Jejak Karya

Jejak Karya

Friday, June 05, 2009

Friday, June 05, 2009 0 Comments
BILA MASA LALU MENGUNGKUNG DIRI..
Tahun demi tahun mungkin sudah berlalu,
tapi mengapa luka hati karena suatu tragedi yang terjadi masa lalu, masih saja kita biarkan menghantui diri?
Mengapa kita biarkan diri hidup di masa lalu?
Islam mengajarkan sikap batin sempurna dalam menghadapi karunia besar dariNya
yang bernama “waktu”.
Amanda, seorang wanita yang terlihat bahagia namun, dibalik kebahagiaan yang sering ia tampakkan sebenarnya ia merasa tak kuat mengingat kembali ke masa lalu. Namun, ia tetap saja tak dapat sepenuhnya membebaskan diri dari jeratan ingatan akan masa lalu. Lalu, penyesalan demi penyesalan tentang masa lalu itu tumbuh semakin kuat dan membelenggu hidupnya. Kemurungannya menjadi-jadi, semua reaksi batin dan fisik yang pernah dialaminya di masa lalu seakan timbul kembali dan menjadi satu dengan masa kininya. Atau, bahkan, dia seperti hidup di masa lalu.
Salah satu akibat jeratan masa lalu adalah kerapnya Amanda merasa putus asa. Sesekali timbul kekhawatirannya bahwa apa yang terjadi di masa lalunya itu akan merusak masa kininya, atau bahkan menutup masa depannya. Tapi, dia tidak tahu apa yang harus dilakukannya untuk meninggalkan dan mengikhlaskan masa lalu yang sudah disesalinya dan membawanya bertaubat itu, lalu hidup dengan baik di masa kini dan menyongsong masa depan dengan lebih semangat.
Kasus Irina lain lagi, Wanita ini sekarang berjuang melawan penyakit yang menggerogoti tubuhnya, mulai dari rahim sampai gangguan-gangguan lain yang menyebabkan hari-harinya terasa penuh beban. Perhatian dan motivasi dari orang2 tersayang untuk tetap aktif sehingga Irina merasa lebih sehat, tapi Irina malah tersinggung dan merasa semakin tidak “berharga”. Kondisi ini menyebabkan Irina depresi.. Kemurungannya bertambah parah bila dia mengingat berbagai hal yang tak pernah “sempat” di laksanakannya semasa masih “ sehat dan muda”. Karena Irina banyak menyesali masa lalunya yang banyak disia-siakannya, maka masa kininya pun terasa tak menyenangkan dan hambar. Selalu saja ketidak puasannya akan masa lalunya menjelma menjadi ketidaksabaran akan masa kininya dan pesimisme akan masa depannya. Irina kini hidup dalam kungkungan masa lalunya.
Pada setiap fajar, ada dua malaikat yang berseru, “ Wahai anak adam
aku adalah hari yang baru, dan aku datang untuk menyaksikan amalan kamu.
Oleh sebab itu, manfaatkanlah aku sebaik-baiknya.
Karena aku tidak akan kembali sampai hari pengadilan..” (H.R Tirmidzi)
HARTA TERMAHAL
Berapa banyak diantara kita yang merasa seperti Amanda? Berapa banyak diantara kita yang hidup seperti Irina, yang menyesali masa lalu, tak sabar pada masa kini, namun pesimis pada masa depannya?
Alangkah tak enaknya hidup yang ‘diselimuti’ masa lalu seperti itu!!!
Salah satu sebab penyesalan Irina, tentu saja, adalah kegagalan mereka mengelola waktu yang mereka peroleh. Penyebab penyesalan Amanda adalah ketidakmampuannya meletakkan waktu dalam perspektif yang seharusnya, yakni“ciptaan” Allah yang bilasudah selesai dilaksanakan, maka dikembalikan lagi kepada Allah Ta’ala. Andaikan Amanda menyadari bahwa masa lalu sebaiknya menjadi cermin dalam menentukkan gerak langkah di masa depan, maka dia tidak perlu merasa tersiksa bayang-bayang masa lalunya.
Namun, harus diakui inilah yang agaknya kita kurang fahami. Setelah iman seseorang, masa atau waktu adalah harta termahal yang dianugerahkan oleh Allah kepada manusia. Sukses tidaknya hidup seorang manusia, sangat ditentukan oleh sikapnya terhadap waktu.
Dapat dikatakan, waktu adalah hidup itu sendiri. Bukankah hidup adalah waktu yang kita gunakan sejak lahir hingga meninggal?. Imam Hasan Al-Bashri mengatakan : “ Wahai manusia, sesungguhnya kamu adalah kumpulan hari-hari, setiap kali hari akan berlalu akan berlalu pula bagian umurmu “.
Salah satu sifat waktu adalah cepat berlalu. Sekali berlalu ia tidak pernah kembali, apalagi diganti. Karena itu waktu menjadi “barang” yang teramat mahal harganya.
Seperti itulah karakter waktu atau kesempatan. Saat ada jarang disadari dan disyukuri keberadaanya. Namun, saat tiada ia disesali kepergiannya. Dan itu menjadi penyesalan tiada guna. Seorang ahli hikmah pernah berujar bahwa tidak ada perkataan yang menyedihkan selain kata “seandainya”. Tentu, yang paling menyedihkan adalah bila penyesalan terjadi di akhirat kelak “ Ya Rabb-ku, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian) ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang shalih?” (QS. Al Munaafiquun(63):10)
Sayangnya, sebagian manusia kurang menyadari keutamaan waktu ini. Sehingga membiarkannya berlalu sia-sia. Tanpa sadar mereka terjerumus ke dalam jurang kerugian. Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Ashr (103):1-3}
“ Demi masa, sesungguhnya manusia berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shalih; dan saling nasihat menasihati(dengan)kebenaran; dan saling menasihati (dengan) kesabaran “.
MEMANFAATKAN MASA.
Dalam bukunya yang berjudul Al-Waqtu fii Hayati al-Muslim, yang diterjemahkan ke bahasa Indonesia sebagai Manajemen Waktu Seorang Muslim, ‘alim besar Yusur al-Qardhawi menggambarkan betapa waktu adalah kehidupan itu sendiri. Siapa yang tidak menghormati waktu atau masa dan kesempatan yang diberikan Allah Ta’ala kepadanya, sama saja artinya dengan dekat dengan kematian.
Yang tidak menghormati waktu, maka ia akan kehilangan peluang investasi terbesar untuk masa depan. Masa depan akan hadir menyambutnya dengan wajah suram. Sebaliknya, bagi mereka yang memuliakan waktu, maka wajahnya akan berseri-seri.
Sangat menarik bahwa Yusuf al-Qardhawi mengawali buku ini, dengan memberikan ilustrasi tentang keistimewaan waktu, betapa pun panjangnya umur manusia, sesungguhnya dia tetap pendek selama penutup hidupnya adalah kematian. Sungguhpun begitu, waktu juga tidak bisa kembali. Alhasil, bahwa sangat disayangkan jika sebagai seorang muslim kemudian menyia-nyiakan waktu. Menurutnya, perhatian Islam terhadap waktu sangat besar kesemuanya tersurat dalam Al Qur’an dan as-Sunnah.
Secara fitrah, manusia menginginkan kehidupan, ingin panjang umur, dan juga ingin kekal jika dimungkinkan. Namun, semua itu sirna jika kematian menjemput. Terkadang, ada orang yang hidup sampai 100 tahun dan terkadang ada pula manusia yang meninggal di kala mudanya. Dalam salah satu tulisannya Yusuf al-Qardhawi mengutip “ Bisa jadi umurnya itu panjang, timbangan amalnya panjang.” Lantas apa yang kemudian di maksud panjang umur? Pertanyaan di atas tidak bermaksud mengecilkan peran orang yang berumur 100 tahun, namun bila kita lihat bahwa Rasulullah sallallahu alaihi wasallam mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju apa yang dikehendaki Allah dalam kurun waktu 23 tahun! Panjang umur bukan dimaknai sebagai berapa tahun ia hidup di dunia, namun pahala amal shaleh lebih tinggi kadarnya.
Yusuf al-Qardhawi juga bicara tentang kesabaran ketika mendiskusikan soal waktu dan masa. Kesabaran terkadang berarti berpikir dalam amal secara tekun, melakukan perubahan-perubahan ke akar permasalahan, saling menolong antar orang mu’min untuk menegakkan amar ma’ruf nahi munkar. Semua ini lebih berarti daripada sekedar umur yang panjang, bukan? …
DAMPAK MENELANTARKAN WAKTU
Dari Mua’dz bin Jabal..bersabda Rasulullah SAW “ Tidak akan tergelincir (binasa) kedua kaki seorang hamba di hari kiamat, sehingga ditanyakan kepadanya empat perkara ; Usianya untuk apa ia habiskan, masa mudanya bagaimana ia pergunakan, hartanya darimana ia dapatkan, dan pada siapa ia keluarkan, serta ilmunya dan apa-apa yang ia perbuat dengannya.” (HR Bazzar dan Thabrani).
Waktu adalah aset alias modal. Maksudnya, memanfaatkan waktu sebaik mungkin akan melahirkan berbagai keuntungan. Melalui waktu, kita ukir prestasi. Maka, baik buruk prestasi seseorang sangat di tentukan oleh tata nilai dan manajemen waktu yang digunakannya. Dalam kaitannya dengan masalah waktu, Allah SWT mengingatkan manusia dengan beberapa ungkapan dalam al-Qur’an.
KITA MEMILIKI JATAH WAKTU 24 JAM YANG TERBAGI DALAM TIGA KATEGORI.
Pertama, waktu lalu /lampau.
Masa lalu merupakan bagian kehidupan yang pernah kita jalani. Bagian itu, merupakan mata rantai masa kini dan masa mendatang.
Kehidupan masa lalu sebaiknya menjadi cermin dalam menentukan gerak langkah di masa depan. Sebab, kebaikan melangkah di masa depan tidak terlepas dari pijakan masa lalu. Waktu ibarat busur panah yang di bentangkan ke satu titik sasaran, dimana mustahil busur panah berbalik arah atau kembali lagi ke si pemanah.
Artinya, dalam kehidupan ini setiap manusia mengalami fase-fase perkembangan fisik mulai sejak usia bayi, anak-anak, remaja, dewasa, dan masa tua yang semua fase tersebut tidak di mungkinkan kembali ke masa awal kelahiran kembali.
Firman Allah SWT dalam al Quran menjelaskan, “…Dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah di turunkan Al-Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka, lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang fasik. “ ( QS. 57:16) . Seiring dengan itu, Allah telah mengingatkan kita agar tidak terjebak dalam putaran waktu sehingga kita termasuk orang-orang yang merugi. (QS.103:1-3).
Kedua, waktu kini.
Kita sering merindukan masa depan yang sukses dan berhasil. Kerinduan ini sebenarnya hanya fatamorgana jika hari ini kita tidak berbuat banyak dalam menyongsong masa depan yang di rindukan itu. Al-Quran mengemukakan , “ Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa dari kejahatan yang di kerjakannya. “ ( QS. 2:286). Ayat ini menggambarkan, betapa masa depan kita sangat di tentukan oleh apa yang tengah diuasahakan. Maka, jangan berharap banyak tentang masa depan jika kita tidak sungguh-sungguh menghadapinya.
Ketiga, waktu mendatang.
Sebagaimana disebutkan di atas, waktu adalah modal, dan mata rantai dari masa kini dan masa mendatang. Ini melahirkan makna, bahwa waktu merupakan siklus yang saling terkait antara yang satu dengan yang lainnya. Kondisi itu juga memberi gambaran, kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi besok, sebagaimana firmanNya”…Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan di usahakannya besok.” (QS.31:34)
Dengan demikian, memanfaatkan waktu setiap kebaikan dalam tataran waktu merupakan bagian penting dalam menjalani proses hidup ini. Tiga tataran waktu yang kita miliki, waktu lalu, kini, dan mendatang harus menjadi pelengkap kebaikan. Bukan sebaliknya. Sebab, sebagaimana kita pahami, siklus kehidupan terasa begitu cepat berubah. Kondisi ini, tentu menjadi pemicu agar kita tidak termasuk orang –orang yang lalai sebagaimana Al-Quran mensinyalir, “ Ketahuilah bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megahan antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak..Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu. “ ( QS.57:20).
Seiring dengan ungkapan di atas, Ali bin Abi Thalib RA mengemukakan,
“ Rezeki yang tidak di peroleh hari ini, masih dapat di harapkan perolehannya lebih banyak di hari esok, tetapi waktu yang berlalu hari ini tidak mungkin kembali esok.. “
Bermuara dari ungkapan diatas, kita pahami bahwa memanfaatkan waktu sebaik mungkin merupakan tugas utama kita. Mengabaikan waktu, menelantarkannya dan mengangap remeh nilai yang terkandung dalam waktu merupakan tanda-tanda kerugian yang nyata. Rasulullah SAW, bersabda : “ Dua nikmat yang sering dan disia-siakan oleh banyak orang yakni nikmat sehat dan kesempatan (waktu)” (HR. Bukhari)
Sebagai penutup, Malik bin Nabi dalam Syuruth An-Nahdhah pernah berujar,
“ Tidak terbit fajar suatu hari, kecuali dia berseru. Putra-putri adam, aku waktu, aku ciptaan baru yang menjadi saksi usahamu. Gunakan aku, karena aku tidak akan kembali lagi sampai hari kiamat. “ Kemudian Malik bin Nabi melanjutkan, “ Waktu adalah sungai yang mengalir ke seluruh penjuru sejak dahulu kala, melintasi pulau, kota dan desa, membangkitkan semangat atau meninabobokan manusia. Ia diam seribu bahasa, sampai-sampai manusia sering tidak menyadari kehadiran waktu dan melupakan nilainya walaupun segala sesuatu-selain Allah –tidak akan mampu melepaskan diri darinya.”