Jejak Karya

Jejak Karya

Monday, May 11, 2009

URGENSI MENGENAL DAN MEMAHAMI EKONOMI ISLAM


A. Pendahuluan

Islam adalah satu-satunya agama yang sempurna yang mengatur seluruh sendi kehidupan manusia dan alam semesta. Kegiatan perekonomian manusia juga diatur dalam Islam dengan prinsip illahiyah. Harta yang ada pada kita, sesungguhnya bukan milik manusia, melainkan hanya titipan dari Allah swt agar dimanfaatkan sebaik-baiknya demi kepentingan umat manusia yang pada akhirnya semua akan kembali kepada Allah swt untuk dipertanggungjawabkan.
Ekonomi Islam merupakan ilmu yang mempelajari perilaku ekonomi manusia yang perilakunya diatur berdasarkan aturan agama Islam dan didasari dengan tauhid sebagaimana dirangkum dalam rukun iman dan rukun Islam.
Bekerja merupakan suatu kewajiban karena Allah swt memerintahkannya, sebagaimana firman-Nya dalam surat At Taubah ayat 105:
“Dan katakanlah, bekerjalah kamu, karena Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang yang beriman akan melihat pekerjaan itu. Karena kerja membawa pada keampunan”, sebagaimana sabda Rasulullah Muhammad saw : “Barang siapa diwaktu sorenya kelelahan karena kerja tangannya, maka di waktu sore itu ia mendapat ampunan. (HR.Thabrani dan Baihaqi).

Krisis ekonomi saat ini telah membuat para pemimpin dunia disibukkan oleh upaya mencari jalan keluar untuk menghentikan ’pendarahan’ akibat kecelakaan fatal ekonomi keuangan mereka. Paket penyelamatan krisis pun telah disiapkan dengan total dana yang tidak tanggung-tanggung: 3.4 triliun dolar AS (AS: 700 miliar dolar; Inggris: 691 miliar dolar; Jerman: 680 miliar dolar; Irlandia: 544 miliar dolar; Prancis: 492 miliar dolar; Rusia: 200 miliar dolar dan negara-negara Asia: 80 miliar dolar (Kompas, 2008).

Kenyataannya, sampai saat ini kondisi ekonomi masih terus memburuk. Indeks harga saham di bursa dunia terus terpuruk. Nilai mata uang di pasar uang terus bergejolak. Saluran dana untuk kredit ke sektor industri, infrastruktur dan perdagangan mulai macet, bahkan proses produksi berhenti. Dua puluh juta pekerja di seluruh dunia terancam di-PHK.

Islam sebagai satu-satunya ad-dien yang Alloh Swt ridloi dan pilih bagi umat manusia sejak era Nabi Adam As dan disempurnakan para era kerasulan Muhammad Saw dimaksudkan untuk meregulasi tatanan kehidupan manusia agar selamat baik di dunia maupun akhirat. Sebagai sebuah sistem, dienul-Islam yang mencakup aqidah, akhlaq dan syari’at merupakan undang-undang ilahiyah berisi berbagai aturan kehidupan.

Diantara keagungan sistem Islam adalah sistem perekonomian yang sering kita sebut dengan ekonomi syari’ah. Jika instrumen ekonomi syari’ah diimplementasikan, maka beberapa masalah krusial perekonomian bisa diantisipasi sehingga tidak menimbulkan krisis ekonomi maupun finansial sebagaimana yang saat ini tengah terjadi.

Penulisan artikel ini bertujuan untuk mengetahui urgensi mengenal dan memahami ekonomi Islam yang diharapkan dapat menjadi sebuah solusi untuk menangani krisis ekonomi global dan dapat digunakan sebagai solusi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat khususnya di Indonesia.

B. ISI
1. Krisis Ekonomi
Krisis ekonomi dunia saat ini bukanlah yang pertama maupun yang terakhir. Boleh dikatakan, sejarah ekonomi Kapitalisme adalah sejarah krisis. Roy Davies dan Glyn Davies (1996), dalam buku The History of Money From Ancient time to Present Day, menguraikan sejarah kronologi krisis ekonomi dunia secara menyeluruh. Menurut keduanya, sepanjang Abad 20 telah terjadi lebih 20 kali krisis besar yang melanda banyak negara. Ini berarti, rata-rata setiap 5 tahun terjadi krisis keuangan hebat yang mengakibatkan penderitaan bagi ratusan juta umat manusia.

Sebab utama krisis ekonomi bisa dilacak dari begitu berkuasanya sektor moneter/keuangan (sistem uang kertas [fiat money], perbankan ribawi, pasar modal, bursa saham, valas [pasar uang], dll) atas sektor riil (perdagangan dan jasa yang bersifat nyata). Sebelum krisis moneter di Asia tahun 1997/1998, misalnya, dalam satu hari, dana yang beredar dalam transaksi semu di pasar modal dan pasar uang dunia diperkirakan rata-rata sekitar 2-3 triliun dolar AS, atau dalam satu tahun sekitar 700 triliun dolar AS. Sebaliknya, arus perdagangan barang secara internasional dalam satu tahunnya hanya berkisar 7 triliun dolar AS. Jadi, arus uang 100 kali lebih cepat dibandingkan dengan arus barang (Republika,2000).

Besaran transaksi yang terjadi di pasar uang dunia berjumlah 1,5 triliun dolar AS dalam sehari. Sebaliknya, besaran transaksi pada perdagangan dunia di sektor riil hanya 6 triliun dolar AS setiap tahunnya. Jadi, perbandingannya adalah 500:6. Dengan kata lain, transaksi di sektor riil hanya sekitar 1%-an dari sektor keuangan (Kompas, 2007).

Sementara itu, menurut Kompas September 2007, uang yang beredar dalam transaksi valas (valuta asing) mencapai 1,3 triliun dalam setahun. Data ini menunjukkan bahwa perkembangan cepat sektor keuangan semakin melejit meninggalkan sektor riil.
Dalam ekonomi Islam, sektor finansial selalu mengikuti pertumbuhan sektor riil. Inilah perbedaan konsep ekonomi dalam Islam dengan konsep ekonomi konvensional yang kapitalistik, dimana dalam ekonomi kapital, pemisahan antara sektor finansial dengan sektor riil merupakan keniscayaan. Implikasi dari adanya pemisahan itu, maka ekonomi dunia sangat rawan terhadap gonjang-ganjing krisis. Hal ini disebabkan pelaku ekonomi menggunakan uang tidak untuk kepentingan sektor riil, tetapi untuk kepentingan spekulasi mata uang semata. Akibat adanya spekulasi tersebut, maka jumlah uang yang beredar sangat tidak seimbang dengan jumlah barang pada sektor riil.

2. Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam

Secara garis besar ekonomi Islam memiliki beberapa prinsip dasar:
a. Berbagai sumber daya dipandang sebagai pemberian atau titipan dari Allah swt kepada manusia.
b. Islam mengakui pemilikan pribadi dalam batas-batas tertentu.
c. Kekuatan penggerak utama ekonomi Islam adalah kerja sama.
d. Ekonomi Islam menolak terjadinya akumulasi kekayaan yang dikuasai oleh segelintir orang saja
e. Ekonomi Islam menjamin pemilikan masyarakat dan penggunaannya direncanakan untuk kepentingan banyak orang.
f. Seorang muslim harus takut kepada Allah swt dan hari penentuan di akhirat nanti.
g. Zakat harus dibayarkan atas kekayaan yang telah memenuhi batas (nisab)
h. Islam melarang riba dalam segala bentuk.

3. Sistem Ekonomi Islam: Berbasiskan Sektor Riil

Dalam ekonomi Islam, sektor finansial mengikuti atau terikat dengan sektor riil. Dalam pandangan Islam, uang bukan komoditas (barang dagangan), melainkan alat pembayaran. Islam menolak keras segala jenis transaksi semu seperti yang terjadi di pasar uang atau pasar modal saat ini. Sebaliknya, Islam mendorong perdagangan internasional. Muhammad saw., sebelum menjadi rasul, telah menjadi pedagang internasional sejak usia remaja. Ketika berusia belasan tahun, beliau telah berdagang ke Syam (Suriah), Yaman dan beberapa negara di kawasan Teluk sekarang. Lalu saat beliau menjadi rasul sekaligus menjadi kepala negara Daulah Islamiyah di Madinah, sejak awal kekuasaannya, umat Islam telah menjalin kontak bisnis dengan Cina, India, Persia, dan Romawi. Bahkan hanya dua abad kemudian (abad kedelapan), para pedagang Islam telah mencapai Eropa Utara (Pertadireja, 1994).

Sepanjang keberadaan Daulah Islamiyah pada zaman Nabi Muhammad saw. jarang sekali terjadi krisis ekonomi (Pernah sekali Daulah Islam mengalami defisit, yaitu sebelum Perang Hunain, namun segera dilunasi setelah perang). Pada zaman Kekhilafahan Islam, khususnya masa Khulafaur Rasyidin juga begitu. Pada zaman Khalifah Umar bin al-Khaththab dan khalifah Utsman bin Affan APBN malah sering mengalami surplus. Apa rahasianya? Ini karena kebijakan moneter Daulah Islamiyah masa Rasulullah saw. dan Kekhilafahan Islam pada masa para khalifah selalu terkait dengan sektor riil, terutama perdagangan (Pertadireja, 1994).

4. Sistem Ekonomi Islam: Menjamin Kesejahteraan Umat Manusia
Dalam sistem ekonomi Islam, kesejahteraan diukur berdasarkan prinsip terpenuhinya kebutuhan setiap individu masyarakat, bukan atas dasar penawaran dan permintaan, pertumbuhan ekonomi, cadangan devisa, nilai mata uang ataupun indeks harga-harga di pasar non-riil. Oleh karena itu, sistem ekonomi Islam dilakukan dengan melaksanakan beberapa prinsip dasar di dalam mencapai tujuan terpenuhinya kebutuhan setiap individu masyarakat.

a. Pengaturan atas kepemilikan.
Kepemilikan dalam ekonomi Islam dibagi tiga. Pertama: kepemilikan umum. Kepemilikan umum meliputi semua sumber, baik yang keras, cair maupun gas, seperti minyak, besi, tembaga, emas dan gas; termasuk semua yang tersimpan di perut bumi, dan semua bentuk energi, juga industri berat yang menjadikan energi sebagai komponen utamanya. Dalam hal ini, negara hanya mengekplorasi dan mendistribusikannya kepada rakyat, baik dalam bentuk barang maupun jasa.

Kedua: kepemilikan negara. Kepemilikan negara meliputi semua kekayaan yang diambil negara seperti pajak dengan segala bentuknya serta perdagangan, industri dan pertanian yang diupayakan oleh negara, di luar kepemilikan umum. Semuanya ini dibiayai oleh negara sesuai dengan kepentingan negara.
Ketiga: kepemilikan individu. Kepemilikan ini bisa dikelola oleh individu sesuai dengan hukum syariah

b. Penetapan sistem mata uang emas dan perak.
Emas dan perak adalah mata uang dalam sistem Islam. Mengeluarkan kertas substitusi harus ditopang dengan emas dan perak, dengan nilai yang sama dan dapat ditukar, saat ada permintaan. Dengan begitu, uang kertas negara manapun tidak akan bisa didominasi oleh uang negara lain. Sebaliknya, uang tersebut mempunyai nilai intrinsik yang tetap, dan tidak berubah.

Ditinggalkannya mata uang emas dan perak dan menggantikannya dengan mata uang kertas telah melemahkan perekonomian negara. Dominasi mata uang dolar yang tidak ditopang secara langsung oleh emas mengakibatkan struktur ekonomi menjadi sangat rentan terhadap gejolak mata uang dolar. Goncangan sekecil apapun yang terjadi di Amerika akan dengan cepat merambat ke seluruh dunia. Bukan hanya itu, gejolak politik pun akan berdampak pada naik-turunnya nilai mata uang akibat uang dijadikan komoditas (barang dagangan) di pasar uang yang penuh spekulasi (untung-untungan).

c. Penghapusan sistem perbankan ribawi.
Sistem ekonomi Islam melarang riba, baik nasiah maupun fadhal; juga menetapkan pinjaman untuk membantu orang-orang yang membutuhkan tanpa tambahan (bunga) dari uang pokoknya. Di Baitul Mal (kas negara Daulah Islamiyah), masyarakat bisa memperoleh pinjaman bagi mereka yang membutuhkan, termasuk para petani, tanpa ada unsur riba sedikitpun di dalamnya.

d. Pengharaman sistem perdagangan di pasar non-riil.

Adapun yang termasuk ke dalam pasar non-riil (virtual market) saat ini adalah pasar sekuritas (surat-surat berharga); pasar berjangka (komoditas emas, CPO, tambang dan energi, dll) dan pasar uang. Sistem ekonomi Islam melarang penjualan komoditi sebelum barang menjadi milik dan dikuasai oleh penjualnya, haram hukumnya menjual barang yang tidak menjadi milik seseorang. Haram memindahtangankan kertas berharga, obligasi dan saham yang dihasilkan dari akad-akad yang batil. Islam juga mengharamkan semua sarana penipuan dan manipulasi yang dibolehkan oleh Kapitalisme, dengan klaim kebebasan kepemilikan. Inilah sistem ekonomi Islam yang benar-benar akan menjamin kesejahteraan masyarakat dan bebas dari guncangan krisis ekonomi.

5. Urgensi Ekonomi Islam
Sistem ekonomi Islam merupakan system yang terkait dengan produksi, distribusi, dan konsumsi menurut Islam. Dalam pembahasan system ekonomi Islam akan dijelaskan prinsip-prinsipnya terlebih dahulu. Menurut Abul A’la Al-Maududi prinsip ekonomi Islam berada di tengah-tengah antara ekonomi kapitalisme yang menjunjung tinggi kepentingan (prestasi) pribadi dan ekonomi komunisme yang sama sekali menafikan kepentingan (prestasi) pribadi.

Pada satu sisi, ekonomi Islam memberi pada individu hak milik perseorangan dan hak melakukan tindakan terhadap kekayaannya. Sedang pada segi lain, ia mengikat tiap hak dan tiap tindakan dengan berbagai ikatan moral dari dalam dan ikatan perundang-undangan dari luar, dengan tujuan supaya sumber-sumber kekayaan tidak berkumpul pada bebrapa gelintir orang secara besar-besaran, tetapi beredar secara lebih merata pada setiap individu, sehingga masing-masing memperoleh bahagiannya yang sah dan pantas. Oleh karena itu dengan prinsip ekonomi Islam sama sekali berbeda dengan prinsip ekonomi kapitalis dan komunis.

Prinsip ekonomi Islam secara sederhana terumuskan dengan singkat, bahwa ikatan antara kepentingan pribadi dan kepentingan masyarakt adalah erat, semata-mata katrena fithrah keduanya. Ekonomi Islam menghendaki dalam kesejahteraan individu terletak kesejahteraan masyarakat dan dalam masyarakat terletak kesejahteraan individu.

Sistem ekonomi Islam tidak bertujuan agar sebagian individu dalam masyarakat menjadi hartawan yang kaya-raya, sedangkan sebagian besar masyarakat tetap berada dalam kemiskinan. Ekonomi Islam juga tidak bertujuan agar seluruh rakyat dipaksa dengan jalan kekerasan supaya menjadi sama rata seluruhnya. Prinsip ekonomi Islam seperti itu jika diterapkan dapat mengatasi kebobrokan ekonomi dalam masyarakat, seperti yang dewasa ini. Teori ekonomi Islam memperhatikan moral dan hukum dalam menegakkan bangunan suatu sistem.

Sistem ini terbukti telah mampu menciptakan kesejahteraan umat manusia—Muslim dan non-Muslim—tanpa harus selalu berhadapan dengan krisis ekonomi yang secara berkala menimpa, sebagaimana dialami sistem ekonomi Kapitalisme.
Bagi Indonesia, berbagai potensi yang ada seharusnya mampu mempermudah dan mempercepat perkembangan ekonomi Islam beserta perangkat yang diperlukan. Ini mengingat mayoritas penduduk beragama Islam dan kesadaran untuk memanfaatkan jasa perbankan berbasis syariah terus tumbuh. Karena itu, tidak berlebihan jika Indonesia seharusnya bisa menjadi basis dan penggerak perekonomian syariah dunia. Namun sayang sejauh ini, hal itu masih belum bisa terwujud dan beberapa negara tetangga justru lebih agresif dibandingkan Indonesia.

Upaya strategis dalam hubungannya dengan pengembangan ekonomi Islam ini telah mulai dilakukan pemerintah, antara lain dengan penyusunan perangkat perundangan yang pada tahun 2008 ini telah disahkan yaitu UU No 19 Tahun 2008 Tentang Surat Berharga Syariah Nasional dan UU No 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah. UU No 19 dapat disebut sebagai upaya pemerintah meningkatkan porsi pembiayaan pembangunan nasional melalui skema pembiayaan syariah dari obligasi negara dan surat berharga lainnya yang memang memiliki peluang besar bagi Indonesia untuk memperolehnya dari investor Timur Tengah maupun umat Islam Indonesia sendiri. Adapun UU No 21/2008 yang secara khusus membahas perbankan syariah merupakan upaya pemerintah dalam menguatkan kontribusi lembaga keuangan syariah dalam memperkokoh pembangunan nasional. Lahirnya kedua peraturan perundangan ini dengan sendirinya akan menambah ruang bagi pengembangan ekonomi Islam dengan perbankan syariah sebagai lokomotifnya, meskipun berbagai pengembangan masih tetap perlu dilakukan, terutama terkait dengan kebijakan pendukung. Selain itu, harus juga diakui bahwa berbagai persoalan masih menjadi kendala perkembangan ekonomi Islam dan lembaga keuangan Islam di Indonesia (Nuryanto, 2006).

Kontribusi ekonomi Islam dalam pengembangan kesejahteraan masyarakat sebenarnya merupakan bagian integral dari ajaran Islam yang seharusnya juga menjadi ruh pengembangan ekonomi Islam beserta lembaga keuangan dibawahnya. Konsep kerjasama dalam kebaikan dan takwa (ta’awun fil birri wa taqwa), merupakan bagian dari prinsip Islam yang dijunjung tinggi. Namun dalam prakteknya, harus kita akui bahwa praktek keuangan syariah, semisal bank masih jauh dari konsep ini. Sampai saat ini, pembiayaan murabahah (jual-beli) masih mendominasi komposisi pembiayaan bank syariah. Ini berarti bahwa bank syariah masih belum berani bermain pada pembiayaan untuk investasi riil yang memang membutuhkan lebih banyak energi dibandingkan pembiayaan jual-beli.

.
Kontribusi lain dari ekonomi Islam untuk kesejahteraan masyarakat sebenarnya dapat juga dilakukan melalui alokasi berbagai proyek untuk kepentingan rakyat banyak yang didanai melalui skema pembiayaan syariah. Perkembangan sukuk di tingkat internasional misalnya bisa dijadikan contoh. Tingginya likuiditas pada negara-negara kaya minyak di Timur Tengah sebenarnya bisa diserap menjadi dana potensial untuk membiayai proyek-proyek pembangunan yang berorientasi pada rakyat banyak, semisal pembangunan jalan, sarana irigasi, dan lain-lain. Potensi ini sudah diakomodasi melalui penerbitan UU No 19/2008 dan sudah saatnya memberikan hasil yang positif. Untuk itu, peran pemerintah menjadi lebih dituntut untuk membangun iklim usaha yang baik sehingga berbagai peluang yang telah ada dapat dikembangkan sesuai dengan kebutuhan nasional.

Pemerintah sudah saatnya tidak hanya berkonsentrasi pada pengembangan lembaga keuangan syariah sebagai lokomotif pengembangan ekonomi Islam semata, tetapi sudah saatnya merambah pada upaya strategis menguatkan peran ekonomi Islam dalam perekonomian nasional melalui strategi jangka panjang yang mencakup lebih banyak aspek kehidupan. Islam sebagai nilai universal syamil dan mutakamil tentu saja tidak hanya dipraktekkan dalam kaitannya dengan masalah transaksi, tetapi juga dalam masalah manajemen, tata pamong (governance), pendidikan dan bahkan budaya bangsa dan ditahun baru ini semoga kita semua menyadarinya.

C. Penutup

Sistem ekonomi Islam merupakan system yang terkait dengan produksi, distribusi, dan konsumsi menurut Islam. Menurut Abul A’la Al-Maududi prinsip ekonomi Islam berada di tengah-tengah antara ekonomi kapitalisme yang menjunjung tinggi kepentingan (prestasi) pribadi dan ekonomi komunisme yang sama sekali menafikan kepentingan (prestasi) pribadi.

Kajian tentang pertumbuhan (growth) dan pembangunan (development) ekonomi dapat ditemukan dalam konsep ekonomi Islam. Konsep ini pada dasarnya telah dirangkum baik secara eksplisit maupun implisit dalam Al-quran, sunnah maupun pemikiran-pemikiran ulama Islam terdahulu, namun kemunculan kembali konsep ini, khususnya beberapa dasawarsa belakangan ini terutama berkaitan kondisi negara-negara muslim yang terbelakang yang membutuhkan formula khusus dalam strategi dan perencanaan pembangunannya.

Kekhasan pertumbuhan dan pembangunan dalam ekonomi Islam ditekankan pada perhatian yang sangat serius pada pengembangan sumberdaya manusia sekaligus pemberdayaan alam untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia. Ini tidak hanya diwujudkan dalam keberhasilan pemenuhan kebutuhan material saja, namun juga kebutuhan dan persiapan menyongsong kehidupan akhirat. Jadi, urgensi ekonomi Islam lebih ditekankan pada suatu konsep dan usaha untuk dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Ekonomi Islam adalah jawaban tantangan peradaban dunia.


DAFTAR PUSTAKA
Abul Hasan M.Sadeq dan Aidit Ghazali. 1992. Readings in Islamic Economic Thought, Malaysia. Malaysia.
Abul Hasan Muhammad Sadeq. 1987. Economic Growth in An Islamic Economy, tulisan dalam Development and Finance in Islam Malaysia : International Islamic University Press.
Nuryanto, 2006. Ekonomi Syariah Di Indonesia Tahun 1430 H: Peluang dan Tantangan
Pertadireja, 1994. Pengantar Ekonomika. Yogyakarta : BPFE
Rahman, Afzalur. 1995. Economic Doctrines of Islam. Terj. Doktrin Ekonomi Islam, Yogyakarta : Dana Bakti Wakaf.
http://kompas.com
http://replubika.com

No comments:

Post a Comment

Terima kasih sudah berkunjung. Mohon untuk tidak meninggalkan link hidup.


Salam,


Keisya Avicenna