Jejak Karya

Jejak Karya

Thursday, October 01, 2020

BELAJAR OTODIDAK MENJADI GURU

 



“Mbak Norma, aku les lagi ya sama Mbak Norma,” kata Randi (6 SD) via telepon.

 

Randi, murid les mapel saya sejak dia kelas 3 SD. Pertemuan dengannya bermula tatkala saya ngontrak rumah di Jalan Damar Barat III. Jalan itu berhadapan dengan sebuah sekolah negeri tempat Randi belajar.

 

Siang itu, Randi diantar ibunya ke rumah saya. Ibunya cerita kalau Randi cukup tertinggal dengan teman-temannya. Nilainya di bawah rata-rata dan ibunya sering memberi label kalau Randi anak ‘nakal’ dan cukup susah diatur. Di rumah, dia tidak pernah belajar. Dia mau belajar kalau ditungguin kakaknya yang tentara. Tapi, kondisinya kan tidak memungkinkan. Kakaknya sekarang harus dinas di Solo. Randi dengan kakaknya memang selisih cukup jauh usianya, sekitar 10 tahun.

 

Singkat cerita, Randi akhirnya les privat dengan saya sepekan 3x. Butuh perjuangan untuk membersamainya belajar. Setidaknya saya punya bekal pernah menjadi tentor pengajar SD di Ganesha Operation (Solo-Wonogiri-Bogor-Semarang) selama kurang lebih 3 tahun.

 

Setelah 2 tahun tinggal di Damar, kami pindah kontrakan di daerah Jati. Randi pun bertekad tetap les ke rumah saya (DNA) meskipun harus naik angkot pulang pergi. Masya Allah. Semangat anak ini memang luar biasa. Alhamdulillah, prestasi akademiknya di sekolah juga meningkat tajam sampai kemudian dia lulus SD dan diterima di sebuah SMP pilihannya.

 

Dan yang terpenting, kala itu Randi tidak hanya belajar akademik saja. Tapi, saya tekankan padanya untuk selalu belajar menjadi anak yang baik dan salih. Terbukti, ketika bapaknya (yang kadang menjemput Randi ketika les) bilang kalau Randi suka membantu orang tuanya di rumah, mau belajar sendiri tanpa disuruh, juga mulai rajin salat. Alhamdulillah. Saya berpesan padanya, jika nanti tidak les lagi di DNA untuk benar-benar jaga sikap dan pergaulan karena memasuki dunia remaja itu banyak sekali tantangan dan godaannya.

 

Randi (paling kiri) saat les di DNA bersama teman-temannya.

Semoga Allah selalu menjagamu, Randi. Semoga kamu tumbuh jadi anak salih kebanggaan bapak-ibuk. Semoga Allah mudahkan langkahmu untuk mewujudkan impian dan cita-citamu di masa depan nanti.

[*]

 

Saya Bangga Menjadi Guru

Guru…

Tidak pernah terlintas dalam benak saya untuk terjun dalam profesi ini. Namun, saya bangga menjadi guru. Profesi menjadi seorang guru adalah profesi yang ‘menantang’. Meskipun ada sebagian orang yang beropini berprofesi menjadi seorang guru adalah suatu pekerjaan yang enteng. Karena sekilas, tugasnya hanya mengajar dan mengajar. Akan tetapi, sejatinya seorang guru tidaklah hanya bertugas mengajar di dalam kelas.

 

Seorang guru juga dituntut untuk bisa memberi contoh kepada murid-muridnya, tanpa harus melihat siapa dan di mana ia berada. Untuk itu, tidak keliru jika ada pepatah yang mengatakan: “guru kencing berdiri, murid kencing berlari”. Dalam artian, sebagai seorang guru harus senantiasa memperbaiki diri sendiri terlebih dahulu sebelum memperbaiki orang lain (baca: anak didik).

 

Betapa pentingnya keteladanan seorang guru. Saya bangga menjadi seorang guru karena saya bisa terus memotivasi diri sendiri untuk melakukan perbaikan diri secara kontinyu. Bagaimana kita mengajarkan kebaikan kalau diri kita sendiri belum baik? Bagaimana kita mentransfer ilmu kalau otak kita miskin ilmu karena malas untuk belajar?

 

Jika seorang guru sudah memberi contoh yang baik, maka dengan sendirinya seorang murid akan malu untuk tidak mencontohnya. Hal inilah yang membuat kharismatik seorang guru akan tumbuh dengan sendirinya tanpa harus diminta. Karena hubungan emosional antara guru dan murid sangat berpengaruh atas pembentukan karakter anak didik.

 

Permasalahan yang muncul di negeri ini terutama dalam ranah pendidikan, bangsa ini memang sedang dilanda degradasi moral. Bangsa ini butuh dan kekurangan figur teladan yang baik. Jarang kita menemukan seorang figur yang bisa menginspirasi bawahannya (baca: muridnya) untuk memiliki kesadaran hidup menuju ke arah yang lebih baik. Jadi, bisa ditarik kesimpulan bahwa guru yang baik adalah mereka yang bisa mengajar para muridnya menuju perubahan tingkah laku yang lebih baik.

 

Guru dan Bukan Guru

Di dunia ini hanya ada 2 profesi, yaitu guru dan bukan guru. Kita boleh kagum pada seorang dokter ahli yang mampu menyembuhkan penyakit yang kritis, juga sangat kagum kepada yang merancang sebuah jembatan panjang dengan tingkat kesulitan tinggi. Pertanyaannya, kehebatan orang-orang tersebut apakah terlepas dari peranan seorang guru? Banyak cerita tentang keberhasilan seorang anak akibat guru yang hebat, namun banyak cerita juga tentang kegagalan karena guru salah didik. Kegagalan Albert Einstein, Thomas Alfa Edison, Stephen Hawking dan sebagainya di sekolah, dia bayar melalui belajar sendiri, dia menjadikan alam dan ilmu sebagai gurunya.

 

Pentingkah seorang guru? Penting! Tapi guru yang mana? Yang jelas tidak ada tempat bagi guru yang “kecelakaan”, yaitu guru yang hanya manjadi guru sekadar mendapatkan pekerjaan. Namun, seorang guru profesional adalah guru dengan panggilan nurani, panggilan jiwa.

 

Mungkin pada awalnya tidak sengaja jadi guru, namun jika yang bersangkutan dengan cepat menyadari akan pentingnya peran dia sebagai guru, lalu ia bangun paradigmanya, dan dengan nurani ia melangkahkan kaki ke hadapan anak-anak didiknya. Inilah guru yang dicari, ditunggu, dipuja, dan disayang sepanjang masa. Hal inilah yang terus memotivasi saya ketika memilih “jalan” dan profesi ini.

 

Belajar Otodidak Menjadi Seorang Guru

Bassic keilmuan saya adalah scientist. MIPA murni, dan bukan dari Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Tapi profesi menjadi seorang pengajar menjadi salah satu impian dan cita-cita saya pasca kampus. Bismillah, akhirnya saya memutuskan dan mengambil pilihan untuk mengajar di bimbingan belajar. Seperti terhipnotis oleh sebuah kalimat motivatif: 

“Menjadi Guru atau Tidak Sama Sekali”. Hehe...

 

“Menjadi guru adalah pilihan yang berani. Berani jadi guru, harus berani pula menjalani segala konskuensinya. Apabila mampu menjalaninya secara konsisten, jalan ke surga akan menunggu, jika tidak, bahaya menghadang!”

 

Kalimat ini bukan untuk menakut-nakuti, melainkan untuk mengangkat kembali pamor guru yang mulai memudar. Dan kalimat itulah yang mampu memotivasi saya untuk memantabkan hati di profesi ini.  

 

Menurut pendapat saya, modal utama jadi guru adalah “nurani”, bukan “akademiknya”. Maka siapapun itu, apapun latar belakang pendidikannya, jika tidak memiliki nurani sebagai pendidik, mohon maaf, tidak ada toleransi.

 

Pertanyaannya, “apakah latar belakang pendidikan mempengaruhi hal ini?”. Jawabannya bisa “Ya”, bisa “Tidak”. Maybe YES, Maybe NO! Artinya, latar belakang pendidikan tidaklah terlalu penting, apalagi dalam sebuah sistem pendidikan yang “tidak terarah” seperti yang kita alami saat ini.

 

Apakah hanya orang-orang yang berlatar belakang pendidikan dari Ilmu Kependidikan dan Keguruan saja yang boleh jadi guru? Idealnya memang begitu, tapi tunggu dulu! Pada dasarnya setiap manusia ditakdirkan menjadi guru bagi generasi penerusnya. Namun banyak di antara kita yang tidak menyadari hal ini, bahkan yang sudah memilih profesi jadi guru pun banyak yang tidak menyadari hal ini, sehingga dia menyia-nyiakan kesempatan berharga dalam hidupnya.

 

Jika sistem dan proses pendidikan dari awal berjalan sesuai dengan kaidahnya, yaitu membantu anak untuk menemukan potensi dirinya sedini mungkin, lalu mereka dibekali dengan sikap “belajar bagaimana belajar”, sehingga belajar menjadi bagian dari hidupnya dan pada akhirnya tidak “menyesatkan” orang dari fitrahnya, maka mereka yang memilih “GURU” sebagai PROFESI adalah orang-orang yang tepat. Bukan kecelakaan atau kebetulan jadi guru. Memilih jadi guru karena memang telah dipersiapkan oleh Allah SWT sebelum ruh ditiupkan dalam rahim.

 

Orang Tua sebagai Guru Pertama

Pembelajaran daring selama pandemi Corona ini “mewajibkan” setiap orang tua yang sudah memiliki anak usia sekolah (dari TK hingga kuliah) untuk berperan ganda sebagai guru anak-anak ketika di rumah. Kalau untuk anak yang usia SMP-SMA atau kuliah sudah bisa lebih mandiri. Namun, untuk anak-anak yang usia TK dan SD, peran orang tua masih sangat signifikan. Karena itu, perlu merefleksi diri kembali karena sejatinya orang tualah guru pertama anak-anak di lingkungan keluarga

 

Salah satu cara untuk mensyukuri kondisi sekarang yang mewajibkan kita menjadi “guru” adalah  “konsisten” pada amanah sebagai pendidik. Tujuan kita mendidik anak adalah agar anak-anak tumbuh menjadi manusia yang cerdas, berilmu pengetahuan, dan berakhlak mulia. Ukuran keberhasilan mendidik adalah terjadinya perubahan perilaku anak dari tidak tahu menjadi tahu, tidak bisa menjadi bisa, dan tidak terbiasa menjadi terbiasa, sesuai dengan apa yang kita inginkan bersama.

 

Menjadi Guru Teladan

Sosok Nabi Muhammad kiranya bisa dijadikan contoh bagaimana agar kita menjadi guru panutan (teladan). Nabi Muhammad merupakan sosok yang digugu dan ditiru. Nabi Muhammad bisa menjadi sumber inspirasi dan teladan bagi para sahabat-sahabatnya. Bahkan sampai kini pun Nabi Muhammad merupakan panutan yang belum ada tandingannya. Maka kepada beliaulah kita harus meneladani. Dengan demikian, kita bisa menjadi guru teladan bagi anak didik kita seperti halnya Nabi Muhammad menjadi teladan bagi sahabat-sahabatnya serta umatnya.

 

Ada beberapa tips yang ingin saya bagikan untuk menjadi guru teladan:

 

❤Memiliki karakter yang kuat sebagai seorang pendidik. Bisa ditinjau dari 4 aspek: komitmen, kompeten, kerja keras, dan konsisten dalam mengemban amanah serta mampu memberikan keteladanan dari aspek: kesederhanaan, kedekatan, dan pelayanan maksimal.

 

❤ Cerdas: intelektual, emosional, dan spiritual.

 

❤Bekerja keras dengan penuh pengabdian. Menjadi guru teladan itu butuh perjuangan, pengorbanan, dan totalitas.

 

❤ Guru teladan adalah guru yang C.O.M.F.O.R.T

C = Carring = Peduli

O = Observant = Perhatian

M = Mindfull = Cermat/ teliti

F = Friendly = Ramah

O = Obliging = siap sedia/ tanggap

R = Responsible = bertanggung jawab

T = Tackfull = bijaksana

 

❤Menjadi guru teladan adalah pencapaian maksimal dari sebuah prestasi dalam menjalani suatu profesi. Jadi, mulailah terlebih dulu dengan membangun motivasi internal. Karena BERPRESTASI adalah DAKWAH! Mungkin satu hal ini bisa menjadi motivasi.

 

❤Guru teladan adalah guru yang cerdas dan sempurna akalnya, baik akhlaknya, dan kuat fisiknya. Karena dengan kesempurnaan akal ia dapat memiliki berbagai ilmu pengetahuan secara mendalam; dengan akhlak yang baik ia dapat menjadi contoh dan teladan bagi para muridnya; dan dengan kuat fisiknya ia dapat melaksanakan tugas mengajar, mendidik, dan mengarahkan anak didiknya.

 

Semoga Allah SWT senantiasa memudahkan dan meridhoi setiap langkah-langkah kita, untuk menjadi lentera yang membebaskan: dari gulita menuju pelita. Aamiin.

 

Wallahu a’lam bishowab.

 



No comments:

Post a Comment

Terima kasih sudah berkunjung. Mohon untuk tidak meninggalkan link hidup.


Salam,


Keisya Avicenna