Jejak Karya

Jejak Karya

Saturday, May 30, 2020

BERTUALANG DI RIMBA BACA ALA PERPUSTAKAAN DNA



Masyarakat Literat Indonesia Bermartabat
Secara etimologis, istilah literasi berasal dari bahasa Latin “literatus” yang artinya “orang yang belajar”. Literasi merupakan suatu kemampuan seseorang untuk menggunakan potensi dan keterampilan dalam mengolah serta memahami informasi saat melakukan aktivitas membaca dan menulis. Literasi memiliki fungsi penting dalam kehidupan. Kesadaran berliterasi akan mengantarkan sebuah peradaban pada kedudukan yang terhormat dan bermartabat.
Sebagai negara berkembang, Indonesia harus mampu mengembangkan budaya literasi sebagai prasyarat kecakapan hidup abad ke-21 melalui pendidikan yang terintegrasi, mulai dari keluarga, sekolah, sampai dengan masyarakat. Enam literasi dasar mencakup literasi baca-tulis, literasi numerasi, literasi sains, literasi digital, literasi finansial, dan literasi budaya dan kewargaan. World Economic Forum pada tahun 2015 menyebutkan bahwa enam literasi dasar tersebut sangat penting untuk dikuasai oleh masyarakat, dari anak-anak sampai orang dewasa.
Tantangan saat ini di era digital adalah menariknya kegiatan belajar yang “dikalahkan oleh” menariknya hiburan dunia digital. Karena itu, perlu inovasi-inovasi kekinian untuk membudayakan literasi khususnya di kalangan anak-anak dan lebih luas lagi di lingkungan masyarakat. Menumbuhkan minat  literasi baca-tulis pada anak-anak memberikan manfaat dan pengaruh yang sangat besar. 
Semuanya bisa diawali di lingkungan terkecil, yakni keluarga. Dunia parenting (pengasuhan anak) yang kini semakin berkembang dengan beraneka rupa teori-teorinya, juga menitikberatkan akan pentingnya kecakapan literasi anak-anak sejak usia dini bahkan ada yang sudah memulainya sejak anak masih berada dalam kandungan ibunya. Orang tua harus bisa memberikan contoh dan selalu berupaya menumbuhkan budaya literasi di rumah.  Dengan literasi baca-tulis, wawasan dan pengetahuan akan bertambah, meningkatkan daya kreativitas, dan mengembangkan keterampilan hidup.

Transportasi Literasi itu Bernama Perpustakaan
Perpustakaan menjadi salah satu alternatif tempat belajar yang menunjang untuk menumbuhkan budaya literasi baca-tulis. Menurut saya, perpustakaan yang ideal adalah sebuah perpustakaan yang mampu memberdayakan masyarakat, mampu melakukan revolusi minat baca pada masyarakat, dan mampu mengubah karakter masyarakat dari tidak suka membaca menjadi suka membaca.  Perpustakaan juga seharusnya mampu mengubah masyarakat tuna informasi menjadi masyarakat yang berliterasi atau melek informasi.
Semua bermula karena saya sangat suka membaca lalu mengoleksi buku hingga akhirnya saya pun mendirikan perpustakaan DNA. Perpustakaan mempunyai peranan yang sangat vital bagi peningkatan kualitas sumber daya manusia. 
  • Pertama, perpustakaan berfungsi sebagai jantung pendidikan dan ilmu pengetahuan. 
  • Kedua, sebagai pusat pengumpulan dan penyimpanan sumber pengetahuan dan informasi. 
  • Ketiga, sebagai pusat kegiatan masyarakat setempat. Perpustakaan juga mempunyai peran yang sangat strategis dalam mempengaruhi tingkat taraf hidup masyarakat. 
  • Perpustakaan harus dapat berfungsi sebagai wahana belajar yang mampu mengembangkan potensi masyarakat agar menjadi manusia yang berilmu, cakap, kreatif, inovatif dan mandiri. 

Bangsa yang literate adalah bangsa yang mampu menjawab tantangan zaman. Peradaban yang berliterasi selalu ditandai dengan kepedulian yang tinggi terhadap perpustakaan. Perpustakaan selalu menjadi transportasi literasi ketika suatu peradaban mencapai puncak keemasan.  Sejarah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sepanjang peradaban manusia tidak dapat lepas dari perpustakaan.

Sebagian koleksi perpustakaan DNA


Inkubator Literasi ala Perpustakaan DNA
Saya seorang ibu rumah tangga sekaligus penulis. Tidak sekadar ‘menjadi’ penulis, namun saya juga bertekad ‘menjadikan’ orang lain penulis (melahirkan generasi-generasi penulis cilik), maka terbentuklah komunitas penulis cilik “DNA Writing Club”. Saya awali semuanya dengan mendirikan Perpustakaan DNA di rumah. Berawal dari koleksi pribadi yang jumlahnya ratusan kemudian terus bertambah juga menyiapkan beragam kegiatan.

Perpustakaan DNA didirikan sejak November 2013. Bertempat di Jalan Jati Barat I No.274, Banyumanik, Semarang. Dalam kegiatannya, selain melayani sirkulasi peminjaman buku, juga ada beberapa kegiatan kreatif untuk menumbuhkan budaya literasi baca-tulis di lingkungan masyarakat. Pengelola Perpustakaan DNA saat ini berjumlah 4 orang. Kami menyebut pengelola perpustakaan dengan istilah ‘mentor’.

Salah satu hal yang menjadi fokus kami di Perpustakaan DNA saat ini adalah  sosialisasi sekaligus pelaksanaan perjenjangan buku, baik saat pelayanan kegiatan membaca di perpustakaan maupun saat peminjaman buku. Perjenjangan buku ini sesuai dengan Panduan Perjenjangan Buku Nonteks Pelajaran bagi Penggunaan Perbukuan yang diterbitkan oleh Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Panduan perjenjangan buku ini sangat membantu petugas perpustakaan maupun pegiat literasi dalam penyusunan daftar buku yang direkomendasikan untuk dibaca oleh pembaca sasaran. Selain itu, perjenjangan buku dapat membantu menumbuhkembangkan budaya literasi melalui buku yang bermutu serta tepat guna untuk memberikan pengalaman membaca yang menyenangkan karena mempertimbangkan aspek pedagogik dan psikologis pembaca. 



Penyediaan buku di Perpustakaan DNA diharapkan dapat membantu terlaksananya proses perjenjangan buku tersebut. Misalnya, untuk kategori pra-membaca untuk anak-anak usia dini, buku yang disediakan di Perpustakaan DNA seperti : boardbook, flip-flap book, buku kain (untuk bayi dan balita), pop-up book, dll. Selain itu, untuk kategori membaca dini disediakan aneka jenis pictorial book (buku bergambar dengan bahasa sederhana dan ilustrasi yang sangat menarik).


Koleksi buku di Perpustakaan DNA harus dapat mengembangkan karakter positif serta terbebas dari materi yang bersifat pornografi, kekerasan, ungkapan kebencian dalam berbagai bentuk, dan penistaan suku, adat, ras, serta agama (SARA). Hal ini sejalan dengan UU RI No.3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan, yang menyatakan bahwa penyelenggaraan sistem perbukuan berazaskan kebhinekaan, kebangsaan, kebersamaan, profesionalisme, keterpaduan, kenusantaraan, keadilan, partisipasi masyarakat, kegotongroyongan, dan kebebasbiasan.

Kesalahan dalam memilih buku yang tidak sesuai dengan jenjang kemampuan membaca akan membuat pembaca, terutama anak-anak, tidak mencapai tujuan membaca yang diharapkan. Dengan demikian, diperlukan perjenjangan buku guna memilih buku yang  bermutu dan sesuai dengan perkembangan kemampuan baca serta kebutuhan pengembangan literasi. Para pengguna perpustakaan DNA  dapat memilih dan memilah buku secara tepat, efektif, dan bermakna sesuai dengan tingkat perkembangan usia, kemampuan baca, dan kebutuhan pembaca.

Pendidikan adalah proses pengembangan kapasitas untuk tumbuh secara terus-menerus dan merekonstruksi pengalaman menjadi lebih bermakna.  Sumber pengalaman antara lain terdapat dalam buku teks pelajaran dan buku nonteks pelajaran. Membaca buku sebagai bagian dari pembelajaran harus dapat dijadikan sebagai pengalaman lebih bermakna.
Membaca bukanlah sekadar meningkatkan keterampilan berbahasa. Membaca adalah sebuah proses pembaruan pikiran, di mana seseorang akan menerima suatu hal yang dapat membantu terbentuknya sel otak baru dalam setiap penyerapan informasi. Membaca dapat membuka mata kita akan pentingnya SDM yang unggul, mengubah pikiran kita menjadi lebih luas lagi, memiliki sumber informasi agar tidak terbawa arus negatif globalisasi. Membaca dapat mempengaruhi kualitas suatu bangsa. 
Penanaman budaya literasi baca-tulis yang senantiasa diupayakan melalui beragam kegiatan di Perpustakaan DNA juga menjadi salah satu alternatif cara menghindarkan ketergantungan anak-anak terhadap gawai. Dengan semakin banyak bahan bacaan yang variatif dan menarik (yang disesuaikan dengan perjenjangan usia), membuat anak-anak akan semakin kaya kosakata dan ide-ide yang dapat dituangkannya dalam komunikasi lisan dan tulisan.
Akhirnya, sebagai pengelola perpustakaan sekaligus pegiat literasi, kita harus menciptakan suatu kondisi dimana aktivitas membaca bukan hanya sekadar sebuah kewajiban, tetapi secara bertahap menjadikannya sebagai budaya dan hobi. Jika literasi baca telah kuat, maka tahap berikutnya yaitu literasi tulis tidak terlalu berat untuk diwujudkan. Walaupun orang yang rajin membaca tidak selalu identik dengan pandai menulis, tetapi setidaknya telah memiliki modal awal yang potensial.


Generasi yang kuat dalam literasi baca-tulis akan menjelma menjadi pendorong untuk lahirnya generasi yang memiliki kecakapan abad 21. Semoga Perpustakaan DNA bisa menjadi salah satu inkubator literasi yang mampu melahirkan SDM yang unggul dan berkualitas menuju Indonesia maju. Mari bersama, bersinergi membahagiakan sesama dengan ‘meliteratkan’ satu sama lain! Salam Literasi!

Sumber Pustaka:
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2018. Panduan Perjenjangan Buku Nonteks Pelajaran bagi Pengguna Perbukuan. Jakarta : Pusat Kurikulum dan Perbukuan.



No comments:

Post a Comment

Terima kasih sudah berkunjung. Mohon untuk tidak meninggalkan link hidup.


Salam,


Keisya Avicenna