Jejak Karya

Jejak Karya

Friday, August 24, 2012

Wahai Kekasihku [Kun Geia]

Friday, August 24, 2012 0 Comments
by Kun Geia on Saturday, August 18, 2012 at 8:03pm ·
dalam 3 jam kedepan engkau kan melangkah
pergi menjauhiku yang masih disini
menyuguhkan kesepian
menyisakan kesendirian

maka berkabunglah hati karenanya
datanglah kesedihan bersama perpisahan
duhai kekasih yang belum bisa sempurna kubahagiakan
duhai cinta yang hanya sekejapan dalam kebersamaan

akankah kita dipertemukan kembali
bersatu dalam keceriaan dan keberkahan
mengulang ketaatan dalam indahnya malam-malam
mengukir kesabaran dalam untai terangnya siang

kehangatan kita masih terasa dalam dekapan
keintiman kita masih terbayang dalam ingatan
namun engkau sudah sempurna berkemas 
siap melangkah tuk pergi dari sisiku

sesaklah dada ini
beratlah beban ini
tapi engkau tak bisa dihentikan
keputusan tak bisa dibantahkan

sungguh aku akan merindukanmu
selalu menunggumu kembali kesisiku
wahai kekasih
wahai tercinta

andaikata Tuhan bersedia mengabulkan
kan kuminta Dia menjadikan seluruh bulan
digantikan oleh dirimu
wahai penghulu seluruh bulan

selamat jalan untukmu penyandang kesucian
selamat jalan bagimu pembawa keagungan
selamat jalan padamu penebar keberkahan
selamat jalan ya ramadhan

terima kasih untuk semua keceriaan
terima kasih untuk semua kehangatan
terima kasih untuk semua kebersamaan
terima kasih untuk semua yang telah kita jalani bersama

wahai kekasihku wahai ramadhanku
janganlah jemu menyebut-nyebut namaku di langit sana
ceritakanlah apa-apa yang telah kita kerjakan bersama
kepada seluruh penduduk alam atas dan alam bawah
serta kepada Raja Yang Bersemayam di Arsy-Nya

kuucapkan salam perpisahan untukmu
dengan alunan tertulus yang bisa kuciptakan
"Allahu Akbar... Allahu Akbar... Allahu Akbar..."
"laa ilaa ha illallahu wa Allahu Akbar..."
"Allahu Akbar wa lillahilham..."


Garut, menjelang kepergian Ramadhan dan kedatangan 1 Syawal

Proses Kreatif dibalik Pembuatan THE LOST JAVA

Friday, August 24, 2012 0 Comments
by Kun Geia on Sunday, July 8, 2012 at 7:18pm ·

Saat itu, tanpa angin atau hujan, terlebih terik, ada comment di blog pribadiku; komunitaspenaripena.blogspot.com, isinya berupa iklan lomba novel tingkat Nasional di Yogyakarta, kejadiannya di bulan Januari 2010. Aku tak begitu menghiraukannya, hanya membaca sekilas, tapi ternyata setelah melihat nominal hadiah dari lomba itu, bibirku tersenyum. Batinku mulai berbisik, aku harus juara.

Dead line penutupan lomba tinggal 1 bulan. “Bukan masalah,” cuapku dengan arogan.

Kubeli kertas karton putih, kemudian kutorehkan tulisan besar dan tebal di karton itu: MENGHAJIKAN ORANG TUA. Setelahnya, kutempel karton itu di dinding kamar yang tepat menghadap tempat tidur, sehingga setiap kali terbangun, aku akan menemui tulisan itu sebagai charger semangat.

Maka, mulailah scouting ide.
Nggak ketemu.
Membaca-baca buku berharap dapat inpirasi.
Nihil.

Kau tak boleh menjadi follower, ciptakan tulisanmu sendiri yang berbeda dengan novelis-novelis yang sudah ada di Indonesia. Begitu ucap batin di sela kekosongan ide.

Suatu ketika, tatkala mengikuti perkuliahan kimia lingkungan di Pascasarjana Kimia UGM, Prof. Eko Sugiharto membahas tentang global warming.
Deal.
Ideku untuk novel yang akan ditulis adalah: GLOBAL WARMING.

Indah nian sketsa alur yang disiapkan Tuhan.

Kusebar SMS ke rekan-rekan di KOMUNITAS PENARI PENA (KPP): Tolong carikan berbagai data mengenai pemanasan global.
Sent to 7 people.

Aku pun mulai membuka laptop dan menulis “ala orang kesetanan”. Maksudnya begini, metodeku menulis adalah dengan menutupkan separuh layar laptop setelah kujalankan microsoft word yang siap ketik, dengan begitu aku tak bisa melihat apa yang kuketik. Sehingga, para hakim, juri, editor, dan komentator di dalam kepalaku, tak bisa menghambat kreativitas aliran tulisanku.

Selanjutnya, kupakai keyboard eksternal untuk mengetik. Gerakan jari-jemari pada ketikanku dibuat secepat mungkin, tanpa ada jeda untuk beristirahat sampai semua yang ingin dituliskan—yang mengendap di dalam isi tempurung kepala—benar-benar kering. Habis. Satu jam, dapat satu bab.

Istirahat.
Mengetik lagi.
Hingga akhirnya, dengan metode itu, kuhabiskan seminggu dan menghasilkan 7 bab.
Pernah suatu hari, selama 24 jam full, tanpa rehat kecuali untuk makan, shalat, dan kebutuhan primer, kerjaanku hanya menulis di dalam kamar. Autis. Tanpa tidur pula. Alhasil dalam 24 jam itu lahirlah hingga 5 bab bagian dari novel THE LOST JAVA.

Setiap kali semangatku mulai menurun, maka segera kulihat tulisan MENGHAJIKAN ORANG TUA di dinding kamar, seketika itu juga aku terlahir kembali dengan semangat menggebu.

Sebelum 3 minggu habis, telah rampung 20 bab.

Selanjutnya, sudah menanti sebuah pekerjaan yang akan lebih menguras otak. Pesanan data-data yang diminta pada KPP sudah berdesakkan di email.
Dibuka.
Dibaca.
Ditelaah satu persatu.
Kemudian, data-data yang kuanggap penting dan akan berpotensi memperseksi novel ini, mulai kucoba untuk diharmonisasikan dengan naskah yang sudah ada menjadi satu kesatuan tubuh cerita yang utuh.

Di minggu ketiga, selesailah pekerjaan menulis naskah novel.

Setelahnya, tibalah waktuku tidur. Adrenalin habis karena dipakai untuk kerja paksa dalam 3 minggu demi 3 kata: MENGHAJIKAN ORANG TUA. Dua hari terlewati tanpa kegiatan kepenulisan.

Kun Geia benar-benar TEPAR.

Kemudian, pekerjaan editing/revisi mulai dilaksanakan. Dalam 5 hari. Naskah sebanyak 200 halaman A4 itu selesai direvisi dari halaman pertama hingga titik terakhir sebanyak 5 kali.

CUKUP! Ucapku waktu itu.

Kukirimkan novelnya pada panitia lomba yang saat itu hanya menyisakan satu hari waktu sebelum penutupan. Naskah THE LOST JAVA dilombakan bersama 2 naskah novelku yang sebelumnya sudah jadi duluan, sekitar 1 tahun lalu: HITAM PUTIH PENANTIAN dan RARA PENGIKHLAS.

Waktu bergulir, penjurian berlangsung.
Dari sekian ratus naskah yang masuk panitia lomba, THE LOST JAVA  dan PARA PENGIKHLAS ternyata lolos seleksi hingga 30 besar.

Waktu berlalu, penjurian kembali berlangsung.
Akhirnya, meski tak juara di akhir lomba, tanggal 30 november 2010, THE LOST JAVA menduduki peringkat ke-4. Sayang, hadiah cuma sampai di peringkat ke-3. Dan peringkat ke-4 hanya dapat piagam dan JANJI akan diterbitkan.

Sementara, selesai sampai di situ.

Enam bulan berlalu dari janji penerbitan tanpa ada hasil konkrit. Naskah itu kucabut dari penerbit yang sudah mengiyakan untuk diterbitan.

Novel itu kuikutkan lagi lomba menulis tingkat Nasional di Solo Raya. Tak juara sih, tapi dapat menghargaan sebagai novel dengan ide terbaik dari sekian ratus naskah yang masuk ke panitia lomba. Itu terjadi 24 januari 2011.

Ada lagi lomba tingkat Nasional di Yogyakarta.
Kuikutkan lagi.
Di sini, THE LOST JAVA yang sudah berkali-kali mengalami revisi, ternyata menjadi juaranya.

Alhamdulillah. Diterbitkan.

Bulan bergulir. Aku baru tahu kalau buku itu ternyata diterbitkan indie dan dijual hanya on line saja.
Mengelus dada dan menghela napas panjang....

Kubiarkan THE LOST JAVA mengandap di penerbit itu. Hingga setahun, ya... hasilnya gitu-gitu aja. Tidak banyak orang yang menikmati isinya, tidak banyak orang yang membelinya, atau lebih tepatnya mungkin tidak banyak orang yang tahu bahwa buku itu ada di muka bumi. Tapi, beberapa progres cukup lumayan. Buku ini masuk ke dalam catalogue national library of Australia, display di Amazon.com dan beberapa international online reseller serta nangkring di google book. Beberapa ada yang mengulas di media nasional secara on line. Harian lokal dari Sumatera pun meresensi, hingga tak ketinggalan dikomentari pada blog-blog pribadi.

Dalam kurun 2010 hingga 2012, dengan serius kusempurnakan THE LOST JAVA. Riset yang dilakukan mengenai hal prihal ilmiah yang ditanamkan dalam novel itu menjadi prioritas. Beberapa orang yang (kuanggap) ahli di bidang keilmuan geofisika, komputer, dan statistik, berhasil kugandeng. Bahkan hingga dosen skripsi S1 dulu, turut  dimintai bantuan menganai hal ikhwal berbau kimia melalui wawancara.

Dalam kurun waktu itu, kuhitung telah mengkhatamkan novel THE LOST JAVA dalam proses revisi hingga 20 kali. Halamannya pun bertambah dari yang tadinya 200 A4 menjadi 300 A4. Sebanyak kurang lebih 20 penikmat sastra kuberikan naskah itu untuk dikomentari. Termasuk penulis Hafalan Shalat Delisa (meski beliau membacanya, tapi ternyata  belum berkenan memberi endorsement karena alasan genre tulisan kita yang berbeda). Alhasil, berdatanganlah saran-saran untuk penguatan di detail setting, karakter tokoh, dan penyempurnaan logika cerita.

Untuk alur dan konflik sudah ok.

Hingga akhirnya aku dipertemukan (dengan orang-orang hebat) dengan IG Press. Mereka menjanjikan untuk membumingkan buku THE LOST JAVA. Setelah mempelajari strategi marketing mereka, hak penerbitan buku ini berpindah tangan.

Indah nian sketsa alur yang disiapkan Tuhan.

Dan, jadilah THE LOST JAVA yang sekarang ada di tangan para pembaca. Tersebar hingga di seluruh toko buku di Indonesia yang terjangkau distribusi IG Press.

Seminggu setelah selesai cetak, buku ini telah terjual hingga 150 eksemplar, padahal ia belum display di toko buku, baru penjualan gerilya. Dan setelah dua hari display,  ada satu dua toko buku yang langsung kehabisan stock hingga di gudangnya. Sold out.

Acara-acara bedah buku mulai di gelar. Lombok, Solo Raya, dan menyusul Yogyakarta serta Purwokerto.
Kota-kota lain di Indonesia, tunggu giliran selanjutnya.

Great marketing dari IG Press.

Ada 5 hal yang kugaransikan pada para pembaca dari novel THE LOST JAVA: Alur cepat (menguras adrenalin dengan adegang-adegan penuh ketegangan), Konflik Bertubi-Tubi (mengaduk-aduk emosi), Detail Setting (membawa nyatanya tempat ke kepala pembaca), Sains (menawarkan banyak ilmu pengetahuan), dan tentu saja Romantika Cinta (melengkapi harmonisasi cerita).

THE LOST JAVA dipersiapkan dengan sangat matang, sebagai persembahan dan seorang anak negeri bagi para pemburu novel science fiction dan thriller.


Minggu, 8 Juli 2012
Kun Geia

Cinta dan Benci [Kun Geia]

Friday, August 24, 2012 0 Comments
by Kun Geia on Saturday, August 18, 2012 at 10:47am ·
“Menjadi sebuah kecintaan tak terukur saat angin mengantarkan kabar ke gendang telinga bahwa, Ramadhan akan segera memeluk tanah Indonesia. Semoga tuan segera kembali ke sini, ujar seekor Anjing di pojokan rumah besar nan kosong, di perumahan Suci Permai, Garut.

Enzo, nama itu disematkan pada si Anjing oleh tuannya sepuluh tahun yang lalu, ketika mereka masih hidup bersama dalam rekatnya persahabatan dua mahluk berbeda spesies. Beberapa tahun ke belakang, sang tuan pergi tanpa mengajaknya ikut serta, Aku akan menjalankan misi ke Antartika demi kelanjutan hidup umat manusia, kau tunggu aku kembali di rumah ini. Sejak perpisahan itu, sang tuan tak pernah kembali, dan hingga kini si Anjing masih setia menungguinya pulang.

“Dalam kesendirian, aku berusaha menceburkan diri, berkhalwat bersama Ramadhan. Aku tak makan di siang hari. Aku tak mengais-ngais di tempat-tempat sampah komplek ini, bahkan aku sejenak bisa menekan kerinduanku akan kedatangan tuan dari ujung bumi selatan.”

Senyuman ringan terkembang di bibirnya. Anjing itu mencoba mencari rangkaian kalimat terbaik untuk melukiskan Ramadhan, namun setiap kali matanya berlinang karena kesyukurannya bisa merasakan bulan nan agung ini, saat itu pula ia menyerah dalam pencarian kalimat yang sepadan untuk melukiskan kecintaannya dengan Ramadhan.

[ ]

Bumi terus berputar.
Waktu tak hendak beristirahat disela derasnya arus zaman.

“Ramadhan hendak menemui ujung.”
Wajah Enzo redup.
“Adakah kesempatan lagi aku bertemu dengannya?”

Kini, dua kerinduan menelikung bersamaan. Menelusup dengan membawa ketakutan untuk kehilangan. Anjing itu merasa akan semakin rindu menanti Ramadhan kembali, juga rindu menunggu tuannya datang membawa janji untuk pulang.

Cinta, inikah rasanya?

Setelah adzan maghrib selesai berkumandang di mesjid Perum Suci Permai, Enzo melangkah menjauhi gundukan sampah, ia baru saja memakan sesuatu sebagai penanda makannya yang pertama seharian ini. Langkahnya menuju ke tempat yang lebih dekat dengan mesjid. Baginya, ada keasyikan sendiri melihat orang-orang hilir mudik masuk dan keluar dari mesjid itu untuk sebuah ketaatan.

“Hey Enzo! Ada sisa makanan untukmu. Ayo Sini!” teriak satu dari lima orang yang duduk di pos ronda, seratus meter jaraknya sebelum mesjid.

Anjing itu menghentikan langkah, ia menatap ke arah lima orang yang duduk di dalam pos ronda.

Kartu. Tumpukan uang seribuan. Botol-botol.

Melihat semua itu, dalam hitungan detik, kebencian berhasil menguasai hati Enzo. Merayap memenuhi seluruh isi selaksa rongga dada.

Seharian aku melihat mereka tak beranjak dari sana, tak lepas dari barang-barang itu semua. Batin Anjing itu membara. Ramadhan kan segera pergi, tapi pembangkangan mereka pada titah Langit tak jua sirna.

Lebih dari itu, kebencian telah berhasil menyulamkan kesumat tatkala dalam keseharian ia menyaksikan mahluk-mahluk yang bernama manusia, acuh tak acuh dengan Ramadhan.
Tak ada ketaatan untuk kebaikan. Tak ada keingkaran pada kemungkaran. Enzo meneruskan langkahnya.

“Aku benci mereka. Kenapa aku yang hanya seekor anjing, mahluk yang selalu dinajis-najiskan, ciptaan yang diharamkan untuk dimakan, bisa merasakan kecintaan pada bulan ini, kerinduan untuk selalu bersamanya. Sementara mahluk-mahluk bernama manusia itu...” gigi enzo gemeretak. Saling beradu.

“Tuan, kapan engkau kembali dari Antartika? Aku rindu Melewati Ramadhan bersamamu, seperti dulu.”

Benci, beginikah rasanya? [ ]


Garut, 18 Agustus 2012 (sehari menjelang berakhirnya bulan suci.)

CERMIN TERAKHIR [Kun Geia]

Friday, August 24, 2012 0 Comments
by Kun Geia on Sunday, August 12, 2012 at 8:42am ·
Pernahkah mendengar bunyi napas yang diseret? Bukan tarikan napas, tapi seretan napas. Jika tarikan napas bisa saja sama dengan desah napas biasa, tapi seretan napas terdengar lebih buruk dan lebih memprihatinkan ketimbang suara napas orang yang sedang terserang asma akut.

Tahukah rasana bagaimana ditatap oleh mata yang polos? Bukan tatapan kosong, bukan pula tatapan lugu, tatapan polos. Tak ada rasa, tak ada citra, tak ada apa-apa?

Baiklah, teruskan membaca tulisannya.

Hari ini, 12 agustus 2012, tidaklah aku memejamkan mata dari tadi malam untuk tidur kecuali hanya beberapa menit saja, yaitu ketika jam menunjukkan pukul 03.00 dini hari. Saat itu kutinggalkan mesjid menuju rumah, tujuannya untuk makan sahur dengan keluarga.

Selesainya dengan sahur dan berwudhu, aku kembali ke mesjid. Iqamah subuh dikumandangkan. Imam kami maju kedepan, mulailah takbir.

Ketika fatihah terlantun, pendengaranku sedikit terusik, yang lama kelamaan memang aku merasakan sesuatu yang mengusik. Awalnya kudengar suara tarikan napas yang cepat, pendek, berkejaran. Semakin suasana hening kecuali suara bacaan imam, semakin tarikan napas itu kurasakan seperti suara seretan udara di hidung.

Aku bisa merasakan bagaimana sulitnya paru-paru untuk menarik oksigen, aku tau itu karena aku punya penyakin asma, jadi sudah sangat kenal dengan yang namanya kesulitan menarik napas.

Semakin lama, tak ada kekhusuakan dalam shalatku, tak ada kekhidmatan dalam mendengar lantunan imam. Yang ada adalah pikiranku terkait terus pada suara yang datang dari saf pertama paling ujung sebelah kiri, sementara posisiku berada di saf pertama paling kanan.

Terus dan terus, seretan napas itu terdengar, hingga spontan kepalaku tak lagi berusaha mendengarkan bacaan imam, tapi malah berputar. Aku berpikir bahwa nanti setelah selesai shalat, akan kutarawarkan orang yang kesulitan bernapas itu obat ventolin inhaler, itu obat spray yang bisa menanggulangi asma dalam hitungan detik.

Kutunggu rakaat pertama usai, tapi yang terjadi adalah suara seretan napas orang di ujung sana sepertinya berasa lebih mengerikan daripada asma terakut yang pernah kurasa. Aku jadi berpikir itu seperti suara endusan napas harimau setelah keletihan mengejar-ngejar mangsangya. Selanjutnya aku malah berpikir mungkinkah orang itu kesurupan Jin? Ah tidak, toh dia tidak membuat kegaduhan, saat rukuk, saat sujud, aku tau dia mengikutinya dari tarikan dan hembusan napas yang terpantul di karpet mesjid. Tinggi rendahnya kurasakan.

Semakin jauh shalat, semakin suara itu terdengar lebih berat, terus berkejaran. Aku sampai merasa sesak sendiri. Terlebih ketika sujud, sangat kurasakan kesulitannya bernapas, karena napas yang ditarik dan dihembuskannya terpantul sangat dekat ke karpet mesjid dan posisi kepalaku pastinya sejajar dengan dia karena keningku sedang menempel di karpet, sehingga itu membuat seretan napasnya terdengar lebih jelas.

Salam pun berakhir ke sebelah kiri. Aku segera mengambil ventolin inhaler dari dalam kantong.
 Aku dekati dia.

“Dek ...”
 Kupanggil dia begitu karena terlihat usianya belum melebihi kepala dua. Aku tak kenal dia, sepertinya memang bukan orang sini, atau aku yang tak pernah bertemu karena sembilan tahun terakhir domisiliku di luar tanah kelahiran ini.

“Kamu asma?”
 Dia menggelengkan kepala

“Sesak napas?”
 Dia kembali menggelengkan kepala. Kemudian aku sentuh pundaknya.

Dia mengangkat kepala, dan wajahnya berputar ke arahku, ia memandangku.
Saat itu juga bulu di tengkuk perlahan berdiri.

Tatapannya itu ... tidak kosaong, tidak tajam, tidak mengerikan, tapi ... ah aku tak menemukan kata untuk menggambarkannya selain;  tatapannya polos, tak berasa.

“Coba pakai obatku ini, insya Allah bisa menanggulangi sesak napasmu.”

“Tidak,” jawabnya pelan disela kesulitan menarik napas. Para jama’ah sudah sedari tadi melihat-lihat dia, bertanya ini itu, tapi karena aku yang paling dekat posisi duduknya dengan dia, wajahnya pun hanya tertuju padaku.

“Panggilkan ibu kak, tolong panggilkan ibuku,” pintanya lemah.

“Ibumu siapa? Rumahmu di mana?”

“Panggilkan saja, cepat panggilkan.”

Belum aku bertanya lagi, pintu mesjid ada yang membuka, dan masuk seorang ibu seusiaan ibuku, usianya kutaksir 50 tahunan.

“Ayo pulang nak, ayo ke rumah,” ucap si ibu pada anak yang sedari tadi menyeret napasnya itu dengan susah, payah.

“Nggak, aku mau disini.”

“Ayo pulang saja, kamu istirahat di rumah.”

“Nggak mau, aku mau di sini.”

Ibunya pun memeluk dia, dan si anak berujar lemah, “Maafin aku bu, aku minta maaf untuk semua salahku.”
 Aku semakin merinding mendengarnya.

“Anaknya kenapa Bu? Punya peyakit asma?”
 Si ibu memandangku karena pertanyaan itu.

“Sudah dua hari ini dia muntah-muntah, mengeluh kepalanya pusing, tidak bisa tidur.”
 Ibu itu memalingkan pandangan dariku ke anaknya. “Ayo kita pulang nak ....”

“Nggak, aku mau disini.”

Aku sentuh tangannya ... sedikit lebih dingin dari suhu tubuhku.

Napasnya semakin cepat. Semakin jelas terdengar. Lama-lama aku ngeri sendiri dengan kondisi ini.

Akhirnya aku berinisiatif untuk memberikan ventolin inhaler itu tanpa peduli dia mengatakan tak sesak atau tak asma, karena jelas-jelas dia kesulitan memasukkan udara ke paru-parunya.

“Buka mulutnya ya,” ucapku perlahan. “Nanti hisap napas panjang dan akan kutekan obat ini, setelah itu tahan sejenak di dada, baru keluarkan lagi napasnya.”

Dia menggelengkan kepala tanpa suara. Menolak.

Aku masa bodoh.
Kuhampirkan saja ujung obat itu ke mulutnya, dia pun membuka mulut itu. Kutekan ventolin-nya. Oksigen dari dalamnya terhembus di dalam mulutnya. Dia menahan napas, kemudian dikeluarkan.

Kutunggu reaksinya ... tak membaik juga. Kuulangi lagi. Tetapi tidak ada perubahan. Padahal sesak napas terparahku saja akan reda dalam semprotan obat kedua kalinya. Tapi, dia tidak.

“Pulang yuk, kita pulang saja,” Ibu itu kembali merajuk, dan jawaban serupa dilontarkan anaknya.

Astaghfirullah ... astaghfirullah,” lirih ucap mulutnya.

Ia kemudian memandangku.
Tatapannya polos.

“Kak, maafin aku, maafin aku.”
Ia mengambil tanganku dan menyalaminya.
Dingin. Tangannya jauh lebih dingin. Suhunya tidak seperti beberapa saat yang lalu saat kupegang. Sekarang jauh lebih dingin.

Ia kemudian menoleh ke jama’ah di belakangnya.
“Pak, maafin aku ....”

Terus memandangi semua jama’ah yang ada di mesjid.
“Semuanya, aku minta maaf.”

“Sudah dimaafkan, sekarang pulang dan istirahatlah di rumah, biar ibumu panggilkan dokter,” semua menjawab sama.
Ia menggelengkan kepala.

Anak itu lantas mendekati imam kami dan mencium tangannya, “Maafin aku pak Haji, maafin.”
Ia terisak. Bersujud di hadapan imam kami.

“Iya, sekarang pulanglah,” itu kalimat kesekian yang serupa dari imam kami.

Anak itu pun kembali dibujuk ibunya pulang, tetap tak mau.
Dia bangkit dari sujudnya, napasnya masih diseret, berat. Kemudian ia melihat ke pojok mesjid dimana tangga menuju lantai dua mesjid ada di sana.

“Kak siapa itu?” Ia menunjuk ke sudut mesjid sambil bertanya padaku.
“Mana? tak ada siapa-siapa di sana!” jawabku bingung.
“Itu yang disitu siapa?”
Ibunya pun mengatakan hal yang serupa dengan ucapanku.

Anak itu kemudian sujud lagi dan berulang-ulang membaca istighfar.

Apa ini?
Kenapa dengannya?
Apakah dia ...
Ah, aku tak berani berandai-andai. Tak lama berselang, kerabatnya datang dari luar mesjid, membujuk, merayu, dan memaksa dia keluar dari mesjid untuk pulang ke rumah sebelum dipanggilkan doketer.

Dia tidak mau. Dia terus bersujud sambil beristighfar.

“Dari semalam dia memaksa ingin shalat di mesjid, sebelumnya tak pernah, tapi sekarang dia memaksa ibu untuk mebawanya ke mesjid,” ucap ibu itu.

Kerabatnya pun berhasil mencengkeram tangan dan pundaknya. Dengan dibantu jama’ah yang lain , anak itu pun terangkat dari sujudnya. Kusaksikan warna kulit wajahnya membening. Bukan memutih, tapi membening. Lebih bersih.

Napasnya semakin cepat, berkejaran.
Diseret. Pendek. Berat.
Sepertinya udara seolah-olah berserat bagi hidung dan paru-parunya.

Dan ...
Ending kisah ini tak mampu kutuliskan.
Tak kuasa kugambarkan, karena kusaksikan sendiri ia dengan mata kepala ini.

Tak bisa, cukup sampai di sini saja.
Yang jelas ia terlentang di atas karpet mesjid.

Tubuhnya melemah.
Matanya sayu, meredup.

Aku menangis menyaksikannya.
Meski aku tak mengenalnya, tapi batinku ciut  melihat kejadian apa yang dialaminyai.

Cukup selesai sampai di sini.
Berakhir.
[ ]

Apakah kalian berfikir aku menulis cerita fiksi?
Apakah kalian menyangka kisah di atas hanya omong kosong belaka?

Bacalah sekali lagi dari atas, perhatikan apakah aku membumbui tulisan ini dengan bahasa-bahasa hiperbola ala khayangan?

Apakah penggamabaran setting tempat begitu detail kulukiskan?
Apakah nama-nama tokoh kumunculkan dengan karakter masing-masing?
Apakah konflik yang ada terkesan diada-adakan?
Maka kalian akan menemukan jawabannya adalah, TIDAK!

Lantas untuk apa kutulis ini?
Apa sekedar untuk menghibur kalian?
Atau untuk menakuti-nakuti para?

Demi Allah, tidaklah aku tulis ini semua, kecuali ketakutanku mendapatkan pertanyaan serupa ini nanti di akhirat:

Apakah engkau menyaksikan pelajaran berujungnya kehidupan di tanggal sekian, bulan sekian, tahun sekian, jam sekian, atas seorang anak di mesjid Al-Hidayah, Garut?
Aku pasti menjawab “Iya, saya menyaksikan.”

Apakah engkau bisa mengambil pelajaran dari kekuasaan Tuhanmu pada kejadian itu?
“Ya, saya memahaminya?”

Lantas, kenapa engkau tidak menyampaikan pelajaran itu pada orang-orang di sekitarmu?
Kenapa engkau tidak memberikan peringatan atas kejadian itu sebagai pelajaran bagi mereka yang masih diberi kesempatan hidup di dunia?

Maka, jika tak kutuliskan ini, aku khawatir mendapat pertanyaan seperti itu dan tak dapat menjawabnya. Sungguh, pertanggungjawaban di akhirat beribu kali lipat lebih berat dari pada di dunia.
Maka ingin kugugurkan kewajiban penyampaian itu lewat tulisan ini.

Dan sekarang, tahukan bagaimana rasanya ditarik ruh dari jasad?

Jawabannya pasti tidak, karena aku (kalian) belum merasakannya, tapi Allah memberikan gambarannya lewat-orang-orang yang selesai masa hidupnya di dunia untuk menuju alam setelahnya. Salah satunya,  ketika Rasulullah shalallahu alaihi wassalam dicabut nyawa;

... ....
Malaikat Maut pun mulai mencabut nyawa Rasulullah. Ketika roh baginda sampai di pusat perut, baginda berkata: “Wahai Jibril, alangkah pedihnya maut.”

Mendengar ucapan Rasulullah itu, Fatimah terpejam, Ali yang disampingnya menunduk semakin dalam, Jibril as memalingkan mukanya.

Lalu Rasulullah SAW bertanya: “Wahai Jibril, apakah engkau tidak suka memandang mukaku? Jibril menjawab: “Wahai kekasih Allah, siapakah yang sanggup melihat muka baginda, sedangkan baginda sedang merasakan sakitnya maut?”
... ....

Itu gambaran kesakitan bagaimana proses dicabutnya ruh, Rasulullah saja yang notabene mahluk paling dicintai dan disayangi Allah, merasakan sakit tak terperi, apatah lagi aku (kalian) yang ... ah tak ada apa-apanya dibandingkan Rasulullah dalam ketaatan, kemuliaan, kedudkannya dihadapan Allah. Beliau shalallahu alaihi wassalam dicabut ruh nya dengan sangat pelan, lembut, berhati-hati, penuh kasih sayang, merasakan sakitnya begitu hebat. Lantas, seperti apakah yang akan aku (kalian) rasakan? Adakah dicabut dari ubun-ubun dengan kasar tanpa belas kasihan?

Oleh karena itu, aku berharap tulisan ini memberi manfaat, bisa dijadikan CERMIN untuk diriku (kalian) dalam usaha mempersiapkan diri, karena aku (kalian) tidak pernah tahu kapan napas TERAKHIR itu tiba.

Bisa jadi tahun depan, mungkin bulan depan, bisa saja beberapa jam lagi, atau mungkin setelah selesai membaca tulisan ini? Wallahu a’lam bishawab.

Maka dari itu ...

“Wahai orang-orang yang beriman, jagalah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (At-Tahrim: 6)

“Setiap kali nyala api Jahannam itu akan padam, Kami tambah lagi nyalanya bagi mereka.” (Al-Isra’: 97)

“Setiap kali kulit mereka hangus, Kami ganti kulit mereka dengan kulit yang lain, supaya mereka terus merasakan azab.” (An-Nisa’: 56)

“Mereka tidak dibinasakan dengan siksa yang dapat mengantarkan mereka kepada kematian (mereka tidak mati dengan siksaan di neraka bahkan mereka terus hidup agar terus merasakan siksa) dan tidak pula diringankan azabnya dari mereka.” (Fathir: 36) [Al-Khuthab Al-Minbariyyah fil Munasabat Al-‘Ashriyyah, Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan, dengan sub judul Fit Tahdzir minan Nar wa Asbab Dukhuliha, 2/164-165]

Sekian.
Wassalamu ‘alaikum warahmatullah wabarakatuh.

Catatan: Jika tulisan ini memberi manfaat dan pelajaran, sampaikanlah pada orang disekitarmu, karena tidak semua orang punya kesempatan dan mau membaca.

Rabb, aku mohon maaf atas terbaginya hati dan pikiranku dalam shalat. Aku memohon padamu untuk memberikan anak itu akhir yang baik, dan tempat tepuji di sisi-Mu
Garut, 12 Agustus 2012,
Kun Geia.

CATATAN KUN GEIA

Friday, August 24, 2012 0 Comments