Jejak Karya

Jejak Karya

Wednesday, August 25, 2010

Hassan Al Banna dilahirkan pada tanggal 14 Oktober 1906 di desa Mahmudiyah kawasan Buhairah, Mesir. Pada usia 12 tahun, Hasan Al Banna telah menghafal al-Qur’an. Ia adalah seorang mujahid dakwah, peletak dasar-dasar gerakan Islam sekaligus sebagai pendiri dan pimpinan Ikhwanul Muslimin (Persaudaraan Muslimin). Ia memperjuangkan Islam menurut Al-Quran dan Sunnah hingga dibunuh oleh penembak misterius yang oleh banyak kalangan diyakini sebagai penembak ‘titipan’ pemerintah pada 12 Februari 1949 di Kairo. Kepergian Hasan Al Banna pun menjadi duka berkepanjangan bagi umat Islam. Ia mewariskan 2 karya monumentalnya, yaitu Catatan Harian Dakwah dan Da’i serta Kumpulan Surat-surat. Selain itu Hasan Al Banna mewariskan semangat dan teladan dakwah bagi seluruh aktivis dakwah saat ini.

LIKE FATHER, LIKE SON (1)
“Siapa yang menjaminmu hidup sampai setelah waktu zuhur?” pertanyaan itu terlontar dari mulut seorang pemuda kepada khalifah Umar bin Abdul Aziz, tokoh pemimpin bergelar khulafa rasyidin yang kelima. Ketika itu, khalifah yang terkenal keadilannya itu sangat tersentak dengan perkataan sang pemuda. Terlebih saat itu, ia tengah merebahkan diri beristirahat usai menguburkan khalifah sebelumnya, Sulaiman bin Malik.

Tapi baru saja ia merebahkan badannya, seorang pemuda berusia tujuh belasan tahun datang menghampirinya dan mengatakan, “Apa yang ingin engkau lakukan wahai Amirul Mukminin?” Khalifah Umar bin Abdul Aziz menjawab, “Biarkan aku tidur barang sejenak. Aku sangat lelah dan capai sehingga nyaris tak ada kekuatan yang tersisa. “Namun pemuda itu tampak tak puas dengan jawaban tersebut. Ia bertanya lagi, “Apakah engkau akan tidur sebelum mengembalikan barang yang diambil secara paksa kepada pemiliknya, wahai Amirul Mukminin? Khalifah Umar bin Abdul Aziz mengatakan, “Jika tiba waktu zuhur, saya bersama orang-orang akan mengembalikan barang-barang tersebut kepada pemiliknya.” Jawaban itulah yang kemudian ditanggapi oleh sang pemuda, “Siapa yang menjaminmu hidup sampai setelah zuhur, wahai Amirul Mukminun?”
Pemuda itu bernama Abdul Aziz. Ia, putera Amirul Mukminun sendiri, Umar bin Abdul Aziz. Semoga Allah merahmati keduanya.

LIKE FATHER, LIKE SON (2)
Seorang lelaki datang menghadap Amirul Mukminun, Umar bin Khattab radhiallahu anhu. Ia melaporkan kepada Rasulullah tentang kedurhakaan anaknya. Khalifah Umar lantas memanggil anak yang dikatakan durhaka itu dan mengingatkannya terhadap bahaya durhaka pada orang tua. Saat ditanya sebab kedurhakaannya, anak itu mengatakan
“Wahai Amirul Mukminin tidakkah seorang anak mempunyai hak yang harus ditunaikan oleh orang tuanya?” “Ya” jawab Khalifah. “Apakah itu?” tanya anak itu. Khalifah menjawab. “Ayah wajib memilihkan ibu yang baik buat anak-anaknya, memberi nama yang baik dan mengajarinya Al Qur’an.” Lantas sang anak menjawab, “Wahai Amirul Mukminin. Tidak satupun dari tiga perkara itu yang ditunaikan ayahku. Ibuku Majusi, namaku Ja’lan, dan aku tidak pernah diajarkan membaca Al Qur’an.

Umar bin Khatab menoleh kepada ayah dari anak itu dan mengatakan, “Anda datang mengadukan kedurhakaan anakmu, ternyata Anda telah mendurhakainya sebelum ia mendurhakaimu. Anda telah berlaku tidak baik terhadapnya sebelum ia berlaku tidak baik terhadap Anda.”
SIAPA AKTOR PENTING DI BALIK PROSES PEMBINAAN KETOKOHAN HASAN AL BANNA?

Imam Hasan Al Banna dilahirkan dalam keluarga yang hidup dalam keadaan serba sederhana, dengan mengamalkan Islam di segenap sudut kehidupan mereka. Ayahnya adalah alumni Universitas Al Azhar dan mendalami Hadist dan ilmu Fiqh. Imam Hasan Al Banna menerima pendidikan agama dari ayahnya, sebagaimana dituliskan oleh adiknya, Abdur-Rahman Al Banna berikut ini:

“Kakakku ketika engkau berumur sembilan tahun, aku baru berumur tujuh tahun. Kita mengaji Al Qur’an dan belajar menulis di sekolah. Jika engkau mampu menghafal dua pertiga Al Qur’an, aku mampu menghafal sehingga surah At Taubah. Ketika kita pulang dari sekolah, ayah menyambut dengan penuh kasih sayang. Ayah yang mengajar kitab sirah (riwayat hidup) Rasulullah SAW, ilmu Fiqh dan nahwu. Ayah menyediakan jadwal pengajian kita di rumah. Engkau belajar ilmu Fiqh Imam Abu Hanifah ketika aku belajar ilmu Fiqh Imam Malik. Di segi ilmu nahwu, engkau belajar kitab ‘Alfiyah’ dan aku belajar kitab ‘Malhamatul Arab’. Kita mengulang pelajaran bersama-sama dan bekerja keras.

“Duhai kakakku, dalam hidupku, tidak pernah aku melihat orang yang begitu banyak berpuasa dan shalat sepertimu. Engkau bangun waktu sahur dan shalat. Kemudian engkau membangunkanku untuk melakukan shalat shubuh. Selepas shalat, engkau membaca jadwal kegiatan harian. Suaramu yang indah dan mencerminkan kasih itu menggema di telingaku. Engkau pernah berkata. “Pukul enam pagi adalah waktu masa mengaji Al Qur’an; pukul tujuh adalah waktu belajar tafsir Al Qur’an dan Hadist; pukul delapan waktu belajar Fiqh dan Usul Fiqh.” Itulah agenda harian rumah kita. Selanjutnya kita pun pergi ke sekolah. Ada banyak buku di dalam perpustakaan ayah. Kita telah bersama-sama meneliti buku-buku itu. Nama buku-buku itu tersebut dicetak dengan huruf-huruf berwarna emas. Kadang kita meneliti kitab ’Nisapur’, kitab ‘Qustalani’, da kitab ‘Nail Al-Authar’. Ayah bukan hanya mengizinkan kita membaca kitab-kitab itu, tapi bahkan mendorong kita untuk membaca. Engkau selalu lebih baik dariku dalam hal ini.”

Aku mencpba mengikuti jejak langkahmu tetapi aku tidak mampu. Engkau seorang yang luar biasa. Walaupun perbedaan umur kita hanya dua tahun, tetapi Allah telah memberimu kapasitas yang luar biasa. Ayah selalu mengadakan majelis-majelis diskusi ilmiah. Kita kerap mengikutinya dengan teliti kajian ilmiah antara beliau dengan para ulama yang lain. Majelis-majelis tersebut dihadiri oleh Syeikh Muhammad Zahran dan Hamid Muhsin. Pernah kita mendengar pembahasan mereka mengenai ’Arasy Allah’ di langit. Di antaranya adalah, apakah ‘Istiwa’ bermaksud duduk atau tinggal? Apakah pendapat Imam Ghazali dalam hal ini? Apa pula kata Zamakshari mengenai hal ini? Apakah tafsiran Imam Malik bin Anas? Kita mendengar pembahasan itu dengan serius. Semua yang kta pahami terekam dalam ingatan. Segala masalah dan perkara yang sukar dipahami, kita tanyakan pada ayah ataupun kita rujuk kepada kitab-kitab tafsir dan As Sunnah.

Siapakah di balik proses ketokohan Hasan Al Banna?
“AKU INGIN MENYAMPAIKAN DAKWAH INI SAMPAI KEPADA JANIN DI PERUT IBUNYA (HASAN AL BANNA)”
Ayah merupakan sosok penting dalam bangunan umat. Dalam sebuah keluarga, kedudukan ayah adalah salah satu batu bata yang menopang bangunan umat Islam. Jika para ayah berhasil menunaikan misinya dalam keluarga, akan kokohlah bangunan umat Islam di berbagai bidang kehidupan. Sebaliknya, sikap abai para ayah dalam menjalani misinya di dalam keluarga akan menyebabkan lemah rapuhnya bangunan umat ini.
Ada banyak peran ayah dalam Islam yang harus ditunaikan dengan benar sebagaimana hadist Rasulullah SAW, “Setiap kalian adalah pemimpin yang bertanggung jawab atas yang dipimpinnya. Seorang amir adalah pemimpin atas rakyatnya dan ia bertanggung jawab atas yang dipimpinnya. Seorang laki-laki adalah pemimpin di keluarganya dan ia bertanggung jawab atas yang dipimpinnya. Seorang perempuan adalah pemimpin di rumah suaminya dan anaknya dan ia bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya. Seorang hamba sahaya adalah pemimpin atas harta tuannya dan ia bertanggung jawab atas yang dipimpinnya. Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin bertanggung jawab atas yang dipimpinnya.” (HR Bukhari dari Hadist Nafi’ bin Umar radhiallahu anhuma).
Ayah yang menunaikan kewajibannya, berarti ia telah terbebas dari tanggung jawabnya di hadapan Allah SWT di hari kiamat. Allah SWT berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman, lindungilah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu. Di sana ada malaikat yang kasar dan keras, tidak melanggar perintah Allah kepada mereka dan mereka melakukan apa yang diperintahkan.” (QS At Tahrim : 6)

Lembar-lembar berikut ini akan diuraikan sosok Hasan Al Banna. Seorang pemimpin dakwah, seorang pembina kader ummat, sekaligus seorang ayah dalam keluarga. Hasan Al Banna bahkan berperan dalam membina anak-anak di seluruh dunia ini. Dialah yang melontarkan kalimat-kalimat emasnya yang berbunyi “Aku ingin sekali menyampaikan dakwah ini sampai kepada janin yang ada di dalam perut ibu mereka.”

MARI BERTAMU KE RUMAH HASAN AL BANNA
Al Banna rahimahullah di rumahnya, adalah ayah yang kebaikannya begitu mengesankan anggota keluarga. Ia memberi contoh yang agung dalam penunaian misi seorang ayah yang berhasil. Ungkapan-ungkapan kekaguman terhadap Al Banna tertuang dalam ragam kalimat indah. Ia teladan praktis, hati yang penuh tanggung jawab, pemimpin yang mengayomi, gelombang rindu dan kasih sayang, cahaya kebaikan, mata air pemberian, sumber kedermawanan dan kemurahan, uluran kasih sayang dan ketegasan, pemimpin penuh disiplin yang diiringi cinta, mata yang tak terpejam untuk terus mengejar keberhasilan dalam perbaikan.

Kita banyak mendengar teori-teori pendidikan yang disampaikan para dosen ilmu pendidikan ataupun para pengamat pendidikan anak. Tapi sejujurnya, kita tidak bisa menutup mata bila nyatanya, praktik keseharian yang mereka jalani dalam kehidupannya justru menyingkap banyak kesenjangan dengan teori dan pandangannya soal pendidikan.
Hasan Al Banna menerapkan teori pendidikan dan pembinaan yang diserukannya dengan sangat baik di dalam keluarganya. Antara perkataan dan realitas hidupnya, menyuarakan satu hal yang sama. Mari kita ikuti rangkaian tulisan yang dirangkum dari sejumlah dialog dan tanya jawab dengan anak-anak Imam Hasan Al Banna rahimahullah :

Kenalkan, Mereka adalah Anak-Anak Hasan Al Banna

Sebagaimana Al Banna rahimahullah berhasil menjalankan misi besar dakwahnya hingga menyebar dari lokasi terpencil hingga negara besar, Al Banna juga berhasil dalam membangun keluarga yang istimewa. Keluarga Al Banna telah dibina atas dasar keimanan kepada Allah SWT dan keistimewaan dalam kehidupan, lalu penerapannya dalam prinsip tarbiyah yang benar. Al Banna menyodorkan contoh langsung yang unik dalam peran seorang ayah terhadap pendidikan anak-anaknya.

Mari kita lihat terlebih dahulu komposisi keluarga Imam Hasan Al Banna rahimahullah. Al Banna dikaruniai enam orang anak, terdiri dari satu orang anak laki-laki dan lima orang anak perempuan. Urutannya seperti ini:
a. Wafa : Adalah anak perempuannya yang paling besar, sekaligus istri dari seorang dai terkenal yakni Sa’ad ramadhan rahimahullah. Saat Al Banna wafat, ia sudah berusia 17 tahun.
b. Ahmad Saiful Islam : Seorang advokat sekaligus sekjen Aliansi Advokat Mesir dan mantan anggota parlemen Mesir. Dilahirkan tanggal 22 November 1934. Berhasil memperoleh gelar sarjana di bidang HAM tahun 1956, dan Darul Ulum 1957. Usianya baru 14 tahun, dua bulan, dua puluh hari saat Al Banna wafat.
c. Dr. Tsana : Dosen Urusan Pengaturan Rumah Tangga, mengajar di sejumlah universitas di Saudi Arabia, Ia masih 11 tahun saat Al Banna meninggal.
d. Ir. Roja’ : Ketika Al Banna wafat, usianya sekitar lima setengah tahun.
e. Dr. Halah : Dosen kedokteran anak di Universitas Al Azhar. Usianya baru dua tahun lebih saat Al Banna meninggal.
f. Dr. Istisyhad : Dosen Ekonomi Islam. Ia masih berupa janin di perut ibunya saat Al Banna menghembuskan nafas terakhirnya. Semula, menurut analisa dokter, ia harus digugurkan dari kandungan mengingat sakit yang diderita sang ibu dan bahaya kehamilan yang bisa mengancam kehidupan sang ibu. Para medis telah menetapkan itu pada 12 Februari bertepatan dengan hari wafatnya Imam Hasan Al Banna. Tapi Allah SWT berkehendak lain. Istisyhad tetap lahir dengan sehat. Dan karena rangkaian peristiwa itulah ia dinamakan istisyhad yang berarti memburu mati syahid.

Lantunan Bacaan Al Qur’an Yang Menyejukkan Hati Ibu

Yang dilakukan Al Banna sebagai tahap utama dalam membina dan anak-anak yang akan menjadi keturunannya, dimulai sejak proses pemilihan perempuan yang mendampinginya. Ustadz Mahmud Abdul Halim berkisah tentang pernikahan Al Banna: “Di antara penduduk Ismailiyah yang cepat merespon dakwah yang disampaikan Al Banna adalah sebuah keluarga terhormat yang disebut keluarga As Shauli. Mereka umumnya para pedagang kelas menengah dan mempunyai sentimen agama yang baik sehingga anak-anaknya terbina dalam lingkar agama yang baik. Ibu Al Banna suatu ketika berkunjung ke rumah keluarga ini. Saat itu ia mendengar alunan suara pembacaan Al Qur’an yang baik sekali. Ibu Al Banna bertanya, “Suara siapa itu?” Pemilik rumah mengatakan, bahwa itu adalah suara fulanah yang sedang shalat. Ketika Ibu Al Banna pulang ke rumah, ia pun memberitakan apa yang terjadi di rumah keluarga tadi. Saat itulah Al Banna mulai terbetik bahwa wanita seperti itulah yang layak menjadi pendamping hidupnya. Akhirnya Al Banna menikahi wanita itu yang sekaligus menjadi ibu bagi anak-anaknya. Dialah istri yang mendampinginya saat lapang dan sempit, sulit dan senang. Dialah penolong yang baik dalam dakwahnya, sampai akhirnya Al Banna menyongsong kematian menemui Rabb-nya sebagai seorang yang dizalimi. (Al Ikhwan Al Muslimun, Ahdast Shana’at Tariikh, Mahmud Abdul Halim, hal 68)

Diskusi Calon Mertua dan Calon Mantu

Anak Al Banna, yang bernama Tsana, menyebutkan sejumlah sikap yang diinginkan neneknya (ibunda Al Banna) dalam memilihkan istri untuk Al Banna. Dikatakannya, “Nenekku rahimahullah pergi ke sejumlah rumah dari tokoh-tokoh Ismailiyah. Ketika itu nenek simpatik dengan ibuku untuk dijodohkan dengan ayahku, karena nenek melihat meskipun kondisi keluarga ibuku sangat sederhana tapi mereka mandiri melakukan kebutuhannya bahkan mereka juga memasak untuk para pekerja yang ada. Nenek lalu merasakan bahwa rumah keluarga ibuku adalah rumah orang yang dermawan dan baik hati. Meskipun belum ada kesempatan untuk belajar, tetapi kakekku mendatangkan seorang syaikh yang membacakan Al Qur’an setiap hari di rumah. Lalu suatu ketika, setelah zuhur, syaikh mengaji ini mengajarkan Al Qur’an untuk penghuni rumah yang perempuan dan mengajarkan fiqh. Karena itulah ibuku bisa dikatakan orang yang cukup pandai tentang masalah fiqih. Orang tuaku telah memilihkan istri yang baik dari tempat yang baik…..”
Selanjutnya Tsana juga bertutur tentang kecintaan kakeknya kepada ibundanya dan bagaimana perhatian yang diberikan kepada kasih sayangnya dengan ayahnya (Hasan Al Banna). Tsana mengatakan: ”Kakek dari ibuku sangat menyukai ayahku. Ia kerap berdiskusi dalam berbagai masalah sampai-sampai ketika ibuku ada yang ingin meminangnya selain ayahu ketika itu, ia datang kepada kakekku dan memintanya untuk menemani pula puterinya ke bioskop, kakekku bertanya kepada ayahku tentang hukumnya menonton film di bioskop. Ayahku menerangkan bahwa itu haram. Setelah kakek mengetahui orang tersebut meminta sesuatu yang dilarang maka kakek meminta orang itu pergi dan mengatakan “Aku tidak punya puteri untuk dinikahkan olehmu”
“Ya Ummu Wafa, Istana Kita menanti di Surga”
Kondisi keluarga jelas sangat menjamin perkembangan jiwa anak secara baik. Kondisi keluarga yang penuh kasih sayang, penuh perhatian dan kepedulian akan menyebabkan anggota keluarga saling hormat dan saling menghargai. Di antara faktor penting untuk melakukan pemeliharaan yang benar adalah, adanya lingkungan yang mendukung untuk tujuan pendidikan itu sendiri. Lingkungan akan membantu sang anak lebih mudah memiliki perilaku yang baik. Perilaku Imam Hasan Al Banna di rumah, interaksinya dengan istrinya, hubungannya dengan anak-anaknya, itu semua mewakili lingkungan yang baik dan subur untuk menghidupkan generasi yang shalih.
QS Al A’raf : 58
“Dan tanah yang baik, tanaman-tanamannya tumbuh subur dengan seizin Allah; dan tanah yang tidak subur, tanaman-tanamannya hanya tumbuh merana. Demikianlah Kami mengulangi tanda-tanda kebesaran (Kami) bagi orang-orang yang bersyukur.”
Tsana, puteri Al Banna, juga mengatakan, “Subhanallah, setelah aku berkeluarga, maka ayahkulah yang menjadi contoh sangat baik dalam hal pengorbanan. Karenanya aku sangat yakin sekali dengan dakwah yang disampaikan ayah. Ayah tidak perlu banyak mengatakan apapun, tapi kecintaanku kepada dakwahnya begitu kuat sampai setelah ayah wafat, para Ikhwan yang dibebaskan dari penjara datang kepada keluarga kami mengucapkan salam. Umumnya mereka semua datang kepada kami dengan selalu membawa makanan. Bahkan meskipun makanan itu berupa makanan yang belum jadi seperti daging mentah, dan itu sangat membahagiakan ibu.”

Tsana melanjutkan: “Ketika menginjakkan kaki ke Kairo, mereka menyewa sebuah kantor untuk digunakan sebagai kantor pusat. Ketika itu, Ibu mengambil hampir semua perabotan rumah untuk digunakan di kantor pusat. Ketika ayah membagun sekretariat Ikhwanul Muslimun, beliau malah meminta ayah membawa sebagian besar perabot rumah agar sekretariat menjadi lebih hidup. Ayahpun memboyong karpet, gorden, meja-meja dan masih banyak lagi perabotan lain ke sekretriat dan ibu justru sangat senang. Di rumah kami sendiri, tak ada ruang kecuali sedikit sekali, termasuk sajadah dan gorden yang sebenarnya dibuat oleh Ibu sendiri. Kami hanya menggunakan sedikit gorden dan untuk menutupi kamar, kami menggunakan apa saja bahan yang bisa digunakan. Dengan pengorbanan itu, ibu tampak tidak merasakan apa-apa dan sepertinya ia tidak memberikan apapun untuk dakwah ini dari perabotan rumahnya.

Kepercayaan yang Sangat Besar

Tsana mengatakan : “Kepercayaan iu kepada ayah besar sekali. Para akhwat datang dan duduk bersama ayah terkadang mendiskusikan banyak masalah dakwah tentu saja secara terbuka. Tapi ibu tidak pernah merasakan kesempitan dengan hal itu dan tidak bertanya apa yang dilakukan para akhwat itu, sebagaimana dilakukan oleh umumnya istri. Kepercayaan kepada ayah sangat besar dan sulit digambarkan. Sampai ketika rumah kami termasuk ke dalam peta rumah yang akan dihancurkan ibuku meminta ayah untuk membelikan rumah kecil untuk kami. Tapi ketika itu ayah mengatakan dengan keimanan mendalam: “Wahai Ummu Wafa, istana kita menanti di surga. Allah takkan meyia-nyiakan kita di dunia.” Perkataan itu meresap dalam hati ibuku dengan penuh cinta dan sikap lapang. Ibu tidak marah dan tidak kecewa seperti banyak dilakukan para istri saat ini. Selalu saja ayah memanggil ibu dengan ungkapan, wahai Ummu Wafa. Dan ibu memanggil ayah dengan panggilan, wahai Ustadz Hasan. Itu karena adanya rasa saling menghormati di antara mereka.

Praktik Tarbiyah Hasan Al Banna kepada anak-anaknya
Adanya visi yang benar dan kemampuan aplikasi sikap yang baik, adalah syarat utama dalam pentarbiyahan keluarga. Bila seseorang tidak memiliki visi dalam hidupnya, ia seperti seorang buta yang tidak memiliki petunjuk. Atau, seperti musafir di tengah padang pasir tanpa memegang peta dan alat petunjuk apapun. Bila seseorang tidak mampu mengejahwantahkan perilaku yang baik, maka visi yang dimilikinya hanya bermakna ilmu teoritik belaka atau filosofi yang jauh dari kenyataan lahir. Dan kedua kondisi itu sama tidak bermanfaatnya.

Ketika kita mempelajari perilaku Hasan Al Banna di dalam rumahnya, kita akan mendapatkan dia sebagai sosok yang mampu menjadi contoh dalam segalanya. Ia memiliki visi yang jelas dan mulia, sehingga itu juga yang menjadikannya secara sadar menjalani berbagai aktivitas hidupnya. Mari kita masuki rumah Imam Hasan Al Banna rahimahullah untuk melihat, bagaimana ia mendidik anak-anak dan istrinya.

1. Makan Bersama, yang Menjadi Prioritas
Siapakah di antara para juru dakwah yang merasa tidak punya lagi waktu untuk sekedar makan bersama anak-anak di rumah? Imam Hasan Al Banna rahimahullah, mempunyai catatan kehidupan dakwah yang begitu memukau. Hasan Al Banna, dalam buku sejarah dakwahnya, dituliskan telah berhasil membentuk fondasi sebuah gerakan dakwah bernama Al Ikhwan Al Muslimun hanya setelah ia tinggal 6 bulan di Ismailiyah, salah satu distrik kota Kairo Mesir. Lalu dalam rentang waktu selanjutnya, selama 15 tahun, Al Banna terus melebarkan sayap dakwahnya dengan membentuk sayap Al Ikhwan di 20 negara. Di kota Kairo sendiri, ia mendirikan fondasi pembentukan 2000 cabang Al Ikhwan. Tapi, ternyata beliau masih mampu menyempatkan waktu untuk makan bersama anak-anaknya di rumah. Suasana makan bersama itulah di antara detik-detik penuh kenangan bagi anak-anaknya.
Tsana puteri Al Banna bercerita : “Beliau sangat mengerti apa yang dikatakan Rasulullah, “Sesungguhnya badanmu mempunyai hak, keluargamu juga punya hak…” Misalnya saja, ayah biasa tidur hanya empat jam saja dalam satu hari. Karena itu, salah satu dari sepuluh wasiat ayah adalah bahwa sebenarnya pekerjaan yang harus dilakukan lebih banyak dari waktu yang tersedia. Ini sama dengan apa yang dirasakan para mujahid umumnya. Sedangkan sekarang, kami tahu bagaimana menyia-nyiakan waktu dan mencari alasan untuk membuang waktu. Engkau lihat ayah selalu berusaha untuk bersama-sama makan dengan keluarga, bahkan meskipun ketika ada tamu, ia tetap berusaha meminta mereka datang ke rumah agar ketika waktu makan pagi ayah bisa bersama kami.”
2. Tak Ada Suara Keras di Rumah Kami
Sikap pertama seorang ayah yang sukses adalah bila ia mempunyai peta perhatian yang menyeluruh terhadap anak-anaknya. Sekaligus itu pulalah yang saat ini hilang dari banyak para ayah. Bahkan tak sedikit para da’i yang kurang memiliki perhatian terhadap perkembangan anak-anaknya dengan dalih kesibukan dan perhatiannya sepanjang hari di luar rumah untuk berdakwah. Lalu ketika pulang, ia hanya mendapati anaknya sudah terlelap tidur. Mereka sedikit sekali memberi bekal yang cukup dan bermanfaat untuk anak-anaknya. Tapi, itu tidak terjadi pada Imam Hasan Al Banna yang mengkonsentrasikan pikirannya untuk membangun ummat. Rumah beliau dan anak-anaknya tetap memiliki porsi perhatian yang besar, diiringi keseriusan dalam bentuk pengaturan dan pentarbiyahannya.
Tsana bercerita, “Kami tidak pernah merasakan adanya beban kegiatan yang dirasakan ayah selama di rumah. Misalnya saja, kami tidak melihatnya seperti banyak orang yang kerap berteriak atau bersuara keras di dalam rumah, dan semacamnya sebagai akibat dari tekanan mental dan fisiknya setelah banyak beraktivitas di luar rumah. Bahkan yang paling penting dalam kehidupan ayah adalah soal pengaturan keluarga.
Jika Anda baca bagaimana peri kehidupan ayah, engkau akan lihat bahwa semuanya berjalan sesuai apa yang dicontohkan Rasulullah SAW.
3. Bangunkan Aku Tujuh Menit Lagi………
Kesibukan dakwah yang dilakukan Al Banna, jelas membawa efek yang lazimnya menjadikan waktu bertemu dengan keluarga tersita, Tapi, Hasan Al Banna ternyata mampu menyiasati kesibukannya itu untuk tetap menemani anak-anaknya di saat mereka melewati masa liburan.
Sampai-sampai dalam masalah perjalanannya, ayah mengaturnya juga. Misalnya, di musim panas, ayah mengatur perjalanan ke arah Utara dan di waktu musim dingin ke arah Selatan. Itu dilakukan agar ayah bisa memanfaatkan waktu libur di musim panas untuk pergi dan melewati kampung demi kampung,” ujar Wafa.
Wafa melanjutkan, “Ayah lebih suka pergi ke arah Selatan di musim dingin karena ia bisa pergi ke daerah itu dan pulang kembali dalam hari itu juga. Ayah pergi waktu pagi untuk bekerja dan pulang ke rumah untuk makan siang bersama kami. Terkadang beliau istirahat sejenak di rumah.”
Sampai suatu ketika Wafa bercerita pada kami bila ayah pernah memintanya untuk dibangunkan setelah tidur selama tujuh menit. Wafa mengatakan. “Aku lalu menyiapkan minuman untuknya. Tapi ketika selesai membuat minuman, aku sudah melihat ayah di sampingnya dan bertanya, “Sedang membuat minum ya Wafa?” Ayah sangat mampu mengatur dirinya dan selalu disiplin terhadap dirinya sendiri. Setelah itu ia pergi sendiri ke salah satu distrik Selatan lalu kembali waktu sore harinya.”
Ahmad Saiful Islam pernah ditanya; ”Kami mengenal Hasan Al Banna selalu sibuk dalam perjalanan ke berbagai daerah untuk menyebarkan dakwah ke seluruh pelosok. Apakah beliau juga duduk bersama kalian dalam waktu yang cukup menurut Anda?” Saiful Islam menjawab, “Ayah-semoga Allah merahmatinya- adalah manusia yang mendapat taufiq Allah dalam hal ini. Beliau menggantikan waktu yang ia khususkan untuk kami dengan waktu lain bila beliau harus pergi. Tapi dalam hal ini, ayah mempunyai keistimewaan. Anda bisa saja hanya duduk bersamanya selama dua jam, dan ternyata itu sudah memuaskan Anda.”
4. Mau Tahu Tentang Masa Kecilku?
Anak adalah investasi besar untuk dakwah dan tentu saja untuk kemanusiaan keseluruhan. Karena itulah Hasan Al Banna melakukan perencanaan yang baik untuk semua anak-anaknya. Dia selalu menjaga proses pelaksanaan rencana itu dalam sebuah map yang berisi seluruh masalah anak yang penting diperhatikan, seperti masalah kesehatan dan masalah kemajuan atau kemunduran penguasaan pelajaran sekolah.
Di antara poin yang diingat Saiful Islam, map itu berisi antara lain:
1. Tanggal dan sejarah kelahiran
2. Nomor kelahiran
3. Schedule pemberian obat dan makanan
4. Surat keterangan dokter
5. Keterangan atau catatan tentang kondisi sakit secara detail
6. Ijazah anak-anak
7. Catatan seputar prestasi anak-anak di sekolah
8. Dan lain-lain
Setiap anak-anak Al Banna, disediakan catatan masing-masing. Di dalam map itu Imam Al Banna menuliskan sendiri keterangan detail tentang sejarah dan tanggal kelahiran, nomor kelahiran, pola pengaturan makanan bagi si kecil dan seterusnya. Al Banna juga mengumpulkan seluruh surat keterangan atau resep dokter yang memeriksa anak-anaknya. Jika mereka terkena penyakit yang sama, biasanya Al Banna mengajukan kepada dokter yang mengobatinya, rincian resep yang telah diberikan lengkap dengan tanggal pemberiannya. Setiap surat resep itu juga disertai catatan kecil tentang kondisi anak. Isinya keterangan tentang berapa lama si anak mengkonsumsi obat? Berapa banyak dosis obat yang diminum? Apakah seluruh resep dokter telah diminum semua?
Dalam map itu juga tersimpan rapi semua ijazah dan raport anak-anak. “Ayah meletakkannya di bagian paling pertama dengan beberapa catatan yang ditulisnya sendiri. Misalnya saja tulisan ayah tentang raport dan ijazah Saiful Islam, ditulisnya “Saif perlu peningkatan dalam hal ini dan ini….Wafa perlu dibantu dalam materi pelajaran ini……” ujar Tsana. Demikian catatan demi catatan itu ditulis oleh Hasan Al Banna untuk satu per satu anak-anaknya.
Tsana mengatakan, “Tentang apa yang diberikan khusus untuk kami adalah, ayah mengirimkan kami bersama kepada salah seorang ikhwah untuk membeli beberapa keperluan sekolah. Ayah-semoga Allah merahmatinya- menyediakan masing-masing kami satu map khusus, yang digunakan untuk menghimpun semua hal yang khusus tentang kami untuk perbaikan atau kemajuan di sekolah, bahkan termasuk masalah makan. Ya, tentang masalah makan dan obat-obatan yang kami minum sejak kami lahir, juga tentang sakit yang pernah kami derita sejak kami lahir. Ayah –semoga Allah merahmatinya- sangat teratur dalam mengatur kewajibannya, sangat dan sangat teratur sekali. Hampir tak ada tumpang tindih dalam dokumennya.”

5. Ayah Membawakan Bekal Ke Sekolah
Ini salah satu kebiasaan Al Banna yang mungkin jarang dilakukan para ayah. Beliau memberi bantuan dan pemeliharaan serta perhatian kepada anak-anak hingga dalam tingkatan menjadikan mereka merasa bahwa mereka selalu dalam kondisi penuh perhatian dari orang tua. Jika seorang anak merasa bahwa dirinya adalah nomor satu dalam hati orang tuanya, ini adalah modal utama keberhasilan dalam mendidik mereka. Tentang perhatian Imam Hasan Al Banna terhadap anak-anaknya dan bagaimana pemeliharaan Al Banna diceritakan oleh Saiful Islam :
“Aku tidak melebihkan dan tidak berlebih-lebihan dalam masalah ini, ketika aku sebutkan bahwa ayah adalah pemimpin rumah tangga ideal. Sejak aku masih kecil dan masih kanak-kanak aku belum pernah merasakan ayah kurang memperhatikan kami atau kurang memikirkan masalah kami. Kami justru takjub ketika kami merasa bahwa kami sendiri saat ini belum bisa mencapai seperti yang dilakukan ayah kepada kami.”
Berkata Ir. Roja Hasan Al Banna, “Aku ingat, ayah-semoga Allah merahmatinya- biasa membawakan makan pagi ke sekolah taman kanak-kanak, ketika usiaku masih lima tahun. Itu karena perhatiannya kepadaku begitu besar agar aku bisa makan pagi. Ketika itu aku memang sering lupa membawa roti untuk makan pagi ke sekolah, atau mungkin pula makananku diambil oleh teman-teman di sekolah. Ayah sangat berusaha untuk membawakan makan pagi itu setiap hari ke sekolah meskipun aku tahu kesibukannya luar biasa. Tapi beliau tetap tidak melupakan kami…”
Efek dari sikap itu adalah kecintaan dan keterikatan sangat kuat antara anak-anaknya kepada Hasan Al Banna. Roja menambahkan, “Kami sangat mencintai ayah…sangat cinta. Kami mentaati keinginannya karena kami cinta kepadanya, bukan karena kami takut padanya. Sampai jika ayah pergi, kami semua sangat merasa kehilangan. Aku ingat ketika saudaraku Roja menghubungi para ikhwan di kantor pusat Al Ikhwan untuk bertanya tentang Ustadz Iwadh Abdul Karim tentang kabar ayah yang sedang melakukan perjalanan dakwah.”
6. Apa Saja Kebutuhan Rumah Bulan Ini
Sikap seimbang dengan memberi setiap hak pada tempatnya sebagaimana perintah Rasulullah SAW, telah mendekatkan jarak antara anak dengan ayah. Seorang anak yang melihat bahwa ia ada dalam lingkup perhatian dan perawatan yang baik juga pemberian yang isimewa dari orang tua, pasti anak-anak akan memberikan loyalitas, dukungan penuh, kecintaan, ketaatan kepada orang tuanya. Inilah yang dikatakan Saiful Islam, putera satu-satunya dari Hasan Al Banna. “Demikianlah perhatian Imam Hasan Al Banna terhadap urusan rumah dengan sangat baik. Ayah menulis sendiri keperluan yang dibutuhkan keluarga setiap bulannya. Ayah membayar kebutuhan itu setiap awal bulan kepada salah seorang Ikhwan yakni Al Haj Sayed Syihabudin, seorang pemilik toko kelontong terkenal yang menyediakan kebutuhan rumah tangga.”
Puteri Al Banna yang bernama Tsana mengatakan, “Ayah mempunyai catatan sendiri tentang kebutuhan bulanan rumah kami. Sampai terkait sejumlah bahan makanan yang hanya ada sewaktu waktu saja sesuai musimnya, semisal kacang, zaitun, nasi dan semacamnya, juga termasuk dalam catatan kebutuhan ayah. Ayah memantau baik kapan musim-musimnya tiba dan membelinya untuk kami di rumah. Itu karena ayah tahu, Ibu sangat sibuk mengurus rumah.”
7. Hasilnya, Kami Menuruti Tanpa Harus Diperintah
Berikan cinta Anda sepenuhnya tanpa henti dan berubah, meskipun suatu saat anak Anda mungkin tidak menyenangkan Anda. Seperti itu nasihat yang disampaikan Syaikh Abdul Hamid Jasim Al Bilali, dalam kitab Funun Tarbiyati Al Abna. Al Bilali menerangkan bahwa cinta tulus yang tanpa tolak ukur adalah pemberian paling berharga yang harus diperoleh setiap anak. Sebaiknya menolak memberikan cinta tulus kepada seorang anak adalah hukuman yang paling menyakitkan baginya.
Hasan Al Banna di mata anak-anaknya adalah sosok orang tua yang telah memberikan cinta tulusnya kepada semua mereka. Bagaimana kelembutannya, kehalusannya, upayanya untuk tidak menyakiti anak, semuanya menjadikan mereka anak-anak yang mudah diatur dan menurut. Inilah yang dikisahkan Saiful Islam, ketika ia mengatakan, “Ayah-semoga Allah merahmatinya- sangat lembut perasaannya. Beliau sangat memelihara perasaan anak-anak dengan begitu berhati-hati. Beliau mempunyai kemampuan yang menjadikan kami menurut tanpa memerlukan perintah untuk mentaatinya. Kami menganggap beliau mempunyai wibawa yang sedemikian besar yang menjadikan kami senang mengikuti keinginannya dan tidak mau melawannya.”
Ketulusan cinta yang berbuah wibawa indah di mata anak-anak, seperti itulah pandangan Saiful Islam terhadap ayahnya. Ia juga mengisahkan bagaimana ketulusan cinta dan kelembutan itu begitu kuat tercermin dari bentuk interaksi dan pendidikan yang diterimanya dari sang ayah. Dengarkanlah kisahnya, “Aku ingat ketika ayah memberitahukan kepadaku bahwa menonton bioskop itu tidak layak dilakukan oleh seorang Muslim. Aku sejak itu tidak pernah masuk bioskop, bahkan sampai hari ini aku tidak pernah memasukinya. Ini bagian dari pengaruh dan daya tarik ayah yang aku rasakan hingga sekarang.”

8. Ada Uang Jajan Harian, Mingguan dan Bulanan
Salah satu metode yang diterapkan Hasan Al Banna untuk mendidik dan mendisiplinkan anaknya adalah dengan memberikan tiga kategori uang kepada anak-anaknya :
a. Uang harian 3 qirsy
b. Uang pekanan 10 ma’adin
c. Uang bulanan 50 qirsy
Maksud pembagian uang ini adalah untuk memberi kecukupan pada anak. Tidak seperti yang dilakukan sebagian orang tua yang memberi uang kepada anaknya, tapi di waktu lain mereka memintanya lagi dengan alasan untuk ditabung atau untuk membeli kebutuhan tertentu.
Saiful Islam pernah ditanya: “Uang jajan di masa kanak-kanak mempunyai makna tersendiri. Bagaimana Hasan Al Banna membagikan uang itu kepada Anda setiap hari?” Saiful Islam menjawab, “Ayah-semoga Allah merahmatinya- sangat pemurah sekali dengan kami. Aku ingat bahwa setiap orang dari kami mendapat uang setiap hari di tahun 1942 dan 1943 sebanyak 3 qirsy. Ini jumlah yang besar saat itu. Karena teman teman sekolahku ketika itu umumnya mendapat uang hanya seperempat qirsy atau separuh qirsy.”
Ketika ditanya tentang apa maksud Al Banna memberikan uang sedemikian besar, Saiful Islam mengatakan, “Beliau hanya ingin memberikan kepuasan kepada kami, karena perasaan seorang anak yang tidak memperoleh sesuatu itu baginya sangat sulit.”
Bagaimana anak-anak Al Banna menggunakan uang sebesar itu? Saiful Islam menerangkan, “Aku biasanya membeli kue dan coklat, juga membeli mainan dan buku. Aku menghabiskan uang pemberian itu setiap hari. Hal ini juga pernah disampaikan ayah dalam majalah Masmarat Al Habiib yang melakukan wawancara dengan ayah. Dan aku masih menyimpan majalah itu. Ayah ditanya: “Apakah anda menabung sebagian dari pendapatan yang anda peroleh?” Ia mengatakan: “Tidak. Aku tidak menabung pendapatan itu karena seluruhnya aku infaqkan”. Ayah juga ditanya: “Berapa engkau berikan uang jajan untuk anak-anak setiap hari?” Ayah menjawab, “Tiga qirsy untuk masing-masing anak.”
Saiful Islam juga ditanya, apakah uang jajan yang banyak itu bisa merusak anak? Karena sekarang banyak orang khawatir memberi uang kepada anak dalam jumlah yang besar agar mereka tidak menyalahgunakan pemberian itu. Saiful Islam menjawab, “Pendidikan dan tarbiyah dihasilkan dari berbagai sarana yang beragam. Seperti masakan yang menggunakan sejumlah adonan dengan bahan yang baik. Itu akan memberi hasil yang bersih. Yang penting bukan pada aspek uang jajan itu besar atau kecil, tapi yang penting adalah pola pendidikan dan pembinaan yang dilakukan di rumah.”
9. Ayah Mengirim “Mata-Mata”
“Orang yang hanya mementingkan diri sendiri tak pantas dilahirkan sebagai manusia.” Seorang pendidik yang berhasil adalah yang bisa mendidik anaknya untuk bisa bangkit bersama-sama dengan ummatnya dengan cara memberikan manfaat kepada orang lain. Hal ini bisa dimulai secara sederhana sejak anak masih berusia kanak-kanak agar dia mau berinfaq di jalan Allah. Agar ia kelak tidak menjadi manusia yang egois yang hanya memikirkan dirinya saja. Karena itulah Imam Hasan Al Banna begitu serius menanamkan nilai ini ke dalam diri anak-anaknya. Mereka dibiasakan berinfaq bukan sekali dua kali, tapi harus menjadi karakter atau bagian dari kondisi jiwanya untuk selalu berinfaq. Dengan demikian, anak akan menjadi sosok pemberi manfaat dan kebaikan kepada orang lain, untuk bangkit dan maju bersama-sama dengan ummatnya. Berkata Saiful Islam tentang hal ini, “Ayah memberi kami sepuluh ma’adin untuk kami infaqkan seluruhnya setiap hari Jum’at setelah shalat jum’at. Ayah tak pernah lupa dengan kebiasaan ini. Demikianlah aku jadi mengerti setelah itu, bahwa ternyata ayah mengirim salah seorang ikhwan untuk memata-matai aku bagaimana aku menginfaqkan seluruh uang pemberiannya itu, sehingga ayah merasa tenang dengan penggunaan uang yang dipercayakan kepada aku.”

10. Nilai Hidup Ini Ada Pada Keimanan

“Bukan dikatakan pemuda orang yang mengatakan “ayahku adalah ini dan itu”. Tapi yang disebut pemuda adalah yang mengatakan “inilah aku”. Pemberian perlindungan, bantuan, perhatian kepada anak-anak akan memberi mereka memahami apa arti hidup yang mulia. Bagaimanapun, cepat atau lambat, orang tua pasti meninggalkan mereka di dunia ini. Dan ketika itu mereka harus sudah dalam kondisi menghadapi kehidupan sendiri. Maka, di antara faktor kesuksesan orang tua, khususnya ayah dalam hal ini adalah melatih anaknya untuk belajar bagaimana memenej kehidupan, bagaimana menciptakan kesuksesan, agar mereka tidak terhempas oleh topan kegagalan dan kesia-siaan setelah kepergian orang tua.
Saiful Islam mengingat perkataan Al Banna yang ia dengar, “Jika engkau melihat seorang mukmin yang benar orientasi hidupnya, pasti ia juga memiliki banyak faktor kesuksesan dalam hidupnya”. Lalu Saiful Islam mengatakan, “Aku ingat ketika waktu kecil, saat aku masih duduk di bangku sekolah dasar, ayah semoga Allah merahmatinya berkata, “Setiap orang harus menekuni dan menguasai satu bidang tertentu. Dahulu, kakek sangat menguasai perbaikan jam. Lalu suatu saat di musim liburan musim panas aku diajak pergi ke sebuah percetakan milik Al Ikhwan Al Muslimun. Ayah lalu memintakan seorang temannya Al Akh Sayyid Thaha untuk memberitahu dan mengajariku proses percetakan. Aku tahu itu dilakukan ayah karena ayah ingin menerapkan sunnah Rasulullah SAW, karena beliau lalu menyebutkan hadist Rasulullah SAW, “Sesungguhnya Allah SWT mencintai seorang mukmin yang kreatif.” Tidak berlebihan jika aku mengatakan, ternyata waktu yang pendek di percetakan itu banyak bermanfaat dalam kehidupanku setelah itu.”
11. Menasihati Tidak Secara Langsung
Orang tua memang dianjurkan untuk tidak segera memberi pemecahan langsung terhadap persoalan yang dihadapi sang anak. Sikap memberi tahu, dan mengajarinya bagaimana cara mempertimbangkan suatu masalah, bagaimana memandang suatu peristiwa, itu menjadi salah satu pola pendidikan sehingga anak terlatih untuk membuat keputusannya sendiri, bukan karena suruhan atau tekanan dari pihak lain. Puteri Al Banna yang bernama Tsana mengisahkan, “Ayah pernah memberi nasihat secara tidak langsung kepadaku.” Aku ingat ketika saudaraku Saiful Islam yang sangat suka membaca cerita komik. Ketika itu ayah tidak mengatakan kepadanya, agar buku itu tidak dibaca. Tapi ayah pergi dan memberinya kisah-kisah kemuliaan Islam seperti kisah Antarah bin Syadad, Shalahuddin Al Ayyubi dan lainnya. Sampai setelah beberapa waktu kemudian meningalkan sendiri buku Arsin Lobin dan lebih banyak membaca buku dari ayah. Ayah suka mengarahkan kami dengan tidak secara langsung agar apa yang kam lakukan itu tumbuh dari diri sendiri, bukan dari perintah ataupun tekanan siapapun.”

12. Menyemai Cinta Dengan Contoh Langsung
Memberikan arahan, dan nasihat, memerintahkan, melarang, tidak menjamin kesuksesan dalam mendidik anak kecil. Bahkan umumnya, langkah seperti itu saja justru memancing mereka untuk menolak dan jiwa mereka sempit untuk melakukan sesuatu yang diinginkan. Cara yang baik dan benar adalah dengan menanamkan nilai dalam jiwa melalui cara praktis. Menuntun tangan sang anak untuk melakukan sesuatu sekaligus menjelaskan caranya, dengan kecintaan dan kehati-hatian, serta latihan untuk menerapkannya.
Berkata Tsana, “Suatu ketika aku ingat bahwa kami mempunyai tetangga yang memakai cat di kukunya. Tentu saja aku tidak akan memintanya agar kuku aku juga dicat. Aku hanya mencari spidol merah dan mewarnai kukuku dengan spidol itu. Aku juga pernah berselisih dengan Saiful Islam tentang siapa yang duduk di sisi kanan meja makan dan siapa yang duduk di sisi kiri. Yang duduk di sisi kanan adalah mereka yang melakukan pekerjaan dengan baik dan benar. Suatu saat yang lain, ayah pernah memintaku duduk di sisi kanan agar tidak berebut tempat duduk. Ketika itu aku lebih kecil dari Saif. Ayah sangat ketat dalam memperhatikan kami. Beliau suatu ketika pernah menanyakan, “Apa ini wahai Tsana?” Aku sampaikan kepada ayah bahwa aku melihat tetangga perempuan di sebelah rumah memakai warna merah di kukunya. Lalu ayah mengatakan, “Apakah engkau tahu bahwa ada seorang shalih mengatakan: ”Janganlah engkau makan bersama orang yang memanjangkan kuku.” Karena orang yang memanjangkan kukunya menyimpan kotoran di balik kukunya. Ayo sekarang potong kukumu dan bersihkan, ayah tunggu sekarang dan kita tidak akan makan dulu.”
Setelah itu aku memotong kuku dan membersihkan warna di kuku. Aku sengaja menghilangkan sebagian dan menyisakan sebagiannya yang lain. Setelah itu aku bilang pada ayah, “Sudah”. Ayah lalu memanggilku, “Sekarang sini makan bersama dan jangan ulangi sekali lagi” Ayah mengajarkan aku secara langsung dan bukan hanya dengan perkataan saja. Harus aku sampaikan bahwa ayah menyampaikan semuanya dengan cinta. Kami mencintainya dan mentaatinya. Karena kami mencintainya, bukan takut kepadanya.”
13. “Aku Mulai Membaca Dari Ayat Ini…”

Di antara kebiasaan Al Banna rahimahullah adalah melandaskan pembinaan melalui metode tidak langsung, metode menyampaikan tanpa meminta. Ini banyak dilakukan, khususnya pada bulan Ramadhan. Jika beliau datang ke rumah dan beristiajat sebentar, beliau bangun beberapa aktu sebelum magrib. “Ayah memanggilku, dan kakak perempuan aku yang paling besar yakni Wafa. Panggilan itu adalah dengan memperdengarkan Al Qur’an yang dibacakannya. Kami memegang mushaf, menyimak bacaan ayah. Ayah mengatakan, “Aku mulai membaca di ayat ini…” Aku sadar ketika besar bahwa apa yang dilakukan ketika itu adalah mengajarkan kami, dari sisi kami tidak tahu dan tidak merasa bagaimana kami membaca Al Qur’an yang benar…”
Ini adalah cara mendidik yang paling indah dirasakan oleh anak-anak. Mereka akan belajar tentang sesuatu, melalui contoh langsung dari orang tua mereka.
14. Berinteraksi Secara Wajar Dengan Lingkungan
Sebagian orang menganggap bahwa ketertutupan dan tidak berbaur membantu pendidikan yang benar untuk memelihara anak dari berbagai musuh akhlaq yang ingin merusak mereka. Tapi sebenarnya ketertutupan ini tidak menghasilkan pribadi yang stabil dan sulit untuk bisa membangun mental sosial di mana seseorang bisa hidup di tengah masyarakat dan bekerja dengan tulus. Ya, memang bisa saja model pendidikan seperti itu menghasilkan seseorang yang shalih. Tapi ia akan shalih secara pribadi saja, tidak shalih secara sosial. Dengan pola pendidikan seperti itu, hampir tidak bisa menghasilkan pribadi yang berhasil secara sosial, dalam arti sukses berinteraksi memberi pengaruh kepada masyarakat. Sementara tentang musuh moral, kewajiban kita adalah memantaunya lebih dahulu dan bila ada kasus baru kita mengajukan solusi yang harus dilakukan, dan mengambil sejumlah langkah-langkah antisipatif yang cukup. Adalah Rasulullah SAW membiarkan Hasan dan Husain radhiallahu anhuma bermain bersama rekan-rekannya. Berkata Tsana yang kini menjadi dosen, “Ayah membiarkan kami ikut wisata sekolah. Ayah juga mengizinkan kami berinteraksi secara wajar dengan tetangga dan lingkungan. Dalam masa itu, tetangga masing-masing saling mengenal. Ayah juga tidak melarang kami bermain dengan teman-teman kami di waktu tertentu, juga untuk hadir dalam berbagai pertemuan di kantor pusat Al Ikhwan. Mereka menyediakan meja untuk kami. Teman-teman kami dan orang yang kami cintai adalah tetangga kami dan anak-anak yang ada di jalanan lingkungan kami.”
15. Keterlibatan Yang Bijaksana
Ayah yang berhasil mendidik anak adalah yang selalu mengevaluasi anaknya dalam setiap ruang. Lingkungan bahkan sekolah, bisa saja merusak apa yang sudah ditanamkan orang tua di rumah. Maka, termasuk kewajiban orang tua adalah tidak membiarkan nilai-nilai yang telah tertanam dalam diri mereka hancur oleh gelombang materialistik atau trend gaya hidup yang tidak sejalan dengan ajaran agama. Orang tua harus campur tangan dalam hal ini untuk memelihara sikap sentimen mereka dan orang tua harus mendidik mereka untuk tetap mementingkan perasaan mereka di semua masalah.
Tsana mengatakan, “Aku ingat sebuah peristiwa yang terjadi antara aku dengan saudaraku Wafa. Ketika ia mulai memakai jilbab di sekolah, seorang guru sekolah yang mengajarkan pelajaran etika keperempuanan menyampaikan bahwa pakaian muslimah menurutnya tidak sejalan dengan peraturan sekolah. Guru sekolah itu memang sebagai bagian dari Aristokrit saat itu. Tapi di sisi lain ia termasuk guru yang paling baik di sekolah. Ketika itulah, Hasan Al Banna segera menghubungi guru tersebut melalui telepon. Al Banna meyakinkan guru dengan kewajiban menutup aurat dan memakai jilbab. Hasilnya positif, karena semula bis sekolah yang hanya mengantar jemput kami tidak sampai ke masing-masing rumah, tapi kemudian telah membawa kami ke sebuah gedung pertemuan yang ada di dekat rumah. Dan setelah guru itu berbicara dengan ayah, sang guru justru meminta kami semua di antar jemput dari depan rumah masing-masing.”
16. Sekretaris Pribadi Ayah
Laki-laki dan perempuan itu memiliki peran yang sama pentingnya dalam membangun kehidupan. Kita harus memelihara keduanya, tanpa pembedaan tanpa pengistimewaan. Bersabda Rasulullah SAW “Persamakanlah anak-anak kalian dalam pemberian. Andai aku boleh memilih pengutamaan, niscaya aku lebih memilih mengutamakan perempuan.” (HR Thabrani dalam Kabiir dari Ibnu Abbas ra)
Tsana puteri Al Banna mengatakan, “Tidak ada perbedaan sikap ayah tehadap anak laki-laki maupun perempuan. Bahan dalam pemberian hukuman tidak ada pembedaan. Tetap ada keseimbangan dan keadilan dalam pendidikannya. Misalnya, sebagai anak perempuan terbesar Wafa ditugaskan seperti layaknya sekretaris yang turut hadir bersama ayah dalam pertemuan-pertemuan informal dengan para akhwat untuk mendiskusikan sejumlah masalah. Ketika ditanya kenapa Wafa yang dipilih untuk menemani ayah sebagai sekretaris, ayah menjawab bahwa yang paling pertama adalah karena Wafa yang paling besar. Dan yang kedua Wafa lebih sering berada di rumah. Berbeda dengan Saiful Islam yang justru jarang berada di rumah sepanjang hari. Wafalah yang paling sering berinteraksi dengan para akhwat yang datang ke rumah.”
Menurut Saiful Islam, “Kakak perempuanku Wafa, adalah sosok yang sangat memperhatikan pengaturan bahan-bahan dan kebutuhan ayah. Ini tentu saja merupakan pola mendidik yang sangat mulia dalam mendidik dan mempersiapkan anak perempuan untuk bisa menjalani hidupnya sebagai perempuan.”
17. Rak-Rak Buku Yang Menjadi Saksi
Ilmu yang berlimpah dan informasi yang beragam, serta pemahaman yang luas adalah faktor kesuksesan individu. Karenanya, Imam Hasan Al Banna sangat memperhatikan pendidikan dari sisi wawasan ilmu anak-anaknya. Itu tercermin dalam hal berikut:
a. Pemberian tempat perpustakaan khusus untuk semua anak, yang berisi buku-buku yang diinginkan mereka.
b. Memberikan uang bulanan untuk membeli buku-buku yang diinginkan sendiri oleh anak-anaknya, sesuai kecenderungan mereka.
“Aku ingat suatu saat ada sebagian buku-buku di perpustakan rumah yang dimasukkan ke kantor majalah Ash Shihab. Kemudian ayah membeli sejumlah buku lainnya untuk diletakkan di rumah. Bagian aku dalam hal ini adalah aku mempunyai perpustakaan sederhana sendiri yang diberikan ayah. Ayah juga memberikan uang tambahan setiap bulannya sebesar 50 qirsy sebagai dana membeli buku agar bisa mengisi perpustakaan aku itu.”
18. Ayah Menemani Kami Saat Bermain
Permainan juga masalah penting dalam membangun karakter anak saat kecil. Dahulu Rasulullah SAW juga biasa bermain dan bercanda denan anak-anak kecil. Di sanalah Rasulullah SAW memberikan rentang waktu untuk mengistirahatkan jiwa. Anak yang dapat kesempatan bermain dan bercanda dengan orang tuanya akan hidup dalam suasana menggembirakan, jauh dari sikap kasar dan bisa tumbuh besar menjadi sikap yang baik. Sedangkan sikap menjaga jarak dengan anak dalam permainan, justru mendorong anak untuk mengikuti syetan jin dan manusia, yang selalu mengganggu di tempat manapun, sehingga pemikirannya akan sia-sia, waktunya terbuang, lalu terjdi penyimpangan dari jalan yang lurus.
Tsana Hasan Al Banna mengatakan, “Ayah membawakan kami sandal untuk bermain dan sepatu untuk pergi ke sekolah.” Selain itu, menurut Tsana, saat liburan sekolah musim panas, “Ayah selalu mengajak kami berjalan ke distrik Ash Sha’id. Jika ayah mengajak kami, kami tidak lepas dalam pantauannya. Ayah juga mengajak kami ke rumah nenek dan paman di Ismailiyah agar kami bisa melewati liburan di rumah mereka. Kami menikmati kebun-kebun hijau dan taman-taman yang indah. Saudaraku, Saiful Islam, bermain olah raga naik kuda.”
Dalam hal lain, Tsana mengatakan, “Kami melewati hari yang sangat bahagia dalam masa kanak-kanak kami di tempat yang indah ini, ada perkebunan yang bagus, ada terusan Suez, ada kapal nelayan. Setelah usai tahun ajaran, kami langsung berangkat ke Ismailiyah. Ayah tinggal bersama kami beberapa hari kemudian mulai perjalanan musim panasnya ke berbagai tempat yang jauh dari Mesir. Ayah mengunjungi setiap kampung dan desa. Adalah liburan musim panas ketika itu sekitar empat bulan. Setelah itu ayah kembali lagi ke Ismailiyah menuntaskan liburan bersama kami, sampai tiba waktunya kami kembali pulang ke Kairo saat menjelang tahun ajaran baru.”
19. Rasul SAW Bersadba: “Yang Menyakiti Fatimah Berarti Menyakitiku”
Definisi yatim itu ada dua: Yatim karena kehilangan sosok ayah secara fisik dan yatim karena kehilangan sosok ayah secara makna. Definisi yatim yang kedua ini dirasakan saat seorang ayah tetap ada di antara anak-anaknya, namun mereka tidak mendapatkan pendidikan darinya dan tidak memperoleh hak pengarahan serta kasih sayang yang semestinya dilakukan oleh seorang ayah.
Hasan Al Banna selalu berupaya menyemangati hati anak, menenangkannya, mencerahkan pikirannya, menyisipkan kebahagiaan dalam hati mereka. Itulah sebagian dari kewajiban seorang murabbi yang sukses. Masa kanak-kanak adalah masa yang tidak terbebani, tidak boleh hak ini dipecahkan dari jiwanya, dan tidak boleh ada kesedihan yang mendominasi hatinya. Ayah yang sukses adalah yang selalu menghapus air mata anaknya dan mengusir kesedihan dalam hati anaknya. Rasulullah SAW bersabda, “Fathimah adalah separuh dari diriku. Siapa yang menyakiti hatinya berarti ia telah menyakiti aku.” Karena itulah, Imam Al Banna rahimahullah sangat memelihara jangan sampai ada salah seorang anaknya yang mengalami kesedihan dan jiwanya sakit. Itulah sentimen seorang ayah yang begitu dalam. Dan inilah yang tertanam baik dalam jiwa anak-anaknya, sehingga meledakkan kecintaan dan komitmen yang kuat dengan ayahnya lalu mendorong sikap untuk benar-benar mengikuti jalan yang ditempuh ayah mereka. Berbeda dengan orang tua yang justru memunculkan kesedihan dan rasa sakit di dalam jiwa anak-anaknya, efeknya adalah perasaan keras dan kesenjangan yang sangat jauh antara mereka.
Tsana mengatakan, “Ayah sangat peduli dan tidak mau melihat perasaan kami terluka. Dalam sebuah perjalanan yang direncanakan oleh kakek untuk berkunjung ke kota kami dan menghadiri resepsi pernikahan. Sementara ayah sudah menetapkan agar kami menemani nenek. Aku, Saif dan Wafa mendengar informasi saat perjalanan bahwa nenek sudah menyiapkan gerobak penuh hadiah sampai penuh. Lalu nenek memutuskan hanya ditemani Saif dan Wafa saja, tanpa kesertaan aku. Ketika itu ayah mengajakku dan menggendongku lalu mengatakan kepadaku, “Tak apa ya Tsana…..” Ayah lalu memberiku uang sebanyak 25 qirsy yang waktu itu sangat banyak nilainya. Tapi meskipun demikian aku tetap sedih. Sedangkan di tanganku ada tas berisi pakaian yang kemudian dibawakan oleh ayah.

20. Ayah Membiarkanku Menghabiskan Buku Komik
Menyikapi kesalahan yang dilakukan anak, merupakan seni yang harus dimiliki orang tua. Seni itu harus dipelajari dan ditekuni agar kesalahan yang terjadi bisa berubah menjadi kondisi positif yang memberi manfaat bagi keluarga, bukan menjadi kekuatan negatif yang menghancurkannya.
Ada sejumlah kesalahan yang terjadi di rumah, bila salah disikapi, akan memunculkan kesalahan lebih besar dari sebelumnya. Ini bisa terjadi ketika orang tua terlalu membesarkan sebuah kesalahan yang justru tidak perlu. Orang tua merespon kesalahan kecil dengan sangat keras dan kasar, lalu membentuk rasa tertekan dalam jiwa dan pikiran anak.
Dialog dengan suasana tenang, ungkapan yang dalam, mampu mengembangkan akal anak dan memperluas pengetahuannya, adalah salah satu seni berinteraksi dengan kesalahan anak. Dengan cara ini, anak disentuh melalui pembicaraan dan diskusi yang baik dari seorang ayah, akan terdorong untuk menyikapi berbagai peristiwa yang dilewatinya dari hari ke hari dengan cara yang baik. Maka, melatih anak untuk berdiskusi dan berdialog merupakan salah satu cara orang tua yang patut diperhatikan. Dahulu Rasulullah SAW berdialog dengan tenang kepada seorang pemuda yang meminta izin untuk berzina. Setelah diajak berdialog, pemuda itu menjadi orang yang paling membenci zina.
Salah satu kebiasaan Hasan Al Banna adalah melakukan dialog dengan tenang untuk memperbaiki kekeliruan yang dilakukan anak-anaknya. Saiful Islam mengatakan, “Setelah beberapa tahun, aku baru tahu bahwa ayah sangat memperhatikan perilaku aku dengan sangat detail. Tapi, pantauan itu tidak aku ketahui kecuali ketika aku sudah besar. Ketika aku memperhatikan sikap sikap ayah, aku baru tahu kalau ayah sangat memperhatikan perilaku aku. Misalnya saja, aku ingat waktu kecil pernah membeli sejumlah buku cerita James. Di dalam buku itu ada sejumlah cerita percintaan. Suatu ketika, ayah pulang larut malam dan melihatku masih belum tidur tengah serius membaca buku komik. Tapi ketika itu, ayah meninggalkan aku begitu saja. Keesokan harinya, ketika aku selesai membaca seluruh buku itu, ayah mengajakku berbicara dan mengatakan, “Aku akan memberimu sesuatu yang lebih bagus dari itu.” Ayah memberiku beberapa buku antara lain buku cerita tentang pemimpin seperti kisah Antarah bin Syadad, Saif bin Dzi Yasin, dan sejumlah kisah tokoh Islam lainnya. Setelah itu ayah juga memberiku buku sirah Umar bin Abdul Aziz radhiallahu anhu, juga beberapa buku lain yang bermanfaat. Aku merasa saat ini, bahwa ternyata ayah sangat memperhatikan perilaku aku, memperhatikan apa yang aku baca, dan merencanakan perbaikan kepada aku dengan sangat intens, meski kesibukannya dengan masalah dakwah begitu banyak.
21. Saif, Bagaimana Bila Ayah Yang Memuliakan Tamumu?
“Tak ada anak tanpa masalah”. Masa kanak-kanak adalah masa tumbuh kembang, yang perlu pemberitahuan, perlu pemahaman, perlu penjelasan, perlu pelatihan, perlu pengaturan dari berbagai situasi yang rancu. Perlu dicarikan solusi berbagai masalah dengan cara yang benar, dan sesuai dengan tingkat pemikiran anak yang belum sempurna perkembangannya. Jika akal seorang anak belum bisa memahami perilaku yang benar dan belum bisa bijak menilai sesuatu, bagaimana kita akan menghukumnya dan membebaninya dengan sesuatu yang belum bisa dilakukannya? Ayah yang berhasil adalah ayah yang menyadari hal itu. Menjauhi sistem hukuman karena ia mengerti anak-anak secara benar.
Karenanya, interaksi dengan anak pun harus dengan pola yang sesuai dengan tingkat kematangan anak. Kepiawaian seorang ayah akan terihat saat ia mengajarkan anak, mengatur urusannya sampai ia besar dan matang. Sehingga besar, seorang anak baru bisa memiliki kemampuan mengendalikan perilakunya secara benar. Saiful Islam pernah ditanya tentang problem yang ia alami saat masih kanak-kanak, dan bagaimana sikap ayahnya, Al Banna ketika itu. Saiful Islam bercerita, “Suatu ketika datang sekelompok Ikhwan untuk berziarah kepada ayah. Aku menerima mereka di pintu rumah dan segera bertanya, “Apakah kalian datang untuk berkunjung kepadaku, atau untuk ayahku?” mereka menjawab bahwa kedatangan mereka adalah untuk mengunjungi ayah. Lalu aku katakan kepada mereka, “Baik kalau begitu biarkanlah ayah saja yang membukakan pintu untuk kalian. Aku lalu menutup pintu di hadapan mereka dan meninggalkan mereka begitu saja.”
Setelah mereka menceritakan peristiwa itu pada ayah, ayah lalu datang kepadaku dan bertanya apa yang terjadi. Aku menceritakan pada ayah apa adanya. Tapi ayah tidak marah dan tidak menghukum aku. Ayah malah menyodorkan kepadaku kesepakatan yang mengejutkan. Katanya, “Saif, bagaimana bila Ayah yang memuliakan tamumu? Ayah yang menerima mereka dan ayah persilakan mereka masuk kemudian memperlakukan mereka sebagaimana tamu. Lalu, ketika ada tamu datang ingin berkunjung kepadaku, engkau yang menerima mereka dan mempersilakan mereka masuk kemudian memperlakukan mereka sebagaimana tamu..” Setelah itu, tercapailah kesepakatan antara kami untuk saling memperlakukan tamu dengan baik. Dan kesepakatan ini benar-benar terlaksana dengan komitmen di antara kami.” Saat ditanya tentang usianya saat itu, Saiful Islam menjawab, “Ketika itu aku berusia 10 atau 11 tahun”

22. Aku Tidak Naik Kelas Karena Kesalahanku Sendiri
Tsana bercerita, “Aku ingat ketika aku masih duduk di sekolah khusus, sementara dan ayah sebenarnya menginginkan aku masuk ke madrasah Amiri milik pemerintah. Aku sekolah di tempat yang bernama Mashr Al Haditsah, sebuah sekolah modern pertama di Mesir ketika itu di mana kepala sekolahnya sangat menghormati ayah. Sekolah itulah yang membuka kesempatan untuk menyiarkan acara Hadist Ats Tsulatsa (program ceramah di hari Selasa) untuk para akhwat agar mereka bisa mendengarkan pelajaran dari ayah melalui sekolah.”
“Aku bertanya pada ayah, apakah beliau setuju bila anak perempuannya ingin sekolah di sana? Ayah mengatakan “ya” padahal aku sebelumnya duduk di kelas dua. Materi pelajaran di sekolah itu berat sehingga aku tidak mampu mengikuti pelajaran, dan akhirnya ayah memindahkanku lagi ke sekolah tempat kakakku Wafa. Aku duduk di kelas dua, dan karena kondisinya sulit ternyata aku tidak naik kelas. Ketika itu aku malu dan mengatakan bahwa aku takkan pergi ke sekolah lagi.”
“Sampai ketika musim tahun ajaran baru dimulai, ayah berkata kepadaku: ”Ya Tsana..ayo berangkat sekolah..” Aku tetap tidak mau berangkat. Lalu ia mengatakan lagi: “Baik, engkau sungguh sangat bagus sekali memasak. Mungkin engkau bisa duduk, belajar dan membantu ibu di dapur.” Aku malah menangis mendengar kata-kata ayah. Kemudian ayah mengatakan, “Engkau bantu ibu saja di rumah ya…” Tentu saja aku sangat takut dan justru ingin pergi ke sekolah.”
“Ayah bertanya kepadaku, “Apakah aku akan mau bersungguh-sungguh belajar dan menguasai pelajaran?” Aku katakan, “ya, insyallah.” Seperti itulah ayah, beliau selalu tidak memaksa untuk melakukan sesuatu, tapi mengarahkan kami dengan cara yang tepat. Mungkin saja kami sangat segan dengan ayah melalui sikap itu, tapi kami tidak takut kepadanya.”
23. Ayah Memberi Kami Hukuman
Tradisi lemah lembut (ar rifq) dalam mengelola keluarga mempunyai banyak manfaat. Misalnya, seorang ayah menjadi lebih mudah mengatur mencapai keinginannya pada keluarga dengan kelemah lembutan, dan itu tentu membuat hati lebih lapang dan senang. Lemah lembut juga akan menambah ikatan batin antara anggota keluarga dan memperkuat pertalian keluarga. Manfaat lainnya, anak-anak menjadi tidak takut untuk berterus terang mengakui kesalahan kepada orang tua karena mereka tahu bahwa respon orang tua kepada mereka pasti tidak berupa kekerasan, melainkan kelemah lembutan.
Maka, pemberian hukumanpun mempunyai rumus sendiri dalam penerapannya. Antara lain sebuah hukuman adalah untuk mengenalkan dan menyadarkan seseorang atas kesalahan yang dilakukannya, dengan menjadikannya jera untuk mengulanginya. Tsana mengatakan, “Ayah-semoga Allah merahmatinya- meyakini bahwa metode pemberian hadiah dan hukuman itu juga perlu dijalankan. Misalnya saja, ayah biasanya memberi kami makanan dan kue-kue di saat Maulid Nabi. Makanan dan kue-kue itu juga diberikan kepada siapa saja yang bersama kami untuk mendengarkan pembacaan ayat-ayat Al Qur’an atau Hadist Nabi SAW, atau juga dalam acara untuk syi’ar jama’ah.
Saiful Islam mengatakan, “Hukuman yang paling berat yang diberikan ayah kepada salah seorang di antara kami adalah jeweran di telinga. Suatu ketika, telingaku dijewer, dan ini merupakan bentuk hukuman yang paling berat yang aku rasakan. Masalahnya, suatu pagi ada kesalahan yang kulakukan. Tapi ketika siang harinya sekitar jam 11, ayah meneleponku untuk menenangkan aku dan memperbaiki hubungan kami. Peristiwa itu sangat berpengaruh pada jiwaku.”
Tsana mengatakan, “Jarang sekali ayah menghukum kami. Kecuali bila ada sesuatu yang memang dianggap kesalahan berat atau terkait dengan pelanggaran perintahnya yang sebelumnya sudah diingatkan kepada kami. Jika kami bersalah dalam masalah ini, tentu saja kami mendapatkan hukuman, sebagaimana metode punishment and reward dalam pendidikan. Tapi itu jarang terjadi. Aku dua kali mendapat hukuman dari ayah. Kali pertama ketika aku keluar tanpa memakai sandal, dan kedua ketika aku memukul pembantu di rumah. Aku ingat ketika itu aku dihukum karena pelanggaranku sendiri. Di rumah kami yang lama, ada beberapa pemisah ruangan. Ayah ingin menggunakan kamar yang di bawah, dengan alasan agar anak-anak tidak lelah karena tidak harus melalui tangga. Selain itu, juga agar tetangga tidak usah lelah kalau ingin berkunjung. Suatu ketika aku duduk di atas tangga itu dan melihat ayah datang dari kejauhan. Aku segera bangun dan menghampirinya tanpa menggunakan sandal. Padahal ayah sudah menyiapkan sandal untuk bermain dan sepatu untuk ke sekolah. Aku pergi begitu saja, lupa memakai sandal. Ketika itu ayah hanya melihatku sebentar saja, hanya sepintas. Dan saat itu pula aku sadar bahwa aku pasti akan mendapatkan hukuman. Aku segera kembali ke rumah.
“Setelah para ikhwan pamit pulang, ayah masuk ke ruang makan dan memanggilku. Aku datang dengan langkah lambat karena takut. Ayah berkata, “Duduklah di atas kursi, dan angkat dua kakimu.” Ayah lalu memukul kakiku dengan penggaris pendek. Masing-masing kaki dipukul sepuluh kali. Tapi terus terang aku sebenarnya ingin tertawa, karena pukulannya pelan sekali sampai aku tidak merasakannya. Ayah hanya ingin membuat aku mengerti bahwa aku telah melakukan kesalahan.”
24. Kehangatan Pelukannya Masih Kurasakan Sampai Sekarang

Sebuah pelukan bisa menghantarkan energi kuat dalam diri seseorang. Bagi seorang anak, pelukan orang tua merupakan sumber kehangatan yang bisa menggugah perasaannya yang paling dalam. Kehangatan itu yang bisa memunculkan ketenangan, kepercayaan, juga hubungan batin yang kuat antara seorang anak dengan orang tuanya. Perhatikanlah bagaimana kisah Saiful Islam tentang pelukan Hasan Al Banna berikut ini, ketika ia berdialog dengannya saat makan siang. “Aku banyak berintaraksi dengan ayah sepanjang dua tahun. Ketika aku duduk di bangku SMU, di mana pelajar yang mulai duduk di bangku SMU berarti sudah memasuki usia politis, karena ia dibolehkan untuk terlibat dalam organisasi, atau partai. Ia juga dibolehkan memiliki kartu tanda penduduk dengan keterangan tertulis bahwa ia adalah seorang pelajar. Ia juga dibolehkan ikut dalam aksi demonstrasi. Aku sendiri bergabung di divisi pelajar pada fase ini. Aku ingat ketika divisi pelajar dipimpin oleh Ustadz Farid Abdul Khalik. Teman-temanku di divisi tersebut adalah kumpulan murid sekolah yang juga berasal dari sekolahku. Letak kantornya berdekatan dengan kantor pusat Al Ikhwan Al Muslimun. Karena itulah, secara otomatis aku terlibat dengan para ikhwan di sekolah melalui berbagai kegiatan divisi pelajar. Di sekolah, dilakukan sejumlah diskusi yang dominannya tentang masalah negara, nasionalisme, masalah sungai Nil, pendudukan Inggris di Mesir dan Sudan, juga masalah penyatuan antara Mesir dan Sudan.”
“Ketika kembali ke rumah aku makan siang bersama ayah, dan aku bertanya kepadanya tentang diskusi yang terjadi di sekolah. Aku ingat, ketika itu aku bertanya dengan pertanyaan secara eksplisit: “Apakah yang akan kita lakukan menghadapi Inggris bila mereka tidak juga mau meninggalkan Mesir?” Ayah menjawab, “Kami akan mengirimkanmu bersama pasukan untuk mengusir mereka dengan kekuatan.” Ketika itu, ayah memelukku hangat sekali, hingga sampai sekarang aku masih merasakan dekapannya…”
“Aku sangat mengerti dengan apa yang terjadi pada waktu itu, termasuk masalah politik, dari masalah realitas kematangan politik yang aku alami saat aku duduk di bangku SMU. Aku memahami semua kelompok dan partai yang ada di Mesir ketika itu, terutama partai Al Ikhwan dan Al Wafd. Para pelajar SMU ketika itu juga memiliki interaksi yang kuat dengan berbagai peristiwa di Mesir dan dunia Islam, termasuk aktif dalam aksi aksi demonstrasi.
25. Menyadarkan Anak Perempuan Dengan Keperempuanannya
Perempuan adalah saudara kandung laki-laki. Kaum perempuan mempunyaii peran agung dalam bangunan umat yang besar ini. Jika ada ungkapan, “Ada perempuan di balik semua yang luar biasa,” itu tidak berlebihan. Sebab kaum perempuan memang kerap memainkan peran penting dan dialah yang mempersiapkan laki-laki pejuang yang bisa membangkitkan umatnya. Karena itulah Imam Hasan Al Banna sangat memperhatikan kaum perempuan. Beliau sangat memelihara pendidikan anak perempuan agar mereka bisa menjalankan perannya untuk kebangkitan kaum perempuan. Dan hal itupun benar-benar terjadi, karena anak perempuannya terbesar, Wafa, adalah dosen lulusan Fakultas Pendidikan Kewanitaan. Anak perempuannya yang lain, Tsana, kini bertugas sebagai dosen lmu tata boga di Universitas Kerajaan Arab Saudi.
Tsana mengatakan:”Ayah-semoga Allah merahmatinya- sangat yakin dengan pentingnya mengajarkan kaum perempuan. Tapi pengajaran untuk kaum perempuan harus sesuai dengan keperempuanannya. Karena itulah aku mengambil pendalaman urusan perempuan “
26. Ayah dan Ibu Kami, Pasangan Romantis dan Harmonis
Hubungan yang harmonis dan baik antara ayah dan ibu mempunyai pengaruh dahsyat dalam perilaku anak. Ayah dan ibu adalah figur hidup dan pengalaman nyata bagi seorang anak, yang akan tertanam kuat dalam pikiran dan jiwanya. Seorang anak yang akan menimba nilai-nilai hubungan yang baik itu akan memberi manfaat besar kala ia dewasa dan menikah.
Tsana, puteri Hasan Al Banna menceritakan, “Pernah suatu hari ayah pulang agak malam dan ibuku sedang tidur. Ketika itulah saya bisa melihat penerapan firman Allah SWT, “Dan (Dia) menjadikan di antara kalian rasa kasih dan sayang”. Ketika itu ayah tidak membangunkan ibu sama sekali, sampai ayah menyiapkan sendiri makanannya dan seluruh keperluannya untuk menjamu makan malam para Ikhwan yang datang. Ayah kulihat masuk ke dapur dan mempersiapkan makan malam sendiri. Ayah tahu letak semua bumbu dan perabotan di dapur lalu secara bertahap, ayah menyiapkan makanan, kue dan minuman untuk para Ikhwan. Ayah juga menyediakan roti dan menyusun meja makan sampai kemudian mereka bersantap malam bersama.”
Saiful Islam juga menceritakan hal serupa. Katanya, “Jika pulang larut malam, ayah tidak pernah mengganggu seorangpun. Padahal kunci rumah kami cukup panjang sehingga jika dibuka, apalagi dengan serampangan, pasti akan menimbulkan bunyi. Suatu malam aku belajar hingga larut. Betapa terkejutnya aku ketika mendapati ayah sudah berada di dalam rumah, padahal aku tidak mendengar suara pintu terbuka. Ternyata ayah membuka pintu dengan sangat hati-hati dan sepelan mungkin. Ayah mempunyai perasaan yang sangat halus, bahkan mungkin bisa dikatakan sangat lembut.”
27. Tanamkan Solidaritas Dengan Kondisi Dunia Islam
Pemikiran dakwah yang digeluti Al Banna, boleh jadi memenuhi benak pikiran dan hatinya. Tapi Tsana justru menyatakan, “Aku tak pernah melihat ayah dalam kondisi marah di rumah”. Menurutnya yang dibanagun oleh Hasan Al Banna adalah suasana tafahum, saling mengerti. Tapi bagaimanapun Hasan Al Banna tetap menanamkan solidaritas yang tinggi kepada kaum Muslimin, utamanya mereka yang ada di Palestina. Ada sebuah peristiwa yang paling membuat raut muka Hasan Al Banna berubah karena memendam kesedihan sekaligus kemarahan. Peristiwa itu terjadi di tahun 1948, saat pasukan Al Ikhwan terlibat dalam perang Palestina.
“Ketika itu aku takkan lupa selamanya bagaimana pandangan mata ayah, Ibu bersama tante dan nenekku berada di sebuah ruangan di rumah, bersama membuat kue-kue untuk menyambut hari raya. Ayah memandang ibu dan berkata, “Ya Ummu Wafa, apakah engkau akan tetap membuat roti, sedangkan ada dua belas orang dari kader-kader Al Ikhwan yang gugur di Palestina…” Setelah itu, ayah meminta salah seorang pembantunya untuk membereskan semua peralatan membuat roti kue termasuk bahan bakunya. Ibuku tidak meneruskan membuat roti dan sejak hari itu, ibu memang tidak pernah membuat roti lagi di rumah. Ibu setidaknya pernah membuat biskuit, tapi tidak pernah membuat roti, bahkan sampai setelah ayah meninggal”
28. Setelah Aku Mengambil Kertas-Kertas Ayah Tanpa Izinnya
Banyak anak yang melakukan kesalahan, sebenarnya tidak begitu memahami bobot kesalahan yang dilakukannya. Bahkan mungkin saja mereka juga tidak tahu bila apa yang dilakukannya itu salah. Karena itu cacian dan kekerasan bukan cara yang tepat untuk mengatasinya. Sikap yang baik dalam hal ini adalah memberi keterangan kepada anak bagaimana sikap yang benar, menghilangkan ketidaktahuan dari diri anak dan menjelaskan kebenaran dalam pikirannya. Inilah yang dilakukan Rasulullah SAW terhadap Mu’awiyah bin Al Hakam.
Dalam hadist riwayat Muslim, disebutkan Mu’awiyah bin Al Hakam suatu ketika shalat di dekat Rasulullah SAW. Saat itu ada seorang yang bangkis lalu Mu’awiyah mengatakan, “Yarhamukallah”. Ucapan itu tidak dibenarkan ketika seseorang sedang shalat, sehingga sejumlah sahabat memandang Mu’awiyah dengan pandangan sinis. Mu’awiyah terkejut dan heran.
Berbeda dengan sikap Rasulullah SAW, “Sungguh aku tak pernah mendapatkan seorang pengajar selain Rasulullah SAW yang lebih baik memberi pengajaran. Beliau tidak mencaciku, tidak memukulku dan tidak menghinaku, tapi mengatakan, “Sesungguhnya shalat ini tidak boleh dikatakan di dalamnya perkataan manusia, kecuali tasbih, takbir dan bacaan Al Qur’an…..” Mu’awiyah tidak tahu bahwa ketika shalat tidak boleh dibolehkan berbicara kecuali bacaan shalat. Dan Rasulullah SAW memberikan keterangan kepadanya tentang hal itu dengan sangat baik. Apa yang dilakukan Rasulullah SAW sangat mengesankan Mu’awiyah.
Ketika terjadi kesalahan di dalam rumah, ada banyak ragam cara untuk bisa menjelaskan kesalahan itu kepada yang melakukan kesalahan. Yang paling utama adalah menjelaskan bahwa itu salah, dan memberikan solusinya.
Tetap memelihara sikap perasaan seseorang, meskipun ia melakukan kesalahan, diiringi dengan anjuran yang lembut, memberi pendidikan yang baik dan meninggalkan kesan untuk merubah kesalahan yang dilakukan. Inilah yang dirasakan Saiful Islam tatkala ia gegabah mengambil begitu saja kertas-kertas yang ada di ruang kerja ayahnya, Hasan Al Banna.
Saiful Islam mengatakan, “Aku ingat, pernah suatu hari saya mengambil sejumlah kertas dari ruang kerjanya tanpa seizinnya. Ketika ayah mengetahui ada sejumlah kertasnya yang berkurang, ayah tidak memarahiku dan tidak melontarkan kata-kata kasar kepadaku. Tapi ayah duduk di hadapanku, ia lalu membereskan kertas-kertasnya sampai aku mengerti sendiri secara tidak langsung apa yang telah kukerjakan. Setelah itu, ayah memberiku sejumlah kertas dan mengatakan, “Kertas-kertas ini khusus untukmu…Jika kamu ingin kertas yang lain, sampaikan padaku dan aku akan memberikan kertas yang kamu inginkan.”

29. Ayah, Temanku Belajar dan Berdiskusi
Mengajarkan anak, memerlukan rencana yang baik dan pandangan yang benar ditambah berbagai metode pendekatan yang tepat. Peran ayah dalam hal ini ternyata sangat penting. Seorang ayah harus berusaha mengembangkan kemampuannya untuk bisa meningkatkan pemahaman anak-anaknya. Tsana mengatakan, “Ayah-semoga Allah merahmatinya- selalu mendorong kami untuk mendalami ilmu yang ingin kami kuasai di masa mendatang. Ayah ingin menjadikan kami sebagai anak yang paling baik dalam belajar. Ada dua model pendidikan ketika itu. Pertama, metode pendidikan materi wajib yang dikuasai para guru untuk bisa masuk dalam sekolah pendidikan guru. Kedua, metode pengajaran umum yang diterapkan oleh sekolah pemerintah dan dijadikan standart penguasaan bagi calon mahasiswa atau lembaga pendidikan tertentu. Ini yang menjadikanku mendalami spesialisasi ilmu tertentu untuk melanjutkan belajar ke lembaga tinggi ilmu ekonomi rumah tangga. Sekarang jurusan itu bernama Jurusan Kerumahtanggaan.”
Saiful Islam mengatakan, “Perhatian ayah terhadap masalah pendidikan sangat detail. Misalnya saja;
1. Ayah mempunyai hubungan komunikasi yang baik dengan guru sekolah dan kerap menanyakan kondisiku di sekolah dengan para guru.
2. Ayah juga biasanya mengarahkan para guru di sekolah untuk menguatkan kami dalam beberapa sisi pelajaran yang dianggap kurang. Aku ingat bahwa guru Bahasa Arabku dahulu bernama Ustadz Ali. Ia pernah memberi tugas kepada murid-murid untuk membeli buku tulis dan menuliskan syair-syair pilihannya. Ia juga mengatakan mau membantu kami dalam menyelesaikan tugas itu. “Barangsiapa yang menulis lebih banyak, maka ia akan mendapat hadiah.” Karena itu kami berusaha keras untuk memeperoleh hadiah itu . Aku terkejut di akhir tahun pelajaran, ternyata ayahlah yang mengarahkan guru Bahasa Arab untuk memperkuat sisi pelajaran yang dianggap kurang padaku. Ayah melakukan metode peningkatan kemampuan Bahasa Arabku dengan memberi saran kepada guru Bahasa Arab.
3. Jika pulang malam, ayah bertanya jawab tentang pelajaran di sekolah denganku. Aku ingat, ayah sangat pandai di pelajaran matematika. Ayah yang membantuku menguasai pelajaran matematika dan menyelesaikan soal-soal yang semula tidak mampu aku kerjakan.
4. Ayah juga meminta salah seorang Al Ikhwan untuk memantau sikap dan kondisiku di sekolah.
5. Ayah terkadang meminta seorang Ikhwan untuk menerangkan sejumlah pelajaran di hadapanku.
30. Jangan Menganggap Ayahmu Bermanfaat Di Akhirat Kelak

Tidak semua masalah yang dihadapi anak perlu campur tangan orang tua. Jika hanya masalah biasa yang bisa dipecahkan oleh anak-anak, orang tua sebaiknya tidak turut campur. Karena tujuan pendidikan salah satunya adalah mendidik anak agar mandiri dan mampu menghadapi kehidupan dengan segala realitasnya. Keikutsertaan orang tua hanya bersifat sementara dan dalam rangka membimbing mereka untuk belajar lebih banyak tentang kehidupan.
Saiful Islam pernah ditanya, apakah Imam Hasan Al Banna pernah suka mengistimewakan dirinya di hadapan guru karena selalu melatih dan mendidik kami untuk merdeka dan bersandar pada diri kami sendiri, bukan pada orang lain sehingga kami memiliki pribadi yang kuat. Ayah mendorongku untuk menerima teman-teman di rumah, makan bersama dan memintaku untuk bisa menyambut tamu dengan baik. Ayah tidak pernah turut campur dalam hubunganku dengan guruku. Tak ada pengistimewan dalam hal ini. Aku sama saja seperti anak-anak lain, dan cara pandang inilah yang selalu ditanamkan ayah. Salah satu pelajaran dalam aqidah yang saya terima adalah, “Hati-hatilah, jangan sampai engkau menganggap ayahmu bermanfaat untukmu di akhirat kelak.” Ini adalah nasihat yang sangat berharga dari seorang ayah kepada anaknya.”

31. Dia Telah Menunaikan Hak- Hak Keluarga Dengan Sangat Baik
Musibah kematian, adalah bagian dari ketetapan Allah SWT yang sangat mungkin menimpa sebuah keluarga. Kehilangan salah satu anggota keluarga, adalah peristiwa yang begitu memukul jiwa orang tua. Dahulu, saat Rasulullah SAW ditinggal oleh anaknya, Ibrahim, beliau menitikkan air mata.
Bagaimana kisah tentang wafatnya anak Hasan Al Banna, Muhammad Hisamuddin dan Shafa. Saiful Islam bercerita, “Saudaraku Muhammad Hisamuddin menderita sakit tipus di saat belum ditemukan obat untuk mengatasi virus yang menyerangnya. Ayah sangat memperhatikan kesehatan anak-anaknya. Setiap orang dari kami mempunyai arsip kesehatan khusus. Tentang wafatnya anak Al Banna, Ibuku mengatakan, dirinya bertemu dengan orang berjubah putih dan bersorban hijau. Orang itu mengatakan bahwa ia akan membawa Hisamuddin lima belas hari kemudian, Ibu mengatakan dirinya tidak sedang bermimpi saat bertemu dengan orang tersebut. Tepat lima belas hari seelah itu, Hisamuddin meninggal dan bertemu dengan Pencipta-Nya. Ketika saudaraku meninggal, ayah sendiri yang menguburkan jenazahnya ke dalam liang kubur. Ia sama sekali tidak membiarkan penguburan anaknya seperti yang diceritakan sebagian orang.
Sedangkan ketika Shafa meninggal, ia masih sangat kecil. Usianya saat meninggal kurang lebih satu tahun. Ibuku mengatakan lagi kepada ayah, bahwa ia kembali bertemu kepada orang yang menemuinya sebelum Hisamuddin meninggal. Orang itu mengatakan, bahwa ia akan mengambil Shafa empat hari lagi,” ujar ibu kepada ayah. Ayah kemudian sujud syukur dan mengatakan, “Kita dikunjungi oleh malaikat yang mulia.” Tak lama setelah itu ayah memangil Ustadz Sa’duddin dan memintanya untuk mengambil foto dirinya bersama Shafa. Empat hari berikutnya, Shafa meninggal dunia. Ayah sendiri yang menguburkan Shafa ke tempat peristirahatannya yang terakhir.
Yang penting dari perkataan Saiful Islam tentang ayahnya terkait dua saudaranya yang meninggal adalah, “Ayah telah menunaikan hak keluarga dengan sangat baik, tidak meremehkan salah satu pun dari anggota keluarga. Sehingga ketika ia dalam perjalanan, saat bekerja, saat ia berdakwah tidak ada di rumah, ayah telah menyiapkan dan mengatur semua urusan keluarganya denan baik.”
PETIKAN WAWANCARA SAIFUL ISLAM AL BANA
“Ayahku, pemimpin yang disiapkan Allah”
Ahmad Saiful Islam Al Banna, merupakan orang yang paling tepat untuk berbicara tentang Imam Hasan Al Banna. Ada banyak alasan tentang hal ini. Pertama, ia adalah anak kandungnya, dan secara langsung merasakan sentuhan pendidikan Al Banna selama 14 tahun di rumah. Kedua, Saiful Islam adalah kader dakwah Al Ikhwan yang hingga kini masih aktif bergerak bersama organisasi dakwah yang didirikan ayahnya. Ketiga, peran-peran dakwah Saiful Islam yang terasa manfaatnya dalam rangka membangun umat Islam khususnya di Mesir, karena ia pernah menjadi angota legislatif Mesir. Ia pernah juga dipenjara selama dua puluh lima tahun oleh penguasa Mesir Jamal Abdul Nasir. Ada pepatah Arab yang menyebutkan “Anak seekor singa adalah singa juga”. Ahmad Saiful Islam memiliki segala sifat ayahnya. Berikut petikan wawancara yang dilansir oleh ikhwanonline.com
Bagaimana kisah tentang hal masa kecil Al Banna yang Anda tahu dari cerita-cerita kakek Al Banna kepada Anda?
Di antara cerita yang disampaikan kakek ketika ayah masih kecil. Ayah suatu hari jum’at pernah diduga hilang. Keluarga mencari ayah tapi upaya itu tak berhasil. Ayahku Hasan Al Banna tetap tak bisa ditemukan. Akhirnya, ada salah seorang keluarga yang menyarankan agar aku mencoba membuka pintu masjid dan melihat-lihat ruangan masjid, siapa tahu Hasan Al Banna ada di sana. Ternyata benar, mereka mendapatkan ayahku Hasan Al Banna ada di mimbar masjid. Saat ditemukan, ayahku sedang khutbah di mimbar masjid yang kosong dari jamaah shalat setelah usai shalat jum’at. Ayah rupanya ketika itu meniru kakek Syaikh Ahmad Abdurrahman Al Banna rahimahullah, yang sebelumnya menjadi khatib di masjid itu saat shalat jum’at.
Peristiwa ini seolah menjadi bagian persiapan Allah SWT kepada ayah, untuk menjadi orang yang memperjuangkan dakwah islamiyah. Aku juga ingat, suatu saat ayah menyampaikan khutbah di tahun 1946, dalam rangka memperingati wafatnya sosok pemimpin Mushtafa Kamil yang juga sebagai kader Al Ikhwan Al Muslimun yang banyak peran-peran dakwahnya. Ketika itu, ayah mengatakan, “Pemimpin itu ada tiga kategori: Pemimpin yang mencetak dirinya, pemimpin yang diciptakan oleh zuruuf (kondisi), dan pemimpin yang diciptakan oleh Allah SWT. Menurutku, ayah adalah kategori pemimpin yang ketiga.”

Sejauh mana peran kakek dalam memberi pengenalan Anda terhadap ayah ?
Ya, pembicaraan dan cerita kakek tentang ayah itu meninggalkan kesan mendalam dalam jiwa aku. Bagaimana kakek juga mengarahkan aku untuk belajar ilmu syariat Islam. Dan itu pula yang mendorong aku hingga aku melanjutkan pendalaman ilmu syariah di Fakultas Darul Ulum. Jadi, memang perpustakaan yang ditingalkan oleh ayah sangat mempengaruhi perkembangan pikiran dan jiwa aku, termasuk juga memberi kedalaman pengenalan aku lebih jauh terhadap ayah. Sehinga tepat kalau ada ungkapan yang berbunyi, “Jika engkau ingin mengenal seseorang, kenalilah dari buku-buku perpustakaannya.”
Buku-buku yang tersusun di perpustakaan ayah memberi banyak informasi yang menjadi cermin bagaimana sosok ayah, bagaimana pemikirannya dan bagaimana gerakan dakwahnya. Dalam buku-buku perpustakaan itu ada buku-buku khusus yang berbicara tentang kondisi dunia Islam seluruhnya. Ada pula buku buku khusus tentang berbagai gerakan perlawanan Islam. Bahkan berbagai buku skill dan profesi tertentu. Ayah memang banyak mendorong kami anak-anaknya untuk cinta membaca. Ayah memberikan sebuah loker khusus untuk aku agar banyak membaca, dan menambahkan uang saku untuk aku sebanyak 50 qirsy yang seluruhnya dialokasikan untuk membeli buku. Aku membeli banyak buku dengan uang itu, dan aku susun buku-buku itu dalam loker khusus. Dalam banyak tulisannya, ayah kerap menekankan pentingnya memiliki perpustakaan sendiri di rumah setiap keluarga Islam, meskipun perpustakaan itu sederhana saja.
Aku memperhatikan kehidupan ayah dari berbagai bahan dan catatan pribadinya. Dari sana aku menemukan banyak sisi sisi pribadi ayah dan juga bagaimana klip catatan sastra yang begitu indah. Selain itu, aku juga sengaja banyak mendengarkan apa kenangan para Ikhwan yang banyak berinteraksi dengan ayah. Ada banyak buku yang dikisahkan mereka tentang ayah. Termasuk di antaranya adalah sebuah buku yang ditulis pemimpin ketiga Al Ikhwan Umar Tilmitsani rahimahullah. Dan ayah, sebagaimana sering dikatakan orang, seluruh buku-buku yang ditulisnya mudah dipahami oleh pembaca sampai orang-orang awam biasa dan bukan sosok ilmiyah. Tulisan-tulisan ayah juga menarik banyak peneliti untuk diteliti isi pemikiran di dalamnya.
Jika demikian, berarti Anda mempunyai pengenalan yang sungguh mendalam tentang Hasan Al Banna?

Tidak sangat mendalam, bahkan aku merasakan aku belum banyak mengenalnya. Pengenalan aku dengan ayah bisa dikatakan sangat terbatas.
Kenapa?
Aku yakin, ayah adalah sosok manusia Rabbani. Beliau dikaruniakan Allah SWT berbagai kemampuan dan kapasitas. Lalu karunia itu juga diberikan Allah dalam bentuk menumbuhkan keikhlasan dalam dirinya untuk bekerja hanya karena Allah. Allah SWT memberi keutamaan kepada ayah hingga derajat ini. Dari paradigma seperti ini, maka aku yakin tak ada yang lebih mengenal kemampuan Hasan Al Banna kecuali Allah SWT yang telah menganugerahi banyak kebiasaan kepadanya.
Aku yakin bahwa Al Banna adalah sosok manusia Rabbani yang dihasilkan dari perjalanan pengalaman dirinya. Di masa-masa akhirnya, ayah sudah merasakan bahwa ia sudah mendekati masa akhir hidupnya. Ayah mengumpulkan aku dan seluruh saudara aku lalu di sana ia menyampaikan wasiatnya dengan tegas sekali. Sebelum itu, ayah juga memberikan kepada aku sejumlah buku untuk aku baca. Dari buku-buku itu kemudian aku bisa mengerti banyak kandungan makna yang belum sempat disampaikan ayah kepadaku.
Apa yang disampaikan ayah dalam wasiatnya ketika itu, benar-benar terjadi. Aku banyak menghadapi peristiwa yang membuat aku bimbang. Tapi dalam wasiatnya itu, aku mendapatkan jawaban apa yang harus kita lakukan. Aku sangat menjaga untuk tetap melakukan wasiat ayah sehingga itulah yang kemudian menjadi bagian pemikiran dan tindakan yang menyelamatkan aku.
Dalam waktu singkat, ayah Anda mendirikan sebuah gerakan Islam terbesar. Beliau menjadi pembaharu dalam Islam di abad ke empat belas hijriyah. Bisakah Anda menyampaikan kepada kami, sisi sisi kepribadiannya yang langka ?

Ini pertanyaan yang memerlukan jawaban panjang. Mungkin aku bisa menyampaikan sebagian dari hal itu. Antara lain, ayah pada awalnya datang berinteraksi dengan masyarakat Mesir, dunia Arab dan Islam dengan melakukan perilaku yang bermanfaat bagi ummat ini. Sedikit saja orang yang bisa melakukan hal ini seorang diri. Sejak masa pertumbuhannya beliau sudah melakukan perlawanan terhadap penjajahan barat terhadap peradaban Islam. Sejak usia muda ia sudah menyatakan bahwa ia akan menentang supremasi asing terhadap banyak lokasi di dunia Islam. Tak ada yang mengarahkan beliau untuk memiliki sikap seperti itu, kecuali keimanannya yang mendalam kepada Allah SWT dan jihadnya di jalan dakwah ini. Ketika itu, khilafah Utsmaniyah telah rapuh, hingga akhirnya tumbang. Barat memanfaatkan kesempatan ini untuk menancapkan kukunya di banyak wilayah Arab dan dunia Islam. Saat itulah, Hasan Al Banna datang untuk membangkitkan kembali dakwah Al Ikhwan Al Muslimun untuk mengahadapi semua kondisi itu. Upaya Barat terhadap dunia Islam sedikit banyak berhasl digagalkan oleh dakwah Al Ikhwan, meski tanpa dukungan negara asing, tanpa dukungan dana, tanpa sikap fanatik kelompok. Ini merupakan contoh istimwa yang muncul dari kekuatan iman kepada Allah SWT. Dari sini pula, kita memahami perkataan Al Imam Hasan Al Banna, “Jika telah ada seorang mukmin, berarti telah ada pula bersamanya berbagai alasan untuk berhasil.” Karena itu juga, Al Imam Hasan Al Banna mengkader sebuah generasi baru di Mesir untuk memerangi penjajahan Inggris ketika itu dan berperang mengusir pendudukan Zionis Israel di Palestina. Itulah yang kemudian memberi perubahan mendasar dalam sejarah Mesir.
Kedua, kepribadian Hasan Al Banna yang memiliki banyak kemampuan dan ragam potensi unik. Sangat jarang satu individu yang memiliki keragaman penguasaan terhadap berbagai disiplin ilmu dan potensi. Hasan Al Banna adalah sosok yang jiwanya sentimentil tapi di sisi lain ia juga orang yang realistik dalam memandang berbagai persoalan. Beliau adalah sosok konseptualis dan sekaligus sosok praktisi. Begitulah. Semua ini menjadikan Hasan Al Banna yang memiliki kedalaman pemikiran yang sungguh baik. Apalagi, kehidupannya semuanya merupakan langkah yang satu dari awal hingga akhir di jalan dakwah Islam. Hasan Al Banna mengerahkan semua kemampuan dirinya, lisan, tulisan, tenaga, dan dakwahnya untuk garis dakwah Islam sampai ia menjemput syahid. Beliau memang sosok Rabbani yang memang dipersiapkan oleh Allah SWT. Allah SWT menyelamatkannya untuk tidak terjerumus pada ragam perselisishan madzhab sebelum datangnya dakwah Rabbani yang dibawanya. Apa yang dilakukan Al Banna semuanya merupakan contoh qudwah.
Ketiga, kebersihan Al Banna sebagai pemimpin politik dan pemimpin gerakan Islam sebagai sosok pemimpin ideal yang bersih. Berbagai analisa, khususnya dokumen penjajah Inggris yang menyatakan kekhawatirannya atau sepak terjang Hasan Al Banna bersama gerakan Al Ikhwan Al Muslimun. In merupakan indikator yang sangat jelas menerangkan ketulusan perjuangan yang diusung Hasan Al Banna.

Bagaimana Al Banna bisa dengan mudah masuk ke dalam hati banyak orang dan meyakinkan orang lain dengan pemikiran dakwahnya?

Ayahku –semoga Allah merahmatinya- adalah seorang khatib. Cukup Anda ketahui bahwa khutbah sebelumnya dilakukan dengan membaca buku-buku tradisional, yang isinya sama sekali tidak relevan dengan kondisi dan realitas masyarakat. Ketika Al Banna datang dan muncul sekolah-sekolah Al Ikhwan dengan metode baru dalam khutbah, muncullah metode yang bisa menghimpun antara agama dan politik, antara tuntutan agama dengan realitas dan problematika masyarakat. Karena itulah bisa dikatakan bahwa Al Ikhwan sebenarnya adalah sekolah khutbah. Sebagaimana, khutbah yang dilakukan para Ikhwan tidak hanya untuk orang-orang Al Azhar saja tapi telah masuk ke berbagai universitas saat itu.
Aku ingat sebuah majalah pernah mengadakan polling di tahun 1974, tentang khatib yang paling digemari masyarakat. Ketika itu, nama Al Banna menempati posisi pertama dalam polling.

Bagaimana hubungan Al Banna dengan para kader dakwah?
Hasan Al Banna sangat mencintai para Ikhwan dan memberi mereka kecintaan yang bergelora. Beliau sangat mengapresiasi dan menghormati semua ikhwan karena keterkaitannya dengan dakwah, janji mereka pada dakwah, kesiapan mereka untuk berkorban di jalan dakwah. Ini jelas sekali terlihat dari banyak buku-buku dan tulisannya. Ia banyak memuji generasi pertama dari jama’ah ini yang telah mengabdikan semua kemampuan mereka untuk kepentingan dakwah. Dalam salah satu tulisannya, beliau mengatakan, “….Dengan perilaku dan sikap seperti inilah, yang mengingatkan engkau dengan para sahabat Rasulullah SAW, dakwah Al Ikhwan Al Muslimun berdiri…..”
Aku sebutkan contoh kecintaan dan penghormatan beliau terhadap para Ikhwan, yang aku lihat sendiri. Saat datang seorang utusan dari Majalah Mushawwir tahun 1946 untuk melakukan interview dengan tema “Satu hari dalam kehidupan Hasan Al Banna.” Reporter mengambil foto Al Banna sesukanya dan ketika itu telepon rumahnya berdering dan seorang Ikhwan membawakan pesawat telepon kepada beliau. Beliau segera menolak pengambilan foto ketika itu dan meminta agar foto yang sudah diambil tidak disebarluaskan. Ayah bahkan menuliskan sambutan di majalah tersebut dengan menegaskan bahwa dalam Al Ikhwan tidak ada posisi pemimpin dan pasukan. “Semua kita adalah pasukan di jalan Allah,” ujar ayah.
Sebagaimana, ayah juga terbukti tulus dan jujur saat harus mengahadapi lawan pemikirannya. Ayah sangat menjaga perkataan dengan mereka. Tak ada ungkapan yang kasar tercatat dalam buku-buku Al Banna. Ketika ada sebagian Ikhwan yang mengkritisi sikapnya yang lembut terhadap orang yang menentangnya, ayah menuliskan sebuah naskah yang menegaskan bahwa bagaimanapun seorang muslim harus berpegang pada pola seperti ini.

Terakhir, bagaimana menurut Anda sikap Al Banna di rumah, terkait Anda sebagai anaknya yang hidup bersamanya selama 14 tahun?
Ayah adalah pemimpin rumah tangga ideal yang tidak melalaikan hak-hak keluarga. Awal makalah yang ditulisnya “Dakwah adalah Kewajiban”, dan makalah keduanya bertajuk “Kepada Siapa Dakwah Ini Diserukan?” Dalam makalah itu ditegaskan bahwa keluarga adalah nomor satu objek dakwah yang harus dperhatikan. Ayah melandaskan hal itu pada firman Allah SWT, “Wa andzir asyiiratakal aqrabiin…” Dan berilah peringatan pada keluarga kalian yang dekat…”


DAFTAR PUSTAKA
1. Hasan Al Banna, Kaifa Yurabbi Abna-ahu, Dr. Rasyad Lashen, ikhwanonline.com
2. Hasan Al Banna, bi Aqlami Usratih, ikhwanonline.com
3. Hiwar Ma’al Ustadz Saiful Islam Al Banna fi Dzikra Walidhi, ikhwanonline.com
4. Sana, Karimat Al Imam Al Banna, fi Awwal Hadist Shahafi an Walidha, egyptwindow.net
5. Funun Tarbiyati Al Ab-naa, Syaikh Abdul Hamid Jasim Al Bilali
6. Tarbiyah Nabawiyah li Ath Thifl, Muhammad Nur bin Abd Al Hafiz Suweid, Daar Ath Thaibah, Makkah.
7. Ma’alim Tarbawiyah li Usrah Rasyidah, Muhammad Abdul Lathif Barighawi, Daar Al Irsyad li An Nasyr.

No comments:

Post a Comment

Terima kasih sudah berkunjung. Mohon untuk tidak meninggalkan link hidup.


Salam,


Keisya Avicenna