Jejak Karya

Jejak Karya
Showing posts with label lombaQ. Show all posts
Showing posts with label lombaQ. Show all posts

Tuesday, November 09, 2010

For the Rest of My Life

Tuesday, November 09, 2010 0 Comments

Jika dalam hidup ini ada perpisahan, biarlah kematian yang menyambungnya. Tapi, jika dalam kematian ada perpisahan, biarlah hidup ini memberi arti yang nyata. ~memaknai “for the rest of my life” dalam ‘kaca mata minus 2.5’-nya Aisya Avicenna~

Berawal dari sebuah renungan akan beberapa bencana yang melanda Indonesia akhir-akhir ini. Tercetuslah rentetan kalimat di atas yang pada tanggal 29 Oktober 2010, rangkaian kata itu bertahta sebagai status facebook saya. “For the Rest of My Life”? Pastinya sudah tidak asing lagi dengan kalimat ini. Ya, “For the Rest of My Life” adalah judul lagu sendu yang dinyanyikan oleh Maher Zain, seorang munsyid dari Swedia. Berikut liriknya.

I praise Allah for sending me you my love You found me home and sail with me And I`m here with you Now let me let you know You`ve opened my heart I was always thinking that love was wrong But everything was changed when you came along And there’s a couple words I want to say For the rest of my life I`ll be with you I`ll stay by your side honest and true Till the end of my time I`ll be loving you.. loving you For the rest of my life Thru days and night I`ll thank Allah for open my eyes Now and forever... I`ll be there for you I know that deep in my heart I feel so blessed when I think of you And I ask Allah to bless all we do You`re my wife and my friend and my strength And I pray we`re together eternally Now I find myself so strong And there’s a couple word I want to say I know that deep in my heart now that you`re here In front of me I strongly feel love And I have no doubt And I`m singing loud that I`ll love you eternally I know that deep in my heart (For The Rest of My Life – Maher Zain)

Memang, lagu ini menceritakan seseorang yang sangat bahagia dan bersyukur pada Allah Swt karena dikaruniai seorang pendamping hidup yang begitu dicintainya. Dalam konteks kali ini, saya mencoba memaknai “For the Rest of My Life” bukan “pendamping hidup”, tapi “kematian”. Ya, “you” dalam lirik di atas adalah “kematian”. Kematian, sebuah akhir dari siklus hidup kita di dunia, sekaligus tahapan awal menapaki siklus kehidupan abadi kita di akhirat kelak.

Mencintai Kematian

Tuhan jamahlah hatiku Yang kering dan hampa tanpa kasih Atas kuasa-Mu ku terlahir Dan hanya pada-Mu ku kembali (Doa – Ungu)

Musibah tengah melanda Indonesia. Banjir bandang di Wasior, gempa dan tsunami di Mentawai, dan meletusnya Gunung Merapi adalah tiga bencana yang tengah menjadi sorotan di akhir tahun 2010 ini. Bencana itu tak hanya menyebabkan kerugian yang besar, tapi juga rasa duka yang mendalam. Duka karena kematian dan kehilangan. Berita kematian memang selalu menarik untuk diulas, terlebih salah satu kematian yang paling ‘eksotis’ di tahun 2010 ini, kematian Mbah Maridjan –juru kunci Merapi-, yang meninggal dalam posisi sujud saat wedhus gembel tengah mengamuk.

Manusia sangat akrab dengan kematian sebagaimana ia juga akrab dengan kehidupan. Mati dan hidup, dua hal yang senantiasa datang dan pergi, bergiliran. Kadang saya berhenti dan terhenyak, teringat pada orang-orang yang tidak akan lagi bisa saya jumpai di dunia ini karena telah berjumpa Sang Pencabut Nyawa. Kematian memang begitu wajar, namun tidak pernah habis untuk direnungkan.
Detik waktu terus berjalan Berhias gelap dan terang Suka dan duka, tangis dan tawa Tergores bagai lukisan (Rapuh – Opick)

Saat membaca tulisan ini, kita tentu masih menghirup segarnya udara kehidupan. Berjuta kenikmatan dan gemerlapnya kehidupan dunia masih sangat akrab dengan kita. Akan tetapi, siapa bisa memastikan bahwa hidup kita masih bertahan lebih dari satu tahun, satu bulan, satu minggu, satu jam, atau sekedar satu kali desahan nafas? Kematian bisa datang kapan dan di mana saja. Kematian tidak pernah datang terlalu cepat atau terlalu lambat.
Tak seorang pun yang memungkiri akan datangnya kematian. Meskipun demikian, dalam praktik kehidupan banyak dari kita yang tingkah lakunya menunjukkan ketidakyakinan akan datangnya kematian. Kita masih asyik bergulat dengan kemaksiatan, acuh dengan perintah dan larangan-Nya, dan tak pernah tersisa sedetik waktupun untuk merenung bahwa hidup di dunia hanya sementara.

“Perbanyaklah mengingat sesuatu yang melenyapkan semua kelezatan, yaitu kematian!” (HR. Tirmidzi)

Berbahagialah hamba-hamba Allah yang senantiasa bercermin dari kematian. Tak ubahnya seperti guru yang baik, kematian memberikan banyak pelajaran, membingkai hikmah hidup, bahkan menjadi rem cakram agar terhenti dari penyimpangan.

Jadikan Hidup Kita Berarti!

Idealnya dan memang seharusnya demikian, bahwa setiap aktivitas kita hendaknya berlandaskan pada niat untuk mendapatkan ridho-Nya, menempatkan cinta kepada Allah di atas segala, karena hanya dengan cinta itu yang dapat mengalahkan godaan dunia yang meraja. Cinta itu adalah cinta hakiki yang membuat manusia melihat dari sudut pandang yang berbeda, menjadikan hidupnya lebih bermakna dan lebih indah. Mencintai Allah, setulusnya, dengan sebenar-benar cinta adalah salah satu bekal kita menghadapi kematian.
Tapi, tak bisa dipungkiri! Dalam perjalanan hidup ini, hati kita kerapkali terisi oleh cinta selain-Nya, mudah sekali terlena oleh indahnya dunia, terkadang melakukan sesuatu bukan karena-Nya. Ujung-ujungnya, tak sadar bahwa kematian semakin mendekat. Kita terlalu larut dalam buaian nafsu duniawi.
“Dijadikan terasa indah dalam pandangan manusia cinta terhadap apa yang diinginkan, berupa perempuan-perempuan, anak-anak, harta benda yang bertumpuk dalam bentuk emas dan perak, kuda pilihan, hewan ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik” (Q.S. Ali ‘Imran [3] : 14)
Dunia memang kerap menyuguhkan kedahsyatan tipuannya. Jangan sampai kita terlena! Jangan sampai amalan baik kita tertutup oleh maksiat yang tak kita sadari. Sedihnya, saat nurani yang bersih menjadi terkotori oleh nafsu duniawi, saat ibadah hanya rutinitas belaka, saat fisik dan pikiran disibukkan oleh dunia, saat wajah menampakkan kebahagiaan yang semu.
“Dan di antara manusia, ada yang berkata : ‘Kami beriman kepada Allah dan hari akhir’. Padahal sesungguhnya mereka itu bukanlah orang-orang yang beriman. Mereka menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanyalah menipu diri sendiri tanpa mereka sadari. Dalam hati mereka ada penyakit, lalu Allah menambah penyakitnya itu dan mereka mendapat azab yang pedih karena mereka berdusta.” (Q.S. Al-Baqarah [2] : 8 – 10)
Coba tanyakan pada hatimu! Bagaimanakah kabarnya? Sedang bahagiakah? Menangis? Damai? Atau Merana?
Meski ku rapuh dalam langkah Kadang tak setia kepada-Mu Namun cinta dalam jiwa Hanyalah pada-Mu (Rapuh – Opick)

Sombongnya kita! Sering bangga pada diri sendiri, padahal sungguh tiada satupun yang membuat kita lebih di hadapan-Nya selain ketaqwaan. Padahal kita menyadari bahwa tiap-tiap jiwa pasti akan mati, namun kita masih bergulat dengan kefanaan. Taqwa? Sudah cukup layakkah kita menyandang gelar itu?!

Naudzubillah, saat tiada getar ketika asma Allah disebut, saat tiada sesal ketika kebaikan terlewatkan begitu saja, saat tiada rasa dosa ketika mendzolimi diri dan saudara yang lainnya. Raga kita memang belum mati (untuk saat ini), tapi apakah itu pertanda hati kita yang sudah mati?!

Maafkanlah bila hati Tak sempurna mencintai-Mu Dalam dada, kuharap hanya diri-Mu yang bertahta (Rapuh – Opick)

Mumpung Allah Swt masih memberi kita kesempatan untuk hidup mari persiapkan bekal terbaik. "Berbekallah, sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa." (QS Al-Baqarah [2]: 197).

Semoga jiwa kita masih memiliki cahaya cinta itu. Cinta pada Sang Penggenggam kehidupan dan kematian kita. Semoga, pada saatnya nanti kita meninggalkan dunia yang penuh goda ini, husnul khotimah pantas menjadi predikat kematian kita! Amin.

Oh Tuhan mohon ampun Atas dosa dan dosa… sempatkanlah… Aku bertobat hidup di jalan-Mu Tuk penuhi kewajibanku Sebelum tutup usia kembali pada-Mu (Akhirnya – Gigi)

Aisya Avicenna

Wednesday, October 20, 2010

Ganepo

Wednesday, October 20, 2010 0 Comments

Setiap masa pasti punya cerita, termasuk masa kecil kita. Masa kecil adalah masa di mana keceriaan menjadi rona keseharian. Ada tawa, canda, kenakalan, meski terkadang diwarnai tangis meski tak lama bertahan. Masa kecil identik dengan masa bermain. Banyak permainan di masa kecil dulu yang masih terkenang hingga sekarang. Sayangnya, permainan-permainan masa kecil itu sudah mulai ditinggalkan, terkalahkan oleh permainan modern yang memang lebih dibanggakan.
Aku melewati masa kecilku di sebuah kota kecil yang berada di Jawa Tengah, tepatnya daerah Wonogiri. Meski tempat tinggalku terletak di daerah kecamatan, tapi bisa dibilang daerahnya tidak begitu ramai. Aku terlahir kembar dan merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Kakak sulungku laki-laki. Semasa kecil, aku dan saudari kembarku sering bermain dengan kakakku dan kawan-kawannya yang sebagian besar laki-laki. Bisa dibilang si kembar kecil dulu memang agak tomboy. Ada satu permainan unik yang masih aku ingat sampai sekarang. Permainan itu bernama ganepo.
Ganepo adalah permainan tradisional yang biasa dimainkan oleh 3-7 orang. Inti dari permainan ini adalah setiap orang berusaha untuk merobohkan tumpukan pecahan genteng yang terbuat dari tanah liat dengan menggunakan senjata berupa batu lempengan. Sebelum memulai permainan, kami membuat dua garis pembatas. Pertama, garis pembatas yang berbentuk melingkar yang melingkupi tumpukan pecahan genteng. Garis lingkaran ini sebagai batasan tidak diperbolehkannya senjata pemain masuk ke daerah sasaran. Biasanya lingkaran yang dibuat berdiameter 30-50 cm. Kedua, garis pembatas sebagai titik awal pemain melempar senjata mereka. Biasanya sepanjang dua meter dari tumpukan pecahan genteng yang akan dijadikan sasaran tersebut. Semua pemain berdiri di belakang garis. Salah seorang pemain memberi aba-aba, satu... dua... tiga... kemudian semua pemain melemparkan senjatanya ke arena permainan. Kalau sampai ada pemain yang senjatanya masuk ke dalam garis lingkaran, maka lemparannya diulang karena itu berarti jarak “tembakan”nya nanti terlampau dekat dengan sasaran. Saat semua senjata sudah berada di arena permainan, pemain yang senjatanya jatuh paling dekat dengan sasaran bisa mengawali permainan dengan melemparkan senjatanya ke arah sasaran.
Orang yang berhasil merobohkan tumpukan pecahan genteng tersebut, berarti ia mengalahkan pemain berikutnya. Pemain yang kalah harus menata tumpukan pecahan genteng tadi. Saat menata tumpukan, pemain yang kalah menghitung dari satu sampai sepuluh sedang pemain yang lain bersembunyi. Seperti halnya petak umpet, pemain yang kalah harus mencari pemain yang bersembunyi. Sedang pemain yang bersembunyi berjaga-jaga agar tempat persembunyiannya tidak diketahui oleh pemain yang kalah. Saat pemain yang kalah berhasil menemukan pemain yang tengah bersembunyi, maka ia harus berlari menuju tumpukan genteng yang sudah disusunnya. Ia harus menyentuh tumpukan itu sambil menyebutkan nama pemain yang ia temukan persembunyiannya dan berteriak “ganepo”. Begitu seterusnya, berlaku pula untuk pemain yang lain.
Nah, saat pemain yang kalah dan berjaga itu tengah berusaha menemukan salah satu pemain, pemain yang bersembunyi dapat menjadi penyerang. Saat menyerang itu, mereka berusaha menjatuhkan kembali tumpukan genteng yang sudah disusun pemain yang kalah. Kalau ia berhasil menjatuhkan kembali tumpukan genteng itu, misal dengan menggunakan kakinya. Maka, pemain yang kalah tadi kembali menata ulang tumpukan genteng tersebut dan mulai menghitung dari satu sampai sepuluh. Pemain yang lain bersembunyi kembali. Begitu seterusnya. Akan tetapi, saat keluar dan bermaksud merobohkan tumpukan pecahan genteng tersebut tetapi ternyata lebih dahulu diketahui oleh pemain yang kalah, maka pemain yang keluar itu menjadi kalah dan ganti berjaga, menghitung sampai sepuluh, dan pemain yang lain bersembunyi kembali. Saat semuanya sudah ditemukan, maka permainan dimulai lagi dari awal.
Setiap kisah pasti ada hikmah, demikian halnya sebuah permainan. Pasti mengandung pelajaran. Begitu juga dengan permainan ganepo ini. Permainan ini mengajarkan nilai-nilai yang bisa dijadikan inspirasi dalam kehidupan kita. Nilai-nilai tersebut antara lain :
1.Kecermatan
Setiap pemain harus cermat dalam melemparkan senjatanya ke arah sasaran. Seperti halnya dalam hidup. Setiap orang harus punya tujuan, impian, atau cita-cita. Jika ia memiliki sesuatu yang ingin dicapai, maka ia akan berusaha dan berjuang untuk mendapatkannya.
2.Lapang dada
Dalam setiap permainan, pasti ada yang menang dan ada juga yang kalah. Wajar. Jika memang kalah, harus diterima dengan lapang dada, tidak dengan marah atau malah bermain curang. Dan jika menang, jangan lantas menjadi sombong atau merendahkan pemain yang kalah.
3.Kewaspadaan
Pemain yang kalah hendaknya bersikap waspada jangan sampai tumpukan genteng yang sudah ia tata bisa dijatuhkan oleh pemain yang bersembunyi. Demikian halnya pemain yang bersembunyi juga harus waspada jangan sampai tempat persembunyiannya diketahui pemain yang kalah. Kewaspadaan memang sangat dibutuhkan dalam hidup agar kita lebih berhati-hati dalam setiap keadaan dan kondisi.
4.Berani mengambil risiko
Pemain yang bersembunyi dan hendak menyerang memang harus berani mengambil risiko dirinya akan diketahui oleh pemain yang kalah. Demikian juga pemain yang kalah, ia juga harus berani mengambil risiko untuk meninggalkan tumpukan genteng dan menemukan pemain lain yang bersembunyi karena bisa saja tumpukan genteng itu diserang atau dijatuhkan pemain lain. Demikian halnya dalam hidup, kita harus berani mengambil risiko. Jika tidak, kita hanya akan menjadi pecundang dan tak pernah bisa meraih sesuatu yang kita impikan.

Demikianlah sekelumit cerita tentang permainan ganepo. Sayang sekali, permainan ini sudah jarang dijumpai di lingkungan saya. Anak-anak sudah dilenakan dengan munculnya beragam permainan modern yang beberapa di antaranya ternyata membahayakan bagi mereka, tak hanya secara fisik, tapi juga secara psikologis. Oleh sebab itu, hendaknya orang tua harus ekstra hati-hati dalam memilihkan sarana permainan bagi anak-anak dan meningkatkan pengawasan saat buah hati bermain dengan teman-temannya.

Aisya Avicenna

***

Tulisan ini pernah diikutkan dalam lomba “Meniti Jejak Bocah di Peti Sejarah” yang diselenggarakan oleh Folipenol Publishing. Tapi belum berkesempatan untuk menang karena hanya dipilih 30 naskah terbaik dari 120 naskah yang masuk! Tetap semangat menulis!!!

Thursday, October 07, 2010

Benci jadi Simpati

Thursday, October 07, 2010 3 Comments

Oleh : Aisya Avicenna*)

Pacaran? Seperti apa sih rasanya? Duduk berduaan, berboncengan, kemana-mana bersama! Serasa dunia milik berdua, yang lain ngontrak! Mungkin itu ya rasanya pacaran. Tapi sayang, diri ini belum pernah merasakannya! Haha, kuno! Tidak gaul! Tidak laku ya? Hmm, mungkin itu tanggapan orang-orang yang pro pacaran. “Ditembak” cowok memang sudah pernah, tapi aku tolak! Jatuh cinta juga pernah, tapi dirahasiakan saja! Menurutku pacaran hanya buang-buang waktu, mending buat baca buku daripada berduaan tidak bermutu. Begitu opiniku waktu ABG dulu. Alhamdulillah, tekad untuk tidak pacaran terus aku tanamkan dalam diri ini sampai lulus SMA. Bahkan semakin membaja tekad itu setelah membaca buku “Nikmatnya Pacaran Setelah Pernikahan” karya Salim A. Fillah. Pacarannya sama suami setelah nikah saja, tekad bulatku!
Oh ya, nama panggilanku Yanda. Setelah melewati masa putih abu-abu, pada tahun 2005 secara resmi aku memasuki dunia baru dengan gelar baru pula. Mahasiswa, itulah gelar baruku. Saat memasuki dunia kampus ini, akupun mulai mengenakan jilbab. Menjadi mahasiswa luar biasa, mahasiswa yang tidak hanya bagus nilai akademisnya tapi juga memiliki softskill yang kompeten. Itulah impianku saat memasuki sebuah kampus negeri di Solo. Untuk mewujudkan impian tersebut, aku aktif dalam dua organisasi. Pertama, aku ikut menjadi pengurus di organisasi mahasiswa tingkat jurusan. Karena organisasi tersebut bersifat akademis, untuk mengimbanginya aku juga masuk organisasi Kerohanian Islam (Rohis) sebagai penopang sisi ruhiyahku. Di Rohis inilah aku mulai mengenal istilah “akhwat”, “ikhwan”, “akhi”, “ukhti”, “anti”, “afwan”, “syukron”, dll. Akhwat. Ya, istilah yang kemudian melekat juga padaku. Semakin membulatkan tekadku untuk terus memperbaiki diri, menjadi muslimah sejati.
Waktu terus bergulir. Sudah banyak kisah yang terukir. Semuanya memang sudah suratan takdir. Tak terasa sudah tiga tahun aku menjadi mahasiswa. Sepak terjang sebagai seorang aktivis dakwah kampus memang telah membuatku menyadari akan makna perjuangan di medan ini. Padatnya aktivitas membuat diri ini lolos dari Virus Merah Jambu (VMJ) atau Cinta Bersemi Sesama Aktivis (CBSA) yang sering merebak di kalangan aktivis dakwah.
Masuk di bulan Ramadhan tahun 2009, pada malam ke-23 aku i’tikaf di masjid kampus. Waktu itu, aku lagi senang mendengarkan nasyid berjudul “Doa Kalbu” yang dinyanyikan oleh Fika Mufla. Pagi harinya, ba’da Subuh aku update status Facebook (FB) menyunting lirik nasyid itu.
Di malam penuh bintang, di atas sajadah yang kubentang Sedu sedan sendiri, mengadu pada Yang Maha Kuasa Betapa naif diriku ini hidup tanpa ingat pada-Mu Urat nadipun tahu aku hampa Di malam penuh bintang, di bawah sinar bulan purnama Kupasrahkan semua keluh dan kesah yang aku rasa Sesak dadaku menangis pilu saat ku urai dosa-dosaku Di hadapan-Mu ku tiada artinya Doa kalbu tak bisa aku bendung deras bak hujan di gurun sahara Hatiku yang gersang terasa oh tenteram.. Hanya Engkau yang tahu siapa aku tetapkanlah seperti malam ini Sucikan diriku selama-lamanya
-bersambung-

Lantas, bagaimana kisah Yanda selanjutnya???
Penasaran, ditunggu aja deh... Soalnya kisah ini tengah dilombakan ^^v

Wednesday, October 06, 2010

Ananda, Cinta Bunda Tak Bertepi

Wednesday, October 06, 2010 0 Comments

Assalamu’alaykum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Selamat pagi Ananda tersayang.
Selamat berjumpa lagi dengan hari yang baru.
Selamat merangkai karya dengan senantiasa meluruskan niat untuk Allah semata.

Semoga Ananda senantiasa menjadi pribadi yang pandai bersyukur agar kenikmatan dan karunia-Nya senantiasa berlimpah. Semoga Ananda menjadi umat tersayang dari Baginda Rasulullah Saw yang syafa'atnya turut pula dihadiahkan kepada kita sebagai umatnya. Aamiin Ya Rabbal'alamiin.

Ananda tersayang, ini surat Bunda yang pertama untuk Ananda. Maafkan Bunda ya, bukan berarti Bunda tak mau menyempatkan waktu barang sejenak untuk menuliskannya, tapi memang terasa sulit untuk mengungkapkan isi hati Bunda lewat kata-kata. Rangkaian kata ini belum cukup mewakili cinta Bunda pada Ananda. Rangkaian kata ini belum mampu menggambarkan apa yang membuncah di hati Bunda.

Ananda tercinta, kehadiran Ananda menjadikan hidup Bunda semakin diliputi perasaan bahagia. Menjadi ibu adalah karunia dari-Nya yang begitu luar biasa. Membuat hidup Bunda terasa lengkap karena kehadiran Ananda di tengah keluarga kita. Ya, keluarga kita yang insya Allah penuh dengan kebahagiaan. Sakinah, mawadah, warahmah. Bunda bangga karena mempunyai gelar baru sebagai seorang ibu. Alhamdulillah, senangnya hati Bunda. Panggil ibumu ini dengan sebutan “Bunda” ya.

Ananda belum mengenal Bunda ya? Izinkan Bunda memperkenalkan diri dulu ya. Biar Ananda makin sayang dengan Bunda. Etika Suryandari, itulah nama Bunda yang diberikan oleh ayah Bunda, kakek Ananda tercinta. Bunda diberi nama "Etika" karena Bunda diharapkan dapat menjadi orang yang berakhlak baik (beretika), "Surya" berarti matahari. Bunda diharapkan menjadi pribadi yang bermanfaat untuk banyak orang layaknya matahari yang banyak menebarkan manfaat pada semua makhluk. Dan "ndari" berasal dari bahasa Jawa "ndadari" yang berarti bersinar terang. Bunda diharapkan menjadi cahaya bagi sekitar, mampu memberi inspirasi pada orang lain. Nama ini adalah tanggung jawab, Anandaku sayang. Semoga Bunda dapat menjadi seperti apa yang diharapkan ibu dan ayah Bunda. Aamiin Ya Rabbal'alamiin.
Oh ya, Bunda sekarang beraktivitas sebagai calon Statistisi di Kementerian Perdagangan Jakarta. Statistisi? Pasti Ananda belum tahu ya maksudnya. Statistisi adalah orang yang pekerjaannya berhubungan dengan data. Banyak berhubungan dengan Matematika juga. Ya, karena Bunda sarjana Matematika, Sayang. Bunda berharap kelak Ananda juga menyukai pelajaran Matematika karena kebanyakan anak-anak tidak menyukai pelajaran ini. Bunda akan membimbing dan mengajari Ananda dengan sepenuh hati! Kita akan belajar bersama ya Sayang. Meski Bunda bekerja di kantor, Bunda berjanji tetap akan memprioritaskan urusan keluarga karena Bunda ingin selalu memberikan yang terbaik pada keluarga.
Selain beraktivitas di kantor, kini Bunda juga aktif di Forum Lingkar Pena (FLP) Jakarta. Di komunitas inilah Bunda belajar banyak untuk menjadi seorang penulis. Hmm, Bunda memang memiliki impian untuk menjadi penulis, Ananda sayang. Bahkan Bunda memiliki impian untuk menjadikan keluarga kita adalah keluarga penulis. Suatu saat nanti, Bunda ingin bisa melahirkan karya kita bersama. Sebuah buku karya Bunda, Ayah, dan juga Ananda. Subhanallah, alangkah bahagianya jika mimpi itu benar-benar terealisasi. Semoga saja Allah memberi kemudahan ya Sayang... aamiin..
Saat Bunda menulis surat ini, Ananda memang belum lahir. Bunda bahkan belum bertemu Ayah. Bunda akan terus berusaha melakukan yang terbaik untuk Ananda dengan memilih Ayah yang sholeh, yang bisa menjadi imam kita kelak. Sudah tertanam dalam diri Bunda bahwa pernikahan Bunda dengan Ayah nanti bervisi untuk mewujudkan pernikahan sebagai penyempurna agama yang bukan sekedar untuk mencari bahagia, tapi menuai keberkahan di dunia dan akhirat, bersama menuju surga-Nya. Ya, kita akan berjuang bersama menuju surga-Nya. Al-Firdaus, surga tertinggi dambaan setiap muslim sejati. Ananda adalah kunci surga bagi Bunda. Maka, Bunda akan terus menjaga kunci itu sebaik-baiknya.

Sebuah konsep keluarga SMART akan Bunda bangun bersama Ayah Ananda kelak. Semoga kami bisa membimbing Ananda menjadi mujahid-mujahidah tangguh kebanggaan dien ini, Islam yang mulia. Ananda ingin tau apa itu keluarga SMART? Inilah keluarga impian Bunda yang kelak akan Bunda wujudkan bersama Ananda dan bersama Ayah tentunya.
S : Sakinah, mawadah, warahmah
M : Mengorientasikan semua aktivitas untuk mencari ridho Allah Swt yang dilakukan sesuai tuntunan Rasulullah Saw
A : Al Qur’an dan Al Hadist sebagai pedoman utama
R : Rumah tangga yang menjadi surga dunia serta sebagai markas dakwah dan tarbiyah.
T : Tanggung jawab dalam menjaga keluarga (buka Q.S. At-Tahrim : 6 ya!)
Ananda tersayang, mari kita wujudkan bersama impian besar ini ya...

Menjadi seorang ibu memang tak mudah. Tapi Bunda akan terus melakukan yang terbaik untuk Ananda. Karena Ananda adalah amanah dari-Nya. Amanah yang luar biasa. Bunda akan membimbing Ananda menjadi generasi Qur’ani, generasi yang cinta Al-Qur’an. Mari membaca Al Qur'an dengan tartil, memahami artinya, menghafalnya, dan saling mengingatkan dengan mengamalkannya dalam kehidupan kita sehari-hari. Sehingga di suatu masa nanti saat Bunda menghadap-Nya, Bunda akan memakai mahkota berkilauan. Ya, itu hadiah dari Ananda pada Bunda sebagai seorang anak yang cinta Al-Qur’an.

Ananda tercinta, jadilah cahaya bagi Bunda. Pilihlah kata terbaik, pilihlah sikap terpuji saat berinteraksi dengan Bunda dan yang lainnya. Karena dengan begitu, Bunda akan semakin bahagia dan bangga pada Ananda. Karena Bunda inginkan anak-anak Bunda adalah anak-anak yang sholeh dan sholehah. Surga berada di telapak kaki Ibu. Semoga Allah Swt juga berkenan meletakkan surga-Nya pada diri Bunda. Bunda ingin menjadi ibu terbaik untuk Ananda kelak.

Ananda terkasih, Bunda menyadari bahwa Ananda hanyalah titipan. Ananda bukan milik Bunda. Ananda juga bukan milik Ayah. Tapi, Ananda milik Allah Swt. Bunda tidak akan menuntut balas budi Ananda atas pengorbanan Bunda yang telah mengandung, melahirkan, menyusui, dan merawat Ananda. Bunda hanya ingin Ananda berbakti sepenuhnya pada Allah Swt. Menjadi hamba-Nya yang beriman dan beramal sholeh.

Tak terasa, bagaskara kian meninggi. Sudah saatnya Bunda mempersiapkan diri untuk merangkai karya. Bunda akan mengumpulkan rupiah demi rupiah untuk mencukupi kebutuhan Ananda kelak. Doakan Bunda ya, semoga setiap rezeki yang Bunda terima adalah rezeki yang halal dan penuh kebarokahan dari Allah Swt karena Bunda selalu inginkan yang terbaik untuk Ananda.. Sudah dulu ya, sekian surat dari Bunda.

Ananda, cinta Bunda tak bertepi.

Wassalamu’alaykum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Jakarta, 30 September 2010_06:13
Bunda yang sangat mencintaimu,
Aisya Avicenna


*)Aisya Avicenna adalah nama pena dari Etika Suryandari, S.Si. Terlahir kembar pada tanggal 2 Februari 1987. Saat ini ia berprofesi sebagai statistisi di Kementerian Perdagangan RI. Senang membaca, menulis, mengisi training, mengoleksi buku, berpetualang, berkontemplasi, dan melakukan hal-hal yang menantang serta full inspirasi. Tulisannya pernah dimuat di www.penulislepas.com. Ia tergabung dalam Forum Lingkar Pena (FLP) Jakarta. Penulis yang berdomisili di Jalan Kebon Nanas Selatan No. 16 RT 006/RW 008, Cipinang, Cempedak Jatinegara, Jakarta Timur 13340 ini bisa dihubungi di emailnya : akhwat_visioner@yahoo.com, webblog : http://thickozone.blogspot.com, HP : 085647122037


NB : tulisan ini diikutkan dalam lomba “Surat untukmu Nak, dari Calon Ibumu”, dari sumber : http://azkamadihah.wordpress.com/2010/lomba-surat