Jejak Karya

Jejak Karya
Showing posts with label lomba resensi. Show all posts
Showing posts with label lomba resensi. Show all posts

Tuesday, March 22, 2016

[Resensi Ayat-Ayat Cinta 2] : KEAGUNGAN CINTA DAN CITA-CITA MULIA DALAM SEBUAH KARYA SASTRA PEMBANGUN JIWA

Tuesday, March 22, 2016 0 Comments

KEAGUNGAN CINTA DAN CITA-CITA MULIA DALAM SEBUAH KARYA SASTRA PEMBANGUN JIWA

Judul         : Ayat-Ayat Cinta 2
Penulis       : Habiburrahman El Shirazy
Editor        : Syahruddin El Fikri dan Triana Rahmawati
Penerbit      : Republika
ISBN        : 9786020822150
Tebal Buku   : vi + 690 hal; 13.5 x 20.5cm
Tahun Terbit : 2015
Harga        : Rp 95.000,00

Ayat-Ayat Cinta yang Melegenda
Sosok Fahri Abdullah, seorang pemuda berdarah Jawa yang menempuh kuliah di Mesir, sempat menggemparkan kancah perfilman Indonesia tahun 2008. Kehidupannya juga kisah cintanya yang unik, penuh cobaan namun dirangkai sangat manis. Ia adalah tokoh fiksi kreasi Habiburrahman El Shirazy, novelis produktif dengan label BEST SELLER di setiap karyanya. Novel beliau yang cukup ‘meledak di pasaran’ adalah AYAT-AYAT CINTA yang terbit tahun 2003, dengan Fahri sebagai tokoh utamanya. Novel ini kemudian diangkat ke layar lebar dengan judul yang sama, disutradarai oleh Hanung Bramantyo. Film Ayat-Ayat Cinta kala itu mendapatkan sambutan yang luar biasa khususnya oleh masyarakat Indonesia, berisi kisah percintaan yang mengharu-biru, juga sarat nilai-nilai keislaman yang sangat mengena. Tentu saja, tetap ada perbedaan yang cukup mencolok antara film dan novelnya terutama dari segi cerita, penyajian dalam novel jauh lebih lengkap.
Novel Ayat-Ayat Cinta sekilas mengangkat kisah ‘poligami’ dan ending dari novel ini sangat manis meskipun berbalut kesedihan karena Maria (istri kedua Fahri) meninggal dunia karena sakit yang dideritanya. Maria meninggal dalam keadaan sudah memeluk agama Islam.
Hadirnya novel Ayat-Ayat Cinta (AAC) membuat saya semakin jatuh cinta dengan novel-novel bergenre religi. AAC memberikan inspirasi dan bahkan menjadi trandsetter kemunculan novel-novel religi yang lain. AAC memang novel yang penuh berkah dan sarat akan cinta karena Kang Abik –panggilan akrab Habiburrahman El Shirazy-  menulis novel ini dengan cahaya cinta untuk MAHAR menyunting belahan jiwanya (Ibu Muyasaratun Sa’idah). So sweet, kan?

Ayat-Ayat Cinta 2
Dua belas tahun kemudian, Kang Abik melanjutkan kisah perjuangan dan kehidupan Fahri dan orang-orang di sekelilingnya.
Pada halaman pertama kita akan berjumpa dengan judul yang langsung membuat diri penasaran : “Bayang-bayang Maria, Puisi Aisha, dan Gesekan Biola Kiera”. Kalau Maria dan Aisha saya sudah tahu. Sedikit mengupas AAC 1, Aisha adalah gadis keturunan Jerman-Turki, yang kaya, pintar, juga cantik jelita. Akhirnya, Fahri pun menikah dengan Aisha meski kehidupan mereka penuh cobaan namun romantisme antara Fahri dan Aisha digambarkan dengan sangat istimewa. Sedangkan Maria,  tetangga Fahri, gadis penganut Kristen Koptik, namun hafal beberapa surat dalam Al-Qur’an. Maria, yang ternyata sangat mencintai Fahri dan berharap bisa menikah dengannya, namun rasa itu hanya ia pendam dalam hati. Lalu, siapa Kiera? Saya pun semakin penasaran kelanjutan kisah kehidupan Fahri dan Aisha, juga orang-orang yang ada di sekitarnya.

Lika-Liku Kehidupan Fahri
Cerita dibuka dengan latar kota Edinburgh, sebuah kota di Skotlandia. Fahri dikisahkan sedang menempuh jenjang post-doc di University of Edinburgh, Skotlandia. Setting kota Edinburgh digambarkan sangat detail. Bangunan-bangunan kuno, terkesan klasik, tertata rapi dan megah, menjadi visualisasi yang indah untuk membuka cerita. Fahri sekarang tinggal di kawasan rumah mewah Stoneyhill Grove di Edinburgh. Pernikahannya dengan Aisha banyak mengubah kehidupannya. Selain menjadi dosen pengganti di University of Edinburgh, Fahri juga menjalankan beberapa bisnis, seperti butik, restoran, supermarket, yang ia kelola bersama Ozon, sepupunya Aisha.
Di bagian pertama ini, Kang Abik sudah menyuguhkan menu yang unik tentang sebuah prinsip dalam menjalankan amanah. Adegan saat Fahri menjadi dosen pengganti Prof. Charlotte untuk sementara waktu. Kala itu, Fahri mengeluarkan mahasiswa dari kelas kemudian menyuruhnya masuk kembali. Lalu, saat di akhir kelas, Juu Suh –mahasiswa itu- melontarkan sebuah pertanyaan untuk Fahri, “…kenapa  orang muslim suka bom bunuh diri?” Dan Fahri menjawabnya dengan analogi yang sangat mudah dimengerti. Saya pun ikut manggut-manggut sendiri. Baru bagian awal saja sudah dapat ilmu super keren. Saya pun semakin bersemangat membuka lembar-lembar berikutnya.
Kening saya mulai berkerut saat Fahri menampakkan sosok melankolisnya.
Dan setiap kali merampungkan Surah Maryam, lalu membaca basmalah dan memulai Surah Thaha, pasti tangisnya pecah tak tertahan. Itu surah yang menggetarkan seorang Umar bin Khattab yang masih jahiliyah sehingga akhirnya masuk Islam. Itu juga surah yang dibaca Maryam menjelang ia wafat. (halaman 17)
Saya benar-benar penasaran, ketika sampai di bagian ini…
Fahri lalu mengirim doa untuk Maria. Kemudian terisak-isak mengingat Aisha. Apakah Aisha telah menyusul Maria? (halaman 17)
Hah, di mana Aisha? Saya pikir, Kang Abik akan mengawali novel setebal 690 halaman ini dengan kehidupan rumah tangga Fahri dan Aisha yang sangat romantis dan harmonis. Mereka sudah punya anak-anak yang sangat lucu, cerdas, dan menggemaskan. Dugaan saya salah! Setelah lembar itu, semangat saya semakin meluap-luap untuk segera menemukan jawaban di mana Aisha?
Fahri hanya hidup berdua dengan asisten rumah tangga sekaligus sopir pribadinya yang bernama Paman Hulusi. Lelaki setengah baya yang selalu memanggil Fahri dengan sebutan ‘Hoca’. Sebuah panggilan yang digunakan orang Turki untuk guru dan ulama yang dimuliakan.
Sudah lebih dari dua tahun Fahri berduka dan tenggelam dalam usaha  pencarian istri yang sangat dicintainya itu. Ia pun memutuskan untuk pindah ke Edinburgh karena merupakan kota yang sangat dicintai Aisha yang terletak di dataran Inggris.
Aisha menghilang seperti ditelan bumi. Aisha dan sahabatnya yang bernama Alicia –seorang jurnalis- pergi ke Palestina pada tanggal 2 November 2007. Mereka ingin melihat dan merasakan secara langsung bagaimana kondisi di Palestina. Namun, setelah tanggal 4 November Aisha hilang dan tanggal 29 Januari 2008 jasad Alicia ditemukan dalam kondisi yang sangat mengenaskan karena kekejaman Israel (halaman 118-119). Keluarga Aisha pun mengganggap Aisha sudah meninggal. Mereka beranggapan mungkin nasib Aisha tidak jauh berbeda dengan Alicia. Tapi, Fahri sangat yakin kalau Aisha masih hidup, karean itu ia sangat rajin bersedekah dan membantu orang-orang di sekitarnya yang membutuhkan. Meskipun terkadang Fahri masih menangis saat mengingat kenangan-kenangannya bersama Aisha. Untuk menghilangkan rasa sedih dan nelangsanya itu, Fahri menyibukkan diri dengan pekerjaan, penelitian, mengajar, dan bisnis yang dulu dikelola bersama Aisha.

Seni Hidup Bertetangga dan Kedermawanan Fahri
Kehidupan Fahri di Edinburg sebagai seorang muslim pun penuh dengan ujian. Ada beberapa tetangga yang tidak menyukainya. Keira dan Jason, kakak beradik yang begitu membenci Islam. Mengapa Keira dan Jason sangat membenci Fahri? Teror dan perbuatan seperti apa yang mereka lakukan? Lalu, bagaimana cara Fahri membuktikan bahwa muslim itu baik dan Islam itu bukan teroris seperti yang mereka anggap selama ini? Selain Keira dan Jason, Fahri juga bertetangga dengan Nenek Catarina –seorang Yahudi- yang hidup sebatang kara dan ditinggal pergi oleh anak tirinya (Baruch) yang bertugas sebagai tentara Israel. Awalnya, Nenek Catarina juga membenci Fahri yang seorang muslim karena itu yang diajarkan oleh agamanya. Fahri adalah salah satu Amalek yang harus dibenci. Namun, pada akhirnya ia pun tak luput dari pertolongan Fahri. Bagaimanakah cara Fahri menyampaikan ‘Islam yang sebenarnya’ pada tetangganya itu?
Fahri juga berbuat baik pada tetangga yang lain, namanya Brenda. Dikisahkan saat Fahri menolong Brenda yang hilang kesadaran karena mabuk berat. Brenda dijatuhkan begitu saja oleh sopir taksi di depan rumahnya. Lalu, Paman Hulusi dan Fahri memindahkan Brenda dengan menyelimutinya agar tidak bersentuhan fisik, lalu memindahkan Brenda di beranda rumahnya sebelum hujan deras.
Selain itu, Fahri juga berbaik hati kepada sahabatnya ketika di Mesir dulu yang bernama Misbah. Fahri akan memberikan beasiswa pada Misbah untuk menyelesaikan kuliahnya sampai mendapatkan gelar Ph.D Ekonomi.
Kedermawanan Fahri tidak hanya itu saja, ia menampung seorang wanita tunawisma yang pingsan. Wanita berhijab dan berwajah rusak itu sempat mendapatkan perhatian publik karena pernah masuk surat kabar karena mengemis di pelataran masjid sehingga mencoreng nama baik Islam. Sebagai seorang muslim, Fahri merasa punya kewajiban untuk menolong wanita tersebut. Fahri membawa wanita itu ke rumah sakit, dirawat hingga sembuh dan ia bawa pulang untuk membantu Paman Hulusi mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Wanita itu bernama Sabina.

Cinta di Sekeliling Fahri
Dalam sekuel kedua novel Ayat-Ayat Cinta ini, diceritakan Fahri adalah sosok yang sukses baik dalam karir maupun bisnisnya. Namun tidak selaras dengan kehidupan rumah tangganya. Fahri masih mengharapkan Aisha hadir kembali dalam kehidupannya. Itu pula yang menyebabkan ia belum mau menikah, meskipun sudah didesak oleh keluarga Aisha untuk mencari pengganti Aisha. Kehadiran Sabina entah kenapa selalu mengingatkan Fahri pada sosok Aisha. Siapakah Sabina sebenarnya? Gadis buruk rupa dan memiliki suara serak itu mengapa banyak kemiripan dengan Aisha? Lalu, bagaimana cara Fahri mengatasi kesendiriannya? Apakah Fahri akan memilih Heba, seorang muslimah yang ayahnya sudah ia kenal baik di Edinburgh atau menerima tawaran Syaikh Utsman untuk menikah dengan cucunya yang bernama Yasmin? Ataukah Fahri akan menikah dengan Hulya, keponakan Aisha  yang juga menyukai Fahri? Apakah Fahri akan menikah lagi? Ataukah tetap menunggu Aisha? Lantas, apakah Kang Abik akan kembali mengusung tema poligami dalam novel ini? Daripada penasaran, segera miliki saja buku ini dan temukan jawabannya!
[*]
Novel Ayat-Ayat Cinta 2 ini sangat mengaduk-aduk emosi saya. Kang Abik sangat berhasil membuat saya –sebagai pembacanya- terlarut dalam setiap kejadian yang dialami tokohnya. Ada beberapa alasan yang membuat saya merekomendasikan novel ini untuk para pembaca yang rindu novel-novel religi berkualitas :
v  Tema
Tema bernafaskan Islam mampu dikemas Kang Abik dengan sangat luar biasa. Saya mendapatkan banyak ilmu baru baik dari narasi maupun saat percakapan antar tokoh. Ada beberapa dialog Fahri yang mampu menunjukkan kalau Islam bukanlah teroris, tapi Islam itu agama yang dirahmati Allah, penuh cinta dan kasih sayang, serta memiliki rasa toleransi yang tinggi. Jika ada kejadian teror ataupun bom bunuh diri itu adalah tindakan dari orang-orang atau oknum yang tidak bertanggung jawab.
Fahri, selain dihadapkan dengan permasalahan pribadinya sendiri, tantangan juga datang dari luar. Isu ISLAMOPHOBIA dan PALESTINA diangkat ke forum perdebatan ilmiah. Debat pertama berlangsung di auditorium tempat Fahri mengajar. Fahri mematahkan anggapan orang-orang Yahudi fanatik yang menganggap seorang Muslim sebagai amalek (orang-orang bodoh yang seperti keledai. Penjelasan Fahri sangat mencengangkan dan sangat gamblang (halaman 437-438). Keren sekali! Debat kedua berlangsung dalam skala yang lebih luas dengan menghadirkan dua orang pembicara dari kalangan akademisi. Pembicara pertama menyampaikan pendapatnya bahwa semua agama adalah sama, sementara pembicara kedua mengemukakan pendapatnya tentang atheis. Dan Fahri pun tampil dengan mematahkan kedua pendapat itu dengan penjelasannya tentang Islam (halaman 574).

v  Setting/Latar Cerita
Kang Abik begitu detail menggambarkan setiap lokasi sehingga menciptakan semacam sensasi yang menyenangkan, seolah pembaca turut menjejakkan kaki di tempat tersebut. Fantastis! Jadi pengin ke Skotlandia suatu hari nanti… Aamiin.

v  Karakter Tokoh
Budi baik Fahri menjadi sebaik-baik contoh bagaimana seharusnya sikap dan perilaku seorang muslim. Apalagi saat ini dunia Barat digoncang oleh virus ‘Islamophobia’. Di dalam novel ini Fahri benar-benar membuktikan bahwa agama yang dianutnya (Islam) adalah rahmat bagi seluruh alam, yang dibuktikan lewat segala kebaikan Fahri pada tetangganya. Kecintaan Fahri pada Allah dan Rasulnya tercermin dari kegiatan sehari-harinya. Ia masih tetap menjalankan tilawah dan muroja'ah Al-Qur’an sebagai dzikir tiap harinya.
Tokoh yang lain seperti Paman Hulusi, Keira, Johan, dan yang lain, menunjukkan kelihaian sang penulis menghidupkan karakter-karakter tokoh tersebut.

v  Plot
Dalam sebuah novel, plot merupakan kerangka dasar yang sangat penting. Plot mengatur bagaimana tindakan-tindakan harus berkaitan satu sama lain, bagaimana suatu peristiwa mempunyai hubungan dengan peristiwa lain, serta bagaimana tokoh digambarkan dan berperan dalam peristiwa itu. Dalam buku “How to Analyze Fiction”, Kenny mengemukakan kaidah-kaidah plot yang meliputi plausibility (logis, dapat dipercaya); suspense (ketegangan yang membangkitkan rasa ingin tahu pembaca); surprise (kejutan); dan unity (keterpaduan). Dalam AAC 2 ini Kang Abik mengemas plot dengan sangat jenius. Jalan cerita sangat logis bahkan ada beberapa yang sesuai dengan fenomena masa kini, ritme suspense-nya sangat terasa sejak awal saya membuka lembar pertama, banyak kejutan-kejutan dan twist-twist yang istimewa, dan semua unsur pendukung cerita mulai dari tema, latar, konflik, peristiwa, klimaks, penokohan semuanya melebur menjadi keterpaduan yang manis.

v  Amanat Cerita
Karya Kang Abik ini jauh lebih berani, berani mengangkat isu-isu lokal dan global. Novel ini juga syarat makna, dan banyak memberika pelajaran dan solusi mengenai berbagai masalah mulai dari bab fiqh hingga sosial. Banyak hikmah dan pelajaran yang bertebaran di novel ini. Lewat Fahri, kita belajar seimbang dalam kehidupan dunia dan akhirat. Lewat Aisha, sebagai muslimah, saya belajar menjadi pribadi yang tangguh dan tegar. Semua tokoh dalam setiap adegannya memberikan pelajaran tersendiri, baik secara tersirat maupun tersurat. AAC 2 ini memberikan banyak nasihat tanpa menggurui pembaca. Referensi-referensi yang diambil Kang Abik dari berbagai kitab juga menambah kayanya ilmu dalam novel ini. Selain itu banyak quote bertebaran :
“Menasihati orang lain itu mudah, tetapi mengamalkan pada diri sendiri tidak mudah.” (halaman 401)
“Islam mengajarkan kita untuk bersikap adil dan baik kepada siapa saja, apalagi tetangga.” (halaman 668)
Quote yang paling bikin sedih :
"… Dan kelak di akhirat nanti, jika engkau, juga ayah dan ibu, sudah masuk surga lalu kalian tidak menemukan aku, maka carilah aku. Carilah aku ke neraka, aku khawatir sekali kalau terpeleset ke sana. Lalu mintalah kepada Allah agar memasukkan aku ke dalam surga. Kalian jadilah saksi bahwa aku pernah shalat bersama kalian, pernah membaca Al-Qur'an, dan pernah menyebut nama Allah bersama kalian." (halaman 660)

v  Point of View (Sudut Pandang)
Ada yang cukup unik di novel AAC 2 ini. Jika di novel AAC 1 Kang Abik menggunakan sudut pandang orang pertama (“Aku”), di AAC 2 ini Kang Abik tidak menggunakan tokoh “Aku” sebagai sudut pandangnya, melainkan sudut pandang orang ketiga. Makin penasaran, kan? Hmm, kereeen pokoknya!

v  Cover
Covernya sangat cantik dan memikat, ada kitab yang terbuka dan setangkai bunga mawar di atasnya. Sangat menarik!

Dari semua kelebihan itu, tetap saja “TAK ADA KARYA YANG TAK RETAK”. Saya masih menjumpai beberapa kesalahan dan kekurangan dalam novel AAC 2.
*      Banyak typo, mungkin karena novel ini terlampau tebal jadi ada beberapa bagian yang luput dari sang editor, seperti sapaan ‘mas’, yang seharusnya ditulis menggunakan awalan huruf kapital ‘Mas’.
“Benar, mas. Dan terpaksa, saya kayaknya akan pulang tanpa membawa gelar Ph.D Ekonomi Islam di UK. Mau bagaimana lagi? Saya ini diktiers, mas.” (halaman 73)
*      Tidak konsisten dalam panggilan atau sapaan. Ada bagian dimana Sabina memanggil Fahri dengan sebutan Tuan Fahri (halaman 229), namun pada halaman 398, Sabina memanggil Fahri dengan sebutan Hoca, pada bagian akhir, Sabina kembali memanggil Fahri dengan Tuan Fahri.
*      Ending cerita mudah ditebak, karena clue-clue yang diberikan cukup kelihatan. Tapi, memang ada twist-twist yang tidak terduga. Hal ini yang membuat pembaca ketagihan untuk terus melanjutkan sampai ending.
*      Setting atau latar tempat yang ditampilkan dengan sangat detail sebaiknya juga dilengkapi dengan peta lokasi atau foto latar tempatnya seperti novel Negeri 5 Menara, jadi pembaca ada gambaran yang lebih jelas.
*      Novel ini teramat sangat tebal. Hehehe. Kadang merasa tidak nyaman saat membacanya.

Terlepas dari beberapa kekurangan tersebut, akhirnya, novel ini membuat saya semakin bersyukur menjadi seorang Muslim. Novel ini layaknya sebuah pengingat bagi saya, tertampar dengan pertanyaan untuk diri sendiri, “sudahkah saya berperilaku baik pada tetangga-tetangga saya?”. Novel ini juga menjadi motivasi untuk terus berjuang menjadi seorang muslim sejati, yang tidak menutupi cahaya keindahan Islam. Saya sangat kagum dnegan penuturan Kang Abik dalam novel ini. Banyak romantisme, perjuangan, dan konflik juga pelajaran sarat hikmah yang disajikan begitu luar biasa di dalam Ayat-Ayat Cinta 2. Barokallahu fiik Kang Abik…

Kabar baiknya, novel Ayat-Ayat Cinta 2 akan difilmkan. Karena itu, segera baca novelnya dan rengkuh sebanyak-banyaknya hikmah yang tersaji di dalamnya. Saya sudah membuktikan, novel ini adalah novel pembangun jiwa. Sekarang, giliran Anda!

Tuesday, March 15, 2016

[Resensi Buku] : DALAM DEKAPAN UKHUWAN (Salim A Fillah)

Tuesday, March 15, 2016 0 Comments

MENGASAH CAKRAWALA RASA DALAM DEKAPAN UKHUWAH
*Norma Keisya Avicenna

Judul Buku          : Dalam Dekapan Ukhuwah
Penulis                 : Salim A. Fillah
Penerbit               : Pro-U Media, Yogyakarta
Tahun Terbit        : 2010
Jumlah Halaman  : 472
ISBN                   : 979-1273-66-9

Alangkah syahdu menjadi kepompong; berkarya dalam diam, bertahan dalam kesempitan. Tetapi bila tiba waktu untuk jadi kupu-kupu, tak ada pilihan selain terbang menari; melantun kebaikan di antara bunga, menebar keindahan pada dunia. Dan angin pun memeluknya, dalam sejuk dan wangi surga.

Kalimat pembuka yang manis dan sarat makna. Rangkaian kalimat yang menyiratkan sebuah perjalanan hidup manusia, sebuah metamorfosis kehidupan.

Ustadz Salim mengawali bahasan dalam buku Dalam Dekapan Ukhuwah ini dengan prolog ‘Dua Telaga’. Prolog yang menggambarkan dua kisah sarat hikmah. Telaga pertama adalah air telaga yang wanginya semerbak melebihi wangi kasturi. Telaga yang rasanya lebih lembut dari susu, lebih manis dari madu, dan lebih sejuk dari salju. Di telaga itu, ada seorang lelaki yang kerap memberi minum mereka yang kehausan. Wajahnya selalu berseri dan selalu menanti kedatangan umatnya. Telaga dengan segala keistimewaannya itu adalah Al-Kautsar dan lelaki itu adalah Muhammad, namanya terpuji di langit dan bumi. Telaga yang kedua berkisah tentang Narcissus yang selalu bercermin di telaga untuk mengagumi pesona dirinya, mengagumi bayangannya. Narcissus menggambarkan sosok jiwa manusia yang hanya takjub pada dirinya sendiri.

Kisah dua telaga ini, mengajak pembaca untuk berhijrah dari kecintaan pada diri sendiri menjadi cinta sesama yang melahirkan peradaban cinta. Awal untuk memulainya adalah IMAN. Iman yang akan menjadi ukuran kualitas hubungan kita dengan sesama.

Ukhuwah disebut juga persaudaraan. Persaudaraan ini tidak dibangun atas dasar darah, nasab, dan keluarga, tetapi atas dasar keimanan dan ketaqwaan kepada Allah.

Dalam buku ini, Ustadz Salim memilah bahasan besar tentang ukhuwah menjadi beberapa bab dengan judul-judul yang sangat menggugah, yang menjelma menjadi bata demi bata yang akan menyusun menara cahaya. Dalam setiap bab itu masih dibagi lagi menjadi beberapa judul tulisan.

‘Ambil Cintamu di Langit, Tebarkan di Bumi’ menjadi judul di bab pertama. Bab ini menjelaskan tentang ukhuwah, kedudukan ukhuwah dalam Islam, serta pentingnya bekerja dan beramal karena keduanya adalah bentuk kesyukuran terindah.

Bab selanjutnya adalah Tanah Gersang’. Salah satu judul yang menarik dalam bab ini yaitu ‘Segalanya adalah Cermin’ (halaman 83). Kita akan belajar dari kisah Mu’awiyah dan ‘Uqail ibn Abi Thalib. Darinya kita belajar setiap saudara adalah tempat kita bercermin untuk melihat bayang-bayang kita. 

Bab berikutnya adalah  ‘Sebening Prasangka’. Prasangka adalah batu bata cahaya dalam membangun menara ukhuwah. Salah satu nikmat terbesar dalam dekapan ukhuwah adalah keberanian untuk menerima penilaian atau kritikan dari orang lain sebagai masukan yang sangat berharga. Itu sikap agung yang telah diambil oleh Az-Zubair (penjaga setia Sang Nabi), Thalhah, ‘Ali, Sa’d ibn Abi Waqqash, ‘Abdurrahman ibn ‘Auf, dan juga ‘Utsman ibn ‘Affan (halaman 215).

Bahasan selanjutnya, Selembut Nurani’. Kita bicara tentang ruh-ruh yang diakrabkan iman, bicara tentang cinta, tentang jiwa yang mendamba naungan Allah SWT dalam mencintai sesamanya.

‘Sehangat Semangat’, menjadi judul bab selanjutnya. Semangat menjadi modal untuk terus bergerak menuju kebaikan dan ber-fastabiqul khoirot. Seperti upaya-upaya ‘Umar untuk mengungguli Abu Bakar yang terus berlangsung dalam setiap kesempatan. Cinta di antara mereka telah saling menyengat dalam bentuk gelora untuk mempersembahkan yang terbaik bagi Allah dan Rasul-Nya.

Selanjutnya, kita akan semakin memahami indahnya persaudaraan yang Senikmat Berbagi’.  Berbagi bagaikan cinta yang dapat menawarkan luka.

Batu bata lain dalam menara cahaya ukhuwah ini adalah ikrar. Kita membangun menara ukhuwah dalam ‘Sekokoh Janji’.  Membangun rasa saling percaya adalah puncak tertinggi kualitas hubungan.

Bagian epilog, kita diberikan jamuan sebuah kondisi yang Gelap, Tapi Hangat’. Kita harus terus saling bercermin tanpa lelah hingga bisa saling memahami dan mencintai saudara kita.

Buku ini membuat kita lebih banyak merenung, lebih banyak menangis, dan gelisah karena kita belum bisa menjadi saudara yang terbaik, belum bisa memahami urgensi ukhuwah yang sebenarnya. Ustadz Salim mengemas semuanya dengan bahasa yang akrab dan indah. Kombinasi kisah-kisah para sahabat, ditambah pula dengan penelitian dari buku-buku seperti ‘Winning With People’ (John C. Maxwell), ‘Every Word Has Power’ (Yvonne Oswald) dan sebagainya, semakin memperkaya bahasan dalam buku ini. Selain itu, hampir di setiap pergantian judul baru, juga diselingi puisi yang mampu membuat diri ini menutup buku sejenak lalu berpikir dan merenung.

Saya sangat kesulitan dalam mencari letak kekurangan buku ini. Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliya berkata, “Temukan tujuh puluh dalih untuk menganggap benar perilaku saudara yang tampak keliru di matamu. Dan jika setelah tujuh puluh alasan terasa tak masuk akal juga, maka katakan pada dirimu: ’Saudaraku ini punya ‘udzur yang tak kutahu.’” Memang, ‘tak ada karya yang tak retak’. Ada satu hal yang menjadi kekurangan. Ustadz Salim dan buku Dalam Dekapan Ukhuwah ini telah membuat pembacanya tidak tenang; setiap kali pembaca membuka halaman pertama, akan muncul rasa penasaran untuk segera membaca halaman-halaman berikutnya hingga akhir.

Buku yang dapat mengasah ‘cakrawala rasa’ ini, sangat saya rekomendasikan untuk dibaca dan dikoleksi bagi siapapun yang berharap dan menginginkan kebaikan ukhuwah dalam cinta-Nya. Buku ini juga sangat layak dibaca oleh para pejuang dakwah, para remaja dan para orang tua yang ingin selalu menggelorakan semangat untuk berlomba-lomba menyemai hikmah, memelihara ukhuwah, memetik barokah, menjadi pribadi yang merindu dan dirindu Jannah.

*Resensi ini mendapatkan JUARA 1 dalam Lomba Resensi yang diselenggarakan oleh Perpustakaan Nuruh Huda UNS