Jejak Karya

Jejak Karya

Wednesday, June 10, 2020

MONOLOG HATI, SALAH SATU CARAKU MENCINTAI DIRI SENDIRI

Wednesday, June 10, 2020 0 Comments



Self Love
Self love atau mencintai diri sendiri merupakan suatu penerimaan diri dan bentuk penghargaan pada semua hal yang terkait dengan diri kita sendiri, baik fisik, pikiran, dan hati. Mencintai diri sendiri merupakan hal yang sangat penting dalam hidup kita. Bagaimana bisa mencintai sepenuh jiwa jika kita masih abai akan kebutuhan diri untuk dicintai secara utuh? Self love  dapat meningkatkan kualitas hidup karena kita akan terus berusaha memiliki pandangan yang positif terhadap segala episode yang harus kita jalani dalam skenario kehidupan ini. Dengan meningkatkan self love, kita juga dapat merasakan bahagia dengan cara yang sederhana.

Terkadang, kita sering abai pada kelebihan diri dan cenderung fokus pada kekurangan diri, belum lagi kalau dibumbui dengan perkataan orang lain (yang negatif), sehingga kita menjadi stress. Waktu kita habis hanya untuk meratapi kekurangan diri, terus menerus menyalahkan diri sendiri, seolah-olah merasa hidup paling terpuruk. Hal ini menjadikan diri lupa bahwa Allah telah menciptakan kita dalam paket komplit, ada kelebihan dan juga kekurangan.

Ada banyak cara untuk mencintai diri sendiri sebagai upaya dalam self improvement. Kalau yang sering saya lakukan yaitu melakukan positif self talk, belajar untuk memaafkan diri sendiri dan merelakan apa yang telah terjadi di masa lalu, juga “Me Time” atau mengkhususkan waktu untuk diri sendiri, untuk menjernihkan hati dan pikiran dengan melakukan sesuatu yang menjadi kesenangan, memeluk diri sendiri juga bisa kok dilakukan sebagai upaya self love, seperti yang beberapa hari lalu di sampaikan oleh Bu Sukma, seorang psikolog dari Semarang.


Sebuah Kisah Sarat Hikmah


Melawan Anxiety (Kecemasan) #1 
Oleh: Sinta Yudisia

Jam 01.00 dinihari atau sekitar itu, aku sering terbangun mendadak.
Memandang sekeliling, dan baru tersadar kalau suami terpisah jauh di tanah seberang. Malam hari bukan saat yang menyenangkan dan menenangkan saat ini. Ada banyak kecemasan yang timbul. Ada banyak pertanyaan memenuhi benak dan perasaan. Sampai-sampai, berita-berita di grup tak berani kubuka satu demi satu karena khawatir berita demi berita akan memperburuk kondisi. Bukan hanya aku yang mengalami mimpi buruk. Dua putriku akhir-akhir ini juga sering mengalami mimpi buruk.
“Kok kalau malam aku mimpi kayak dicekik orang atau semacamnya ya?” keluh salah satu putri kami.
Dengan gadget di tangan, berita dari Surabaya, Jawa Timur, Indonesia hingga Britania Raya dan Amerika sana mudah diakses. Berita tentang covid 19 hingga George Floyd dengan hashtag #BlackLivesMatter bisa dicari tiap detik.
“Kamu mulai cemas, Nak,” kataku. “Jangan buka lagi ya berita-berita di internet.”
Informasi sangat penting diikuti, tapi kalau sudah mulai melukai diri sendiri, harus berhenti dikonsumsi. Setidaknya untuk beberapa saat.

Kupikir, aku kebal terhadap anxiety atau kecemasan. Nyatanya tidak. Malam demi malam mulai terasa menyiksa. Bahkan ketika tubuh dipaksa berbaring sekitar jam 22.00 pun tetap saja terbangun sekitar jam 01.00. Aku sendiri bertanya-tanya. Kenapa ya terbangun jam 01.00 malam dan kemudian hampir tiap setengah jam terjaga?

Peristiwa jam 01.00 malam. Sebelum era lockdown dan masa kami berpisah tempat akibat covid19, suami sempat sakit batuk. Alhamdulillah hasil rapid test negative, foto thorax pun bagus. Ke beberapa spesialis mendapatkan satu diagnose : ada gejala bronchitis. Hari-hari ketika kami bersama, suami sering terbangun sekitar jam 00.00 – 01.00 dini hari. Terbatuk-batuk. Aku ikut terjaga juga. Rupa-rupanya, itulah alam bawah sadar. Bahwa jam 01.00 harus bangun. Bangun! Bangun! Meskipun tak ada suami di dekatku. Meski tak terdengar batuknya. Sekarang kondisi kecemasanku meningkat : suami di seberang sana, apa masih batuk-batuk jam 01.00? Harusnya aku ada di sana! Harusnya suami nggak pergi dari Surabaya! Dan segala macam harusnya, harusnya, harusnya yang membombardir benak.

Setiap orang punya jam kecemasannya sendiri. Ada seorang sahabat yang serangan kecemasan hingga depresinya hadir di bulan X, bulan tertentu saat ia kehilangan putranya. Ada orang yang jam cemasnya sekitar siang, jam ketika ia kecelakaan walau alhamdulillah selamat. Dengan mewaspadai jam kecemasan, kita bisa mewaspadai alarm tubuh. Alarm tubuhku menyuruhku bangun jam 01.00 karena cemas dengan kondisi suami yang biasanya batuk jam dinihari.

Kebiasaan merusak : ada kebiasaan anxiety yang mulai terbentuk tiap jam 01.00 malam. Dan akhirnya, perilaku buruk mulai menular. Bayangkan, jam 01.00 malam atau sekitar itu me- whatsapp suami. Menanyakan apa dia baik-baik saja. Kalau gak ada jawaban segera, kecemasanku meningkat. Akhirnya suami ikut cemas juga di seberang ; karena aku terlihat tak bisa istirahat nyenyak ketika dini hari. Kecemasan-kecemasan ini menular dengan cepat. Aku jadi kepo pingin tahu kalau malam suami ngapaian aja? Makannya gimana? Kebiasaannya gimana? Ya ampun…perhatian sebagai tanda cinta mungkin menyenangkan. Kalau overdosis, akan sangat mengganggu.

Titik puncak. 
Suatu malam, sepertinya anxietyku sudah lumayan parah. Gak bisa tidur dari jam 01.00-03.00. Pikiran, perasaan sudah gak keruan. Pada akhirnya kucoba berdiskusi dengan diri sendiri, sebuah percakapan monolog yang pada akhirnya alhamdulillah membabat habis semua anxiety.

+ “Kalau suami sakit di sana, kamu bisa apa, Sinta?”
-“Aku nggak bisa apa-apa.”
+“Terus gimana?”
-“Aku pasrahkan sama Allah saja.”
“Bagus. Lalu gimana dengan dirimu sendiri?”
-“Aku bahkan nggak bisa ngatur nafasku sendiri. Nggak bisa ngatur detak jantungku sendiri. Bahkan diriku sendiri harus dijaga sama Allah.”
+“Kalau kamu cemas seperti ini dan gak bisa tidur, apa yang kamu lakukan?
-“Aku akan membaca hafalan Quran yang kupunya, sampai aku tertidur.”


Dalam kondisi kacau, yang terpikir di benak adalah 3 surah terakhir al Baqarah.
Meski hafal surat-surat yang lain, entah mengapa ayat itu yang terngiang.
Kubaca beberapa ayat, lalu jatuh tertidur.
Aku terbangun lagi, masih dengan kecemasan yang sama.
Kubaca lagi 3 ayat tersebut sampai tertidur.
Aku terbangun lagi, dengan kecemasan yang sama.
Kubaca lagi 3 ayat tersebut sampai tertidur.
Aku terbangun lagi dengan kecemasan, tapi dengan perasaan lain yang menyertai. Kebahagiaan. Kelapangan.


“Ya Allah…betapa sombongnya aku berpikir bisa mengawasi, menjaga, merawat suamiku. Bahkan nafasku saat inipun harus Kau bantu. Jagalah suamiku ya, Robb. Jagalah anak-anakku yang tidur di kamar sebelah. Jagalah orangtuaku.”

Menyadari bahwa kita berada di titik nol, tak punya kekuasaan apapun untuk melawan sesuatu yang di luar jangkauan, justru meredakan kecemasan. Aku pun mencoba menghargai diriku yang semula merasa tak berdaya karena tak bisa berada di samping suami.

“Bukan hanya para suami yang sedang berjuang saat ini, jauh terpisah dari keluarga. Mencari nafkah halal. Para istri yang berada di basecamp, menjaga diri dan anak tetap sehat juga tengah berjuang. Dengan segala keterbatasan yang ada. Termasuk keterbatasan kepastian, kapankah bisa bertemu dengan suami. Berkumpul bersama seperti dulu.
Kesabaran adalah perjuangan.
Dan kita adalah para pejuang. Termasuk aku.”

Well, setidaknya, kata-kata hiburan itu membuatku tampil sebagai pemenang.


***


Tulisan Mbak Sinta Yudisia di atas adalah status FB yang saya baca pertama kalinya pagi ini tatkala saya akan melanjutkan menulis tentang SELF LOVE. Ada bagian dari kisahnya di mana Mbak Sinta melakukan monolog atau self talk sebagai upaya mengatasi kecemasan yang menjalar dalam dirinya.

Pada akhir cerita, Mbak Sinta mampu mengatasi rasa cemas berlebihan itu menjadi sebuah harapan penuh kepasrahan namun berbalut keimanan. Masya Allah…

Apa yang dilakukan Mbak Sinta pun juga sering saya lakukan, meski dulu –di masa lalu- negative self talk kadang masih menyapa. Misal, “apa kamu bisa, Nung?”; “kok sepertinya ini sulit dan aku tidak bisa, ya?”, dan lain-lain, yang pada intinya meragukan kemampuan diri sendiri, huznudzon thinking, dan hopeless.Tapi, kini saya selalu berusaha untuk mengubah itu semua. Belajar untuk selalu  positive self talk dalam berbagai kondisi. Hadits ini yang selalu menjadi pemantik semangat saya:

Sungguh menakjubkan keadaan seorang mukmin. Seluruhnya urusannya itu baik. Ini tidaklah didapati kecuali pada seorang mukmin. Jika mendapatkan kesenangan, maka ia bersyukur. Itu baik baginya. Jika mendapatkan kesusahan, maka ia bersabar. Itu pun baik baginya.
(HR. Muslim)

Rasulullah saja mengajarkan demikian, jadi kita sebagai umatnya yang semoga senantiasa istiqomah mengikuti jejak cintanya harus berusaha meneladaninya. Dalam menjalani hidup ini, hanya ada 2 pilihan: SYUKUR atau SABAR. Semoga kita dimampukan untuk senantiasa memperkaya rasa syukur tatkala mendapatkan nikmat dari Allah serta melipatgandakan rasa sabar tatkala ujian/kesedihan menghampiri.

Self talk merupakan monolog, cara berdialog dengan inner voice diri kita sendiri di kala menghadapi beragam situasi. Self talk bisa diucapkan dengan suara lantang maupun hanya dalam hati. Self talk mampu memberikan sugesti untuk diri, melakukan afirmasi positif bahkan mampu membantu untuk senantiasa berpikir, merasa, dan bertindak secara sadar. Dan bagi saya, self talk yang positif merupakan salah satu upaya bagi saya untuk mencintai diri saya sendiri.

“Nung, kamu tidak perlu bersedih. Allah sedang melakukan seleksi jodoh terbaik untukmu.”
“Terus pantaskan dirimu, mungkin jodohmu nilainya 10 sedangkan nilaimu masih 8. Semangat ya, Nung!”
[Salah satu monolog yang pernah saya lakukan saat ta’aruf kedua saya kandas di tengah jalan] Hehe.

“Nung, ayolah, jangan nangis terus. Ahha Wok sudah nggak sakit lagi sekarang, sudah jauh lebih tenang di tempat terbaik. Semua sudah menjadi takdir-Nya.”
“Kalau nanti Nung kangen gimana?”
“Salihah-kan selalu dirimu. Kamu ingatkan, salah satu dari 3 amalan yang tidak akan pernah terputus meski ruh sudah meregang dari raga? Ya, doa seorang anak yang salih-salihah. Maka, gesa dirimu untuk selalu memantaskan diri menjadi muslimah salihah, menjadi wanita dunia yang layak dicemburui para bidadari surga. Hingga kiriman-kiriman doamu bisa menjadi cahaya penerang untuk tempat peristirahatan  Ahha Wok.”
[Salah satu monolog beberapa hari setelah kepergian Babe (Ahha Wok) dan saya terjerat kerinduan yang teramat dahsyat]

Alhamdulillah, banyak positive self talk yang telah saya lakukan dan saya pun merasakan banyak dampak positifnya:
  • Menghindarkan diri dari tekanan dan stress yang berlebihan.
  • Sebagai sarana refleksi diri.
  • Mengurangi rasa cemas karena dapat meregulasi pikiran, perbuatan, dan perasaan.
  • Meningkatkan rasa percaya diri saat harus performance di depan publik.
  • Menumbuhkan kekuatan untuk mengatasi kepanikan.
  • Memberikan energi optimis pada diri sendiri.
  • Menjadi pribadi dengan “positive vibes only”


Cara saya agar selalu bisa melakukan positive self talk adalah tidak mudah terjebak di dalam pikiran negatif dan berusaha untuk menjauhi lingkungan yang banyak “toxic”-nya. Selain itu, saya juga suka menempelkan kata-kata penyemangat dengan menggunakan “sticky note” di tempat-tempat yang sering saya lihat (terutama di area “kerja”).

Semoga positive self talk menjadikan kita sehat jiwa dan mental karena mampu memotivasi diri sendiri sekaligus sebagai upaya mencintai diri sendiri. Hingga kita selalu belajar mengenal segala kelebihan diri dengan lebih baik, juga menjadi pribadi yang selalu bersyukur atas segala karunia terbaik dan terindah dari-Nya.

***

Support System of Self Love
Mencintai diri sendiri sangat diperlukan untuk menghargai usaha yang telah diri kita capai. Proses mencintai diri sendiri tentu saja membutuhkan support system,  terutama dari orang-orang terdekat, seperti orang tua, pasangan hidup, sahabat, ustaz/ustazah (guru spiritual), dll.

Meskipun orang-orang di sekeliling seperti pasangan kita, anak, sahabat, teman, dan anggota keluarga sangat mencintai kita, tetapi akan lebih berarti jika kita tahu cara yang tepat untuk mencintai diri kita sendiri.
Bagi banyak orang, bangga dan cinta terhadap diri sendiri merupakan tantangan berat. Ketahuilah, mencintai diri sendiri memang membutuhkan banyak waktu. Sebelum menghabiskan waktu untuk mencintai orang lain, cintai diri kita terlebih dahulu!

Seperti yang telah saya sebutkan di atas, bahwa banyak orang yang hanya memandang berbagai kekurangan dalam dirinya. Hal ini menyebabkan ia tidak mampu menggunakan berbagai kelebihan dalam dirinya untuk memperluas pergaulan, menambah keterampilan, dan tentunya meningkatkan kompetensi dirinya. Bila kita termasuk orang yang selalu fokus pada kekurangan diri, mulailah belajar untuk mencintai diri kita sendiri.

***


Mengapa kita harus mencintai diri kita sendiri?

Allah Swt. sudah membekali setiap hamba-Nya dengan beragam keistimewaan dan potensi diri. Tubuh kita berfungsi untuk membedakan diri kita dengan orang lain, dan memudahkan orang lain mengenali kita. Ada milyaran orang di dunia ini, sehingga tubuh menjadi salah satu penanda khas diri kita. Misalnya, kita memiliki sebuah lesung pipi yang akan terlihat manis ketika kita tersenyum dan tidak semua orang memilikinya.

Kita akan selalu terlihat berbeda. Apa yang kita rasakan, apa yang kita lakukan, dan siapa diri kita, akan selalu membuat kita unik. Kadang apa yang kita lakukan, atau apa yang terjadi pada diri kita, tak selalu membuat orang senang. Tetapi selalu ada potensi untuk melakukan sesuatu hal yang bermanfaat, baik untuk diri sendiri maupun orang lain.

Banyak hal menakjubkan dalam diri kita. Jangan selalu melihat kekurangan diri, tapi cobalah lihat sisi positif diri kita yang belum terungkap. Seringkali orang hanya terpaku pada gambaran fisik atau karakter yang tampak di permukaan. Coba kenali diri kita, apakah kita mempunyai kelebihan yang tidak dapat dilihat oleh orang lain. Misalnya, kita ternyata seorang yang tegas dan tidak mudah terpengaruh. Kita memiliki kemampuan untuk mengarahkan orang lain, dan membimbing mereka menjadi lebih baik.

Setiap orang memiliki bakat dan kemampuan yang berbeda satu sama lain. Perbedaan kemampuan ini menjadikan setiap orang itu istimewa.

Tidak ada orang yang sempurna. Kita tidak harus mencari cara untuk selalu terlihat cantik, hebat, menakjubkan, lucu, kuat, dan lainnya. Kita hanya perlu menjadi diri kita sendiri. Selalu ada orang yang mampu melihat kepribadian kita yang sesungguhnya, dan mampu mencintai diri kita apa adanya.

Ayo semangat, bangun benteng untuk mencintai diri sendiri! Caranya...
Hindari hinaan
Menghina diri sendiri tidak akan menghasilkan sesuatu yang positif, justru yang akan terjadi hanyalah menurunkan percaya diri dan menyalahkan diri sendiri. Saat kita menerima apapun yang dimiliki, kita sedang bersyukur dan menuju arah positif, tetapi saat kita menghina diri sendiri, kita hanya menumpuk energi negatif di dalam diri.

Jadilah pribadi yang baik untuk diri sendiri
Sudahkah kita memanjakan diri sendiri? Jadilah pribadi yang baik pada diri sendiri! Jadilah pribadi yang sabar pada diri sendiri! Jadilah pribadi yang mau mengajari diri sendiri berbagai hal baru! Jadilah pribadi yang percaya pada kemampuan diri sendiri!

Puji diri sendiri
Pujilah diri kita sebanyak yang bisa kita lakukan setiap hari. Katakan pada diri kita berapa banyak hal baik dan positif yang telah dikerjakan setiap hari. Maka, kita akan tahu bahwa kehadiran kita tidak sia-sia.

Rawatlah tubuh kita
Tubuh kita memerlukan perawatan dan nutrisi yang baik. Karena itu, penting bagi kita untuk memberikan asupan gizi yang baik. Jangan lupa untuk berolahraga dan melatih tubuh agar selalu sehat. Pikiran kita juga membutuhkan nutrisi, membaca dan berdiskusi dengan orang lain akan sangat membantu.

Gunakan cermin cinta
Berdirilah di depan cermin. Lihat diri kita, berilah pujian betapa kita sangat menyayangi tubuh tersebut. Ingat segala hal baik yang telah kita lakukan dan beri motivasi bahwa kita bisa melakukan lebih banyak lagi kebaikan. Jika ada bagian tubuh yang tak kita suka, atau kita teringat dengan orang-orang yang pernah menghinanya, maafkanlah mereka. Katakan pada bayangan di cermin, "Aku mencintaimu, sangat mencintaimu!"

***

Cintai diri kita, sekarang!
Tak ada waktu untuk menunggu. 
Ayo, sayangi diri kita mulai dari sekarang!





Saturday, May 30, 2020

BERTUALANG DI RIMBA BACA ALA PERPUSTAKAAN DNA

Saturday, May 30, 2020 0 Comments


Masyarakat Literat Indonesia Bermartabat
Secara etimologis, istilah literasi berasal dari bahasa Latin “literatus” yang artinya “orang yang belajar”. Literasi merupakan suatu kemampuan seseorang untuk menggunakan potensi dan keterampilan dalam mengolah serta memahami informasi saat melakukan aktivitas membaca dan menulis. Literasi memiliki fungsi penting dalam kehidupan. Kesadaran berliterasi akan mengantarkan sebuah peradaban pada kedudukan yang terhormat dan bermartabat.
Sebagai negara berkembang, Indonesia harus mampu mengembangkan budaya literasi sebagai prasyarat kecakapan hidup abad ke-21 melalui pendidikan yang terintegrasi, mulai dari keluarga, sekolah, sampai dengan masyarakat. Enam literasi dasar mencakup literasi baca-tulis, literasi numerasi, literasi sains, literasi digital, literasi finansial, dan literasi budaya dan kewargaan. World Economic Forum pada tahun 2015 menyebutkan bahwa enam literasi dasar tersebut sangat penting untuk dikuasai oleh masyarakat, dari anak-anak sampai orang dewasa.
Tantangan saat ini di era digital adalah menariknya kegiatan belajar yang “dikalahkan oleh” menariknya hiburan dunia digital. Karena itu, perlu inovasi-inovasi kekinian untuk membudayakan literasi khususnya di kalangan anak-anak dan lebih luas lagi di lingkungan masyarakat. Menumbuhkan minat  literasi baca-tulis pada anak-anak memberikan manfaat dan pengaruh yang sangat besar. 
Semuanya bisa diawali di lingkungan terkecil, yakni keluarga. Dunia parenting (pengasuhan anak) yang kini semakin berkembang dengan beraneka rupa teori-teorinya, juga menitikberatkan akan pentingnya kecakapan literasi anak-anak sejak usia dini bahkan ada yang sudah memulainya sejak anak masih berada dalam kandungan ibunya. Orang tua harus bisa memberikan contoh dan selalu berupaya menumbuhkan budaya literasi di rumah.  Dengan literasi baca-tulis, wawasan dan pengetahuan akan bertambah, meningkatkan daya kreativitas, dan mengembangkan keterampilan hidup.

Transportasi Literasi itu Bernama Perpustakaan
Perpustakaan menjadi salah satu alternatif tempat belajar yang menunjang untuk menumbuhkan budaya literasi baca-tulis. Menurut saya, perpustakaan yang ideal adalah sebuah perpustakaan yang mampu memberdayakan masyarakat, mampu melakukan revolusi minat baca pada masyarakat, dan mampu mengubah karakter masyarakat dari tidak suka membaca menjadi suka membaca.  Perpustakaan juga seharusnya mampu mengubah masyarakat tuna informasi menjadi masyarakat yang berliterasi atau melek informasi.
Semua bermula karena saya sangat suka membaca lalu mengoleksi buku hingga akhirnya saya pun mendirikan perpustakaan DNA. Perpustakaan mempunyai peranan yang sangat vital bagi peningkatan kualitas sumber daya manusia. 
  • Pertama, perpustakaan berfungsi sebagai jantung pendidikan dan ilmu pengetahuan. 
  • Kedua, sebagai pusat pengumpulan dan penyimpanan sumber pengetahuan dan informasi. 
  • Ketiga, sebagai pusat kegiatan masyarakat setempat. Perpustakaan juga mempunyai peran yang sangat strategis dalam mempengaruhi tingkat taraf hidup masyarakat. 
  • Perpustakaan harus dapat berfungsi sebagai wahana belajar yang mampu mengembangkan potensi masyarakat agar menjadi manusia yang berilmu, cakap, kreatif, inovatif dan mandiri. 

Bangsa yang literate adalah bangsa yang mampu menjawab tantangan zaman. Peradaban yang berliterasi selalu ditandai dengan kepedulian yang tinggi terhadap perpustakaan. Perpustakaan selalu menjadi transportasi literasi ketika suatu peradaban mencapai puncak keemasan.  Sejarah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sepanjang peradaban manusia tidak dapat lepas dari perpustakaan.

Sebagian koleksi perpustakaan DNA


Inkubator Literasi ala Perpustakaan DNA
Saya seorang ibu rumah tangga sekaligus penulis. Tidak sekadar ‘menjadi’ penulis, namun saya juga bertekad ‘menjadikan’ orang lain penulis (melahirkan generasi-generasi penulis cilik), maka terbentuklah komunitas penulis cilik “DNA Writing Club”. Saya awali semuanya dengan mendirikan Perpustakaan DNA di rumah. Berawal dari koleksi pribadi yang jumlahnya ratusan kemudian terus bertambah juga menyiapkan beragam kegiatan.

Perpustakaan DNA didirikan sejak November 2013. Bertempat di Jalan Jati Barat I No.274, Banyumanik, Semarang. Dalam kegiatannya, selain melayani sirkulasi peminjaman buku, juga ada beberapa kegiatan kreatif untuk menumbuhkan budaya literasi baca-tulis di lingkungan masyarakat. Pengelola Perpustakaan DNA saat ini berjumlah 4 orang. Kami menyebut pengelola perpustakaan dengan istilah ‘mentor’.

Salah satu hal yang menjadi fokus kami di Perpustakaan DNA saat ini adalah  sosialisasi sekaligus pelaksanaan perjenjangan buku, baik saat pelayanan kegiatan membaca di perpustakaan maupun saat peminjaman buku. Perjenjangan buku ini sesuai dengan Panduan Perjenjangan Buku Nonteks Pelajaran bagi Penggunaan Perbukuan yang diterbitkan oleh Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Panduan perjenjangan buku ini sangat membantu petugas perpustakaan maupun pegiat literasi dalam penyusunan daftar buku yang direkomendasikan untuk dibaca oleh pembaca sasaran. Selain itu, perjenjangan buku dapat membantu menumbuhkembangkan budaya literasi melalui buku yang bermutu serta tepat guna untuk memberikan pengalaman membaca yang menyenangkan karena mempertimbangkan aspek pedagogik dan psikologis pembaca. 



Penyediaan buku di Perpustakaan DNA diharapkan dapat membantu terlaksananya proses perjenjangan buku tersebut. Misalnya, untuk kategori pra-membaca untuk anak-anak usia dini, buku yang disediakan di Perpustakaan DNA seperti : boardbook, flip-flap book, buku kain (untuk bayi dan balita), pop-up book, dll. Selain itu, untuk kategori membaca dini disediakan aneka jenis pictorial book (buku bergambar dengan bahasa sederhana dan ilustrasi yang sangat menarik).


Koleksi buku di Perpustakaan DNA harus dapat mengembangkan karakter positif serta terbebas dari materi yang bersifat pornografi, kekerasan, ungkapan kebencian dalam berbagai bentuk, dan penistaan suku, adat, ras, serta agama (SARA). Hal ini sejalan dengan UU RI No.3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan, yang menyatakan bahwa penyelenggaraan sistem perbukuan berazaskan kebhinekaan, kebangsaan, kebersamaan, profesionalisme, keterpaduan, kenusantaraan, keadilan, partisipasi masyarakat, kegotongroyongan, dan kebebasbiasan.

Kesalahan dalam memilih buku yang tidak sesuai dengan jenjang kemampuan membaca akan membuat pembaca, terutama anak-anak, tidak mencapai tujuan membaca yang diharapkan. Dengan demikian, diperlukan perjenjangan buku guna memilih buku yang  bermutu dan sesuai dengan perkembangan kemampuan baca serta kebutuhan pengembangan literasi. Para pengguna perpustakaan DNA  dapat memilih dan memilah buku secara tepat, efektif, dan bermakna sesuai dengan tingkat perkembangan usia, kemampuan baca, dan kebutuhan pembaca.

Pendidikan adalah proses pengembangan kapasitas untuk tumbuh secara terus-menerus dan merekonstruksi pengalaman menjadi lebih bermakna.  Sumber pengalaman antara lain terdapat dalam buku teks pelajaran dan buku nonteks pelajaran. Membaca buku sebagai bagian dari pembelajaran harus dapat dijadikan sebagai pengalaman lebih bermakna.
Membaca bukanlah sekadar meningkatkan keterampilan berbahasa. Membaca adalah sebuah proses pembaruan pikiran, di mana seseorang akan menerima suatu hal yang dapat membantu terbentuknya sel otak baru dalam setiap penyerapan informasi. Membaca dapat membuka mata kita akan pentingnya SDM yang unggul, mengubah pikiran kita menjadi lebih luas lagi, memiliki sumber informasi agar tidak terbawa arus negatif globalisasi. Membaca dapat mempengaruhi kualitas suatu bangsa. 
Penanaman budaya literasi baca-tulis yang senantiasa diupayakan melalui beragam kegiatan di Perpustakaan DNA juga menjadi salah satu alternatif cara menghindarkan ketergantungan anak-anak terhadap gawai. Dengan semakin banyak bahan bacaan yang variatif dan menarik (yang disesuaikan dengan perjenjangan usia), membuat anak-anak akan semakin kaya kosakata dan ide-ide yang dapat dituangkannya dalam komunikasi lisan dan tulisan.
Akhirnya, sebagai pengelola perpustakaan sekaligus pegiat literasi, kita harus menciptakan suatu kondisi dimana aktivitas membaca bukan hanya sekadar sebuah kewajiban, tetapi secara bertahap menjadikannya sebagai budaya dan hobi. Jika literasi baca telah kuat, maka tahap berikutnya yaitu literasi tulis tidak terlalu berat untuk diwujudkan. Walaupun orang yang rajin membaca tidak selalu identik dengan pandai menulis, tetapi setidaknya telah memiliki modal awal yang potensial.


Generasi yang kuat dalam literasi baca-tulis akan menjelma menjadi pendorong untuk lahirnya generasi yang memiliki kecakapan abad 21. Semoga Perpustakaan DNA bisa menjadi salah satu inkubator literasi yang mampu melahirkan SDM yang unggul dan berkualitas menuju Indonesia maju. Mari bersama, bersinergi membahagiakan sesama dengan ‘meliteratkan’ satu sama lain! Salam Literasi!

Sumber Pustaka:
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2018. Panduan Perjenjangan Buku Nonteks Pelajaran bagi Pengguna Perbukuan. Jakarta : Pusat Kurikulum dan Perbukuan.



Wednesday, May 20, 2020

MENCINTAI KEHILANGAN

Wednesday, May 20, 2020 0 Comments


Hidup di dunia tidaklah kekal. Apa yang kita miliki tidak selamanya akan terus menjadi milik kita. Demikian halnya setiap peristiwa yang terjadi dalam hidup kita, ada kelahiran selalu diiringi dengan kematian. Dari sana kita belajar tentang "mendapatkan" atau sebaliknya, "kehilangan". Hmm... begitulah hakikat hidup. Terkadang kita sebagai manusia terlalu mengikuti ego dan hawa nafsu untuk memiliki sesuatu, atau menambah jumlah suatu kepemilikan. Hingga mungkin kita pernah melakukan hal yang tidak sepatutnya untuk mencapai apa yang kita inginkan, pun ketika kita mencintai sesuatu, kita akan merasa sangat sedih saat kita kehilangannya. Setiap manusia pasti pernah merasakan kehilangan. Kita bisa saja kehilangan materi, jabatan, kesehatan, dan cinta, bahkan keberhasilan yang dicapai seseorang.

Kehilangan memang menyedihkan, tapi kita tidak bisa menghindari itu. Jangan pernah disesali dan ditangisi kehilangan itu. Tapi mari kita renungkan, buatlah perbandingan dengan kondisi sebelumnya. Hitunglah dan ukurlah porsinya, seberapa besar kita kehilangan dan seberapa besar yang telah kita dapatkan.

Jangan pernah terlena dengan sebuah kehilangan, apalagi yang hilang itu sifatnya materi atau kebendaan. Jangan pernah menangis atau menjerit histeris bila yang hilang itu adalah sesuatu yang memang akan hilang pada saatnya. Sabar dan ikhlas itu ada pada "pukulan atau hendakan" pertama. Lakukan yang seharusnya kita lakukan, berbesar hatilah dan persiapkan diri kita untuk kehilangan itu. Dalam hidup, suatu hal akan muncul dan akan pergi pada waktunya nanti. Tak ada yang abadi di dunia ini. Kehilangan terkadang membuat diri kita begitu rapuh, namun di sisi lain kehilangan bisa membuat kita menjadi pribadi yang tegar dan tangguh.

Sikap yang perlu kita lakukan saat kita menjalani episode kehilangan adalah introspeksi diri (muhasabah. Apakah kita pernah mengambil hak orang lain, sehingga Allah mengambil hak kita secara paksa? Apakah kita kurang menghargai kepemilikan yang telah Allah amanahkan? Sadari, apakah kehilangan itu membawa manfaat. Contoh, ketika seseorang kehilangan pekerjaan, ternyata setelah proses kehilangan itu ia justru menjadi pengusaha sukses karena ia berusaha untuk tidak meratapi episode kehilangannya, ia menjadi sosok yang tahan banting, pantang menyerah, terus berusaha untuk optimis dan bangkit dari keterpurukan. Walaupun dalam keadaan kehilangan, akan lebih menyejukkan hati jika kita berusaha mengambil hikmah dari kejadian tersebut.

Kehilangan adalah sebuah proses yang harus dilalui dalam perguliran kehidupan. Memang, sesungguhnya apapun yang ada pada diri kita selama hidup di dunia ini tiada yang abadi. Karenanya, kita harus selalu dalam kondisi siap. Siap untuk "mendapatkan" terlebih siap untuk "kehilangan". Segala sesuatu adalah milik-Nya dan kelak semuanya akan kembali pada-Nya. 


Sesuatu yang hilang belum tentu meninggalkan kekosongan semata karena jejak-jejak yang ditinggalkannya tak pernah benar-benar hilang. Maka, marilah terus belajar mencintai kehilangan, karena itu sunatullah, karena ia adalah bagian alamiah dari hidup kita. 

Kehilangan membuat banyak pelajaran dan pengalaman baru agar kita dapat menerima dengan baik proses itu, menerima diri kita sendiri. Kata pepatah bijak, "manusia tak memiliki apa-apa kecuali pengalaman hidup"/ Bila kita menyadari bahwa kita tak pernah seutuhnya memiliki apapun, kenapa harus tenggelam dalam kepedihan yang berlebihan ketika kita kehilangan. Kemenangan hidup bukan ketika berhasil mendapat banyak, namun ada pada kemampuan menikmati dan mensyukuri apa yang telah didapat tanpa menguasai. 

Dalam setiap kehilangan, ada pembelajaran istimewa yang akan membuat jiwa kita semakin kaya dan dewasa atau mungkin menjadi sebuah proses lepasnya sebuah ego dalam diri.

[Rangkuman materi yang penulis dapatkan dari penyampaian Bapak Erwin Arianto dan Theory of Happiness dari para pakar psikologi]
***
Ayah (Seventeen)


Engkaulah nafasku
Yang menjaga di dalam hidupku
Kau ajarkan aku menjadi yang terbaik
Kau tak pernah lelah
Sebagai penopang dalam hidupku
Kau berikan aku semua yang terindah
Aku hanya memanggilmu ayah
Di saat ku kehilangan arah
Aku hanya mengingatmu ayah
Jika aku t'lah jauh darimu
Kau tak pernah lelah
Sebagai penopang dalam hidupku
Kau berikan aku semua yang terindah
Aku hanya memanggilmu ayah
Di saat ku kehilangan arah
Aku hanya mengingatmu ayah
Jika aku t'lah jauh darimu


Lirik lagu Ayah yang dinyanyikan Seventeen mengalun begitu syahdu. Melemparku pada banyak kenangan indah di masa silam, bersamamu yang kini fisikmu takkan bisa kupeluk lagi, tanganmu takkan bisa kujabat erat lagi, nasihat-nasihat bijakmu takkan bisa kudengar lagi. Be, Cenung kangen… Kehilanganmu adalah salah satu kehilangan terbesar dalam hidup kami. Semoga kelak bisa berkumpul kembali di Surga ya, Be… Kita bisa seru-seruan bareng lagi.

Inilah kami, putra-putrimu yang akan terus saling bepelukan dan menguatkan.
Al Fatihah untukmu... 

Tak terasa 8 bulan engkau meninggalkan kami untuk menjemput kehidupan abadi. Segala hal tentangmu sungguh indah. Terima kasih telah menjadi sosok Bapak yang hebat untuk kami, sosok kakung humoris untuk Dzaky.
Kepergianmu menyisakan kesedihan yang sungguh menyesakkan dada.
Jumat, 20 Agustus 2019. Ibuk mengirim WA di grup keluarga: “Semuanya yang ikhlas ya, Ahha sudah dijemput ke surga.” Be, engkau berpulang di hari yang sangat baik dalam kondisi terbaik. Engkau tak merasakan sakit lagi. Kami semua ikhlas melepas kepergianmu.
***
Salah satu hal yang saya lakukan untuk self healing adalah menulis puisi untuk Babe yang kami cetakkan dalam buku Yasin.

[B]abe... 65 tahun engkau mencipta jejak penuh makna di dunia
[A]langkah banyak daftar kebaikan dan kisah indah yang tercipta penuh cinta
[B]abe... sosok suami romantis, ayah demokratis, juga kakung super humoris
[E]ngkaulah pribadi panutan, teladan keluarga yang kami banggakan

[K]ala bintang-gemintang tumpah ruah di langit semesta
[A]las tikar digelar, sekeluarga duduk bersila bermandikan sinaran purnama
[K]au berbagi cerita, mengisi tangki cinta, sesekali diiringi gelak tawa
[U]ntaian nasihat menjadi pengobar semangat, bahwa hanya jalan surga yang harus kita tuju bersama
[N]amun, pagi itu takdir langit punya rencana lebih indah
[G]enggaman tangan dan ragamu kian melemah

[A]jal pun menjemput, akhir untuk sebuah perjalanan abadi, perjumpaan dengan Ilahi Rabbi
[H]ari Jumat, 20 September 2019, tugasmu di dunia purna sudah
[H]ari nan indah penuh berkah, semoga engkau husnul khatimah
[A]yat suci Alquran terlantun syahdu, teriring doa-doa yang melesat tinggi ke singgasana Arsy-Nya

[W]aktu kanvas langit terlukis senja menawan usai prosesi pemakaman
[O]bati sendu yang menggelayut qalbu, menjadi senyuman yang melukis berjuta harapan
[K]elak semoga di surga Firdaus-Nya, kami sekeluarga kembali bersama

Dari kami semua yang mencintaimu tanpa batas waktu,
Yati, Dhody, Widowati, Febri, Etika, Siswadi, Norma, Dzaky



***
Saya jadi ingat review Misi Asik ke-6 dari Ndan Hessa saat kelas Batalyon Pejuang Literasi berlangsung. Waktu itu, kami mendapatkan tugas untuk menuliskan secara ekspresif satu kisah yang membuat kami merasa sedih atau terluka di masa lalu. Saya menulis kisah saat saya “diomongin” tetangga karena belum punya keturunan. Saya tuliskan emosi dan perasaan saya waktu itu di selembar kertas. Ternyata, selain belajar memaafkan masa lalu, menulis ekspresif juga mampu membantu melepaskan “beban negatif” dari masa lalu. Ini review dari Ndan Hessa…

“This is the journey of surviving through poetry.”
  –Rupi Kaur.

Kalimat tersebut tertulis pada sampul belakang buku antologi puisi “Milk and Honey” karya Rupi Kaur. Sebuah buku yang menceritakan perjalanan seseorang melewati kekerasan seksual, menemukan cinta, patah hati dan pemulihan diri. Kalimat tersebut mengisyaratkan buku tersebut merupakan perjalanan penulisnya untuk menyembuhkan diri dari penderitaan yang ia alami, sebagai strategi untuk coping.

Apa itu Coping?
Manusia memiliki kemampuan untuk berusaha keluar dari masalah yang ia alami. Strategi coping merupakan serangkaian usaha yang dilakukan seseorang untuk mengendalikan, menoleransi, atau mengurangi situasi yang memicu stres. Terdapat dua jenis strategi coping. Pertama, coping secara aktif dengan cara menyelesaikan masalah yang muncul. 
Kedua, coping yang terfokus pada pengurangan dampak emosional yang muncul akibat situasi pemicu stres tersebut.
Jika melihat pada jenisnya, strategi coping yang dilakukan oleh Rupi Kaur lewat bukunya termasuk pada pengurangan dampak emosional yang dialami.

Menulis ekspresif dapat membantu seseorang untuk mengarahkan perhatian ke tempat yang seharusnya. Pemikiran yang terpecah dan tidak teratur saat mengalami stres dapat terorganisir secara lebih baik ketika menulis ekspresif. Individu juga akan terbantu untuk dapat fokus dalam memahami penyebab stres dan meregulasi emosi dengan lebih baik.

***
Bagi saya, menulis juga dapat menyembuhkan luka. Sejak SMA hingga kuliah saya sangat aktif menulis catatan harian di sebuah buku diary (kreasi sendiri) dan itu sangat membantu saya menyikapi setiap permasalahan yang menghampiri dan sebagai sarana belajar mengikat makna sekaligus “mendewasakan diri”.

Saat ini pun saya masih mencoba menuliskan segala hal yang indah dan seru bersama Babe, ya ini bagian dari cara saya mengurai kesedihan, mengikat kenangan, sekaligus mencoba mengambil hikmah dalam upaya “mencintai kehilangan”.

Ahha Wok dan cucu kesayangannya. Mereka selalu kompak dan menggemaskan. ^_^

***
Sepenggal nasihat untuk diri sendiri…
“Nung, kesedihan itu indah, manakala kita mampu menyikapi lapis demi lapis hikmah yang tersembunyi didalamnya. Meski demikian kita harus berjuang untuk mendapatkan keindahan di balik setiap kesedihan. Meski kita harus berjuang untuk mengalahkan fikiran negatif dan sempitnya akal dan nafsu kita yang sering kali membujuk kita untuk lunglai, lalu terpuruk dalam kesedihan.”

Kesedihan itu indah, karena Allah Swt Maha dalam setiap kehendak-Nya...

NOTE: “Ahha Wok” panggilan kesayangan Dzaky untuk “kakung terkocak sedunia”-nya itu.


Sunday, May 10, 2020

JADIKAN RAMADAN DAN LEBARANMU TETAP ISTIMEWA MESKI DI RUMAH AJA

Sunday, May 10, 2020 0 Comments


Kita semua tahu, suasana Ramadan tahun ini sungguh-sungguh berbeda karena efek pandemi Corona. Tak ada tarawih di masjid, tak ada kegiatan TPQ, tak ada acara buka bersama di luar, tak ada majelis taklim tatap muka, yang paling terasa adalah tak ada mudik ke kampung halaman. Sediiiiiih banget rasanya… Tapi, kita tak bisa menolak kenyataan atas segala takdir yang telah Allah gariskan. Jalani saja semuanya dengan lapang dada, dengan kesabaran teristimewa, serta tak henti langitkan doa, semoga Allah mampukan kita semua.

Ramadan sudah separuh perjalanan, bagaimana kabar iman? Bagaimana kabar tilawah kita? Kabar ibadah-ibadah harian kita? Semoga tak ada hari berlalu kecuali segalanya bertambah dan menjadi lebih baik, baik kualitas maupun kuantitasnya. Aamiin.

Ramadan sudah separuh perjalanan. Biasanya jelang 10 hari terakhir, banyak persiapan yang saya lakukan, salah duanya: kegiatan “Mukhoyyam Qur’an (MQ)” dan “Mudik Lebaran”. Biasanya, setelah MQ, saya akan diantar mudik ke Wonogiri dulu oleh suami. Lalu suami akan kembali ke Semarang untuk i’tikaf dan baru akan mudik sekitar H-2 atau bahkan H-1 Lebaran karena masih jadi panitia pembagian zakat. Biasanya (lagi), saya sudah mulai persiapan packing keperluan saya, suami, dan Dzaky untuk mudik. Mulai dari pakaian, buku, mainannya Dzaky, oleh-oleh, dll. Tapi kini, koper masih tertata rapi di atas lemari. Rencana mudik yang harus ditunda dulu, sampai pandemi Corona berlalu…

Persiapan lebaran kali ini, tak ada persiapan khusus sebenarnya, kegiatan MQ akan tetap berjalan meski nanti via virtual. Padahal tahun kemarin bisa mabit (menginap) di masjid bersama sahabat-sahabat salihahku. 1 hari bisa tilawah minimal 10 juz. Bisa setor hafalan baru minimal setengah juz. Bisa berlama-lama dengan Al Qur’an tanpa kepikiran nanti masak buat menu buka atau sahur apa (karena sudah disediakan panitia). Tentu saja, Ramadan kali ini berasa ada yang kurang. Setelah MQ, bisa lanjut mudik, menghabiskan 10 hari terakhir Ramadan di rumah Wonogiri. Bisa menikmati santap sahur dan buka bersama keluarga tercinta. Sudah kangen banget sama kuliner Wonogiri dan Klaten. Hiks…

Rencananya lebaran nanti, kami sekeluarga akan nge-ZOOM bareng-bareng baik keluarga Wonogiri maupun Klaten, juga sahabat-sahabat dan sanak keluarga.

Lebaran 2019 di Wonogiri

Jadi #autonyanyi lagunya keluarga DNA Adhitya…

Bulan mulia kini tlah tiba
Terasa berbeda karena Corona
Bulan mulia kini tlah tiba
Terasa berbeda karena di rumah aja

Ramadanku kini di rumah aja
Tarawih di rumah
Bersama keluarga
Indah penuh berkah
Meski di rumah aja

Banyak tilawah
Banyak sedekah
Perbanyak ibadah
Mohon ampunan-Nya

Bersama-sama kita berdoa
Hilanglah Corona
Bangkitlah Indonesia!

Ramadanku kini di rumah aja
Tarawih di rumah
Bersama keluarga
Indah penuh berkah
Meski di rumah aja

#CENUNGMERENUNG
Metamorfosis Cinta Di Ramadan Mulia
Fase 1: TELUR
“Inilah faseku bermula. Bersiap hadapi sekian proses yang akan aku jalani. Awal untuk sebuah akhir yang indah, itu harapku!”

Fase 2: LARVA
“Aku terlihat begitu menjijikkan. Bahkan aku pun tak mengenali bayanganku sendiri di cermin. Tapi, syukur adalah sebuah keterterimaannya aku pada diriku sendiri. Karena itu artinya, aku menghargai sebuah karya cipta Maha Agung. Dan inilah fase hidupku untuk mengumpulkan bekal sebanyak-banyaknya. Bersiap menghadapi fase penuh penempaan selanjutnya.”

Fase 3: KEPOMPONG
“Inilah fase terberat yang memperkaya jiwaku akan arti kesungguhan, kesabaran, keikhlasan, perjuangan, dan kebeningan hati. Fase muhasabah dan penemuan hakikat diri. Inilah fase paling menentukan. Karena ujian terus datang membadai. Inilah faseku untuk menjadi pribadi yang lebih baik, pribadi yang berharap layak menyandang gelar insan bertaqwa. Aku ingin meraih gelar itu agar kepakan sayapku sempurna…”

Fase 4: KUPU-KUPU
“Atas kesabaran yang berhasil aku kumpulkan, tibalah masa di mana aku membuka kulit kepompongku. Belajar membuka sayapku yang masih terasa rapuh. Hangat sang mentari pun membakar semangatku. Jiwa-jiwa terlahir menjadi pribadi yang baru. Ya, aku yakin! Aku pasti mampu merentangkan sayapku kuat-kuat. Terbang menghiasi taman melati surga, senantiasa menjadi penyejuk bagi siapapun yang melihatku dalam tatapan cintanya. Menebarkan pesona teristimewa sebagai tanda kesyukuranku pada Sang Pencipta…”


Selamat bermetamorfosis di bulan Ramadan dengan semangat “Mengetuk Pintu Ar Rayyan”! Yuk, optimalkan hari-hari terakhir Ramadan dengan amalan-amalan istimewamu! Selepas Syawal, semoga kita semua layak menyandang predikat insan bertaqwa. Aamiin Ya Rabbal’alamiin…