Jejak Karya

Jejak Karya

Wednesday, June 09, 2010

Persembahan untukmu.. PALESTINA!!!

Wednesday, June 09, 2010 0 Comments

Rabu, 2 Juni 2010
Pukul 20.00 saya baru tiba di REDZONE (rumah mungil sekaligus kantor pribadi saya, tempat saya menelurkan karya :D). Uhf, sebenarnya sesuai yang direncanakan di awal, harusnya malam ini saya sudah berada dalam armada yang mengangkut saya pulang ke kampung halaman. Besok saudari kembar saya akan wisuda S1. Hmm, tapi berhubung amanah di kantor tidak bisa ditinggalkan ditambah lagi tanggal 5 Juni 2010 akan ada ujian tahsin. Akhirnya, saya memutuskan untuk tidak pulang. Orang tua juga memberi izin dan memaklumi ketidakpulangan saya.

Sehabis makan malam, ada SMS yang berisi seruan untuk mengikuti aksi solidaritas Palestina jam 13:00 berkumpul di Bundaran HI. Hmm, semangatku kembali menyala! Jadi teringat masa-masa kuliah dulu. Rela bolos kuliah untuk ikut aksi turun ke jalan (memanfaatkan jatah bolos 4x untuk mahasiswa). Saya bertekad untuk mengikuti aksi besok pagi. Hmm, tapi kan tetap harus masuk kantor ya! Gimana caranya bisa ikut??? Berpikir! Akhirnya menyusun strategi.
Kamis, 3 Juni 2010
Pagi ini berangkat ke kantor dengan semangat yang jauh lebih dahsyat dari kemarin. Sebelum berangkat mendengarkan nasyid-nasyid haroki yang bikin semangat makin meledak-ledak.
Ini langkahku yang akan ku ayun
Walaupun payah tak akan jera
Ini langkahku kan trus melaju
Setegar karang bangkitkan jihad
Aral rintangan datang menghadang
Tapi surga di bawah kilatan pedang
Hancurkan kedzoliman
Tegakkan keadilan!
Pastikan langkahmu wahai pejuang
Dengan Al Qur’an menjadi pedoman
Hembuskanlah angin pembaharuan
Karena kita khalifaturrahman!
(Ini Langkahku_Shoutul Harokah)
Sampai di kantor langsung mendengarkan “We Will Not Go Down”-nya Michael Heart.
Puluhan kali… SEMANGAT!!!!
A blinding flash of white light
Lit up the sky over Gaza tonight
People running for cover
Not knowing whether they’re dead or alive
They came with their tanks and their planes
With ravaging fiery flames
And nothing remains
Just a voice rising up in the smoky haze
We will not go down
In the night, without a fight
You can burn up our mosques and our homes and our schools
But our spirit will never die
We will not go down
In Gaza tonight
Women and children alike
Murdered and massacred night after night
While the so-called leaders of countries afar
Debated on who’s wrong or right
But their powerless words were in vain
And the bombs fell down like acid rain
But through the tears and the blood and the pain
You can still hear that voice through the smoky haze
We will not go down
In the night, without a fight
You can burn up our mosques and our homes and our schools
But our spirit will never die
We will not go down
In Gaza tonight
**
Pukul 12.00 adzan Dhuhur sudah berkumandang. Langsung ambil wudhu dan menuju mushola untuk sholat Dhuhur. Setelah sholat, segera menjalankan misi. Ambil dompet, slayer, dan permen terus meluncur ke kantin yang terletak di gedung depan (ruang kerja saya terletak di gedung belakang). Beli nasi bungkus (lauknya capjay dan teri pedas) plus beli aqua gelas. Setelah beli makan siang melangkah ke luar kantor. Mencari taksi. Berkali-kali ada taksi lewat tapi sudah terisi penumpang. Alhamdulillah akhirnya ada Blue Bird yang kosong. Langsung masuk. “Bundaran HI Pak!”
Blue Bird “terbang” membawa saya menuju Bundaran HI. Di dalam Blue Bird, langsung membuka makan siang berbungkus stereoform putih yang tadi saya beli di kantin. Makan siang di taksi. Tak lupa berbasa-basi dengan pak sopir. “Makan siang, Pak!”. Pak sopir tanpa menoleh berujar, “Silakan Mbak!”. Hehe…
Saat melewati dekat Monas, beberapa mobil polisi sudah berjaga. Sekitar Monas sudah cukup ramai. Saya berpikir, aksi bakal ramai nih! Berdasarkan SMS jarkom, aksi akan digelar dari Bundaran HI menuju Monas. Sekitar 15 menit, sudah sampai di dekat bundaran HI. Makan siang juga sudah habis. SMS seorang teman, dia sudah sampai di HI apa belum. Akhirnya sampai juga di bundaran HI. Patung yang berada di tengah Bundaran HI itu seakan melambaikan tangan menyambut kedatanganku. Hehe…
Pak sopir yang ternyata bernama Widodo itu menurunkan saya di trotoar di seberang jalan Grand Indonesia. Alhamdulillah, ongkosnya masih di bawah Rp 20.000,-. Turun dari taksi memandang ke sekeliling. SEPI AMAT! Maksudnya, belum ada tanda-tanda akan ada aksi. Berjalan menyusuri trotoar. Berhubung belum ada tanda-tanda akan ada aksi, sempat ‘mengaksikan’ diri dulu dengan latar patung Selamat Datang plus pancurannya. Cepret! Nokia 5300 saya sempat mengabadikan suasana siang yang sangat terik itu.
Sedang asyik ceprat-cepret, Nokia 5300 saya bergetar. Ada SMS dari seorang teman. Dia mengabarkan kalau aksi dipindah ke Monas. Weleh… hmm, langsung berpikir cepat dan memutuskan untuk segera menyeberang jalan. Awalnya agak bingung juga mencari taksinya di mana, tapi akhirnya ada petugas keamanan yang lagi mematung di pinggir jalan. Dia langsung jadi sasaran tembak saya untuk bertanya di mana seharusnya saya menyetop taksi untuk ke Monas. Bapak itu langsung menunjukkan tempat yang tepat. Tanpa buang waktu, langsung menuju tempat itu dan menyetop taksi. Beberapa taksi tak mau berhenti. Yaiyalah, ternyata di dalamnya ada penumpangnya. Sulit memang kalau siang hari membedakan taksi yang ada penumpangnya atau tidak. Kalau malam hari kan bisa ketahuan dari lampu atap taksi yang menyala atau tidak.
Alhamdulillah, ada Blue Bird lagi. Langsung masuk dan bilang “Monas ya Pak”.
Pak sopir bertanya, “Lewat mana nih Mbak?”
Saya pun menjawab, “Lewat mana ajalah Pak, yang penting cepet!”
Kali ini pak sopirnya bernama Rudolf. Langit tertutup awan hitam. Mendung. Sejuknya…
Sampai di lampu merah dekat Wisma Antara, tiba-tiba ada sepeda motor yang menabrak bagian belakang taksi yang saya tumpangi. Pak Rudolf langsung membuka kaca dan memaki-maki pengendara sepeda motor itu. Pengendara sepeda itu juga balas memaki. Maki-makian deh jadinya! Pengendara sepeda motor itu langsung melaju meninggalkan taksi yang saya tumpangi. Pak Rudolf sepertinya masih menaruh dendam. Dia langsung tancap gas dan mengejar sepeda motor itu. Saya panic. Hampir saja Pak Rudolf menyerempet pengendara itu. Untungnya pengendara itu bisa menyelip di antara sepeda motor yang lain. Saya berteriak ke Pak Rudolf, “Sudah lah Pak! Biarkan saja!”. Raut wajah Pak Rudolf masih menyiratkan kemarahan.
Alhamdulillah, sampai jua di dekat Monas. Sudah ramai. Beberapa pedagang juga turut meramaikan aksi siang itu dengan menjual atribut Palestina di sepanjang trotoar. Saya sempat membeli 3 pin Palestina yang bergambar anak-anak dan bendera Palestina. Massa semakin membludak. Sang koordinator lapangan menyuarakan kepada peserta aksi untuk mengambil atribut aksi berupa poster, bendera Palestina, bendera merah putih yang ditumpuk di dekat panggung utama. Saya pun melangkah menuju ke sana, mengambil sebuah poster putih besar bertuliskan “EGYPT.. OPEN YOUR EYES!” yang berlatar gambar mujahid-mujahid Palestina.
Semua massa yang sudah memegang atribut langsung dikomando untuk bergerak menuju Patung Kuda Monas. Kami pun berdiri di sepanjang jalan dengan membawa atribut. Poster-poster diarahkan ke jalan agar para pemakai jalan menyaksikan. Sekitar 15 menit saya berdiri di pinggir jalan. Subhanallah, di samping saya berdirilah seorang akhwat yang sedang hamil tua memegang dua bendera Palestina di tangan kanan dan kirinya. Akhwat itu bersama suaminya. So sweet sekali.. Hehe! HEROIK banget! Saya juga melihat beberapa ummahat dengan bayi-bayi mereka turut meramaikan aksi siang itu. Waktu sudah menunjukkan pukul 13:15. Saya harus segera kembali ke kantor sebelum jam 13:30. Akhirnya, dengan menerobos massa, sambil memegang poster tadi, saya menuju dekat panggung utama tempat saya mengambil poster tadi. Saya serahkan pada seorang ikhwan yang berdiri di dekat panggung. Di panggung utama, grup nasyid haroki favorit saya, Izzatul Islam bersiap menyenandungkan sebuah nasyid. Saya berdiri sebentar di depan panggung bersama barisan akhwat lainnya. Saya sempat menitipkan sesuatu kepada seorang akhwat yang berdiri di samping saya. “Mbak, nitip ini ya. Saya harus kembali ke kantor”. Awalnya, akhwat itu agak bingung juga, tapi sejurus kemudian, dia paham apa yang saya maksudkan. Personel Izzatul Islam sudah bersiap di atas panggung. Saya pun bersiap kembali ke kantor.
Saya melangkah ke luar area aksi. Sayup-sayup terdengar lantunan nasyid dari Izzatul Islam
Gaza.. Gaza.. Gaza..
Semuanya bermula
Gaza.. Gaza.. Gaza..
Tanah para syuhada
Gaza.. Gaza.. Gaza..
Kemenangan kan nyata
Gaza.. Gaza.. Gaza..
Palestina merdeka

Negri mujahiddin sejati
Serahkan jiwa di jalan Ilahi
Perjuangan tak kenal kata henti
Demi raih kenikmatan abadi

Debu dan batu jadi saksi
Jiwa nan perkasa tunaikan janji
Seagung kepak sang rajawali
Hancurkan kecongkakan tirani

Wahai Muslimin bangkitlah, bangkitlah..!
Palestin memanggilmu bebaskan, bebaskan..!
Walau tumpah peluh dan darah
Tegak satu cita.. Palestina merdeka !!

Subhanallah, luar biasa sekali aksi siang itu. Meski panas, tak mematahkan semangat kami. Poster-poster bertuliskan “Save Our Palestine”, “Egypt, Open Your Eyes!!!, “Kami Tidak Akan Menyerah” semakin ramai menyemarakkan kawasan Monas siang itu. Ribuan massa semakin memadati areal aksi. Gema takbir membahana. Seruan lantang untuk Palestina menggelora.
Sayangnya, saya harus segera kembali. Saya keluar dari kerumunan. Melawan arus. Langkah kaki saya percepat menuju jalan di samping areal aksi. Akhirnya, ada bajaj yang lewat dan saya pun menaikinya menuju kantor. Alhamdulillah, sampai di kantor pukul 13:29. Satu menit lebih awal dari batas waktu.
Hmm, luar biasa sekali aksi kali ini. Aksi perdana saya di ibukota!!! Allahu Akbar!!!
Aksi ini dilatarbelakangi peristiwa penyerangan Israel kepada kapal Mavi Marmara yang mengangkut lebih dari 500 orang relawan dari 30 negara itu dalam rangka misi kemanusiaan untuk Palestina. Berdasarkan cerita yang saya dapat, pada aksi ini juga dialkukan pembakaran bendera Israel. Aksi ini ditutup dengan berjalan kaki bersama menuju Bundaran HI dan kembali lagi ke Monas.
Ada ribuan bayi di Gaza. Seandainya aku bisa tiba di sana, aku akan bermain
bersama mereka... [bundaran HI, 040610_12.30]
Pulang kantor langsung update status :
Dlm perjlnan plg, merenungkn jejak2 yg tlah dlalui hr ni : redzone-kantor pos-kantor-bundaran HI-Monas-kantor-REDZONE (msh otw). Alhamdulillah, bnyk kmudahan untk menapakkn jejak2 itu hr ini.. Smg Engkau meridhoi lngkah2 kcil ini Ya Allah..Aamiin... RidhoMu..Hny RidhoMu yg q damba...Selalu! Dan jejak2 itu akn trus mnapak..Tak mw lelah..Sblm smpai d jannah..
***
Wahai as Syahid Palestina, bersabarlah, pertolongan Allah akan segera datang. Surga Allah telah menjadi jaminan bagi perjuangan kalian menjaga tanah suci. Darah kalian telah mengalir ke surga, Do’a kami senantiasa mengiringi langkah kalian.

SIANG ITU…
Panas sang mentari menusuk pori-pori kulit kami,
Tapi ini tak sebanding dengan panas desiran mesiu yang menembus tubuh mereka…
Tetes keringat membasahi tubuh kami,
Tapi ini tak sebanding dengan tetesan darah yang keluar dari tubuh mereka..
Tersengal-sengalnya nafas saat kami berlari,
Tapi ini tak sebanding dengan nafas terakhir yang mereka hembuskan…


Saudaraku, hanya sedikit ini yang bisa kami berikan…

Jakarta, 4 Juni 2010
Aisya Avicenna

Thursday, June 03, 2010

Selalu Ada Perempuan Hebat, di Belakang Laki-laki Hebat

Thursday, June 03, 2010 1 Comments

Selalu Ada Perempuan Hebat, di Belakang Laki-laki Hebat [1]
Dalam sejumlah catatan sejarah tokoh-tokoh besar, banyak orang melupakan peran-peran penting para perempuan yang berada di belakang mereka. Padahal, hampir selalu tak pernah ada kebesaran nama seorang laki-laki, kecuali bersandar pada kehebatan dan kebesaran istri atau ibunya, tentu setelah sandaran utama Allah SWT.
Bahkan, kebesaran Rasulullah SAW pun tak luput dari peran besar seorang Khadijah ra. Dalam diri Khadijah lah terhimpun antara kekuatan iman, ketulusan cinta, kebesaran jiwa, keteduhan sikapnya yang menghantarkan proses kenabian Muhammad SAW. Hingga akhirnya, Rasulullah SAW berhasil melewati fase-fase paling awal yang sulit dalam sejarah dakwahnya.
Posisi Khadijah yang tidak tergantikan di hati Rasulullah SAW terlihat dalam kenyataan bahwa Rasul sering mengingat dan menyebutnya. Rasulullah SAW tidak pernah berduka atas kematian seseorang sebesar rasa duka beliau ketika Khadijah meninggal dunia. Dan tidak ada seorangpun yang dikenang lebih lama oleh Rasulullah SAW daripada Khadijah. Dalam sejarah, tahun kewafatan Khadijah disebut Aamul Huzn atau ‘Tahun Duka Cita’ karena Rasulullah SAW sulit mengusir kedukaan mendalam karena ditinggal istri tercinta di sepanjang tahun itu. Hanya saja, kesedihan itu semakin lama semakin kurang ditindas oleh tekad kuat dalam hati beliau yang luar biasa tabah.
Kehebatan Khadijah, bahkan sempat memicu kecemburuan ‘Aisyah ra. Suatu hari, Rasulullah SAW mengenang Khadijah di hadapan ‘Aisyah ra. Mendengar hal itu, ‘Aisyah berkata, “Seperti tidak ada perempuan lain di dunia ini selain Khadijah.” Rasulullah SAW menjawab, “Khadijah itu begini dan begitu, dan dari dialah aku beroleh keturunan.” (HR. Bukhari)
Kecemburuan ‘Aisyah pada Khadijah, juga termuat dalam riwayat, “Setiap kali Rasulullah SAW menyebut Khadijah, beliau pasti memujinya. Suatu hari aku merasa cemburu. Maka kukatakan, “Engkau selalu mengenang perempuan tua yang ompong itu, padahal Allah telah memberimu pengganti yang lebih baik. “ Rasulullah menjawab, “Allah tak pernah memberiku pengganti yang lebih baik daripada Khadijah. Dia beriman kepadaku ketika semua orang ingkar. Dia mempercayaiku ketika semua orang mendustakanku. Dia memberiku harta ketika semua orang enggan memberi. Dan darinya Allah memberiku keturunan, sesuatu yang tidak Dia anugerahkan kepadaku dari istri-istriku yang lain.” (HR. Ahmad)
Benarlah, di belakang sosok laki-laki yang hebat, pasti ada perempuan yang hebat!

Selalu Ada Perempuan Hebat, di Belakang Laki-laki Hebat [2]
“Jangan hanya melihat kecerdasan Imam Syafi’i, tapi lihat dahulu siapa ibunya”. Mari kita dalami sedikit kata-kata indah ini. Bahwa ibu memang bisa memainkan peran sangat besar dalam mendidik seorang anak. Dengan kelembutan, kekuatan iman, kasih sayang, cara pandang yang benar, dan ketegasannya, ibu mampu membentuk manusia-manusia yang berkepribadian kuat, tangguh, tidak cengeng, dan tahan banting.
Imam Syafi’i rahimahullah telah yatim sejak bayi. Kehidupan ekonominya sangat sulit, tapi itu tidak membuat ibunda Imam Syafi’i menyerah untuk tetap memelihara dan mendidik anaknya. Meski ditinggal wafat suaminya, beliau tetap tegar. Beliau bertekad menjaga amanah yang ditinggalkan suaminya yang bukan berupa harta benda melainkan amanah anak. Dengan keterbatasan ekonomi yang dialaminya, beliau tetap menyusun rencana besarnya. Beliau memutuskan Syafi’i harus ke Mekkah menyambung nasab Quraisy Syafi’i kecil dan berguru dengan para ulama di Masjidil Haram Makkah dan Madinah.
Tak sekedar rencana, usia 2 tahun, ibunda Syafi’i memboyong Syafi’i keluar dari negerinya, untuk kebesaran anaknya, ke Makkah. Dari sanalah, tahap demi tahap perjalanan hidup Syafi’i menjadi luar biasa. Kelak beliau tak saja dikenal sebagai ahli fiqh tetapi juga ahli sastra dengan kumpulan puisi gubahannya. Beliaupun telah mampu menghapal Al Qur’an sejak usia 7 tahun. Hingga beliau berangkat untuk melanjutkan perjalanan ilmunya di Madinah berguru kepada guru besar Madinah, Imam Malik.
Begitulah ibunda yang telah melahirkan seorang imam besar yang perannya selalu dikenang hingga hari akhir.
Sumber : Persembahan Cinta Istri Hasan Al Banna

*** Saudaraku, siapapun engkau… hargailah wanita-wanita hebat yang ada di sampingmu, entah itu ibundamu, saudari perempuanmu, atau istrimu tercinta… Demikian juga engkau saudariku, jadilah yang terhebat untuk setiap laki-laki hebat di sekitarmu… Sebagai putri, teguhkan taatmu pada ayahanda tercinta… karena beliau adalah walimu! Sebagai istri, wajib bagimu untuk menghibahkan ketaatan tiada tara pada suamimu! Sebagai muslimah, teruslah berjuang dan saling mengingatkan saudara-saudaramu dengan cara yang baik dengan tetap menjaga iffah dan izzahmu!!!

Jakarta, 010610_05.00
Aisya Avicenna

Istri Luar Biasa Hasan Al Banna

Thursday, June 03, 2010 0 Comments

RESENSI BUKU
Judul Resensi : Istri Luar Biasa Hasan Al Banna
Judul Buku : Persembahan Cinta Istri Hasan Al Banna
Penulis : Muhammad Lili Nur Aulia
Penerbit : Tarbawi Press
Terbit : Maret 2010
Tebal : 82 halaman
Harga : Rp 25.000,00

Namanya Lathifah Husain Ash Shuli, semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya. Beliau lahir dan dewasa dalam sebuah rumah dan keluarga yang taat menjalankan nilai-nilai Islam. Ayahnya, salah satu tokoh agama kota Ismailiyah, sisi timur Mesir dan termasuk orang yang simpatik dengan pribadi dan dakwah yang disampaikan Hasan Al Banna. Orang tuanya Hasi Hasan Ash Shuli sendiri yang banyak bercerita kepada putrinya, Lathifah, tentang dakwah Al Ikhwan Al Muslimun, tentang pendirinya yang kerap mengunjungi kedai-kedai minum, ruang-ruang diskusi, untuk menghimpun orang banyak dan menyampaikan dakwah. Di rumahnya itulah, organisasi Al Ikhwan Al Muslimun bisa tumbuh dengan baik dan pengaruhnya meluas di masyarakat sekitarnya.
Menurut Ustadz Mahmud Al Halim, “Di antara keluarga yang menyambut seruan dakwah Hasan Al Banna dari penduduk Ismailiyah, adalah keluarga mulia yang bernama Ash Shuli. Mereka adalah para pedagang kelas menengah di Ismailiyah. Keluarga ini termasuk keluarga yang berkarakter agamais, dan berhasil mendidik anak-anak mereka sesuai norma agama...” Lebih lanjut Mahmud Abdul Halim menegaskan, “Hasan Al Banna dalam kesenangan dan kesempitan. Dialah penopang paling baik dalam dakwahnya hingga menemui syahid secara terzalimi.”
Dalam salah satu kunjungannya, ibunda Hasan Al Banna (Hajah Ummu Sa’d Ibrahim Shaqr) mendengar lantunan bacaan Al Qur’an yang indah dan bagus dari dalam rumah keluarga Ash Shuli. Ibunda Al Banna tertarik untuk mengetahui siapa pemilik suara itu, dan ternyata ia adalah Lathifah. Ibunda Al Banna akhirnya menemui Lathifah. Dalam hatinya, beliau berkeinginan untuk menikahkannya dengan putra tercinta. Akhirnya dilakukan khitbah, akad nikah, dan resepsi dalam waktu dua bulan. Akad nikahnya dilakukan pada saat peringatan Nuzulul Qur’an
Mulailah bahtera rumah tangga Hasan Al Banna dan Lathifah dikayuh. Pada bulan Oktober 1932, usai pernikahan, mereka mengontrak sebuah rumah kecil yang tidak terlalu jauh dari rumah keluarganya. Rumah kontrakan itu, meski kecil, tapi bak istana. Rumah kontrakan itu sering dipakai sebagai markas Ikhwanul Muslimin. Hasan Al Banna begitu dicintai keluarganya. Bahkan beliau tak jarang pergi ke pasar untuk membeli bumbu dapur.
Lathifah meyakini bahwa pernikahannya harus menjadi sarana mendekatkan diri kepada Allah SWT. Bahwa ia harus melakukan ketaatan yang baik kepada suaminya, yang bisa mengantarkannya ke surga. Lathifah menyadari, sebagai pendamping seorang aktivis dakwah tentunya bukanlah hal yang mudah. Ia juga menyadari bahwa pengabdiannya kepada sang suami di jalan dakwah ini, merupakan bagian dari jihad yang harus dilakukannya. Lathifah yakin dengan sabda Rasulullah SAW, ‘Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada seseorang lainnya, niscaya aku perintahkan istri untuk sujud pada suaminya.”
Lathifah belajar banyak tentang makna berkorban dari sang suami. Lathifah sangat percaya pada suaminya yang berprofesi sebagai ustadz, tokoh, guru, dan aktivis organisasi dakwah yang jelas berhubungan dengan banyak orang, termasuk akhwat lainnya.
Saat Hasan Al Banna gugur, anak-anak beliau belum beranjak dewasa. Gugurnya sang suami saat ia masih mengandung anak terakhirnya dalam kondisi sakit jantung dan kian lemah. Anak terakhirnya diberi nama : Istisyhad (berharap mati syahid), karena terlahir setelah wafatnya sang ayah. Lathifah berkata “Hasan Al Banna adalah hadiah terindah dalam hidupku”. Hasan Al Banna dan Lathifah memiliki tujuh orang anak yang luar biasa, yakni : Saiful Islam Hasan Al Banna yang menjadi advokat terkenal, Wafa istri seorang da’i Said Ramadhan, Tsana seorang dosen fakultas perempuan di Mesir, Halah dosen fakultas kedokteran. Muhammad Hishamuddin dan Shafa meninggal di waktu kecil. Keduanya dimakamkan di tangan ayahnya sendiri. Terakhir, Istisyad yang lahir setelah Hasan Al Banna wafat.
Lathifah mengalami kesedihan yang luar biasa saat meninggalnya Hasan Al Banna karena tragedi penembakan pada hari Sabtu, 12 Februari 1949. Akan tetapi, ia tetap bangkit dan meneruskan perjuangan dakwah meski sudah ditinggal suami.
Lathifah Ash Shuli tutup usia setelah 36 tahun pernikahannya dengan Hasan Al Banna. Namun, dari rentang 36 tahun ini, hanya 17 tahun yang ia lalui bersama sang suami. Beliau menderita sakit. Ia telah berhasil melewati kehidupannya yang penuh jihad dan kesabaran. Ia adalah contoh bagi para istri dalam interaksi dakwahnya sebagai pendamping seorang pemimpin dakwah dan sebagai ibu dari anak-anaknya.
Hasan Al Banna memanglah seorang suami yang memiliki perhatian dan sikap istimewa terhadap keluarganya, namun beban dakwah yang dipikulnya, jelas sangat menghajatkan seorang istri yang bukan hanya mampu meneduhkan jiwanya, menenangkan perasaannya, membahagiakan hatinya tatkala ia di dalam rumah, tapi juga yakin dan percaya kepada sang istri soal perawatan dan pendidikan anak-anaknya di rumah.
Buku ini sangat bagus untuk referensi para aktivis dakwah. Kisah istri Hasan Al Banna dapat menjadi teladan bagi kita, khususnya para muslimah dalam menjalani kesehariannya sebagai bagian dari gerakan dakwah yang memegang peran vital. Buku ini juga menguraikan peran seorang istri sebagai manager rumah tangga. Lathifah mengajarkan tentang pengaturan keuangan keluarga yang begitu luar biasa dan patut dijadikan contoh. Pendapatan bulanannya dibagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama untuk keperluan rumah dan keluarga, bagian kedua untuk dakwah, dan bagian ketiga untuk saudara serta keluarga besarnya. Lathifah juga menjadi inspirasi bagi kita dalam berjuang untuk tetap tegar di jalan-Nya.

Selamat membaca dan terinspirasi karenanya!
Jakarta,010610_05:45
Aisya Avicenna

Wednesday, June 02, 2010

Hasan Al Banna, Bukan Sembarang Ayah!

Wednesday, June 02, 2010 0 Comments

Cinta di Rumah Hasan Al-Banna Judul Resensi : Hasan Al Banna, Bukan Sembarang Ayah! Judul Buku : Cinta di Rumah Hasan Al Banna Penulis : Muhammad Lili Nur Aulia Penerbit : Pustaka Da’watuna Terbit : Juni 2009 (cetakan keempat) Tebal : 92 halaman Harga : Rp 25.000,00
Telah banyak buku yang mengupas Imam Hasan Al Banna dan keberhasilannya membangun pondasi gerakan dakwah Al Ikhwan Al Muslimin yang mengilhami geliat kebangkitan Islam di seluruh dunia. Namun, sedikit sekali referensi yang membicarakan dakwah Al Banna sebagai ayah dalam keluarganya. Nah, buku ini mencoba menghadirkan berbagai pengalaman dan kenangan anak-anak Al Banna saat ayah mereka hidup di tengah aktivitas dakwahnya yang padat. Buku ini mencoba 'mengintip' dakwah Al Banna kepada keluarganya.
Buku kecil ini bisa disebut buku saku karena kesederhanannya, menurut saya buku ini adalah buku yang sangat berbobot. Setidaknya untuk setiap pribadi yang masih dalam rencana untuk membangun keluarga dakwah (seperti saya). Secara garis besar, sebenarnya pesan global dari buku ini adalah untuk membuat sebuah pilar yang kuat dari fase bina ul-ummat, yaitu takwiinu baytul muslim, dengan sangat baik, mulai dari rencana pemilihan calon ibu/ayah untuk anak-anaknya kelak hingga saat pembinaan keluarga itu sendiri.
Buku ini dimulai dengan kisah like father like son, sebuah kisah yang menggambarkan kesholehan putra seorang Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Dilanjutkan dengan kisah dari proses pencarian istri Hasan Al-Banna. Bermula dari ketertarikan Sang Ibunda pada kelembutan suara Al-Qur’an seorang gadis pada saat beliau bersilaturahim di sebuah rumah, lalu Ibunda Hasan Al-Banna bercerita dengan anaknya. Akhirnya, berlanjutlah ke proses pernikahan.
Selanjutnya, buku ini membahas tentang bagaimana seorang muassis gerakan Ikhwanul Muslimin, dalam tingkat kesibukan yang amat sangat, tetap melaksanakan hak dan kewajiban keluarganya. Dikisahkan pula tentang seorang suami yang sangat menyayangi dan menghormati istrinya. Digambarkan bagaimana Hasan Al-Banna dengan penuh kasih sayang mendidik anak-anaknya, memberikan pemahaman tanpa kekerasan, membuat anak-anaknya cinta dengan Al-Qur’an dan ilmu pengetahuan,dll
Kesan mendalam bagi saya dari buku ini adalah bagaimana Hasan Al-Banna, menanamkan nilai-nilai kesederhanaan, keikhlasan dan pengorbanan dalam keluarganya, sehingga istrinya dengan hati yang senang dan rela menyumbangkan banyak perabotan rumahnya untuk markas dakwah Ikhwanul Muslimin, sehingga dengan ikhlas dan rela, anak-anaknya menjadi orang-orang yang paling dahulu sadar dan memperjuangkan kondisi umat Islam di Palestina dan Mesir, sehingga dengan lapang, sang istri menerima jawaban sang suami saat ia memintanya membeli sebuah rumah kecil ”Wahai Ummu Wafa, sesungguhnya istana kita sedang menunggu kita di surga-Nya….”. Alangkah indahnya, sehingga dengan ikhlas dan ridha, keluarganya melepas kepergian suami dan ayah mereka, dalam kesyahidan di jalan Allah.
Saya juga terinspirasi dengan kebiasaan keluarga yang dicontohkan Hasan Al-Banna. Semisal, makan pagi bersama tiap pagi, membaca Al-Qur’an bersama-sama setiap ba’da magrib, dan pergi ke toko buku tiap bulan untuk membeli buku-buku yang bermanfaat. Buku ini mengisahkan bagaimana Hasan Al Banna dalam menanamkan keimanan dan kecintaan terhadap Islam, bagaimana sikapnya terhadap kekeliruan-kekeliruan yang dilakukan anaknya, bagaimana bentuk perhatiannya terhadap pendidikan, kebiasaan beliau mendokumentasikan perkembangan dan riwayat sakit yang pernah dialami masing-masing anak, lengkap dengan catatan kapan saja si anak sakit, sakit apa, obat apa yang pernah diberi, berikut rekomendasi dan resep-resep dokter. Pendeknya sampai hal terkecil pun didokumentasikan secara detail dan rapi. Hal ini saya kira bukan pekerjaan mudah yang tidak menyita waktu, apalagi di tengah aktivitas dakwahnya yang demikian padat. Dari sini kita diyakinkan bahwa tidak ada dikotomi antara keluarga dan dakwah. Pun tidak akan ada pertanyaan: "Mana yang lebih penting, dakwah untuk ummat atau membina keluarga?"
Memang perilaku Hasan Al Banna dalam mendidik anak-anaknya belum tentu mencerminkan sesuatu yang ideal. Semua yang ideal tetap milik Rasulullah SAW sebagaimana ucapan beliau, "Wa anaa khairukum li ahlii..." (Aku adalah orang yang paling baik di antara kalian kepada keluarga). Tapi, apa yang dilakukan Hasan Al Banna seperti yang tertera di buku ini, merupakan contoh lahir yang bisa menjadi inspirasi kebaikan bagi kita semua.
Bagi sahabat, para abi/calon abi sekalian, atau para ikhwah calon arsitek pembangun rumah tangga dakwah, buku ini cocok buat dibaca, karena di dalamnya tertuang banyak contoh nyata dari seorang para pejuang dakwah dalam memposisikan diri secara lebih tepat saat mengemban amanah, baik dalam keluarga maupun dakwah.
Selamat membaca, merenungkan, dan mempraktikkannya!

Jakarta, 030610_03:40
Aisya Avicenna

JUNI :[J]ejak-jejak [U]ntuk me[N]orehkan [I]mpian

Wednesday, June 02, 2010 0 Comments

Kebanyakan kita sering melihat kesuksesan orang lain pada saat orang tersebut sudah berhasil meraih sesuatu yang belum dapat dicapainya. Kita cenderung tidak melihat bagaimana proses yang dilalui berupa perjuangan dari orang-orang yang telah sukses itu. Mari kita mengambil contoh dari proses Nabi Muhammad SAW. Beliau menduduki posisi terhormat di sisi Allah SWT. Beliau diangkat menjadi nabi, baru pada saat menginjak usia 40 tahun, setelah tahun-tahun sebelumnya beliau digembleng Allah SWT secara terus-menerus lewat ujian-ujian yang diberikan Allah SWT untuk memantapkan keimanan dalam rangka mempersiapkan tugas mulia yang akan diembannya pada saatnya nanti.
Ujian yang dialami Rasulullah SAW begitu bertubi-tubi, mulai dari ujian berupa ditinggal wafat ayahanda tercinta, yaitu Abdullah semasa masih dalam kandungan ibunda Aminah. Kemudian ditinggal wafat oleh ibunda Aminah ketika beliau berusia sekitar 6 bulan sehingga beliau harus disusukan oleh ibunda Halimatussa’diyah, yang pada akhirnya pengasuhan jatuh pada kakek Abdul Mutholib, lalu terakhir pengasuhan jatuh pada paman Abu Thalib karena sang kakek pun meninggal dunia.
Banyak dari kita yang menilai sesuatu hanya dari hasil akhirnya, padahal jauh di balik suatu keberhasilan, ada rangkaian proses panjang yang menyertainya. Jika kita hanya melihat hasil yang sudah dicapai orang lain, maka bukannya kita mulai mencontoh jejak langkah orang-orang yang kita nilai berhasil, akan tetapi kita bisa jadi terlena dengan memuji orang-orang sukses tersebut atau malah membuat kita berandai-andai ingin seperti mereka tanpa kita sendiri melakukan aksi nyata.
Saya jadi teringat juga akan tugas hafalan yang tidak maju-maju (tapi sekarang semangat saya sudah mulai menggeliat lagi untuk menghafal Al Qur’an! AYO!!!!). Padahal sekiranya saya merealisasikan teorinya Ustdaz Yusuf Mansur one day one ayat saja, maka enam ribu enam ratus enam puluh enam ayat Al-Quran dapat saya hafal dalam waktu 19 tahun! Tidak masalah, yang penting ada langkah action. Mahasuci Allah, lagi-lagi ini masalah ikhtiar yang tidak optimal.
Saya kembali merenungkan, sebuah proses yang panjang akan terasa berat jika kita hanya melihat hasil akhir. Coba kita perhatikan seorang ibu yang tengah hamil sembilan bulan! Dengan kondisi perut yang besar, kita akan melihatnya seperti terasa tidak nyaman. Kita tidak menghitung berlalunya hari demi hari, tapi kehamilan itu dinikmati sebagai fitrah seorang wanita.
Ketika kita menjalani suatu proses, kita tidak akan merasa kelelahan walau orang menganggapnya berat, karena kita tidak merasakan itu sebuah beban. Intinya, selalu positifkan pikiran dan perasaan kita bahwa Allah akan senantiasa memudahkan kita dalam menjalani setiap proses yang tengah kita lalui.
Untuk mencapai sebuah kesuksesan, harus diikuti dengan langkah-langkah yang istiqomah dan istimror. Bukankah Allah SWT menyukai amalan yang sedikit tetapi dilakukan secara terus menerus? Dan tidak kalah pentingnya, setelah sekian usaha kita lakukan, kita serahkan hasilnya kepada Allah SWT yang Maha Kuasa, sambil memohon pertolongan, karena tiadalah yang dapat menolong kita selain Allah SWT. “Innalloha yuhibbul mutawakkilin …”
“Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berserah diri kepada-Nya,” (QS. Ali Imran : 159).
Maha Suci Allah, semoga Engkau tidak menjadikan hamba sebagai orang yang hanya berkata- kata, tanpa beramal.. aamiin
***
Alhamdulillah sudah memasuki bulan Juni. Pada bulan ini mengangkat tema : ”JUNI = [J]ejak-jejak [U]ntuk me[N]orehkan [I]mpian. Insya Allah pada bulan ini akan melalui beberapa jejak rangkaian proses yang akan mengarah pada perwujudan impian-impian yang sudah diazzamkan.
Impian itu semakin nyata untuk dapat diwujudkan. Bi’idznillah... Allah Maha Kuasa atas segala yang sudah, sedang, dan akan terjadi pada diri setiap hamba-Nya.
KEEP FIGHT!!!
KEEP OPTIMIST!!!
KEEP SPIRIT!!!
Backsong wajib : INI LANGKAHKU (Shoutul Harokah)
Ini langkahku yang akan ku ayun
Walaupun payah tak akan jera
Ini langkahku kan trus melaju
Setegar karang bangkitkan jihad
Aral rintangan datang menghadang
Tapi surga di bawah kilatan pedang
Hancurkan kedzoliman
Tegakkan keadilan!
Pastikan langkahmu wahai pejuang
Dengan Al Qur’an menjadi pedoman
Hembuskanlah angin pembaharuan
Karena kita khalifaturrahman!
***
Jakarta, 020610_06:14
Aisya Avicenna

Tuesday, June 01, 2010

Jurnalis Narsis

Tuesday, June 01, 2010 0 Comments

RESENSI BUKU
Judul Buku : Jurnalis Narsis

Penulis : Doni Indra

Penerbit
: PT. Lingkar Pena Kreativa
Terbit : April 2010
Tebal : 192 halaman

Harga : Rp 29.000,00

“Jurnalis adalah profesi mulia, narsis juga sebuah upaya memuliakan diri. Jurnalis narsis berbagi kemuliaan lainnya, pengetahuan baru, pengalaman seru, dan suasana jenaka yang tidak terduakan. Mulailah orang yang membacanya...”. Begitulah komentar Taufan E. Prast (Ketua FLP Jakarta dan mantan jurnalis (tidak) narsis) yang bertengger di cover belakang buku fiksi komedi berjudul “Jurnalis Narsis” ini.
Jurnalis Narsis mengisahkan pengalaman seorang wartawan cupu bernama Paijo yang aslinya bernama sangat panjang, yakni Paijo Perdana Primadi Kuswanto Purwomaruto. Akan tetapi, dia memperkenalkan dirinya pada orang-orang dengan sebutan yang cukup gaul yakni: Joe! Sayang, teman-temannya berat hati memanggil Paijo dengan sebutan Joe, karena menurut mereka, nama itu terlalu ganteng untuk dirinya!
Paijo sebenarnya adalah keturunan orang Jawa, tapi ia lahir dan besar di Sumatra. Setelah menamatkan kuliahnya di jurusan Agrobisnis yang berada di salah satu universitas ternama di Sumatra, Paijo merantau dan mengadu nasib di Jakarta. Paijo sempat menambah daftar pengangguran intelektual di negeri ini hingga pada akhirnya ia berhasil menjadi salah satu wartawan di Majalah Bisnis Moncer, Jakarta.
Majalah Bisnis Moncer adalah majalah di bidang ekonomi dan bisnis yang terbit setiap dua minggu sekali. Paijo mendapat amanah sebagai wartawan pasar modal. Awalnya ia protes kepada Mas Kendor, redakturnya, karena menurut Paijo posisi sebagai wartawan pasar modal tidak sesuai dengan basic ilmu yang dimilikinya, yakni agrobisnis. Tapi akhirnya Paijo menerimanya, daripada harus luntang-lantung menjadi pengangguran terdidik. Akhirnya, Paijo belajar keras tentang pasar modal.
Sebagai wartawan baru di Majalah Bisnis Moncer, hasil kerja Paijo bisa dibilang sangat memuaskan. Ia pandai memburu narasumber. Paijo tetap berhasil mewawancarai narasumbernya, meski sang narasumber tersebut anti dengan wartawan. Tulisannya di Majalah Bisnis Moncer juga sering mendatangkan pujian. Pertanyaan-pertanyaan yang terlontar dari mulutnya sering membuat narasumbernya terkagum-kagum. Akan tetapi, sempat ia mendapat layangan protes dari seorang narasumber yang profilnya ia beberkan di Majalah Bisnis Moncer. Paijo hampir putus asa waktu itu. Ia sempat frustasi. Meski pada akhirnya kegelisahannya itu berakhir dengan kejutan dan tawa bahagia.
Jurnalis Narsis bukan hanya sekedar kisah fiksi, tapi di dalamnya sarat akan muatan ilmu seputar dunia jurnalistik dan pasar modal. Pembaca tidak akan jemu dengan kisahnya, karena disajikan layaknya cerpen yang sekali baca habis. Di setiap kisahnya, terdapat ulah-ulah narsis Paijo yang cukup menghibur.
Selamat membaca dan tertawa renyah karenanya!

Jakarta, 010610_00:28
Aisya Avicenna

Aisya Avicenna : Penulis Inspiratif Milik Negeri Ini

Tuesday, June 01, 2010 0 Comments

PENGENALAN POTENSI DAN PROFESI KEPENULISAN
Ahad, 7 Februari 2010
Bersama : R.W. Dodo
***
Aisya Avicenna : Penulis Inspiratif Milik Negeri Ini
Oleh : Aisya Avicenna*)

Pukul 09.00 berangkat dari kost dengan naik Kopaja 502 menuju satu tujuan : Masjid Amir Hamzah yang berlokasi di Taman Ismail Marzuki. Sempat kebingungan juga mencari lokasi masjid yang ternyata terletak di pojokan. Alhamdulillah, akhirnya berada di tengah-tengah para calon penulis nih! Ya, inilah pertemuan perdana bagi saya. Saat Studium General Pramuda FLP angkatan 14 tidak bisa hadir dan pada saat pertemuan perdana dua pekan yang lalu juga tidak bisa mengikutinya. Alhamdulillah, kali ini bisa datang. Pada pertemuan kali ini, dimoderatori oleh Mas Andi yang cukup kocak. Pemateri hari ini adalah Mas R.W.Dodo.
Mas R.W. Dodo sangat atraktif dalam menyampaikan materi. Kami diajak mengenali potensi masing-masing sebagai penulis. Kami diminta menyiapkan tiga lembar kertas kosong.
- Pada kertas pertama, kami berpura-pura diberi uang 1.5 M. Dalam waktu 5 menit kami harus menuliskan apa saja yang akan kita belanjakan dari uang sebesar itu.
- Pada kertas kedua, kami harus menuliskan point-point potensi yang membuat kami optimis akan menjadi penulis, sebanyak-banyaknya!
- Pada kertas ketiga, kami diminta menuliskan hal-hal yang sekiranya menghambat kami jika menjadi penulis, ditulis sejujur-jujurnya!
Setelah itu, lembar kertas tersebut dipindah pada peserta pramuda lain yang duduk dalam lingkaran. Masing-masing peserta menilai milik peserta lain
- Pada lembar pertama, jika yang akan dilakukan dengan uang 1.5 M adalah hal yang bersifat keduniawian, maka diberi tanda silang. Jika bersifat ibadah, maka diberi tanda bintang!
- Pada lembar kedua, jika potensinya positif dan tidak lebay, diberi tanda bintang.
- Pada lembar ketiga, jika terlalu lebay maka diberi tanda silang.
Pesan Mas RW. Dodo yang perlu diingat:
1. Tentukan strategi menulis sejak awal, ingin menjadi penulis sebagai profesi atau menulis sebagai hoby, karena kedua hal ini akan sangat mempengaruhi kinerja kita dalam dunia kepenulisan Strategi untuk penulis yang “pure” berbeda dengan strategi bagi penulis yang sambil bekerja.
2. Penulis harus memahami bahasa dan strategi mempublikasikan tulisan. Lakukan selling market, cermati apa yang dibutuhkan masyarakat Indonesia.
3. Tingkatkan tulisan kita dari segi kualitas dan kuantitas!
4. Kitalah yang menggali potensi diri kita. SEMANGAT MENULIS!!!
5. Idealis dan ego jangan disamakan. Idealisme harus diarahkan.
Tipe penulis :
a. Egois : mementingkan diri sendiri, misal : berambisi tulisannya best seller
b. Idealis : buku ini dibutuhkan orang lain
Jangan memaksakan orang untuk sesuai dengan pikiran kita!
6. Niatkan untuk perubahan orang lain dulu, baru niatkan pada diri sendiri.
7. Jangan mendzolimi orang lain, pilih topik yang sesuai : pendidikan, sosial, momen (misal : Piala Dunia)
8. Miliki figur penulis yang sesuai dengan Anda (misal : untuk figur penulis yang sambil bekerja : Kang Abik, Andrea Hirata, dll)
Muhasabah Seorang Penulis
1. Periksa Niatmu!
Niatkan menulis untuk mendapatkan ridho dari Allah SWT, niat lillahi ta’ala
Miliki rasa keikhlasan dalam menulis, keterpanggilan jiwa, bukan semata-mata untuk finansial/popularitas. Buatlah karya yang menghipnotis pembaca!
2. Tingkatkan Ilmumu!
Untuk bisa berbagi ilmu lewat tulisan, seorang penulis harus memiliki ilmu dulu! Ilmu dapat, pahala terus berjalan! Menulis adalah skill. Menulis bukan semata-mata bakat. Jadikan aktivitas menulis sebagai kebiasaan, bukan membiasakan menulis.
3. Perkaya Kemampuanmu!
Banyak-banyak berlatih! Rancang tokoh yang mengikat dan setting yang menyentuh pembaca!
4. Nikmatilah Prosesmu!
Jadilah penikmat proses! Dikirim ke penerbit tapi ditolak?? Ya sudah, itu adalah proses. Jangan menyerah!
Hmm, alhamdulillah. Saya jadi tersadar!!! Saatnya bermetamorfosis untuk menjadi seorang penulis yang lebih baik. Hingga suatu saat nanti, Aisya Avicenna menjadi salah satu penulis inspiratif milik negeri ini yang bisa menghasilkan karya-karya yang mampu menggerakkan banyak orang. PELAN TAPI PASTI!!!

*) Penulis artikel ini adalah Aisya Avicenna. Selain sebagai penulis, pemilik nama asli Etika Suryandari, S.Si ini juga berprofesi sebagai statistisi di Kementerian Perdagangan RI. Senang membaca, berpetualang, berkontemplasi, dan melakukan hal-hal yang menantang serta full inspirasi. Anggota Pramuda FLP Jakarta angkatan 14 ini, mempunyai rumah maya yang beralamatkan di www.thickozone.blogspot.com. Tulisan-tulisannya juga dapat dibaca di www.mudataqwa.com. Email : akhwat_visioner@yahoo.com, FB : etika aisya avicenna

Monday, May 31, 2010

Gaza Tak Butuh Aku

Monday, May 31, 2010 0 Comments

Di atas M/S Mavi Marmara, di Laut Tengah, 180 mil dari Pantai Gaza.

Sudah lebih dari 24 jam berlalu sejak kapal ini berhenti bergerak karena sejumlah alasan, terutama menanti datangnya sebuah lagi kapal dari Irlandia dan datangnya sejumlah anggota parlemen beberapa negara Eropa yang akan ikut dalam kafilah Freedom Flotilla menuju Gaza. Kami masih menanti, masih tidak pasti, sementara berita berbagai ancaman Israel berseliweran.

Ada banyak cara untuk melewatkan waktu – banyak di antara kami yang membaca Al-Quran, berzikir atau membaca. Ada yang sibuk mengadakan halaqah. Beyza Akturk dari Turki mengadakan kelas kursus bahasa Arab untuk peserta Muslimah Turki. Senan Mohammed dari Kuwait mengundang seorang ahli hadist, Dr Usama Al-Kandari, untuk memberikan kelas Hadits Arbain an-Nawawiyah secara singkat dan berjanji bahwa para peserta akan mendapat sertifikat.

Wartawan sibuk sendiri, para aktivis – terutama veteran perjalanan-perjalanan ke Gaza sebelumnya – mondar-mandir; ada yang petantang-petenteng memasuki ruang media sambil menyatakan bahwa dia “tangan kanan” seorang politisi Inggris yang pernah menjadi motor salah satu konvoi ke Gaza.

Activism

Ada begitu banyak activism, heroism…Bahkan ada seorang peserta kafilah yang mengenakan T-Shirt yang di bagian dadanya bertuliskan “Heroes of Islam” alias “Para Pahlawan Islam.” Di sinilah terasa sungguh betapa pentingnya menjaga integritas niat agar selalu lurus karena Allah Ta’ala.

Yang wartawan sering merasa hebat dan powerful karena mendapat perlakuan khusus berupa akses komunikasi dengan dunia luar sementara para peserta lain tidak. Yang berposisi penting di negeri asal, misalnya anggota parlemen atau pengusaha, mungkin merasa diri penting karena sumbangan material yang besar terhadap Gaza.

Kalau dibiarkan riya’ akan menyelusup, na’udzubillahi min dzaalik, dan semua kerja keras ini bukan saja akan kehilangan makna bagaikan buih air laut yang terhempas ke pantai, tapi bahkan menjadi lebih hina karena menjadi sumber amarah Allah Ta’ala.

Mengerem

Dari waktu ke waktu, ketika kesibukan dan kegelisahan memikirkan pekejaan menyita kesempatan untuk duduk merenung dan tafakkur, sungguh perlu bagiku untuk mengerem dan mengingatkan diri sendiri. Apa yang kau lakukan Santi? Untuk apa kau lakukan ini Santi? Tidakkah seharusnya kau berlindung kepada Allah dari ketidak-ikhlasan dan riya’? Kau pernah berada dalam situasi ketika orang menganggapmu berharga, ucapanmu patut didengar, hanya karena posisimu di sebuah penerbitan? And where did that lead you? Had that situation led you to Allah, to Allah’s blessing and pleasure, or had all those times brought you Allah’s anger and displeasure?

Kalau hanya sekedar penghargaan manusia yang kubutuhkan di sini, Subhanallah, sungguh banyak orang yang jauh lebih layak dihargai oleh seisi dunia di sini. Mulai dari Presiden IHH Fahmi Bulent Yildirim sampai seorang Muslimah muda pendiam dan shalihah yang tidak banyak berbicara selain sibuk membantu agar kawan-kawannya mendapat sarapan, makan siang dan malam pada waktunya… Dari para ‘ulama terkemuka di atas kapal ini, sampai beberapa pria ikhlas yang tanpa banyak bicara sibuk membersihkan bekas puntung rokok sejumlah perokok ndableg.

Kalau hanya sekedar penghargaan manusia yang kubutuhkan di sini, Subhanallah, di tempat ini juga ada orang-orang terkenal yang petantang-petenteng karena ketenaran mereka.

Semua berteriak, “Untuk Gaza!” namun siapakah di antara mereka yang teriakannya memenangkan ridha Allah? Hanya Allah yang tahu.

Gaza Tak Butuh Aku

Dari waktu ke waktu, aku perlu memperingatkan diriku bahwa Al-Quds tidak membutuhkan aku. Gaza tidak membutuhkan aku. Palestina tidak membutuhkan aku.

Masjidil Aqsha milik Allah dan hanya membutuhkan pertolongan Allah. Gaza hanya butuh Allah. Palestina hanya membutuhkan Allah. Bila Allah mau, sungguh mudah bagiNya untuk saat ini juga, detik ini juga, membebaskan Masjidil Aqsha. Membebaskan Gaza dan seluruh Palestina.

Akulah yang butuh berada di sini, suamiku Dzikrullah-lah yang butuh berada di sini karena kami ingin Allah memasukkan nama kami ke dalam daftar hamba-hambaNya yang bergerak – betapa pun sedikitnya – menolong agamaNya. Menolong membebaskan Al-Quds.

Sungguh mudah menjeritkan slogan-slogan, Bir ruh, bid dam, nafdika ya Aqsha… Bir ruh bid dam, nafdika ya Gaza!

Namun sungguh sulit memelihara kesamaan antara seruan lisan dengan seruan hati.

Cara Allah Mengingatkan

Aku berusaha mengingatkan diriku selalu. Namun Allah selalu punya cara terbaik untuk mengingatkan aku.

Pagi ini aku ke kamar mandi untuk membersihkan diri sekedarnya – karena tak mungkin mandi di tempat dengan air terbatas seperti ini, betapa pun gerah dan bau asemnya tubuhku.

Begitu masuk ke salah satu bilik, ternyata toilet jongkok yang dioperasikan dengan sistem vacuum seperti di pesawat itu dalam keadaan mampheeeeet karena ada dua potongan kuning coklaaat…menyumbat lubangnya! Apa yang harus kulakukan? Masih ada satu bilik dengan toilet yang berfungsi, namun kalau kulakukan itu, alangkah tak bertanggung-jawabnya aku rasanya? Kalau aku mengajarkan kepada anak-anak bahwa apa pun yang kita lakukan untuk membantu mereka yang fii sabilillah akan dihitung sebagai amal fii sabilillah, maka bukankah sekarang waktunya aku melaksanakan apa yang kuceramahkan?

Entah berapa kali kutekan tombol flush, tak berhasil. Kotoran itu ndableg bertahan di situ. Kukosongkan sebuah keranjang sampah dan kuisi dengan air sebanyak mungkin – sesuatu yang sebenarnya terlarang karena semua peserta kafilah sudah diperingatkan untuk menghemat air – lalu kusiramkan ke toilet.

Masih ndableg.

Kucoba lagi menyiram…

Masih ndableg.

Tidak ada cara lain. Aku harus menggunakan tanganku sendiri…

Kubungkus tanganku dengan tas plastik. Kupencet sekali lagi tombol flush. Sambil sedikit melengos dan menahan nafas, kudorong tangan kiriku ke lubang toilet…

Blus!

Si kotoran ndableg itu pun hilang disedot pipa entah kemana…

Lebih dari 10 menit kemudian kupakai untuk membersihkan diriku sebaik mungkin sebelum kembali ke ruang perempuan, namun tetap saja aku merasa tak bersih. Bukan di badan, mungkin, tapi di pikiranku, di jiwaku.

Ada peringatan Allah di dalam kejadian tadi – agar aku berendah-hati, agar aku ingat bahwa sehebat dan sepenting apa pun tampaknya tugas dan pekerjaanku, bila kulakukan tanpa keikhlasan, maka tak ada artinya atau bahkan lebih hina daripada mendorong kotoran ndableg tadi.

Allahumaj’alni minat tawwabiin…

Allahumaj’alni minal mutatahirin…

Allahumaj’alni min ibadikas-salihin…

29 Mei 2010, 22:20

Santi Soekanto
Ibu rumah tangga dan wartawan yang ikut dalam kafilah Freedom Flotilla to Gaza Mei 2010.

Misteri di Balik Dua Ribu

Monday, May 31, 2010 0 Comments

Jumat, 28 Mei 2010
Pukul 07.00, Aisya keluar dari REDZONE-nya. ‘Kantor’ sekaligus ‘Rumah Mungil’-nya yang mempunyai slogan : “hidup bersahaja, namun bahagia... bahagia sampai ke surga” menjadi saksi bisu bahwa pagi itu Aisya sudah berhasil menamatkan satu buku barunya yang berjudul “Jurnalis Narsis”. Sebuah buku fiksi komedi yang cukup membuat Aisya terhibur pagi itu. Lucu!
Oh ya, kembali pada pukul 07.00. Aisya keluar dari REDZONE-nya (replikasi cerita nih!). Pagi itu Aisya tidak berangkat ke kantor, tapi ke pasar. Lhoh? Kok malah ke pasar? Ya ga papalah! Lha wong libur kok!
Pasar Sawo. Itulah tujuan Aisya. Sesampai di Pasar Sawo yang berlokasi tak jauh dari REDZONE-nya, Aisya langsung disambut oleh hiruk-pikuk pasar yang menguji sensitivitasnya sebagai seorang jurnalis (tapi gak narsis lho!). Hmm, pasar pastinya menyimpan banyak inspirasi yang bisa dijadikan bahan tulisan. Begitu batin Aisya. Tapi ya tetap pada tujuan utama maksud kedatangannya ke pasar pagi itu : BERBELANJA!
Beberapa kali transaksi, Aisya sering mengeluarkan uang 2000 rupiah! Cling... inilah inspirasi itu! Misteri di Balik Dua Ribu. Setelah memikirkan, menimbang, dan akhirnya memutuskan bahwa memang banyak transaksi dalam kehidupan sehari-hari yang sering ‘dihargai’ dua ribu rupiah. Apalagi di ibukota ini. Ada banyak hikmah dengan diterbitkannya uang kertas baru pecahan dua ribu rupiah itu.
Sebentar ya, Aisya pengin membahas masalah finansial dulu. Bank Indonesia meluncurkan uang kertas dua ribuan ini secara resmi pada tanggal 9 Juli 2009 silam di Banjarmasin, Kalimantan Selatan yang berlaku sebagai alat pembayaran yang sah mulai tanggal 10 Juli 2009. Uang kertas baru tersebut berwarna dominan abu-abu, bergambar Pangeran Antasari. Penerbitan uang kertas baru tersebut merupakan implementasi kebijakan Bank Indonesia di bidang pengedaran uang, yaitu untuk memenuhi kebutuhan uang rupiah di masyarakat dalam jumlah nominal yang cukup dan jenis pecahan yang sesuai.
Beberapa transaksi di Ibukota yang sering ‘DIHARGAI’ dua ribu rupiah:
1. Ongkos metromini, baik KOPAJA, METRO MINI ORANYE, Bus Jepang 921, dan beberapa metromini lain yang trayeknya hanya di dalam kota. Awalnya Aisya kaget juga waktu masih menjadi penghuni baru di ibukota. Ongkosnya murah banget! Hanya dua ribu bisa kemana-mana!
2. Ongkos kopamilet (angkot biru muda khas ibukota), kalau jarak tempuhnya gak begitu jauh bayarnya juga 2000 rupiah, misal : dari STIS ke Kampung Melayu, dari STIS ke PGC (Pusat Grosir Cililitan), dari STIS ke Stasiun Jatinegara, dll [weh, bukan berarti Aisya berbakat jadi kondektur lho!]
3. Kalau di Pasar Sawo, beberapa bumbu dapur juga sering dibeli dengan harga dua ribu. Sebut saja : ketumbar, cabe campur, bawang merah, bawang putih, tempe, tahu, kelapa yang sudah diparut (bisa buat bikin santan untuk kolak nih! Hmm, nyummy!!!), dan sayur-sayuran (dua ribu bisa dapat seikat bayam dan dua potong jagung => bisa dimasak sayur bening untuk porsi dua orang lho! Hehe... murah meriah! Sehat juga!). Beberapa makanan juga seringnya dibeli dengan harga dua ribu rupiah. Misalnya : sebungkus jamu (ada penjual jamu tradisional di Pasar Sawo ini yang menjadi langganan Aisya yang ternyata berasal dari Sukoharjo), selain itu dengan dua ribu rupiah bisa dapat sebungkus gethuk campur yang berisi ketan dan candil (ni juga favorit Aisya). Lhoh, malah jadi ngomongin camilan.
Wah, pokoknya Aisya sangat merasakan manfaat dengan adanya pecahan uang dua ribu rupiah itu. Bahkan kalau sedekah, sama-sama sekali gerakan, sama-sama selembar uang yang diberikan, tapi dari segi nominalnya, lebih banyak dua ribu rupiah kan dibanding seribu rupiah??? Tapi kalau dibandingkan dengan selembar uang kertas lima ribuan, sepuluh ribuan, dua puluh ribuan, lima puluh ribuan, dan seratus ribuan tentunya nominal dua ribu rupiah ini lebih kecil lah. Tapi pada dasarnya, kalau sedekah, meski sedikit yang penting ikhlas! Deal ya?!
Oh ya, selain itu, dengan selembar dua ribuan bisa keliling Jakarta sepuasnya naik Bus Trans Jakarta lho!!! Asal sebelum jam 7 pagi!!!
Ya sudah... Selamat bertransaksi dan mengambil manfaat dengan adanya uang dua ribuan ini!
Jakarta, 300510_23:05
Aisya Avicenna

Kau, Bagian dari Impian yang Menjadi Nyata

Monday, May 31, 2010 0 Comments

KE-FLP-AN
Ahad, 24 Januari 2010
Bersama : Taufan E. Prast
Keterangan : TIDAK HADIR!
***
Kau, Bagian dari Impian yang Menjadi Nyata
Oleh : Aisya Avicenna*)

“Menjadi Penulis Inspiratif”
Inilah salah satu impian saya!
“Bergabung dengan FLP”
Ini juga salah satu impian saya!

Alhamdulillah, impian itu tak hanya sekedar mimpi. Karena pada akhirnya saya berkesempatan bergabung dengan komunitas penulis yang sejak lama saya impikan. Forum Lingkar Pena (FLP). Mungkin inilah salah satu rahasia Allah yang telah mengirim saya ke kota Jakarta ini. Pasca lulus kuliah di UNS Solo bulan September 2009, saya mengikuti tes CPNS Kementerian Perdagangan di Jakarta pada bulan yang sama. Alhamdulillah, bulan Oktober saya dinyatakan diterima dan pada bulan Desember saya resmi menjadi pendatang baru di ibukota ini. Bukan bermaksud menambah kepadatan kota Jakarta lho ya!
Bermula dari membaca salah satu profil FB teman saya yang merupakan anggota FLP Solo. Saya baca profil teman saya tersebut, dia baru berteman dengan FLP Jakarta. Wah, saya langsung add FLP Jakarta. Alhamdulillah, selang berapa lama langsung di-approve! Terima kasih buat adminnya! Saya membaca profil FLP Jakarta. Wah… ternyata lagi pembukaan anggota baru. Langsung saya tanya-tanya bagaimana caranya. Sebenarnya ada Studium General di UNJ pada tanggal 17 Januari 2010 dilanjutkan pertemuan perdana tanggal 24 Januari 2010 di Masjid Amir Hamzah TIM, akan tetapi pada saat itu saya tidak bisa menghadiri kedua agenda tersebut karena harus pulang ke Wonogiri (kota kelahiran saya). Ya sudah, tapi ternyata masih ada kesempatan untuk mengikuti pertemuan selanjutnya. Alhamdulillah, akhirnya impian menjadi anggota FLP menjadi kenyataan!!! Senangnya…
Saya mengenal FLP sejak di bangku SMA. Saya memang suka menulis sejak SD. Bahkan sejak SD sampai kuliah, saya selalu ditunjuk sebagai sekretaris (hehe… profesinya kan nulis terus!). Saya pernah menjadi juara lomba sinopsis kala masih berseragam putih merah. Saat sudah memakai putih abu-abu, saya menjadi salah satu staff redaksi di majalah sekolah, BASSIC nama majalahnya. BASSIC: Bacaan Asyik Siswa-Siswi Creatif! Saat bergelar mahasiswa, saya kembali berkecimpung dalam dunia kepenulisan. Selama hampir 3 tahun saya memegang amanah menjadi staff redaksi, pimpinan redaksi, dan pimpinan umum pada majalah lembaga tingkat jurusan di kampus saya. LINIER, nama majalah jurusan Matematika FMIPA UNS yang saya kelola. Saya juga bergabung dengan Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) tingkat fakultas yang bernama SCIENTA, mengasuh majalah SCIENTA dan bulletin GALAXY. Saya juga pernah menjadi Menteri Departemen Informasi dan Komunikasi BEM FMIPA UNS yang mengelola bulletin REAKTOR yang terbit tiap bulannya. Reportase kegiatan mahasiswa yang saya tulis telah beberapa kali dimuat di media massa, seperti : Solopos, Suara Merdeka, dan Joglosemar.
Berkecimpung dengan dunia jurnalistik dan bertemu beberapa penulis inspiratif di kota Solo seperti Mbak Afifah Afra dan Mbak Izzatul Jannah yang notabene juga aktivis FLP, membuat saya bermimpi suatu saat nanti saya akan seperti mereka, bahkan harus lebih baik! Oleh karena itu, saya bertekad untuk menjadi anggota FLP. Awalnya, saya berniat menjadi anggota FLP Solo. Akan tetapi, mengingat aktivitas saya di kampus yang demikian padatnya, akhirnya keinginan itu hanya sekedar niatan saja. Hingga pada akhirnya saya hijrah ke Jakarta dan bergabung dengan FLP Jakarta yang pada periode ini diketuai oleh Kang Taufan E. Prast! Jaya terus FLP!!!
Sebuah yel-yel inspiratif yang selalu menjadi motivasi bagi saya dalam menulis. Gubahan dari reff lagu “Jangan Menyerah”-nya D’Massiv yang saya buat secara mendadak waktu mengisi training kepenulisan di salah satu fakultas di mantan kampus saya dulu :
Tulislah apa yang ada
Karya adalah anugerah
Tetap menulis sejak kini
Menulislah yang terbaik…

FLP ADALAH HADIAH TUHAN UNTUK INDONESIA (TAUFIQ ISMAIL)


*) Penulis artikel ini adalah Aisya Avicenna. Selain sebagai penulis, pemilik nama asli Etika Suryandari, S.Si ini juga berprofesi sebagai statistisi di Kementerian Perdagangan RI. Senang membaca, berpetualang, berkontemplasi, dan melakukan hal-hal yang menantang serta full inspirasi. Anggota Pramuda FLP Jakarta angkatan 14 ini, mempunyai rumah maya yang beralamatkan di www.thickozone.blogspot.com. Tulisan-tulisannya juga dapat dibaca di www.mudataqwa.com. Email : akhwat_visioner@yahoo.com, FB : etika aisya avicenna