Jejak Karya

Jejak Karya

Friday, August 24, 2012

MELATI [24]: "DIAM"

Friday, August 24, 2012 0 Comments


by Norma Keisya Avicenna on Tuesday, August 14, 2012 at 10:50am ·
Diam tak berarti marah…
Diam tak berarti sendu
Diam tak berarti pilu
Diam juga tak berarti takut atau terasing…

Hanya…
Ada yang harus dijaga
Dalam hening waktu bicara
Dalam ukiran harap mengangkasa
Dalam jenak meniti do'a

Aku masih disini…

Terpaku menatap raga
Mencoba menata kembali ‘tuk menjaga hati…
Agar rasaku kepadamu tak melebihi kecintaanku pada Rabbku


Aku mencoba merenungi kembali tentang perasaanku
yang sampai sekarang aku tak kuasa untuk menyampaikan
Bukannya aku tak berani
Bukan pula aku munafik ataupun tak mau jujur padamu
Tapi, aku hanya mencoba menyimpan perasaan ini
Sampai kelak waktunya tiba…

Sahabatku pun pernah berkata, "Aku milik-Nya, dia pun milik-Nya. Biarkan Sang Pemilik berbuat sesuka atas apa yang menjadi kepemilikan-Nya..."


Aku diam…
Terpejam…

Agar  nyala lentera suci itu tetap terjaga
Bagai janji setiaku padaNya…

[Keisya Avicenna, lembar ke-24 Ramadhan…]
*hanyafiktifbelakabagiyangmerasa,maaf-maafkatayaa… :)

MELATI [23]: "MENANGIS ITU BUKAN LAKI-LAKI!"

Friday, August 24, 2012 0 Comments


by Norma Keisya Avicenna on Sunday, August 12, 2012 at 7:30am ·
Kadang, ada kalanya seorang anak mendambakan kasih sayang dan perhatian dari orang tuanya secara berlebih. Ini wajar! Tatkala sang anak mulai beranjak dewasa, ia berusaha mati-matian untuk menjadikan dirinya sebagai kebanggaan orang tua. Alasannya hanya satu, untuk membalas jasa bagi kebaikan orang tua. Walaupun balas jasa sang anak itu  satu berbanding tak terhingga dengan semua kebaikan yang telah diberikan dan segala bentuk pengorbanan orang tua.

Diri ini benar-benar merasakan perih, sakit, luka yang begitu dahsyat ketika harus ‘dipukul’ dengan beningnya air mata orang tua yang mengalir, seiring permohonan maaf kepada anaknya. Bukan anak yang mohon maaf kepada orang tuanya!

Bermula dari keinginan untuk membahagiakan mereka dengan mencoba mencari sekolah lanjutan yang tepat. Akan tetapi, pada saat yang bersamaan, kakak perempuanku harus mendaftar sebagai dosen di UNDIP. Tentu saja biaya yang dikeluarkan tidaklah sedikit. Konsentrasi orang tuapun terpecah, bahkan aku merasa mereka lebih sibuk mengurusi pendaftaran kakak perempuanku itu sehingga sedikit meninggalkan kepentinganku untuk mencari sekolah lanjutan.

Terbesit rasa kesal karena perguruan tinggi yang diharapkan seakan mustahil untuk diraih sedangkan diri ini sudah gagal PMDK. Rasa iri kepada sang kakak pun semakin memuncak. Semakin menjadi bahkan begitu hebat! Terakhir aku mencoba bicara dengan orang tua bahwa aku ingin sekolah di STT TELKOM, tapi lagi-lagi gagal karena biaya per semester 4 juta lebih. Aku tambah kacau, aku tidak ingin kejadian ini sama dan berulang seperti tahun-tahun lalu, di mana aku selalu gagal mendapatkan sekolah yang aku inginkan.

Marah, iri, kesal yang membabi buta, aku lampiaskan begitu saja kepada Ibu. Umpatan demi umpatan keluar dari ‘mulut jahanam’ ini. Hati kotor ini berbisik, “aku di -nomor dua-kan”. Di tambah lagi, Bapak sering menonjolkan prestasi kakak perempuanku. Kakak yang dulu sekolah di SMA favorit di Jakarta daripada aku yang hanya sekolah di desa, yang mungkin tidak ada apa-apanya dengan sekolah kakakku itu. Hati ini tambah miris!

Ketika kakak perempuanku itu pulang ke rumah, tak sepatah kata pun terucap untuk menyambut, tak ada sekilas wajah  terlihat untuk menatap, yang ada hanya pikiran bahwa diri ini adalah pecundang yang selalu gagal…

Ibu -yang selalu mencoba meneduhkan si anak durhaka ini- malah kembali dijadikan bulan-bulanan mulut hina ini. Begitu berhari-hari. Malah sempat terbesit, “Lebih baik aku menjadi berandalan, membuat orang tua malu! Jika mereka tidak mau aku menjadi anak kebanggaan mereka!” Ibu tetap sabar. Hati anaknya yang terbakar emosi ini masih juga belum mengerti linangan air mata ibunya dalam hati.

Di sekolah, saat teman-teman yang lain sibuk mengurus PMDK, aku hanya duduk menatap karena cita-citaku untuk ikut PMDK sudah kandas. Sementara teman-temanku enak, mereka berpeluang bisa masuk perguruan tinggi negeri tanpa harus ikut tes saringan masuk. Sedangkan aku? Aku mungkin harus berjuang mati-matian untuk ikut tes SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru), yang tentu saja aku ragu. Aku ini kan orang bodoh? Lalu kenapa aku dilahirkan? Setiap orang bilang bahwa aku beda sama kakak, benar! Aku beda, aku lebih bodoh, aku lebih jahat, aku lebih keras kepala, egois! Aku mulai menebar benci pada semua orang. Prinsipku saat itu, kalau aku benci pada semua orang, maka aku laki-laki sejati!!! Lebih baik aku suka daripada orang lain suka. Aku sering makan ati…

Waktu itu, sepulang sekolah aku ingin makan siang. Keadaan rumah tidak seperti biasanya, ada rasa jengkel ketika menatap wajah Ibu! Seperti hari-hari sebelumnya, beliau menanyakan keadaan di sekolah, tapi jawaban yang keluar dari mulut ini malah kata-kata yang sinis. Kata-kata yang terlontar adalah kata-kata yang sangat menyakitkan. Sampai puncaknya, Ibu menangis. Ibu menangis di hadapanku, memohon maaf kepadaku. Sedang aku? Aku hanya diam berusaha bertahan dengan pikiran-pikiran iblisku yang mencoba meracuni. Ibu menangis…sekali lagi mohon maaf. Sembari bercerita bahwa beliau tidak pernah sekalipun membedakan anak-anaknya. Bagi beliau, anak-anaklah kekuatan untuk menjalani hidup. Bapak yang bekerja tiada henti demi siapa? Demi anak-anak…Ibu tidak pernah menganggap aku bodoh!!! Aku pintar…aku adalah kebanggaan beliau. Ibu terus minta maaf, teriring kristal-kristal bening yang terus membuat jejak membasahi kulit pipinya yang mulai keriput termakan usia.

Tiba-tiba piring yang tadi aku pegang, aku letakkan. Aku bersimpuh di kaki Ibu. Aku menangis sejadi-jadinya! Aku tak kuasa memandang air mata Ibu. Aku bersimpuh dan Ibu membelaiku dengan kasih sayangnya, aku hanya bisa berkata,
“Sampun Ibu, sampun…kulo lepat!”1) Hanya itu yang dapat keluar dari mulut neraka ini. Aku mencium tangan Ibu sebisanya. Aku merasakan perjuangannya membesarkanku, kurasakan tangan halus itu yang senantiasa menemani langkahku.

“Aku durhaka sama Ibu…”, kataku sambil terisak.
Tapi apa yang beliau katakan?
“Tidak, kamu tidak salah. Wajar…kamu masih remaja, Ibu bangga sama kamu.”

Aku benar-benar merasa telah menyakiti hati Ibu. Aku sulit melepaskan genggaman tanganku di kaki beliau, sudah banyak kesalahan yang aku perbuat. Aku tidak sadar bahwa selama ini aku hanya bisa merepotkan beliau, mencemooh beliau, memaki, berkata keras…

Aku durhaka…
Aku durhaka…
Ibu, ampuni aku! Jikalau beliau hilang kesabaran, pasti aku sekarang telah menjadi manusia laknat, terkutuk!

Ibu tidak berharap apa-apa dariku. Ibu hanya ingin menyaksikan anak-anaknya berhasil. Itulah yang kuingat, dan sampai sekarang aku masih bisa melihat sosok Ibu yang penuh cinta kasih pada anak-anaknya. Aku ingin mempersembahkan yang terbaik untuk Ibu. Sering aku melihat Ibu berdoa panjang seusai sholat malam, tapi aku tak tahu jika dalam doanya…ada namaku!

Ibu…ampuni aku!
Ibu…ampuni anakmu…

(Aku kembali ingat kejadian itu…dan inilah pelebur kerasnya hatiku. Aku tidak malu jika harus menangis karena meratapi kesalahan. Karena selama ini, aku hanya menganggap menangis itu bukan laki-laki! Aku menangis karena Ibu…Ibu yang akan selalu aku hormati. Ibu, surga ada di bawah telapak kakimu…)

1)        “Sudah Ibu, sudah…saya salah!”

[Keisya Avicenna… lembar ke-23 Ramadhan *terinspirasidarikisahseorangsahabat…]

Saturday, August 11, 2012

MELATI [22]: "ISTIMEWANYA SANG WAKTU 22:22-02:02"

Saturday, August 11, 2012 0 Comments
by Norma Keisya Avicenna on Friday, August 10, 2012 at 5:47pm ·

Saat malam kian larut, mata pun mulai tak tentu arah (baca: nggak fokus). Tapi, jiwa ini bersikeras untuk menuntaskan amanah hari ini dengan semaksimal mungkin. Karena batinnya selalu bertekad: “Hari ini berlalu tanpa meninggalkan PR untuk esok hari.” Ya, karena kita pun takkan pernah tahu masihkah ada umur buat besok? [peristiwa yang sering terjadi jelang 22:22…hehe]

Detik beranjak menjadi menit. Menit merangkak menjadi jam. Sang jam pun berlari menjadi hari. Itulah ekspedisi sang waktu.

Ada kebiasaan yang mulai aku disiplinkan sejak tahun ke-4 aku berstatus sebagai mahasiswa (saat masih nge-kost di Solo). Waktu itu aku mulai disibukkan dengan pengerjaan “SASTRA INTELEKTUAL” alias “SKRIPSI”. Ya, sekitar akhir semester 6 atau awal semester 7 ya (agak lupita) aku mulai menerapkan 22:22-02:02. Apaan tuh? Tidur jam 22:22 dan bangun jam 02:02. Dan Alhamdulillah, kebiasaan itu berlangsung sampai sekarang meski jujur nih ya, di Wonogiri aku belum bisa rutin bangun tepat jam 02:02 karena aku akui adaptasi dengan kondisi cuaca di kota ini memakan waktu cukup lama.  Seringnya bangun jam 03:03 (aih, tetap paduan angka yang unik). Heuheu…Wonogiri tuh jauh lebih dingin daripada Solo. Vinson Massif-nya Antartika apa bocor sampai Wonogiri juga yak? Hm, tapi aku takkan pernah menyerah! Apalagi kalau nanti sudah aktif masuk kuliah. Hoho…

Kita harus mampu “mengendalikan” sang waktu (baca: manajemen waktu dengan baik) atau kita sendiri yang akan terlena. Tanpa disadari, terkadang kita terlalu “ASYIK” dengan kesibukan kita hingga kita pun terbuai karenanya, aktivitas kita tersebut produktif nggak ya? Atau parahnya, masih saja punya kebiasaan SUKA MENUNDA. Padahal, kalau diibaratkan, waktu itu bagaikan seutas tali. Berujung! Ada titik akhir yang entah kapan itu kita semua tidak akan pernah tahu.

Nah, berangkat dari semangat “DZIKRUL MAUT”, diri ini mencoba membuat jadwal yang harapannya bisa menjadikan hari-hari dijalani dengan senang hati agar lebih ber-PELANGI! Dan kenapa angka 2 yang mendominasi? Hehe. Bukan rahasia lagi karena diri ini anak ke-2, lahirnya 2 orang (baca: SUPERTWIN), lahir pun tanggal 2 bulan ke-2. Alhamdulillah, tangan 2, kaki 2, mata 2, telinga 2, lubang hidung 2,… hehe. Jadi, biar lebih istimewa dan tampak cantik saja! Angka 2-lah yang dipilih.

Yuuuk…marilah kita belajar untuk memanfaatkan setiap kala rotasi bumi dalam hari-hari kita (jatah waktu 24 jam sehari) dengan sebaik-baiknya. Jangan sampai terlena, karena hanya penyesalan di akhir yang akan kita terima jika kita tak mampu memanfaatkan sang kala dengan sebaik-baiknya.


***
Masa berlalu tak terhitung jariku…
Saat syahdu nyanyian kalbu
Mesra memagut mimpi
Mencumbu ilusi sunyi
Dalam dekap peluk romantisme khayalan
Diri ini takkan pernah putus harapan
Semangat akan tetap membakar hati
‘Tuk lanjutkan ekspedisi mimpi
Malam ini…
[22:22]

Ter’cenung’ hening… :)
Dalam khidmat selarik lantun do’a
Mencoba mengurai angan…
Masih terus bercengkerama bersama malam
Hingga sang pagi ‘kan menjelang
Mencoba menaklukkan kembali hamparan panjang
Terangkum indah dalam sebuah kisah
Yang tak sekadar untuk kenangan
Tapi abadi dalam hati
Kekal dalam ingatan…
[02:02]

[Keisya Avicenna, lembar ke-22 Ramadhan…*Semakin dekat tuntaskan penantian…]

MELATI [21]: “KUN! FAYAKUUN!”

Saturday, August 11, 2012 0 Comments
by Norma Keisya Avicenna on Thursday, August 9, 2012 at 7:05pm ·

Tanpa terasa jemari ini sudah membuat rerentet aksara berbaris dalam kata hingga menjadi kalimat (yang semoga) sarat makna di lembar ke-21 bulan Ramadhan. Dan langkah yang telah terlewati adalah catatan untuk menuju nilai yang sempurna. Jika kemarin belum ada hasil, maka jadikan hari ini awal dari catatan kehidupan yang baru. Sepakat?

“Mbak, punya resep biar nggak sedih?”
“Mbak, bagaimana sih cara mbak menikmati hidup?”
“Cenung, aku galau…” (hehe…ni curhatane nggak banget!)

Hm, sering dapat pertanyaan-pertanyaan seperti itu. Pasti jawaban pertama saya: “INGAT ALLAH!”
Ya, Allah Swt adalah Rabb kita, dimana kita menghamba, meminta, berharap ampunan dosa, memintalkan do’a, dsb.
Jadi, libatkan Allah Swt sejak langkah pertama kita dalam melakukan apapun, dimanapun, kapanpun. Kata Ust. Yusuf Mansur: “Allah dulu, Allah lagi, Allah terus…”
Tiada tempat berlindung dan memohon kecuali kepada-Nya.

Musim kehidupan itu berjalan sesuai dengan sunatullah dan sama sekali tidak dapat diprediksi, selalu berupaya bersyukur atas setiap musim yang kita alami dalam kehidupan akan membuat kehidupan kita menjadi lebih bermakna. Apapun yang terjadi dalam kehidupan ini, entah itu baik atau buruk tetap saja akan kita jalani sesuai dengan pilihan kita masing-masing. Namun demikian. jika kita tidak mengerti mengapa itu harus terjadi, yang dapat kita lakukan hanya menjalankannya dengan penuh kesyukuran dan prasangka yang baik. Kebaikan dan keburukan yang kita alami itu adalah sebuah persepsi yang ada dalam pemikiran kita dan sesungguhnya bukan merupakan suatu realitas fisik.

Allah Swt yang lebih mengetahui sesuatu itu baik atau buruk. Dengan demikian manusia sama sekali tidak bisa melakukan pembenaran apakah kejadian yang dialaminya itu kebaikan atau keburukan. Bukankah kita masih ingat dengan firman Allah, bisa jadi apa-apa yang kamu anggap baik, belum tentu itu baik disisi Allah dan apa-apa yang kamu anggap tidak baik, justru itulah yang terbaik bagi Allah Swt. Jika demikian yang terjadi, yakinlah bahwa pada suatu saat nanti titik-titik kebaikan ataupun keburukan itu akan menjadi suatu rangkaian yang indah yang sesungguhnya membawa hikmah yang baik bagi kehidupan kita di masa datang.

 Adakalanya manusia mengalami suatu kegagalan. Kegagalan itu sengaja Allah Swt hadirkan bagi kita, walau mungkin segenap persiapan sudah kita rancang sebelumnya. Karena Allah Swt ingin memberi kabar kepada manusia, bahwa terwujud dan terjadinya harapan manusia itu, bukanlah andil dari manusia semata, melainkan ada wewenang Allah Swt di sana…

Tidak ada sesuatu yang tidak mungkin jika Allah Swt sudah berkehendak. Dan inilah dahsyatnya “KUN! FAYAKUUN”. Buka mushaf masing-masing dan renungkan bersama yuk…

[QS. Al Baqarah: 117] 
“Allah Pencipta langit dan bumi, dan bila Dia berkehendak sesuatu, maka Dia hanya mengatakan kepadanya: "Jadilah! Lalu jadilah ia."

[QS. An Nahl: 40] 
“Sesungguhnya perkataan Kami terhadap sesuatu apabila Kami menghendakinya, Kami hanya mengatakan kepadanya: "kun (jadilah)", maka jadilah ia".”

[QS. Yaasiin: 82]
Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: "Jadilah!" maka terjadilah ia".

[QS. Al An'aam: 73]
“Dan Dialah yang menciptakan langit dan bumi dengan benar. Dan benarlah perkataan-Nya di waktu Dia mengatakan: "Jadilah, lalu terjadilah", dan di tangan-Nyalah segala kekuasaan di waktu sangkakala ditiup. Dia mengetahui yang ghaib dan yang nampak. Dan Dialah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.”

[QS. Al Mu'min: 68]
“Dia-lah yang menghidupkan dan mematikan, maka apabila Dia menetapkan sesuatu urusan, Dia hanya bekata kepadanya: "Jadilah", maka jadilah ia".”

[QS. Maryam: 35]
“Tidak layak bagi Allah mempunyai anak, Maha Suci Dia. Apabila Dia telah menetapkan sesuatu, maka Dia hanya berkata kepadanya: "Jadilah", maka jadilah ia".”

[QS. Ali 'Imran: 47]
“Maryam berkata: "Ya Tuhanku, betapa mungkin aku mempunyai anak, padahal aku belum pernah disentuh oleh seorang laki-lakipun." Allah berfirman (dengan perantaraan Jibril): "Demikianlah Allah menciptakan apa yang dikehendaki-Nya. Apabila Allah berkehendak menetapkan sesuatu, maka Allah hanya cukup berkata kepadanya: "Jadilah", lalu jadilah dia.”

[QS. Ali 'Imran: 59]
“Sesungguhnya misal (penciptaan) Isa di sisi Allah adalah seperti (penciptaan) Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya: "Jadilah", maka jadilah dia.”

***
“Langit tetap tegak menaungi alam semesta seisinya. Seluruh planet beredar dengan orbit yang telah ditetapkan, bergerak mengelilingi matahari sebagai pusat revolusi dalam lintasan elips. Bintang-bintang pun tetap bercahaya benderang di ujung barat. Begitulah, jika Allah Swt telah menetapkan manzilah bagi garis edar setiap planet dan bintang. Segalanya telah diciptakan dalam keteraturan dan keseimbangan. Demikianlah, Allah Swt dengan segala kekuasaan-Nya. Menyuratkan skenario alam, mengukir mekanika langit, serta melukiskan garis takdir dengan kanvas keagungan-Nya…”
[Mekanika Langit]

“Ketika engkau terhimpit dan terlilit oleh problematika kehidupan, sesungguhnya, yang dapat membuatmu bertahan adalah harapanmu, dan sebaliknya, yang akan membuatmu kalah atau bahkan mematikan daya dan energi hidupmu, adalah saat di mana engkau kehilangan harapan. Maka, ketika engkau berdoa kepada Allah Swt, sesungguhnya engkau sedang mendekati sumber dari semua kekuatan, dan apa yang segera terbangun dalam jiwamu adalah harapan. Harapan itulah yang kelak akan membangunkan kemauan yang tertidur dalam dirimu. Jika kemauanmu menguat menjadi azzam (tekad), itulah saatnya engkau melihat gelombang tenaga jiwa yang dahsyat. Gelombang yang akan memberimu daya dan energi kehidupan serta menggerakkan segenap ragamu untuk bertindak. Dan, apa yang engkau butuhkan saat itu hanyala : mempertemukan kehendakmu dengan kehendak Allah melalui doa dan tawakal.”

“Faidza ‘azamta fatawakkal ‘alallah…”
Maka, jika kamu telah membulatkan tekad, bertawakallah kepada Allah SWT!

“Dan barangsiapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan keperluaannya”
(QS. At-Thalaq [65] : 3)

***
Kini aku menyadari bahwa aku masih hidup dan bisa bernafas. Bernafas dengan jiwa karena sebenarnya aku bernafas bukan dengan hidung, tenggorokan, ataupun paru-paru. Aku bernafas dengan jiwa. Jiwa hidup dalam hati, hati yang hidup karena Ilahi. Tiap udara yang aku hembuskan dari hati, berubah menjadi kalimat-Nya yang berbunyi "Kun Fayakuun! Jadi, maka terjadilah!"

[Keisya Avicenna, lembar ke-21 Ramadhan… saat fase “KEPOMPONG” hampir paripurna. TETAPLAH BERTAHAN dan BERSIAPSIAGALAH!!! ^_^]

NB: sambil lihat youtube "KUN FAYAKUUN", a song from Ranbin Kapoor. 

MELATI [20]: PERPISAHAN SENJA

Saturday, August 11, 2012 0 Comments


by Norma Keisya Avicenna on Thursday, August 9, 2012 at 3:56am ·
Dalam keremangan hatinya...
Ia menangkap suara yang memanggil-manggil namanya
Seiring dengan perpisahan senja yang meranum
Lalu mengganti jubahnya dengan kain malam

Tak terasa buliran kristal bening membasahi pipi
Dalam tatapan matanya yang sembab, ia berkata :
“Aku tak bisa memiliki air mataku sendiri. Bahkan aku tak punya nyali untuk menatap bayanganku di cermin”

Seketika terdengar suara yang pernah ia temui dalam ruang khayalnya :
“Setiap nafas berhembus, kita tahu hal berbeda. Setiap satu kedipan mata, kita kenal cerita lain. Tatkala hembusan udara terhirup, kita coba pahami kata hati. Tatkala satu langkah berjalan, kita temukan ilmu baru, kita tahu tujuan hidup. Ketika rindu bertanya padaku tentang hari ini, jawabku : ‘jiwaku takkan lelah menghitung lembaran yang tlah terlewati, hati takkan risau, jua tak ingin berkeluh’…

Seketika ia pun tersadar…
“Sekalipun ini perih, segala takdir-Mu pasti baik untukku…”

***
“Saat simfoni cinta-Nya bersenandung mewah dalam lubuk hatiku…Sederhana saja!”

[Keisya Avicenna, lembar ke-20  Ramadhan... saatnya menikmati senja bersama keluarga tercinta]