu memikul perjanjian ini dengan tulus, Allah Swt pasti akan memuliakan dan membuat kedua pasangan halal itu dalam lingkungan para kekasihNya, sebagaimana Allah Swt memuliakan para Rasul as dan mencintai mereka.

“Dan di antara tanda-tanda keagungan Allah ialah Dia menciptakan untuk kalian dari jenis kalian juga pasangan-pasangan kamu supaya kamu hidup tentram bersamanya dan Tuhan menjadikan di antara kamu cinta dan kasih sayang. Sesungguhnya pada hal yang demikian itu ada tanda-tanda bagi orang-orang yang berpikir.” (QS. Ar-Rum: 21)

Hari ini menjadi hari yang sangat istimewa dan luar biasa dalam lembar catatan kehidupan seorang Keisya Avicenna. Banyak sekali ilmu dan hikmah yang bisa didapat. Segala Puji bagi Allah atas kala yang kaya rasa cinta.

Dan untuk semuanya  yang masih saja bertanya “KAPAN” kepada saya pasti akan saya jawab: Insya Allah, di masa yang TEPAT dan TERBAIK menurut-Nya... Ia takkan datang terlalu cepat hingga kita harus terburu-buru, tapi juga takkan terlalu lama hingga kita lelah menunggu. SIAPA YANG AKAN MENJADI PEMILIK TULANG RUSUK SAYA TIDAK AKAN TERTUKAR!" Allah knows BEST! :D”

Buat para jejaka thing-thing dan para single bahagia di Pelangi tak perlulah kita risau apalagi galau (jangan tiru-tiru papah kita yaa. haha): “Kalau telah kuat tekad  kita dan Allah Swt menganggap kita telah ‘pantas’,  mudah-mudahan Allah Swt menyegerakan terlaksananya pernikahan yang barakah dan dipenuhi ridha-Nya. Aamiiin... Karena MENIKAH itu IBADAH dan MENIKAH itu AMANAH! Maka, BERJUANGLAH!”

Menikah adalah pondasi awal membangun sebuah peradaban madani. Bagaimana dua potensi yang Allah Swt satukan untuk saling menguatkan satu sama lain. Jika belum sampai kepada peradaban madani, ya setidaknya, menikah merupakan salah satu sarana perbaikan diri. Saling mengingatkan. Karena dari pernikahan itu yang diinginkan adalah keberkahan dan Allah Swt kumpulkan dalam kebaikan.

Bagaimanapun, menikah berarti siap membangun sebuah peradaban. Karena sangat sempit rasanya jika sebuah pernikahan hanya dimaknai dengan menyatunya cinta, hal-hal romantis, dsb. Dan dalam membangun peradaban itu, pasti diperlukan pondasi yang kuat agar bangunannya tak goyah. Apa pondasi yang kuat itu? Tauhid. Di dalam Al-Quran banyak sekali tercantum kisah penanaman tauhid oleh seorang bapak kepada anaknya. Simaklah kisah Ibrahim. Simaklah kisah Yaqub. Simaklah kisah Luqman. Maka, ketika kita ingin peradaban yang akan kita bangun tak goyah, pondasi tauhid penyusunnya sungguh tak boleh sembarang. Ya, maka dari itu, perhatikan dengan siapa kita akan membangun pondasi itu. Maka, sungguh indah sang Nabi bersabda: “Pilihlah karena agamanya, maka kau akan bahagia.” Rupawan, kaya dan dari keturunan terpandang hanyalah pelengkap.

Hm… dan ketika masih dalam masa penantian, teruslah perbaiki diri agar “pantas” di mata Allah Swt dan bukan di mata makhluk-Nya. Senantiasa LURUSKAN NIAT!
“Dan jika menikah adalah menggenapi jiwa, semoga Allah Swt pertautkan jiwa-jiwa yang haus akan cinta-Nya untuk bertemu dalam ketaatan, bersetia dalam kebaikan, genap-menggenapkan: dua menjadi satu, satu menjadi lompatan tak berhingga…”

[Pesan ini disampaikan penuh cinta oleh Humas FLP Pelangi ^^b_dari berbagai sumber inspirasi]

Buat Mbak Avisa Guritna (Anik Setyowati) semoga menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah, warohmah dan segera dikaruniai momongan yang sholeh dan sholihah… Aamiin Yaa Rabbal’alamiin…

[Keisya Avicenna, 10 September 2012 *reportasesanghumas. Dan ingatlah jargon kita:  “PENULIS ADALAH MANTU IDAMAN SEPANJANG MASA” hihihi]

RESEP KUE ONGOL-ONGOL PANDAN

Friday, September 14, 2012 0 Comments

Bahan:
  1. 25 gram tepung kanji
  2. 50 ml air
  3. 125 ml air mendidih
  4. 125 gram gula pasir
  5. 275 gram tepung kanji
  6. 375 ml air suji pandan
  7. 2 tetes pasta pandan
  8. Bahan yang dicampur jadi satu dan dikukus:
  9. ½ butir kelapa agak muda, parut
  10. ½ sendok teh garam
  11. 2 lembar daun pandan


Cara Membuat Resep Kue Ongol-ongol Pandan:

  1. Campur tepung kanji dengan air mendidih, Aduk rata
  2. Campur gula pasir, tepung kanji, air suji, pasta pandan
  3. Campur larutan tepung kanji dengan larutan kanji pandan
  4. Tuang ke loyang . Kukus sampai matang
  5. Potong-potong. Tabur kelapa parut

MENDISIPLINKAN ANAK TANPA KEKERASAN

Friday, September 14, 2012 0 Comments


by Nunik Nurhayati on Tuesday, September 11, 2012 at 11:08pm ·

Materi SIMAK (Sekolah Ibu Mengasuh Anak)
Tanggal : 5 September 2012
Pembicara : Ibu Endang Widiastuti
Tema : Mendisiplinkan Anak
Tempat : KPPA Benih Parenting Center, Sangkrah, Pasar Kliwon.

Ada kalanya orang tua merasa anak tidak menurut apa yang dikatakannya. Padahal bisa jadi bukan karena anaknya yang tidak nurut, tapi bisa jadi orang tua nya yang belum memahami cara yang efektif untuk mendisiplinkan anak. Berikut adalah beberapa tips dalam mendisiplinkan anak tanpa kekerasan:

1.  Gunakan kata halus tapi tegas, kunciny konsisten. Efeknya anak akan hormat tapi bukan takut. Ketegasan membuat anak tenang krn dia yakin itu adl sesuatu yg baik untuknya dari org tua yg kokoh. Kata yg tegas bkn teriakan atw pukulan. Cara nya bisa dengan mengajak ngobrol, duduk sejajar dengan memegang bahunya, tatap matanya dan jelaskan.

2. Orang tua tenang dan menjaga ketenangan diri. Ketenangan dapat mengöntrol mulut dalam berbicara. Karena setiap kata yg dkatakan ibu adalah doa yg diaminkan malaikat. Menenangkan diri dengan duduk, wudhu, sholat. jika pulang ke rumah dlm keadaan capek, maka lbh baik masuk kamar dulu untuk menenangkan diri.

3.Buat aturan dan konsisten dalam menegakkannya . Jika anak sudah bisa diajak bernegosiasi, kira-kira minimal usia kelas 2 SD, maka akan lebih baik jika aturan yg dbuat didiskusikan antara orang tua dan anak. Oleh karena itu orang tua juga harus disiplin dlm menegakkan aturan tersebut.

4.Ajak anak memahami aturan yang sudah dibuat dan mentaati konsekuensi. Namun, konsekuensi yg dbuat jangan sampai membuat anak trauma misalnya memberikan anak hukuman dengan membaca atw menghafal quran. Karena hal yang baik tsb akan menjadi terekam dlm benak anak dan hal yang baik itu menjadi kesan yang tidak baik untuknya karena yang ia ingat itu adalah hukuman. Konsekuensi atau hukuman bisa dgn memotong uang jajan atau menulis janji tidak akan mengulangi.

5.Beri anak pilihan. Jangan sampai anak selalu mjd terdakwa. Contohnya saat anak bermain bola didalam rumah,maka diberikan pilihan terlebih dahulu, apakah mau untuk bermain bola drmh atau dilapangan. Jika dirumah konsekuensinya apa, dan jika dilapangan konsekuensinya apa.

6.Memberikan kesempatan anak berargumentasi. Jika anak melanggar aturan ditanyakan dulu alasannya. Argumentasi akan membuat pola pikir berkembang, kritis,dan terarah.

7.Jangan melibatkan diri untuk konflik dengan anak. Mendidik anak tidak sekedar menuntut anak baik. Orang tua jangan sampai terpancing emosinya. Dan saat org tua sudah terpancing emosi, usahakan untuk tetap tenang namun jangan dekati anak sebelum ia minta maaf dan menyadari kesalahannya.

8.Pahami kegiatan anak agar tidak bentrok dengan jadwal atau aturan yang dibuat.

9.Kenali dan pahami tahapan perkembangan anak. Karena perkembangan tiap anak berbeda. Oleh karena itu setiap ibu adalah pembelajar seumur hidup

10. Orang tua bisa melakukan refreshing, misal dengan melakukan hobi. Agar psikis menjadi rileks dan menambah ketenangan dalam mendidik anak.

Friday, August 24, 2012

Wahai Kekasihku [Kun Geia]

Friday, August 24, 2012 0 Comments
by Kun Geia on Saturday, August 18, 2012 at 8:03pm ·
dalam 3 jam kedepan engkau kan melangkah
pergi menjauhiku yang masih disini
menyuguhkan kesepian
menyisakan kesendirian

maka berkabunglah hati karenanya
datanglah kesedihan bersama perpisahan
duhai kekasih yang belum bisa sempurna kubahagiakan
duhai cinta yang hanya sekejapan dalam kebersamaan

akankah kita dipertemukan kembali
bersatu dalam keceriaan dan keberkahan
mengulang ketaatan dalam indahnya malam-malam
mengukir kesabaran dalam untai terangnya siang

kehangatan kita masih terasa dalam dekapan
keintiman kita masih terbayang dalam ingatan
namun engkau sudah sempurna berkemas 
siap melangkah tuk pergi dari sisiku

sesaklah dada ini
beratlah beban ini
tapi engkau tak bisa dihentikan
keputusan tak bisa dibantahkan

sungguh aku akan merindukanmu
selalu menunggumu kembali kesisiku
wahai kekasih
wahai tercinta

andaikata Tuhan bersedia mengabulkan
kan kuminta Dia menjadikan seluruh bulan
digantikan oleh dirimu
wahai penghulu seluruh bulan

selamat jalan untukmu penyandang kesucian
selamat jalan bagimu pembawa keagungan
selamat jalan padamu penebar keberkahan
selamat jalan ya ramadhan

terima kasih untuk semua keceriaan
terima kasih untuk semua kehangatan
terima kasih untuk semua kebersamaan
terima kasih untuk semua yang telah kita jalani bersama

wahai kekasihku wahai ramadhanku
janganlah jemu menyebut-nyebut namaku di langit sana
ceritakanlah apa-apa yang telah kita kerjakan bersama
kepada seluruh penduduk alam atas dan alam bawah
serta kepada Raja Yang Bersemayam di Arsy-Nya

kuucapkan salam perpisahan untukmu
dengan alunan tertulus yang bisa kuciptakan
"Allahu Akbar... Allahu Akbar... Allahu Akbar..."
"laa ilaa ha illallahu wa Allahu Akbar..."
"Allahu Akbar wa lillahilham..."


Garut, menjelang kepergian Ramadhan dan kedatangan 1 Syawal

Proses Kreatif dibalik Pembuatan THE LOST JAVA

Friday, August 24, 2012 0 Comments
by Kun Geia on Sunday, July 8, 2012 at 7:18pm ·

Saat itu, tanpa angin atau hujan, terlebih terik, ada comment di blog pribadiku; komunitaspenaripena.blogspot.com, isinya berupa iklan lomba novel tingkat Nasional di Yogyakarta, kejadiannya di bulan Januari 2010. Aku tak begitu menghiraukannya, hanya membaca sekilas, tapi ternyata setelah melihat nominal hadiah dari lomba itu, bibirku tersenyum. Batinku mulai berbisik, aku harus juara.

Dead line penutupan lomba tinggal 1 bulan. “Bukan masalah,” cuapku dengan arogan.

Kubeli kertas karton putih, kemudian kutorehkan tulisan besar dan tebal di karton itu: MENGHAJIKAN ORANG TUA. Setelahnya, kutempel karton itu di dinding kamar yang tepat menghadap tempat tidur, sehingga setiap kali terbangun, aku akan menemui tulisan itu sebagai charger semangat.

Maka, mulailah scouting ide.
Nggak ketemu.
Membaca-baca buku berharap dapat inpirasi.
Nihil.

Kau tak boleh menjadi follower, ciptakan tulisanmu sendiri yang berbeda dengan novelis-novelis yang sudah ada di Indonesia. Begitu ucap batin di sela kekosongan ide.

Suatu ketika, tatkala mengikuti perkuliahan kimia lingkungan di Pascasarjana Kimia UGM, Prof. Eko Sugiharto membahas tentang global warming.
Deal.
Ideku untuk novel yang akan ditulis adalah: GLOBAL WARMING.

Indah nian sketsa alur yang disiapkan Tuhan.

Kusebar SMS ke rekan-rekan di KOMUNITAS PENARI PENA (KPP): Tolong carikan berbagai data mengenai pemanasan global.
Sent to 7 people.

Aku pun mulai membuka laptop dan menulis “ala orang kesetanan”. Maksudnya begini, metodeku menulis adalah dengan menutupkan separuh layar laptop setelah kujalankan microsoft word yang siap ketik, dengan begitu aku tak bisa melihat apa yang kuketik. Sehingga, para hakim, juri, editor, dan komentator di dalam kepalaku, tak bisa menghambat kreativitas aliran tulisanku.

Selanjutnya, kupakai keyboard eksternal untuk mengetik. Gerakan jari-jemari pada ketikanku dibuat secepat mungkin, tanpa ada jeda untuk beristirahat sampai semua yang ingin dituliskan—yang mengendap di dalam isi tempurung kepala—benar-benar kering. Habis. Satu jam, dapat satu bab.

Istirahat.
Mengetik lagi.
Hingga akhirnya, dengan metode itu, kuhabiskan seminggu dan menghasilkan 7 bab.
Pernah suatu hari, selama 24 jam full, tanpa rehat kecuali untuk makan, shalat, dan kebutuhan primer, kerjaanku hanya menulis di dalam kamar. Autis. Tanpa tidur pula. Alhasil dalam 24 jam itu lahirlah hingga 5 bab bagian dari novel THE LOST JAVA.

Setiap kali semangatku mulai menurun, maka segera kulihat tulisan MENGHAJIKAN ORANG TUA di dinding kamar, seketika itu juga aku terlahir kembali dengan semangat menggebu.

Sebelum 3 minggu habis, telah rampung 20 bab.

Selanjutnya, sudah menanti sebuah pekerjaan yang akan lebih menguras otak. Pesanan data-data yang diminta pada KPP sudah berdesakkan di email.
Dibuka.
Dibaca.
Ditelaah satu persatu.
Kemudian, data-data yang kuanggap penting dan akan berpotensi memperseksi novel ini, mulai kucoba untuk diharmonisasikan dengan naskah yang sudah ada menjadi satu kesatuan tubuh cerita yang utuh.

Di minggu ketiga, selesailah pekerjaan menulis naskah novel.

Setelahnya, tibalah waktuku tidur. Adrenalin habis karena dipakai untuk kerja paksa dalam 3 minggu demi 3 kata: MENGHAJIKAN ORANG TUA. Dua hari terlewati tanpa kegiatan kepenulisan.

Kun Geia benar-benar TEPAR.

Kemudian, pekerjaan editing/revisi mulai dilaksanakan. Dalam 5 hari. Naskah sebanyak 200 halaman A4 itu selesai direvisi dari halaman pertama hingga titik terakhir sebanyak 5 kali.

CUKUP! Ucapku waktu itu.

Kukirimkan novelnya pada panitia lomba yang saat itu hanya menyisakan satu hari waktu sebelum penutupan. Naskah THE LOST JAVA dilombakan bersama 2 naskah novelku yang sebelumnya sudah jadi duluan, sekitar 1 tahun lalu: HITAM PUTIH PENANTIAN dan RARA PENGIKHLAS.

Waktu bergulir, penjurian berlangsung.
Dari sekian ratus naskah yang masuk panitia lomba, THE LOST JAVA  dan PARA PENGIKHLAS ternyata lolos seleksi hingga 30 besar.

Waktu berlalu, penjurian kembali berlangsung.
Akhirnya, meski tak juara di akhir lomba, tanggal 30 november 2010, THE LOST JAVA menduduki peringkat ke-4. Sayang, hadiah cuma sampai di peringkat ke-3. Dan peringkat ke-4 hanya dapat piagam dan JANJI akan diterbitkan.

Sementara, selesai sampai di situ.

Enam bulan berlalu dari janji penerbitan tanpa ada hasil konkrit. Naskah itu kucabut dari penerbit yang sudah mengiyakan untuk diterbitan.

Novel itu kuikutkan lagi lomba menulis tingkat Nasional di Solo Raya. Tak juara sih, tapi dapat menghargaan sebagai novel dengan ide terbaik dari sekian ratus naskah yang masuk ke panitia lomba. Itu terjadi 24 januari 2011.

Ada lagi lomba tingkat Nasional di Yogyakarta.
Kuikutkan lagi.
Di sini, THE LOST JAVA yang sudah berkali-kali mengalami revisi, ternyata menjadi juaranya.

Alhamdulillah. Diterbitkan.

Bulan bergulir. Aku baru tahu kalau buku itu ternyata diterbitkan indie dan dijual hanya on line saja.
Mengelus dada dan menghela napas panjang....

Kubiarkan THE LOST JAVA mengandap di penerbit itu. Hingga setahun, ya... hasilnya gitu-gitu aja. Tidak banyak orang yang menikmati isinya, tidak banyak orang yang membelinya, atau lebih tepatnya mungkin tidak banyak orang yang tahu bahwa buku itu ada di muka bumi. Tapi, beberapa progres cukup lumayan. Buku ini masuk ke dalam catalogue national library of Australia, display di Amazon.com dan beberapa international online reseller serta nangkring di google book. Beberapa ada yang mengulas di media nasional secara on line. Harian lokal dari Sumatera pun meresensi, hingga tak ketinggalan dikomentari pada blog-blog pribadi.

Dalam kurun 2010 hingga 2012, dengan serius kusempurnakan THE LOST JAVA. Riset yang dilakukan mengenai hal prihal ilmiah yang ditanamkan dalam novel itu menjadi prioritas. Beberapa orang yang (kuanggap) ahli di bidang keilmuan geofisika, komputer, dan statistik, berhasil kugandeng. Bahkan hingga dosen skripsi S1 dulu, turut  dimintai bantuan menganai hal ikhwal berbau kimia melalui wawancara.

Dalam kurun waktu itu, kuhitung telah mengkhatamkan novel THE LOST JAVA dalam proses revisi hingga 20 kali. Halamannya pun bertambah dari yang tadinya 200 A4 menjadi 300 A4. Sebanyak kurang lebih 20 penikmat sastra kuberikan naskah itu untuk dikomentari. Termasuk penulis Hafalan Shalat Delisa (meski beliau membacanya, tapi ternyata  belum berkenan memberi endorsement karena alasan genre tulisan kita yang berbeda). Alhasil, berdatanganlah saran-saran untuk penguatan di detail setting, karakter tokoh, dan penyempurnaan logika cerita.

Untuk alur dan konflik sudah ok.

Hingga akhirnya aku dipertemukan (dengan orang-orang hebat) dengan IG Press. Mereka menjanjikan untuk membumingkan buku THE LOST JAVA. Setelah mempelajari strategi marketing mereka, hak penerbitan buku ini berpindah tangan.

Indah nian sketsa alur yang disiapkan Tuhan.

Dan, jadilah THE LOST JAVA yang sekarang ada di tangan para pembaca. Tersebar hingga di seluruh toko buku di Indonesia yang terjangkau distribusi IG Press.

Seminggu setelah selesai cetak, buku ini telah terjual hingga 150 eksemplar, padahal ia belum display di toko buku, baru penjualan gerilya. Dan setelah dua hari display,  ada satu dua toko buku yang langsung kehabisan stock hingga di gudangnya. Sold out.

Acara-acara bedah buku mulai di gelar. Lombok, Solo Raya, dan menyusul Yogyakarta serta Purwokerto.
Kota-kota lain di Indonesia, tunggu giliran selanjutnya.

Great marketing dari IG Press.

Ada 5 hal yang kugaransikan pada para pembaca dari novel THE LOST JAVA: Alur cepat (menguras adrenalin dengan adegang-adegan penuh ketegangan), Konflik Bertubi-Tubi (mengaduk-aduk emosi), Detail Setting (membawa nyatanya tempat ke kepala pembaca), Sains (menawarkan banyak ilmu pengetahuan), dan tentu saja Romantika Cinta (melengkapi harmonisasi cerita).

THE LOST JAVA dipersiapkan dengan sangat matang, sebagai persembahan dan seorang anak negeri bagi para pemburu novel science fiction dan thriller.


Minggu, 8 Juli 2012
Kun Geia

Cinta dan Benci [Kun Geia]

Friday, August 24, 2012 0 Comments
by Kun Geia on Saturday, August 18, 2012 at 10:47am ·
“Menjadi sebuah kecintaan tak terukur saat angin mengantarkan kabar ke gendang telinga bahwa, Ramadhan akan segera memeluk tanah Indonesia. Semoga tuan segera kembali ke sini, ujar seekor Anjing di pojokan rumah besar nan kosong, di perumahan Suci Permai, Garut.

Enzo, nama itu disematkan pada si Anjing oleh tuannya sepuluh tahun yang lalu, ketika mereka masih hidup bersama dalam rekatnya persahabatan dua mahluk berbeda spesies. Beberapa tahun ke belakang, sang tuan pergi tanpa mengajaknya ikut serta, Aku akan menjalankan misi ke Antartika demi kelanjutan hidup umat manusia, kau tunggu aku kembali di rumah ini. Sejak perpisahan itu, sang tuan tak pernah kembali, dan hingga kini si Anjing masih setia menungguinya pulang.

“Dalam kesendirian, aku berusaha menceburkan diri, berkhalwat bersama Ramadhan. Aku tak makan di siang hari. Aku tak mengais-ngais di tempat-tempat sampah komplek ini, bahkan aku sejenak bisa menekan kerinduanku akan kedatangan tuan dari ujung bumi selatan.”

Senyuman ringan terkembang di bibirnya. Anjing itu mencoba mencari rangkaian kalimat terbaik untuk melukiskan Ramadhan, namun setiap kali matanya berlinang karena kesyukurannya bisa merasakan bulan nan agung ini, saat itu pula ia menyerah dalam pencarian kalimat yang sepadan untuk melukiskan kecintaannya dengan Ramadhan.

[ ]

Bumi terus berputar.
Waktu tak hendak beristirahat disela derasnya arus zaman.

“Ramadhan hendak menemui ujung.”
Wajah Enzo redup.
“Adakah kesempatan lagi aku bertemu dengannya?”

Kini, dua kerinduan menelikung bersamaan. Menelusup dengan membawa ketakutan untuk kehilangan. Anjing itu merasa akan semakin rindu menanti Ramadhan kembali, juga rindu menunggu tuannya datang membawa janji untuk pulang.

Cinta, inikah rasanya?

Setelah adzan maghrib selesai berkumandang di mesjid Perum Suci Permai, Enzo melangkah menjauhi gundukan sampah, ia baru saja memakan sesuatu sebagai penanda makannya yang pertama seharian ini. Langkahnya menuju ke tempat yang lebih dekat dengan mesjid. Baginya, ada keasyikan sendiri melihat orang-orang hilir mudik masuk dan keluar dari mesjid itu untuk sebuah ketaatan.

“Hey Enzo! Ada sisa makanan untukmu. Ayo Sini!” teriak satu dari lima orang yang duduk di pos ronda, seratus meter jaraknya sebelum mesjid.

Anjing itu menghentikan langkah, ia menatap ke arah lima orang yang duduk di dalam pos ronda.

Kartu. Tumpukan uang seribuan. Botol-botol.

Melihat semua itu, dalam hitungan detik, kebencian berhasil menguasai hati Enzo. Merayap memenuhi seluruh isi selaksa rongga dada.

Seharian aku melihat mereka tak beranjak dari sana, tak lepas dari barang-barang itu semua. Batin Anjing itu membara. Ramadhan kan segera pergi, tapi pembangkangan mereka pada titah Langit tak jua sirna.

Lebih dari itu, kebencian telah berhasil menyulamkan kesumat tatkala dalam keseharian ia menyaksikan mahluk-mahluk yang bernama manusia, acuh tak acuh dengan Ramadhan.
Tak ada ketaatan untuk kebaikan. Tak ada keingkaran pada kemungkaran. Enzo meneruskan langkahnya.

“Aku benci mereka. Kenapa aku yang hanya seekor anjing, mahluk yang selalu dinajis-najiskan, ciptaan yang diharamkan untuk dimakan, bisa merasakan kecintaan pada bulan ini, kerinduan untuk selalu bersamanya. Sementara mahluk-mahluk bernama manusia itu...” gigi enzo gemeretak. Saling beradu.

“Tuan, kapan engkau kembali dari Antartika? Aku rindu Melewati Ramadhan bersamamu, seperti dulu.”

Benci, beginikah rasanya? [ ]


Garut, 18 Agustus 2012 (sehari menjelang berakhirnya bulan suci.)

CERMIN TERAKHIR [Kun Geia]

Friday, August 24, 2012 0 Comments
by Kun Geia on Sunday, August 12, 2012 at 8:42am ·
Pernahkah mendengar bunyi napas yang diseret? Bukan tarikan napas, tapi seretan napas. Jika tarikan napas bisa saja sama dengan desah napas biasa, tapi seretan napas terdengar lebih buruk dan lebih memprihatinkan ketimbang suara napas orang yang sedang terserang asma akut.

Tahukah rasana bagaimana ditatap oleh mata yang polos? Bukan tatapan kosong, bukan pula tatapan lugu, tatapan polos. Tak ada rasa, tak ada citra, tak ada apa-apa?

Baiklah, teruskan membaca tulisannya.

Hari ini, 12 agustus 2012, tidaklah aku memejamkan mata dari tadi malam untuk tidur kecuali hanya beberapa menit saja, yaitu ketika jam menunjukkan pukul 03.00 dini hari. Saat itu kutinggalkan mesjid menuju rumah, tujuannya untuk makan sahur dengan keluarga.

Selesainya dengan sahur dan berwudhu, aku kembali ke mesjid. Iqamah subuh dikumandangkan. Imam kami maju kedepan, mulailah takbir.

Ketika fatihah terlantun, pendengaranku sedikit terusik, yang lama kelamaan memang aku merasakan sesuatu yang mengusik. Awalnya kudengar suara tarikan napas yang cepat, pendek, berkejaran. Semakin suasana hening kecuali suara bacaan imam, semakin tarikan napas itu kurasakan seperti suara seretan udara di hidung.

Aku bisa merasakan bagaimana sulitnya paru-paru untuk menarik oksigen, aku tau itu karena aku punya penyakin asma, jadi sudah sangat kenal dengan yang namanya kesulitan menarik napas.

Semakin lama, tak ada kekhusuakan dalam shalatku, tak ada kekhidmatan dalam mendengar lantunan imam. Yang ada adalah pikiranku terkait terus pada suara yang datang dari saf pertama paling ujung sebelah kiri, sementara posisiku berada di saf pertama paling kanan.

Terus dan terus, seretan napas itu terdengar, hingga spontan kepalaku tak lagi berusaha mendengarkan bacaan imam, tapi malah berputar. Aku berpikir bahwa nanti setelah selesai shalat, akan kutarawarkan orang yang kesulitan bernapas itu obat ventolin inhaler, itu obat spray yang bisa menanggulangi asma dalam hitungan detik.

Kutunggu rakaat pertama usai, tapi yang terjadi adalah suara seretan napas orang di ujung sana sepertinya berasa lebih mengerikan daripada asma terakut yang pernah kurasa. Aku jadi berpikir itu seperti suara endusan napas harimau setelah keletihan mengejar-ngejar mangsangya. Selanjutnya aku malah berpikir mungkinkah orang itu kesurupan Jin? Ah tidak, toh dia tidak membuat kegaduhan, saat rukuk, saat sujud, aku tau dia mengikutinya dari tarikan dan hembusan napas yang terpantul di karpet mesjid. Tinggi rendahnya kurasakan.

Semakin jauh shalat, semakin suara itu terdengar lebih berat, terus berkejaran. Aku sampai merasa sesak sendiri. Terlebih ketika sujud, sangat kurasakan kesulitannya bernapas, karena napas yang ditarik dan dihembuskannya terpantul sangat dekat ke karpet mesjid dan posisi kepalaku pastinya sejajar dengan dia karena keningku sedang menempel di karpet, sehingga itu membuat seretan napasnya terdengar lebih jelas.

Salam pun berakhir ke sebelah kiri. Aku segera mengambil ventolin inhaler dari dalam kantong.
 Aku dekati dia.

“Dek ...”
 Kupanggil dia begitu karena terlihat usianya belum melebihi kepala dua. Aku tak kenal dia, sepertinya memang bukan orang sini, atau aku yang tak pernah bertemu karena sembilan tahun terakhir domisiliku di luar tanah kelahiran ini.

“Kamu asma?”
 Dia menggelengkan kepala

“Sesak napas?”
 Dia kembali menggelengkan kepala. Kemudian aku sentuh pundaknya.

Dia mengangkat kepala, dan wajahnya berputar ke arahku, ia memandangku.
Saat itu juga bulu di tengkuk perlahan berdiri.

Tatapannya itu ... tidak kosaong, tidak tajam, tidak mengerikan, tapi ... ah aku tak menemukan kata untuk menggambarkannya selain;  tatapannya polos, tak berasa.

“Coba pakai obatku ini, insya Allah bisa menanggulangi sesak napasmu.”

“Tidak,” jawabnya pelan disela kesulitan menarik napas. Para jama’ah sudah sedari tadi melihat-lihat dia, bertanya ini itu, tapi karena aku yang paling dekat posisi duduknya dengan dia, wajahnya pun hanya tertuju padaku.

“Panggilkan ibu kak, tolong panggilkan ibuku,” pintanya lemah.

“Ibumu siapa? Rumahmu di mana?”

“Panggilkan saja, cepat panggilkan.”

Belum aku bertanya lagi, pintu mesjid ada yang membuka, dan masuk seorang ibu seusiaan ibuku, usianya kutaksir 50 tahunan.

“Ayo pulang nak, ayo ke rumah,” ucap si ibu pada anak yang sedari tadi menyeret napasnya itu dengan susah, payah.

“Nggak, aku mau disini.”

“Ayo pulang saja, kamu istirahat di rumah.”

“Nggak mau, aku mau di sini.”

Ibunya pun memeluk dia, dan si anak berujar lemah, “Maafin aku bu, aku minta maaf untuk semua salahku.”
 Aku semakin merinding mendengarnya.

“Anaknya kenapa Bu? Punya peyakit asma?”
 Si ibu memandangku karena pertanyaan itu.

“Sudah dua hari ini dia muntah-muntah, mengeluh kepalanya pusing, tidak bisa tidur.”
 Ibu itu memalingkan pandangan dariku ke anaknya. “Ayo kita pulang nak ....”

“Nggak, aku mau disini.”

Aku sentuh tangannya ... sedikit lebih dingin dari suhu tubuhku.

Napasnya semakin cepat. Semakin jelas terdengar. Lama-lama aku ngeri sendiri dengan kondisi ini.

Akhirnya aku berinisiatif untuk memberikan ventolin inhaler itu tanpa peduli dia mengatakan tak sesak atau tak asma, karena jelas-jelas dia kesulitan memasukkan udara ke paru-parunya.

“Buka mulutnya ya,” ucapku perlahan. “Nanti hisap napas panjang dan akan kutekan obat ini, setelah itu tahan sejenak di dada, baru keluarkan lagi napasnya.”

Dia menggelengkan kepala tanpa suara. Menolak.

Aku masa bodoh.
Kuhampirkan saja ujung obat itu ke mulutnya, dia pun membuka mulut itu. Kutekan ventolin-nya. Oksigen dari dalamnya terhembus di dalam mulutnya. Dia menahan napas, kemudian dikeluarkan.

Kutunggu reaksinya ... tak membaik juga. Kuulangi lagi. Tetapi tidak ada perubahan. Padahal sesak napas terparahku saja akan reda dalam semprotan obat kedua kalinya. Tapi, dia tidak.

“Pulang yuk, kita pulang saja,” Ibu itu kembali merajuk, dan jawaban serupa dilontarkan anaknya.

Astaghfirullah ... astaghfirullah,” lirih ucap mulutnya.

Ia kemudian memandangku.
Tatapannya polos.

“Kak, maafin aku, maafin aku.”
Ia mengambil tanganku dan menyalaminya.
Dingin. Tangannya jauh lebih dingin. Suhunya tidak seperti beberapa saat yang lalu saat kupegang. Sekarang jauh lebih dingin.

Ia kemudian menoleh ke jama’ah di belakangnya.
“Pak, maafin aku ....”

Terus memandangi semua jama’ah yang ada di mesjid.
“Semuanya, aku minta maaf.”

“Sudah dimaafkan, sekarang pulang dan istirahatlah di rumah, biar ibumu panggilkan dokter,” semua menjawab sama.
Ia menggelengkan kepala.

Anak itu lantas mendekati imam kami dan mencium tangannya, “Maafin aku pak Haji, maafin.”
Ia terisak. Bersujud di hadapan imam kami.

“Iya, sekarang pulanglah,” itu kalimat kesekian yang serupa dari imam kami.

Anak itu pun kembali dibujuk ibunya pulang, tetap tak mau.
Dia bangkit dari sujudnya, napasnya masih diseret, berat. Kemudian ia melihat ke pojok mesjid dimana tangga menuju lantai dua mesjid ada di sana.

“Kak siapa itu?” Ia menunjuk ke sudut mesjid sambil bertanya padaku.
“Mana? tak ada siapa-siapa di sana!” jawabku bingung.
“Itu yang disitu siapa?”
Ibunya pun mengatakan hal yang serupa dengan ucapanku.

Anak itu kemudian sujud lagi dan berulang-ulang membaca istighfar.

Apa ini?
Kenapa dengannya?
Apakah dia ...
Ah, aku tak berani berandai-andai. Tak lama berselang, kerabatnya datang dari luar mesjid, membujuk, merayu, dan memaksa dia keluar dari mesjid untuk pulang ke rumah sebelum dipanggilkan doketer.

Dia tidak mau. Dia terus bersujud sambil beristighfar.

“Dari semalam dia memaksa ingin shalat di mesjid, sebelumnya tak pernah, tapi sekarang dia memaksa ibu untuk mebawanya ke mesjid,” ucap ibu itu.

Kerabatnya pun berhasil mencengkeram tangan dan pundaknya. Dengan dibantu jama’ah yang lain , anak itu pun terangkat dari sujudnya. Kusaksikan warna kulit wajahnya membening. Bukan memutih, tapi membening. Lebih bersih.

Napasnya semakin cepat, berkejaran.
Diseret. Pendek. Berat.
Sepertinya udara seolah-olah berserat bagi hidung dan paru-parunya.

Dan ...
Ending kisah ini tak mampu kutuliskan.
Tak kuasa kugambarkan, karena kusaksikan sendiri ia dengan mata kepala ini.

Tak bisa, cukup sampai di sini saja.
Yang jelas ia terlentang di atas karpet mesjid.

Tubuhnya melemah.
Matanya sayu, meredup.

Aku menangis menyaksikannya.
Meski aku tak mengenalnya, tapi batinku ciut  melihat kejadian apa yang dialaminyai.

Cukup selesai sampai di sini.
Berakhir.
[ ]

Apakah kalian berfikir aku menulis cerita fiksi?
Apakah kalian menyangka kisah di atas hanya omong kosong belaka?

Bacalah sekali lagi dari atas, perhatikan apakah aku membumbui tulisan ini dengan bahasa-bahasa hiperbola ala khayangan?

Apakah penggamabaran setting tempat begitu detail kulukiskan?
Apakah nama-nama tokoh kumunculkan dengan karakter masing-masing?
Apakah konflik yang ada terkesan diada-adakan?
Maka kalian akan menemukan jawabannya adalah, TIDAK!

Lantas untuk apa kutulis ini?
Apa sekedar untuk menghibur kalian?
Atau untuk menakuti-nakuti para?

Demi Allah, tidaklah aku tulis ini semua, kecuali ketakutanku mendapatkan pertanyaan serupa ini nanti di akhirat:

Apakah engkau menyaksikan pelajaran berujungnya kehidupan di tanggal sekian, bulan sekian, tahun sekian, jam sekian, atas seorang anak di mesjid Al-Hidayah, Garut?
Aku pasti menjawab “Iya, saya menyaksikan.”

Apakah engkau bisa mengambil pelajaran dari kekuasaan Tuhanmu pada kejadian itu?
“Ya, saya memahaminya?”

Lantas, kenapa engkau tidak menyampaikan pelajaran itu pada orang-orang di sekitarmu?
Kenapa engkau tidak memberikan peringatan atas kejadian itu sebagai pelajaran bagi mereka yang masih diberi kesempatan hidup di dunia?

Maka, jika tak kutuliskan ini, aku khawatir mendapat pertanyaan seperti itu dan tak dapat menjawabnya. Sungguh, pertanggungjawaban di akhirat beribu kali lipat lebih berat dari pada di dunia.
Maka ingin kugugurkan kewajiban penyampaian itu lewat tulisan ini.

Dan sekarang, tahukan bagaimana rasanya ditarik ruh dari jasad?

Jawabannya pasti tidak, karena aku (kalian) belum merasakannya, tapi Allah memberikan gambarannya lewat-orang-orang yang selesai masa hidupnya di dunia untuk menuju alam setelahnya. Salah satunya,  ketika Rasulullah shalallahu alaihi wassalam dicabut nyawa;

... ....
Malaikat Maut pun mulai mencabut nyawa Rasulullah. Ketika roh baginda sampai di pusat perut, baginda berkata: “Wahai Jibril, alangkah pedihnya maut.”

Mendengar ucapan Rasulullah itu, Fatimah terpejam, Ali yang disampingnya menunduk semakin dalam, Jibril as memalingkan mukanya.

Lalu Rasulullah SAW bertanya: “Wahai Jibril, apakah engkau tidak suka memandang mukaku? Jibril menjawab: “Wahai kekasih Allah, siapakah yang sanggup melihat muka baginda, sedangkan baginda sedang merasakan sakitnya maut?”
... ....

Itu gambaran kesakitan bagaimana proses dicabutnya ruh, Rasulullah saja yang notabene mahluk paling dicintai dan disayangi Allah, merasakan sakit tak terperi, apatah lagi aku (kalian) yang ... ah tak ada apa-apanya dibandingkan Rasulullah dalam ketaatan, kemuliaan, kedudkannya dihadapan Allah. Beliau shalallahu alaihi wassalam dicabut ruh nya dengan sangat pelan, lembut, berhati-hati, penuh kasih sayang, merasakan sakitnya begitu hebat. Lantas, seperti apakah yang akan aku (kalian) rasakan? Adakah dicabut dari ubun-ubun dengan kasar tanpa belas kasihan?

Oleh karena itu, aku berharap tulisan ini memberi manfaat, bisa dijadikan CERMIN untuk diriku (kalian) dalam usaha mempersiapkan diri, karena aku (kalian) tidak pernah tahu kapan napas TERAKHIR itu tiba.

Bisa jadi tahun depan, mungkin bulan depan, bisa saja beberapa jam lagi, atau mungkin setelah selesai membaca tulisan ini? Wallahu a’lam bishawab.

Maka dari itu ...

“Wahai orang-orang yang beriman, jagalah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (At-Tahrim: 6)

“Setiap kali nyala api Jahannam itu akan padam, Kami tambah lagi nyalanya bagi mereka.” (Al-Isra’: 97)

“Setiap kali kulit mereka hangus, Kami ganti kulit mereka dengan kulit yang lain, supaya mereka terus merasakan azab.” (An-Nisa’: 56)

“Mereka tidak dibinasakan dengan siksa yang dapat mengantarkan mereka kepada kematian (mereka tidak mati dengan siksaan di neraka bahkan mereka terus hidup agar terus merasakan siksa) dan tidak pula diringankan azabnya dari mereka.” (Fathir: 36) [Al-Khuthab Al-Minbariyyah fil Munasabat Al-‘Ashriyyah, Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan, dengan sub judul Fit Tahdzir minan Nar wa Asbab Dukhuliha, 2/164-165]

Sekian.
Wassalamu ‘alaikum warahmatullah wabarakatuh.

Catatan: Jika tulisan ini memberi manfaat dan pelajaran, sampaikanlah pada orang disekitarmu, karena tidak semua orang punya kesempatan dan mau membaca.

Rabb, aku mohon maaf atas terbaginya hati dan pikiranku dalam shalat. Aku memohon padamu untuk memberikan anak itu akhir yang baik, dan tempat tepuji di sisi-Mu
Garut, 12 Agustus 2012,
Kun Geia.

CATATAN KUN GEIA

Friday, August 24, 2012 0 Comments