Jejak Karya

Jejak Karya

Monday, April 18, 2011

Catatan Aisya [16] : Masih Antara Senja dan Aku

Monday, April 18, 2011 0 Comments

Hari ini akhirnya kulalui
Meski rasa sakit masih mendominasi
Agenda hari ini berhasil dijalani
Tapi apa yang kan terjadi esok hari?

Bagaskara sudah bertahta di ufuk barat
Aku pun terdiam sesaat
Memikirkan apa yang telah kuperbuat
Ku hanya berharap ridho-Nya yang kudapat

Apa yang kan kulakukan kemudian?
Ketika esok bagaskara menyapa kembali
Dan apa yang kan kulakukan
Jika esok aku pulang menghadap Ilahi???

***

Masih demam... Allahumma 'afini fii badanii...
Ya Allah, aku ingin sehat kembali agar besok bisa membersamai sahabat sejati
Dalam acara yang sudah lama dinanti )i( 13 )i(

Jakarta, 160411_17:42
Aisya Avicenna
writer@www.aisyaavicenna.com

Friday, April 15, 2011

Catatan Aisya [15] : Menghafal Hadist

Friday, April 15, 2011 1 Comments

Saya tergugah dengan pertanyaan Ustadzah Win tadi pagi saat memuroja'ah hafalan hadist kami. Beliau adalah ustadzah kami dalam kelas tahsin pekanan di LBQ Al-Utsmani pada semester ini. "Hadistnya cuma pendek kan? Insya Allah mudah kok dihafal. Apa kendalanya?" Beliau bertanya seperti itu kepada kami semua. Sindiran yang halus, tapi sangat mengena. .

Ya, pagi ini kami memang harus setoran hafalan hadist yang menjadi tugas kami sepekan yang lalu. Hadist tersebut berkaitan dengan urgensi mempelajari tajwid Al-Qur'an. Kami semua belum berhasil memenuhi target setoran. Terkait kendala, beberapa dari kami mengakui bahwa kendala utama memang berasal dari diri kami sendiri. Kalau masalah waktu, ya tidak adil rasanya kalau waktu yang dipersalahkan. Karena kami sama-sama punya waktu 1 pekan untuk menghafal 8 hadist dan artinya itu.

Saya sendiri baru bisa menyetorkan 5 hadist yang sudah saya hafalkan. Hmm, berarti masih hutang 3 hadist untuk disetor pekan depan. Semangat!!! Selain bisa menghafal hadist, mohon doanya juga semoga bisa menghafal Al-Qur'an sebelum usia 30 tahun (target pribadi). Pokoknya ni lagi semangat memperbaiki hafalan karena setelah belajar tahsin, ternyata tajwidnya masih banyak yang perlu dibenahi.

Pada catatan kali ini saya fokuskan tentang bahasan menghafal hadist. Maksudnya tak lain sebagai motivasi pada diri sendiri pada khususnya. Harapan besarnya sih semoga menjadi motivasi juga bagi yang membaca tulisan ini.

Hadist telah disepakati oleh kaum muslimin sebagai sumber ilmu dan hukum Islam yang kedua, setelah Al-Qur’an. Sebagai sumber ilmu dan hukum, peran hadist terhadap Al-Qur’an antara lain sebagai berikut:
1. Menegaskan hukum-hukum yang ada di dalam Al-Qur’an
2. Menjabarkan penjelasan Al-Qur’an yang ringkas dan
3. Menetapkan hukum yang tidak ditetapkan di dalam Al-Qur’an.

Salah satu upaya penjagaan sunnah yang terlupakan pada generasi ini adalah menghafal hadits (hifzhul hadits. Para sahabat Nabi merupakan contoh ideal dari orang-orang yang berdiri di awal penghimpunan hadits dengan cara menghafal, mereka memusatkan pikiran dan tenaga demi kecintaan mereka terhadap tegaknya Islam dengan sunnah.

Karena itulah, para sahabat dan tabi'in serta ulama-ulama hadits sangat besar perhatiannya kepada hadits. Bahkan mereka mengadakan perjalanan panjang untuk mendapatkan satu hadits sekalipun.

Di antara kalangan sahabat, yang masyhur dalam menghafal hadits adalah Abu Hurairah, Abdullah bin 'Abbas, Aisyah, Abdullah bin 'Umar, Jabir bin 'Abdullah, Anas bin Malik, Abū Sa'id al-Khudri Radhiyallahu 'anhum. Mereka semua termasuk para sahabat yang menghafalkan hadits lebih dari 1000 hadits.

Masih banyak lagi generasi penghafal hadist setelahnya. Mereka berupaya semampu mereka dalam menghafalnya. Bahkan banyak di antaranya mewariskan hafalannya kepada anak-anak mereka. Maka, lahirlah generasi penghapal hadits berikutnya. Inilah gambaran yang membuktikan kepada kita bahwa menghafal hadits pada kalangan salafus shâleh telah menjadi tradisi yang dilazimkan dalam rangka menjaga agama ini.

Alangkah baiknya tradisi yang dilahirkan sekaligus diamalkan generasi terbaik ummat ini dapat kita mulai dari kita dengan menghafal satu atau dua hadits dan membiasakannya kepada anak-anak kita sebagai generasi yang akan datang agar kita juga termasuk dalam generasi yang ikut serta menjaga dan memelihara sunnahnya.

Dengan kedudukan hadits yang tinggi tersebut, maka mempelajari dan menghafalkan hadist memiliki banyak manfaat, di antaranya:
1. Menghafal hadits termasuk dalam tafaqquh fiddin (mendalami ilmu agama) yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya.
2. Hadits adalah sumber hukum Islam, maka menghafalnya termasuk dalam salah satu bentuk pembelaan Islam dan Rasul-Nya.
3. Mengutamakan kata-kata beliau di atas kata-kata siapapun juga termasuk bukti kecintaan dan keimanan kepada Nabi Muhammad Saw.
4. Menghafal hadist merupakan salah satu cara untuk menjaga keaslian hadits dari berbagai upaya perusakan hadits, baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja.

Berkatalah Anas bin Malik Radhiyallâhu Anhu: ”Dulu ketika kami berada di dekat Rasulullah Saw., kami mendengarkan hadits-hadits dari beliau, apabila kami berdiri(telah bubar dari majelis Nabi Shallallâhu Alaihi wa Sallam) kami saling mengulang hafalan hadits tersebut sampai kami menghafalnya."

Rasulullah Saw. pernah bersabda: “Semoga Allah menjadikan berseri-seri wajah seseorang yang mendengar dari kami hadits lalu dia menghafalkannya dan menyampaikannya kepada orang lain…” (HR. Tirmidzi, Abu Dawud dan Ibnu Majah dari sahabat Zaid bin Tsabit Radhiyallahu 'anhu)

Mari berusaha semaksimal mungkin menghafal hadits-hadits Rasulullah Saw sebagaimana menghafal Al-Qur'an karena keduanya merupakan keutamaan. Mari bersemangat dalam mempelajari, menghafalkan dan mengamalkannya, karena dengan begitu kita turut andil dalam menghidupkan amal kebaikan ini.


Renungan Sore...
Jakarta, 150411
Aisya Avicenna
writer@www.aisyaavicenna.com

Celoteh Aksara [15]: “Titik. Tak Ada Koma Lagi!”

Friday, April 15, 2011 0 Comments
Ungkapan ini tak kan pernah mati di dalam hati. Ketika nafsu kita menginginkan segala apa yang ada di dunia, kita akan mendapati rasa kecewa. Tatkala apa yang kita inginkan dan harapkan tiba-tiba sirna ditelan masa. Harapan ini sudah tidak ada di hati lagi, hingga rasa kecewa tak akan pernah menghinggapi relung jiwa.

Dunia ini semu, sesemu impian di dalam kalbu. Kesuksesan datang dari seberapa besar keikhlasan kita pada sesama. Bukan seberapa besar kita dapat untung di dunia.

Dalam menulis, tanda titik menandakan berakhirnya sebuah kalimat. Dan kali ini sudah cukup bagiku menyelesaikan kisah pertama, kedua, ketiga, keempat,... Titik. Tak ada koma lagi. Cerita ini selesai. Air yang keruh membutuhkan waktu untuk dijernihkan. Maka, jangan sampai terpancing lagi di air yang keruh. Selalu ada hikmah dibalik semua kejadian. Cukuplah kesalahan ini menjadi jalan untuk menghisab diri sendiri. Allah berfirman bahwa di balik kesulitan pasti akan ada kemudahan. Alhamdulillah, satu permasalahan selesai sudah dan semuanya mengandung hikmah. Akhirnya, aku sampaikan…Titik. Tak ada koma lagi.

Maka, para pecinta sejati menikmati kecintaannya bersama Allah Azza wa-Jalla, mereka adalah kalangan terpilih dari makhluk-Nya. Dan kepada Sang Penggenggam Jiwa…kuserahkan sepenuh hidupku pada-Mu, hingga syahid menjemput nyawaku…


[Keisya Avicenna, 15 April 2011. Sahabat sejati bukan benci tuk ditinggal pergi, tetapi bahagia di saat dia bahagia dan sedih di kala sahabat kita dirundung duka. "tuk sahabatku, berbahagialah…"]

Thursday, April 14, 2011

Catatan Aisya [14] : Deepest Contemplation

Thursday, April 14, 2011 0 Comments

Saudaraku, sejenak membayangkan euforia kegembiraan para sahabat ketika Baginda Rasulullah Saw dengan wajah berseri memberitakan kabar gembira tentang diterimanya taubat Ka'ab bin Malik, Murarah bin Rabi’ah dan Hilal bin Umayah Al-Waqifi yang lupa menyiapkan diri untuk ikut perang Tabuk. Kesabaran mereka dalam menerima iqab dari Rasulullah SAW berupa boikot dan penghilangan sebagian hak-haknya selama 50 hari berbuah manis, Allah SWT menerima taubat mereka.

“Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubat) mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas, dan jiwa mereka pun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah melainkan kepada-Nya saja. Kemudian, Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap dalam taubatnya. Sesungguhnya Allah-lah Yang Maha Menerima taubat lagi Maha Penyayang.” (Q.S. At-Taubah:118)

Saudaraku, mereka tidak berpaling sedikitpun. Surat bujukan untuk berkhianat terhadap Allah Swt dan Rasulullah Saw pun dicabik-cabik dan dibakar demi mendapatkan ridho dan ampunan-Nya. Dan kisah ini menjadi bagian penting pembelajaran tentang keteguhan, ketsiqohan, kesabaran tentang bagaimana menerima pahit manisnya dinamika dakwah ini.

Saudaraku, kisah tersebut menjadi pelajaran bahwa bersabar itu jauh lebih baik, walaupun sesak dada ini dalam menerima sebuah keputusan, walaupun dunia seakan menyempit, tetap teguhlah bersama janji yang kau ucapkan, sehingga kita termasuk orang-orang yang dimaksudkan dalam firman-Nya: "Dari antara orang-orang yang beriman, ada orang-orang yang benar dalam berjanji kepada Allah." (Q.S. Al-Ahzab : 23)

Saudaraku, ketika Allah menegur kita karena sebuah maksiat, kadang teguran itu tidak datang langsung, terkadang Allah menegur lewat orang lain.


Astaghfirullahaladzim…

La haula wala Quwwata illa billah….

Teringat sebuah saran dari seorang sahabat tadi pagi.



“Tik, baca tulisannya Pak Cah deh di http://cahyadi-takariawan.web.id/ judulnya “Menyublimkan Kepedihan”. Bagus!”

Akhirnya saya cari tulisan itu dan perkenankan untuk saya sharingkan dalam catatan kali ini. Benar-benar menjadi bahan renungan yang sangat mendalam.

***

MENYUBLIMKAN KEPEDIHAN

Sesungguhnyalah epos setiap pahlawan dan pejuang selalu menyimpan kisah-kisah kepedihan. Karena semua pahlawan, semua orang besar, tidak bisa menghindarkan diri dari keterbatasan dirinya yang tidak dimengerti publik. Kebesaran nama dirinya telah menyihir opini masyarakat, seakan dia adalah manusia tanpa cela, serba sempurna dan serba tidak ada kekurangannya. Di titik ini, setiap pejuang ditempatkan secara terasing, di posisi yang tidak dia kehendaki.

Ada pejuang yang memilih menjaga citra diri dengan mencoba menjadikan dirinya sesuai harapan publik. Tentu ini tidak mudah. Dia adalah magnet bagi kamera media. Omongannya, responnya, perbuatannya, tindakannya, adalah sebuah berita. Semua mata memandang kepadanya, dimanapun ia berada. Tak ada ruang privat lagi bagi orang seperti dirinya. Media bisa masuk ke semua ruang-ruang pribadinya.

Dengan pilihan ini, ia harus menjadi seseorang seperti yang diharapkan publik. Bukan menjadi dirinya sendiri yang memiliki banyak keterbatasan. Namun ia harus menjadi hero, menjadi superman, menjadi seseorang yang selalu diidolakan semua kalangan masyarakat. Tak ada kesempatan bagi dirinya untuk menjadi dirinya sendiri, menjadi manusia biasa yang bisa menangis, bisa salah, bisa lupa, bisa khilaf, bisa berbuat dosa. Dia dipaksa menjadi seseorang seperti harapan masyarakat terhadap sosok pahlawan dan pejuang. Bahwa para pahlawan selalu tampil elegan, tanpa cela, tanpa cacat. Sedikitpun.

Celakanya, para pemuja sosok pahlawan ini hampir tidak bisa membedakan mana sosok manusia biasa yang tengah berusaha menjadi pejuang atau pahlawan, dengan manusia pilihan yang Tuhan takdirkan menjadi Nabi. Bagi seorang Nabi utusan Tuhan, dirinya mendapatkan dukungan Ketuhanan secara penuh. Karena semua perkataan dan perbuatannya adalah hukum untuk diikuti oleh pemeluk agama sang Nabi. Berbeda dengan manusia yang lainnya, kendati dia adalah seseorang yang berusaha menempatkan diri dalam barisan para pejuang dan para pahlawan, namun tetap saja dia adalah manusia biasa.

Sebuah harapan yang berlebihan bahkan absurd. Saat dunia telah sangat lama ditinggalkan oleh Nabi terakhir, akhirnya menjadi defisit keteladanan dan contoh kebaikan. Dunia muak dengan kemunafikan dan kepura-puraan yang sering ditampakkan banyak aktor politik dan banyak pejabat publik. Masyarakat menghendaki dan mencoba mengidentifikasi tokoh-tokoh yang bisa menjadi sumber inspirasi dan keteladanan dalam kehidupan. Sangat langka. Begitu menemukan beberapa gelintir orang yang dianggap masih memiliki harapan untuk menjadi panutan, maka harapan mereka menjadi berlebihan dan tidak masuk akal.

Para pejuang ini telah dipajang dalam bingkai harapan yang sangat ideal. Tak boleh berdebu, mereka bersihkan setiap hari dengan puji-pujian dan sejuta doa. Para pejuang ini yang akan menjadi penyelamat bangsa, akan menjadi harapan perubahan bagi Indonesia. Sebuah obsesi yang lahir dari dahaga berkepanjangan akan munculnya sosok keteladanan dari para pahlawan. Sangat lama masyarakat menunggu para pahlawan yang akan mensejahterakan rakyat Indonesia dan membebaskan masyarakat dari kebodohan, kemiskinan, kelaparan, ketertinggalan dan keterbelakangan.

Para pejuang telah ditempatkan pada posisi yang mustahil melakukan kesalahan. Mereka tidak ditolerir memiliki kelemahan, bukan hanya untuk diri pribadinya. Namun juga bagi isteri, anak-anak dan semua keluarganya. Masyarakat mudah mengalami kekecewaan fatal bahkan keputusasaan apabila melihat ada kekurangan pada diri sang hero, atau pada isteri dan anak-anaknya. Keteladanan dituntut untuk selalu dipenuhi, bahkan oleh anak-anak yang tidak banyak mengerti beban orang tua mereka yang terlanjurkan diidolakan sebagai sosok pahlawan super. Isterinya harus super, anak-anaknya harus super, keluarga besarnya harus super. Betapa berlebihan tuntutan ini.

Namun ada pula para pejuang yang memilih menikmati menjadi dirinya sendiri apa adanya. Seorang manusia yang penuh kelemahan dan keterbatasan. Di tengah kelemahan dan keterbatasan diri, ia mencoba menjadi seseorang yang memberikan kemanfaatan bagi orang lain. Memberikan kontribusi kebaikan sekuat kemampuan yang dia miliki. Waktu, tenaga, pikiran, harta benda dia curahkan untuk melakukan hal terbaik yang bisa dia sumbangkan bagi perbaikan bangsa dan negara. Mungkin tidak terlalu memuaskan masyarakat, mungkin tidak heroik, mungkin tidak dielu-elukan oleh para pemuja kepahlawanan. Namun ia selalu berusaha memberikan yang terbaik


Dia melihat dunia dengan dua kacamata pada saat bersamaan. Satu kacamata idealis, dia memiliki visi yang sangat jelas tentang hal-hal ideal yang harus dilakukan dan harus terjadi bagi bangsa dan negara. Satu lagi kacamata realis, bahwa dia melihat Indonesia tidak cukup diubah oleh keteladanan beberapa sosok pahlawan. Indonesia hanya memerlukan kebersamaan untuk melakukan perubahan, memerlukan konsistensi untuk menegakkan aturan, memerlukan kedisiplinan untuk menjalankan agenda kebangsaan dan kenegaraan. Indonesia memerlukan harmoni dari pagelaran orkestra berbangsa dan bernegara.

Dia tidak mau terkurung ke dalam sosok pahlawan ideal seperti yang digambarkan masyarakat. Benarkah perubahan Indonesia harus dimulai dari sosok-sosok profan yang tak memiliki sedikitpun kekurangan, cacat, kelemahan dan kesalahan ? Bukankah itu hanya layak dinisbatkan kepada para Nabi dan Rasul yang dimuliakan Tuhan dengan tugas-tugas Ketuhanan ? Dia merasa hanyalah manusia biasa yang berusaha melakukan perubahan ke arah kebaikan, semaksimal kemampuan yang dia miliki. Namun dia mengetahui ada sejumlah sisi-sisi kemanusiaan dalam dirinya yang akan sulit dipahami oleh publik.

Sering terbersit dalam kesendiriannya, apakah hanya ada dua pilihan menjalani kehidupan bagi bangsa Indonesia? Pilihan menjadi pahlawan super hero yang dipuja-puja seluruh masyarakat, dan pilihan menjadi pecundang yang dicela oleh semua media, tanpa sisa? Tidak adakah pilihan menjadi diri sendiri yang jujur apa adanya, menjadi seseorang yang penuh keteterbatasan dan kelemahan, namun selalu berusaha menyumbangkan kontribusi terbaik bagi bangsa dan negara? Dimanakah tempat orang-orang seperti ini? Apa nama dan nilai mereka ini? Menjadi pahlawan ataukah pecundang?

Menjadi super hero tanpa cela betapa sangat sulitnya. Siapa yang akan sanggup menempati posisi seperti ini, siapa yang akan merelakan dirinya berada dalam sebuah suasana pencitraan, untuk memenuhi harapan dahaga masyarakat akan sosok-sosok keteladanan? Menjadi pejuang tanpa kelemahan dan kekurangan, betapa beratnya. Menjadi pahlawan tanpa sedikitpun tercemar oleh cela yang dilakukan oleh dirinya, isteri, anak-anak dan keluarga besarnya, siapa sanggup menempuhnya? Inilah episode kepedihan setiap pahlawan dan pejuang.

Saya berusaha memilih sesuatu yang masuk akal dan sesuai hati nurani. Saya bukan seorang pahlawan, bukan seorang super hero, bukan seorang super man, atau semacam itu. Saya hanyalah seorang anak bangsa yang memiliki teramat sangat banyak kekurangan, kelemahan, keterbatasan dan hal-hal tidak ideal. Dari sudut pandang apapun. Namun saya sangat meyakini bahwa kebaikan besar bermula dari kebaikan-kebaikan kecil. Saya sangat meyakini hal-hal luar biasa bisa bermula dari konsistensi melakukan hal-hal yang biasa.

Terserah orang menyebut apa terhadap hal yang saya lakukan. Saya berjalan pada sebuah keyakinan, pada sebuah arah tujuan. Saya berjalan pada sebuah bingkai cita-cita perubahan, namun saya hanyalah seorang manusia yang penuh keterbatasan. Isteri saya hanyalah seorang perempuan biasa, sangat biasa, yang memiliki sangat banyak kekurangan. Anak-anak saya hanyalah anak-anak yang terlahir dari sejarah pernikahan, dan mereka menjadi dirinya yang tidak bisa dibebani dengan harapan orang atas ayah mereka. Namun dengan segala titik kelemahan dan kekurangan kemanusiaan tersebut, saya selalu berusaha melakukan hal-hal baik yang mampu saya lakukan. Memproduksi kebajikan semaksimal kesanggupan yang ada pada saya.

Tidak bolehkah memiliki pilihan sederhana seperti ini? Haruskah kita memilih menjadi pahlawan tanpa cela, atau sekalian memilih menjadi pecundang yang dicela serta dilaknat seluruh media? Sedih sekali hidup kita, jika terbelenggu oleh “apa kata orang kepada kita”. Sedih sekali, jika hidup kita harus menyesuaikan dengan selera media. Sempit sekali dunia, jika kita harus menjadi sosok-sosok utopis yang diimpikan para pemuja epos kepahlawanan dunia. Hingga orang tidak berani berbuat dan berkata apa-apa, karena takut dilaknat media. Hingga orang takut melakukan upaya perbaikan semampu yang dia bisa, karena takut dicela massa.

Setiap hari berseliweran sms, mengkonfirmasi berita ini dan itu di media massa. Mencela, melaknat, mencaci maki, menghakimi semau sendiri, memastikan keburukan orang, mengimani berita media massa tentang perilaku seseorang. Sms berseliweran tanpa tuan, menghakimi tanpa persidangan, memutuskan tanpa penjelasan, memastikan tanpa pertanyaan, menuduh tanpa kelengkapan persyaratan, membunuh karakter tanpa alasan. Semua orang ketakutan, semua orang gelisah, tiarap, takut dirinya tengah dirilis media. Takut dirinya tengah dibicarakan koran. Takut dirinya menjadi berita utama di sms yang berseliweran setiap detik, setiap kesempatan.

Seakan dunia telah kiamat, saat seseorang pejuang dituduh melakukan kesalahan. Seakan kebaikan telah hilang, saat sosok pahlawan yang diidamkan teropinikan melakukan pelanggaran. Hancur sudah dunia kepahlawanan, habis sudah sejarah para pejuang, tamat sudah riwayat para pembela kebenaran. Hari ini juga semua jiwa telah binasa. Kita menjadi orang yang berlebih-lebihan melihat, menanggapi, mengomentari segala sesuatu. Baru running text, baru rilis koran, baru kilas berita televisi dan cybermedia. Tiba-tiba sms sudah menyebar kemana-mana. Tiba-tiba kepercayaan sudah sirna. Tiba-tiba kehangatan sudah tiada. Berpuluh tahun kita merajutnya. Hilang sesaat begitu saja?

Inilah sisi kepedihan dalam setiap epos kepahlawanan dan kepejuangan. Setiap pahlawan, setiap pejuang selalu dihadapkan kepada kondisi-kondisi kemanusiaan yang sulit dimengerti para pemuja mereka. Media telah menghukum tanpa ampunan. Headline setiap hari. Heboh, bombastis, sinistis. Mematikan hati yang terlalu ciut menerima kritik dan lontaran tajam. Mematikan semangat yang terlampau dingin untuk melakukan berbagai kebajikan. Cita-cita dan tujuan seakan sudah terlupakan oleh opini koran dan berita harian.

Silakan tidur dan berhenti dari kebaikan, maka para setan akan pesta pora merayakan kemenangan. Silakan menyesal menempuh jalan panjang bernama kebajikan, tempuh jalan lain yang lebih menyenangkan pemberitaan. Hanya itukah tujuan kita? Mendapat pujian, mendapat pengakuan, mendapat ucapan selamat dan penghargaan atas kesantunan, kesalehan, kebaikan, kejujuran, dan kebersihan yang ditampilkan? Tidak siap mendengar kritik tajam, caci maki, cemoohan masyarakat dan media massa? Tidak kuat mendengar ledekan, tertawaan, gunjingan, dan kekesalan orang?

Adakah anda rasakan kesedihan yang saya tuliskan ? Kesedihan di setiap epos kepahlawanan dan kepejuangan. Kesedihan yang tidak bisa dibagi dengan para pemuja pahlawan. Kesedihan yang harus dikunyah dan dinikmati sendiri oleh setiap orang yang berjuang dalam kebaikan. Jika anda merasakan, saya ajak anda menyublimkan kesedihan itu menjadi sebuah karya nyata, sekecil apapun yang kita bisa.

Menyublimkan kepedihan menjadi amal kebaikan berkelanjutan yang kita lakukan dalam setiap tarikan nafas. Jangan menguapkannya, karena jika diuapkan kesedihan hanya akan hilang namun tidak menghasilkan karya. Ya, anda harus menyublimkan kepedihan ini menjadi sesuatu yang sangat berarti. Menjadi sesuatu yang menyemangati diri. Menjadi sesuatu yang menasihati. Menjadi sesuatu yang bernilai abadi. Menjadi sesuatu yang bernama kontribusi.

Setiap cemoohan dan ejekan akan menambah kesedihan di hati para pejuang. Setiap ketidakberhasilan akan menggoreskan kegetiran pada dada setiap pejuang. Kesedihan itu harus disublimasi menjadi karya yang berarti. Setiap hari kita telah terbiasa menumpuk kelelahan, kesedihan, kegetiran, kepedihan, dari yang terkecil hingga yang paling dalam. Menyublimkan kegetiran akan mengubahnya menjadi kerja nyata bagi bangsa dan negara. Apa artinya dipuji-puji jika tidak memiliki kontribusi yang berkelanjutan? Apa salahnya dicaci maki jika itu memacu kontribusi yang lebih berarti bagi perbaikan?

Mari bekerja di ladang-ladang amal kita yang sangat luas tanpa batas. Silakan mencela bagi yang hobi mencela. Silakan melaknat bagi yang gemar melakukannya. Silakan berhenti dan menepi bagi yang sudah tidak memiliki kepercayaan lagi. Sekecil apapun langkah kebaikan kita lakukan, pasti tetap menjadi kontribusi yang berarti bagi negeri. Keyakinan ini tak bisa ditawar lagi. Tuhan telah mengumandangkan, hal jaza-ul ihsan illal ihsan. Apakah kita tetap juga tidak memahami?

Kita serahkan semuanya kepada Tuhan Yang Maha Mengerti.
Malili, Luwu Timur, Sulawesi Selatan 9 April 2011

***

"Berjuanglah untuk kebaikan dan kebenaran, sepahit dan sesulit apapun. Bersatulah dalam jama'ah, sebenci dan sekecewa apapun, karena berjama'ah lebih baik daripada sendirian. Bangkitlah ketika jatuh dan jangan menyerah. Peganglah prinsip kita, selama itu benar. Bertausyiahlah setiap saat, agar saudaramu merasa memiliki dan dimiliki. Jangan tinggalkan yang dibelakangmu, tunggu dengan kesabaran dan keikhlasan. (Imam Hasan Al Banna)



Deepest Contemplation…

Saat senggang dan pikiran leluasa merenung…
Jakarta, 14042011
Aisya Avicenna
writer@www.aisyaavicenna.com

Catatan Aisya [13] : Aku dan Kau, Sahabat!

Thursday, April 14, 2011 0 Comments
Ada kelegaan tersendiri tatkala sebuah beban sudah dibagi...
Ada syukur tak bertepi ketika sahabat mau belajar mengerti...
Adalah kesepakatan yang melanggengkan persahabatan...
Adalah pengertian yang membuat ukhuwah makin menawan...

Maafkan aku sahabat..
Kala kataku membuat luka hatimu..
Kala lakuku membuat jiwamu jemu..

Tolong sahabat..
Bantu aku semakin mendekat
Pada Sang Penggenggam Nikmat..
Bantu aku menjadi muslimah yang teguh, tegas, dan kuat...

Terima kasih sahabat..
Atas segala pengertian yang jadi kesepakatan..
Atas segala nasihat yang menjadi pengingat..

Mari saling menjaga diri..
Jangan biarkan hati ternodai..
Mari kembali arungi..
Hidup dalam ridho Illahi..
***

menikmati jingga di langit solo dgn backsong "cinta berkawan"nya Edcoustic..
@Adi Soemarmo Airport, 130411
Aisya Avicenna