Jejak Karya

Jejak Karya

Thursday, August 05, 2010

Renungan untuk Sebuah Sunnah yang Bersejarah

Thursday, August 05, 2010 0 Comments

“Tik, cincin 5 gram harganya sekarang berapa ya?” tanya seorang sahabat yang hendak dilamar bulan Ramadhan ini.
“Tik, bulan September aku mau nikah. Datang ya... Akhirnya aku duluan, lha kamu kapan? Aku masih ingat pesanmu dulu kalau ‘Laki-laki baik akan mendapat wanita yang baik’. Mungkin aku sudah mendapatkan yang terbaik buatku. Moga kamu pun segera mendapatkan yang terbaik!” potongan percakapan via telepon dengan seorang kakak tingkat nun jauh di luar Jawa sana, sesaat setelah diri ini tiba di kost.
“Tik, nunggu apa lagi kita? Kuliah sudah selesai, udah kerja, lalu? Mungkin memang belum ketemu yang cocok saja.” Statement yang terlontar dari seorang sahabat kost yang baru saja ditelepon ibunya dan membicarakan kapan ia akan menikah.
“Hayo hayo... nikah enak lho...mantab Bu...” sebuah SMS dari seorang sahabat yang baru saja mengakhiri masa lajangnya, masuk beberapa saat setelah diri ini hendak memejamkan mata.

Hiyaaa... seharian ini kok ‘terkoneksi’ dengan satu hal ini sih? NIKAH...
Membuat diri ini merenung dan mencoba ‘melampiaskan’ renungan itu dalam rangkaian kata.
***

Menikah adalah saat di mana gerbang kesucian mulai dibentangkan
Menikah adalah saat di mana ketidaksempurnaan bukan lagi masalah yang mesti diperdebatkan
Menikah adalah saat di mana akar dirajut dari benang-benang pemikiran
Menikah adalah saat di mana syariat direngkuh sebagai tolok ukur perbuatan
Menikah adalah saat di mana ketulusan diikatkan sebagai senyum kasih sayang
Menikah adalah saat di mana kesendirian dicampakkan sebagai sebuah kebersamaan
Menikah adalah saat di mana kegelisahan beralih pada ketenangan
Menikah adalah saat di mana kehinaan beralih pada kemuliaan
Menikah adalah saat di mana peluh bergulir lanjutkan perjuangan
Menikah adalah saat di mana kesetiaan adalah harga mati yang tak bisa dilelang
Menikah adalah saat di mana bunga-bunga bersemi pada taman-taman
Menikah adalah saat di mana kemarau basah oleh sapaan air hujan
Menikah adalah saat di mana hati yang membatu lapuk oleh kasih sayang
Menikah adalah sebuah pilihan antara jalan Tuhan dan jalan setan
Menikah adalah sebuah pertimbangan antara hidayah dan kesesatan

Menikah adalah saat di mana suka dan duka saling datang
Menikah adalah saat di mana tawa dan air mata saling berdendang
Menikah adalah saat di mana ikan dan karang bersatu dalam lautan
Menikah adalah saat di mana dua hati menyatu dalam ketauhidan
Menikah adalah saat di mana syahwat tidak lagi bertebaran di jalan-jalan
Menikah adalah saat di mana ketakwaan menjadi teluk perhentian
Menikah adalah saat di mana kehangatan menyatu dalam pekatnya malam
Menikah adalah saat di mana cinta pada Allah dan rasul-Nya dititipkan
Menikah adalah saat di mana dua hati berganti peran pada kedewasaan
Menikah adalah saat di mana dua jasad menambah kekuatan dakwah peradaban
Menikah adalah saat di mana kecantikan adalah sebuah ujian
Menikah adalah saat di mana kecerewetan diperindah oleh aksesoris kesabaran
Menikah adalah saat di mana bunga-bunga mulai menyemi pada alang
Menikah adalah saat di mana bidadari-bidadari dunia turun di telaga-telaga kesejukan
Menikah adalah saat di mana jundi-jundi kecil adalah cericit burung pada dahan-dahan
Menikah adalah saat di mana pemahaman-pemahaman mulai disemikan
Menikah adalah saat di mana amal-amal mulai ditumbuhkan
Menikah adalah saat di mana keadilan mulai ditegakkan
Menikah adalah saat dimana optimisme adalah obat dari sebuah kefuturan
Menikah adalah saat di mana kecemburuan adalah rona pelangi pada awan
Menikah adalah saat di mana kesendirian menutup epik kehidupan
Menikah adalah saat di mana syahadat menjadi saksi utama penerimaan
Menikah adalah saat di mana aktivitas dibangun atas dasar ketaatan
Menikah adalah saat di mana perbedaan ciptakan kemesraan
Menikah adalah saat di mana istana tahajud dibangun pada pucuk-pucuk malam
Menikah adalah saat di mana belaian bak kumbang yang teteskan madu-madu kehidupan
Menikah adalah saat di mana senyuman bak tetesan hujan yang segarkan dedaunan dari kemarau panjang
***
Menikah adalah saat di mana goresan bayang-bayang yang terlukis pada mimpi-mimpi malam yang (semoga segera) berubah menjadi kenyataan
***
Tak perlu lagi bertanya “SIAPA?” karena Allah SWT telah memahatkan nama terbaik untuk ditulis di pusara hati kita. Tak perlu lagi bertanya “KAPAN?” karena Allah SWT sudah menetapkan bahwa semua akan indah pada waktunya. Tak perlu lagi bertanya “MENGAPA?” karena Allah SWT ingin menjaga diri kita dan Rasulullah inginkan kita mengikuti sunnahnya. Tak perlu lagi bertanya “APA?” karena Allah SWT sudah menerangkan bahwa hidup kita akan tenang dan agama kita akan lebih sempurna karenanya. Tak perlu lagi bertanya “DI MANA?” karena Allah SWT sudah memilihkan tempat terindah untuk sebuah pertemuan yang diridhoi-Nya. Tak perlu lagi bertanya “BAGAIMANA?” karena Allah SWT sudah memberitahukan jalan yang seharusnya dilalui untuk mengikrarkan janji suci.
[sebuah kontemplasi - Aisya Avicenna]

***
“Bukankah komitmen kita terhadap dakwah ini terlihat dari hal-hal yang sederhana? Bukanlah menikah di jalan dakwah itu tidak hanya terlihat saat kita menjalaninya? Namun jauh dari itu, saat kita bertekad untuk terus ada dalam tahap-tahap meluruskan niat di setiap proses menuju momen bersejarah : PERNIKAHAN. Dan... sebab kita telah ‘mengaku’ sebagai aktivis dakwah, jadi... salahkah jika orang ingin selalu membuktikan komitmen kita di setiap langkah dan sikap kita? Dan pernikahan adalah salah satu ujian komitmen bagi seorang aktivis dakwah, apakah ia mengikuti keinginan hatinya semata, atau... benar-benar menjaga orisinalitas misi dakwah sebelum, saat, dan setelah menikah? Bukankah proses itu menentukan keberkahan? Baik sebelum, saat, dan setelah menikah?” (Kado Pengantin, Rabi’ah Al Adawiyah – istri ustadz Hatta Syamsuddin, LC)
***
Kalau ingin membangun rumah yang kokoh, kuatkanlah pondasinya agar rumah itu tak mudah roboh!
***
“Jalan hidup tergantung niatmu.. Jika yakin kau akan mampu... Ingatlah Allah selalu menyertaimu...” (Ar Royan)
***
Cukup sudah renungan tentang perkara yang satu ini. Semoga menjadi sebuah perenungan untuk kita semua. Jangan sampai menjadi sebuah euforia yang melenakan karena bisa mengotori hati. Ingat, sebentar lagi Ramadhan tiba. Sambut kesuciannya dengan hati yang bersih. Jadikan Ramadhan sebagai momentum untuk memperbaiki diri! Agar yang terbaik jualah yang didapatkan. BE BETTER!!!

Tulisan ini kupersembahkan pada saudara/i ku yang telah menikah, saudara/i ku yang akan menikah, dan untuk diriku sendiri yang tengah mempersiapkannya! ^^v

Afwan jiddan atas segala khilaf
REDZone, 4 Agustus 2010_04:32
Seorang hamba yang senantiasa merindu barokah dari-Nya,
Aisya Avicenna

For the Rest of My Life

Thursday, August 05, 2010 0 Comments
For the Rest of My Life
By: Maher Zain


I praise Allah for sending me you my love
You found me home and sail with me
And I`m here with you
Now let me let you know
You`ve opened my heart
I was always thinking that love was wrong
But everything was changed when you came along
OOOOO

And theres a couple words I want to say
For the rest of my life
I`ll be with you
I`ll stay by your side honest and true
Till the end of my time
I`ll be loving you. loving you
For the rest of my life
Thru days and night
I`ll thank Allah for open my eyes
Now and forever I I`ll be there for you
I know that deep in my heart
I feel so blessed when I think of you
And I ask Allah to bless all we do
You`re my wife and my friend and my strength
And I pray we`re together eternally
Now I find myself so strong
Everything changed when you came along

OOOO

And theres a couple word I want to say
For the rest of my life
I`ll be with you
I`ll stay by your side honest and true
Till the end of my time
I`ll be loving you. loving you
For the rest of my life
Thru days and night
I`ll thank Allah for open my eyes
Now and forever I I`ll be there for you
I know that deep in my heart now that you`re here
Infront of me I strongly feel love
And I have no doubt
And I`m singing loud that I`ll love you eternally
For the rest of my life
I`ll be with you
I`ll stay by your side honest and true
Till the end of my time
I`ll be loving you.loving you
For the rest of my life
Thru days and night
I`ll thank Allah for open my eyes
Now and forever I I`ll be there for you
I know that deep in my heart

Artist: Maher Zain
Album: Thank You Allah
Copyright: Awakening Records 2009

[R]asa [I]ni [N]yata [D]alam [U]ntaian [K]ata [U]ntuk-Mu…

Thursday, August 05, 2010 0 Comments



Dalam malam beratapkan langit terpulas kelabu
Terlihat sang rembulan mengintip malu-malu
Terdengar kidung alam yang menyayat kalbu
Mengalun sendu bersama kesepian yang s’makin menderu

Kidung itu mengalun begitu lembut
Sayup-sayup terbawa angin
Belaian sederhana dalam nuansa dingin penuh pesona
Pada malam-malam miteri
Di antara kegelapan yang menyelimuti

Kurasakan cinta malam itu
Menyejukkan, damai kurasa di hatiku
Kurindukan belaian cahaya
Lepas dari cengkeraman gelap
yang menyayat dan sembunyikan kasih

Belaian angkasa bisikkan hati semesta
Cahaya itu akan datang padaku
Gelap ini akan sampai pada akhirnya
Segera setelah cinta itu kembali lengkap, sempurna…

CAHAYA CINTA….
dari Sang Pencipta!!!

*Tetes hujan masih saja belum berhenti, kepasrahan total di atas sajadah panjangku…Masih banyak doa-doa yang belum terlantun dari lafazku….

***
Nasehat yang masih berusaha ku terjemahkan apa artinya….
“Nasehat pertama untuk memberikan kesetiaan agar satu tidak boleh dipilih menjadi dua, yang kedua tidak menjadi ketiga dan yang keempat tidak bisa menjadi lima. Namun perkalian antara satu dan dua bisa menghasilkan satu yang utuh dan menjadi kesempurnaan. Tidak ada satu yang menjadi dua dan sebaliknya. Sebentar lagi dua akan menjadi tiga dalam batin kita, KUN FAYAKUN!! Terciptalah !!!”

[Keisya Avicenna…saat gulita kembali menyapa, “DERAP DALAM GELAP”…karna ku yakin esok kan ku temui kembali “cahaya” itu…25 Juli 2010@Istana KYDEN]

***
Hidup memang bukan semata penungguan. Tapi, ia adalah sebuah rentang yang harus diberi makna. Seorang yang berjalan sambil ‘memetik mawar’, tentu berbeda dengan seseorang yang berjalan ‘tanpa mengambil apapun’. Maka, tunggulah saja apa yang seharusnya kau tunggu, tapi jangan berdiam diri tanpa arti…

Kajian Jumat Pagi 30 Juli 2010 : “BULAN RAMADHAN SEBAGAI SYAHRUL QUR’AN”

Thursday, August 05, 2010 0 Comments
Afwan jiddan reportase KJP baru bisa saya hadirkan, semoga keterlambatan ini tidak menyurutkan semangat-semangat kita untuk menghadiri majelis-majelis ilmu dimanapun kita berada…

KJP tanggal 30 Juli kemarin diisi oleh Ust. Abdul Hakim. Simak hasil reportase yang berhasil Keisya Avicenna dokumentasikan dalam bentuk catatan. Ikatlah ilmu dengan menuliskannya..Yukkz…
Pada kesempatan itu, Ustadz pengelola Pesantren Mahasiswa Ar Royyan [kangen dirosah di sana euy…^^v] ini menyampaikan tentang ADAB-ADAB TILAWATIL QUR’AN. Hm, apa aja ya??
1. Al Ikhlas
2. Bersiwak [menggosok gigi].
Bersiwak sangat bermanfaat, diantaranya :
• Membersihkan mulut
• Mencari keridhoan Allah SWT
• Mencerdaskan otak
• Membersihkan segala macam penyakit
• Ittiba’ Rasulullah
Kapan kita harus menggosok gigi ?? Ada 5 keadaan yang dianjurkan, yaitu :
• Pada saat mau wudhu
• Pada saat mau shalat
• Pada saat mau baca Al Qur’an
• Bangun dari tidur
• Ketika ada ‘perubahan’ pada mulut.
3. Berwudhu
4. Mencari tempat-tempat yang suci dan bersih, tidak boleh membaca Al Qur’an di tempat-tempat terlarang (WC, ada najis, dll)
5. Berada dalam posisi yang terbaik.
6. Menghadap kiblat
7. Membaca ta’awud
8. Membaca basmalah di awal surat kecuali Surat At Taubah
9. Tartil (sesuai dengan tajwid dan mahraj), membaca perlahan-lahan dan tidak terburu-buru
10. Tadabbur
11. Menangis


Semoga kita mampu mengaplikasikannya dalam kehidupan kita sehari-hari, apalagi sang tamu agung akan segera bersemi…^^.Sungguh merindukanmu, teramat sangat…”RAMADHAN”!!

[Zona Inspirasi Supertwin, 2 Agustus 2010]

Wednesday, August 04, 2010

Semoga Masih Menjadi Rezeki

Wednesday, August 04, 2010 0 Comments
Surya kembali memancarkan cahayanya yang cerah. Pukul 07.00 seperti biasa Aisya melangkah ke Jalan Otista Raya untuk menunggu armada yang akan mengantarkannya ke tempatnya merangkai karya. Subhanallah, jam segini Jalan Otista Raya sudah sangat padat. Macet...
Dengan sedikit berlari Aisya menyeberang jalan sambil menerobos kendaraan yang sedang menunggu lampu merah berganti hijau. Alhamdulillah, bisa sampai seberang dengan selamat. Saat tengah asyik menunggu, Aisya sempat melihat Nita, sahabatnya di kantor yang tengah mengendarai Mio putihnya. Beberapa saat kemudian disusul Mbak Sulis yang juga rekan kerjanya dibonceng sang ayah. Aisya merenung, sebenarnya ia pengin juga sih naik motor ke kantor. Tapi ia teringat larangan orang tuanya. Sejak kecelakaan yang menimpa saudari kembarnya dulu, sejak itu pula supertwin dilarang naik motor. Yaaa... ga papa lah. Toh banyak hikmah yang bisa diambil. Terlebih di Jakarta ini, kalau dipikir-pikir ngeri juga kalau bawa motor. Rawan! Mending naik angkot, bisa duduk sambil baca buku atau merapal hafalan. Pokoknya, nurut aja deh sama nasihat orang tua!
Alhamdulillah, akhirnya ada Kopaja 502 yang bisa dinaiki. Sudah penuh. Aisya pun turut serta dalam deretan penumpang yang mengikhlaskan kakinya sebagai penopang. Berdiri plus berdesak-desakan! Wah, tidak bisa baca buku nih! Hmm, moment ini dimanfaatkan untuk berkontemplasi dan mencari inpirasi! Tak lupa Aisya tetap waspada dengan mendekap tas merah hatinya erat-erat.
Selang berapa saat Kopaja 502 berhenti di kawasan Gramedia Matraman. Terjadi kemacetan yang luar biasa. Brakk... sepertinya ada sepeda motor yang menyenggol Kopaja 502 itu dari sisi kanan. Tiba-tiba pak sopir yang berkaos hijau itu mengeluarkan tangan kanannya. Sejurus kemudian ia memukul kepala berbalut helm milik seorang bapak yang tengah mengendarai sepeda motor (Mukul helm apa ga sakit ya Pak???). Merasa diperlakukan seenaknya, bapak itu pun berusaha memukul balas. Apa daya tangan tak sampai, akhirnya hanya angin yang terkena bogem mentahnya. Tak berhenti sampai di situ, sumpah serapah dan semua isi kebun binatang beradu suara dari kedua bapak itu. Istri sang pengendara yang duduk di boncengan, berusaha menenangkan sang suami dengan menutup kaca helm merahnya dan mengguncang-guncang bahu sang suami agar tenang. Tapi upayanya tidak membuahkan hasil. Sang suami kembali menaikkan kaca helmnya dan mengeluarkan sumpah serapahnya. Kasihan tuh kaca helm, naik-turun terus (lucu juga...sang istri menurunkan kaca, sang suami menaikkannya... berulang kali). Akhirnya arus kembali stabil. Kopaja 502 melaju kencang meninggalkan sang pengendara yang pastinya masih dongkol luar biasa. Kejadian yang bikin miris. Astaghfirullah...
Sampai di Patung Tugu Tani, posisi Aisya masih terjepit di tengah penumpang lainnya. Ia bersiap turun, akhirnya ia merangsek melangkah maju. Ia merasa ada yang memegang tasnya saat ia berada di dekat pintu. Sampai jualah di depan kantor Kementerian Perdagangan. Aisya berhasil turun. Tiba-tiba dari arah belakang ada yang memanggil... "Mbak... mbak...". Aisya menoleh. Seseorang menjulurkan tangannya lewat pintu dan menyodorkan sebuah charger.
Lantas, ia berjinjit mengambilnya. Ia tak sempat melihat si pemilik tangan itu. Aisya masih kaget yang baru saja terjadi. Saat sampai di trotoar, jantung Aisya berdegup kencang karena tas merah hatinya terbuka. Gantungan bergambar bendera Palestina berbentuk hati itu sudah berpindah ke tengah. Retlesting tas telah bergeser. Aisya menggeledah tasnya. Alhamdulillah, HPnya masih ada. Dompet merah bermotif mawar juga masih ada. Nah, hanya saja ada satu dompet yang tidak ada. Dompet itu berisi 5 flash disk. Flash disk pertama berkapasitas 8 GB yang berisi foto-foto dan file pindahan dari laptop supertwin-nya (flash disk ini milik Izzah, teman kostnya). Flash disk kedua berkapasitas 2 GB yang berisi peraturan bea cukai dan foto-foto waktu dinas ke surabaya (untungnya sudah di back-up filenya). Flash disk ketiga berkapasitas 2 GB juga berisi file-file kantor (alhamdulillah juga sudah di back up). Flash disk keempat berkapasitas 1 GB berisi tulisan-tulisan Aisya (alhamdulillah, sebagian sudah di back up di T-ONE -Aisya's red notebook-, tapi 3 tulisannya pagi ini yang ia tulis dari jam 3 sampai jam 6 pagi belum sempat dipindah ke T-ONE, tadi pagi langsung disimpan di flash disk. Hiks... semangat nulis lagi lah!!! Rencana hari ini upload 3 tulisan terpaksa dipending dulu). Flash disk kelima bukan sembarang flash disk, karena ini flash disk yang bisa dipakai internetan. Modem!!! Hiks, padahal masih banyak pulsa internetnya. Udahlah... nabung! Trus beli lagi... ^^v. Seingatnya, selain berisi 5 flash disk tadi, dompet coklat itu juga berisi Handy Clean mungil, minyak angin kecil, dan selembar kartu namanya.
Aisya berharap dompet coklat itu bukan diambil pencopet, tapi tertinggal di kostnya. Karena seingatnya, dompet itu sempat ia keluarkan dari tasnya pagi ini sebelum berangkat ke kantor karena ada 1 flash disk yang belum ia masukkan. Semoga saja dompet coklat itu tertinggal. Tapi, kalaupun dompet itu yang diambil pencopet, ia sudah berusaha mengikhlaskannya. Coba kalau yang hilang HP-nya atau dompet merahnya yang berisi 3 ATM (dua ATM Share Muamalat : yang satu berisi donasi untuk acara Ramadhan Berbagi LBQ Al Utsmani dan yang satu berisi tabungan masa depannya ^^v, serta satunya ATM BRI sebagai pintu masuk gaji bulanannya), KTP, serta sejumlah uang yang rencananya hari ini akan ditransfer ke rekening Muamalat... hmm...harus banyak-banyak bersyukur!!!
***
*Rasa kehilangan, hanya akan ada.. Jika kau pernah merasa memilikinya...(Letto)*
Semua adalah milik Allah, dan semua akan kembali pada-Nya...
***
Kalau memang dompet beserta isinya itu masih menjadi rezekiku, ia pasti 'kembali' atau Allah menggantinya dengan yang lebih baik. Aamiin...
Jakarta, 4 Agustus 2010
Aisya Avicenna

Monday, August 02, 2010

Mawar untuk Ibu

Monday, August 02, 2010 0 Comments

Seorang pria berhenti di toko bunga untuk memesan seikat karangan bunga yang akan dikirimkan kepada sang Ibu yang tinggal 250 km darinya. Begitu keluar dari mobilnya, ia melihat seorang gadis kecil berdiri di trotoar jalan sambil menangis tersedu-sedu. Pria itu bertanya mengapa gadis kecil itu menangis dan gadis kecil itu pun menjawab, “Saya ingin membeli setangkai mawar merah untuk ibu saya. Tetapi saya hanya mempunyai uang lima ratus rupiah, sedangkan harga mawar itu seribu rupiah.” Pria itu tersenyum dan berkata, “Ayo ikut aku, aku akan membelikan bunga yang kau mau.”
Kemudian, ia membelikan gadis kecil itu setangkai mawar merah, sekaligus memesan karangan bunga untuk dikirimkan kepada ibunya. Ketika selesai dan hendak pulang, ia menawarkan diri untuk mengantarkan gadis itu pulang ke rumah. Gadis kecil itu melonjak gembira, “Ya, tentu saja. Maukah kakak mengantar saya ke tempat ibu?”
Kemudian mereka berdua menuju tempat yang ditunjuk gadis kecil itu, yaitu pemakaman umum. Setibanya di sana gadis kecil itu meletakkan bunganya pada sebuah kuburan yang masih basah. Melihat itu, hati si pria menjadi trenyuh dan teringat akan sesuatu. Bergegas ia kembali menuju toko bunga tadi dan membatalkan kirimannya. Ia mengambil karangan bunga yang telah dipesannya dan mengendarai sendiri mobilnya sejauh 250 km menuju ke rumah ibunya.

***
Untuk bundaku yang selalu memahat kata “LUPH YOU” di setiap akhir SMS-nya…
Ananda semakin mencintaimu, bunda….

Jakarta, 2 Agustus 2010_16:22
Aisya Avicenna

Nahkoda

Monday, August 02, 2010 0 Comments

“Hey nahkoda! Mengapa perahumu tak kunjung kau tambatkan? Ombak semakin kencang dan kau masih terayun-ayun di tengah samudera nan luas ini,” hardiknya membuyarkan lamunanku. “Sebentar kawan, jangan tergesa! Aku ingin menambatkannya di pulau itu. Sepertinya ada seseorang yang sudah lama ingin berlayar menuju pulau impiannya, akan kuantarkan dia ke tempat yang paling diimpikannya itu!” jawabku tegas.

[AA]

Tuesday, July 27, 2010

Wanita Pilihan Allah SWT

Tuesday, July 27, 2010 0 Comments



Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Perempuan itu dinikahi karena empat hal, yaitu: harta, keturunan, kecantikan, dan agamanya. Dapatkanlah wanita yang taat beragama, engkau akan berbahagia.” (Muttafaq Alaihi dan Imam Lima).

Dan dalam sabdanya yang lain;

“Dunia adalah kesenangan sementara, dan sebaik-baiknya kesenangan dunia adalah wanita (istri) yang sholehah.”. (Muslim, an nasa’i)

Banyak sekali ayat-ayat Allah dan hadits Rasulullah yang mengajarkan kaum wanita, agar mereka dapat menjadi wanita pilihan Allah, dan sebaik-baiknya perhiasan dunia.

Tentunya, dengan waktu yang singkat tidaklah mungkin kita hadirkan kajian ayat dan hadits yang sangat banyak sekali jumlahnya …, tetapi dengan sangat mudah kaum wanita dapat bercermin melalui ciri-ciri akhlaq mereka..

Beberapa ciri yang umum dari akhlaq wanita pilihan Allah adalah ;

Sebelum menikah, wanita sholehah akan selalu menjaga dirinya, ia tidak akan membuka satu hubungan khusus, kecuali jika ia mengetahui bahwa lelaki tersebut hendak meminang dirinya. Aqidah islam, kepahaman dan akhlaq calon suami, merupakan modal dasar dari kriterianya. Wanita sholehah tidak akan memperlihatkan auratnya pada kaum pria yang dilarang oleh syariat , dirinya tidak akan pula membiarkan bagian tubuhnya disentuh, walau hanya berjabat tangan oleh lelaki yang bukan muhrimnya dan yang tidak memiliki kepentingan.

Dalam proses perkenalan atau ta’aruf ia tidak akan membiarkan dirinya berdua-duaan dengan kaum pria. Menjawab salam, tidak berbicara kecuali hal yang mengarah pada kebaikan. Tidak menjatuhkan kehormatan dan martabatnya dengan memberikan peluang kepada kaum pria untuk mempermainkan dirinya. Tidak meminta harta maupun barang apapun selain kesungguhan calon suami untuk mempercepat proses akad nikah.

Dan..pada saat menikah dan setelahnya, ciri wanita sholehah tercermin dari akhlaq mereka ;

Menerima mahar sesuai dengan kesanggupan calon suaminya, sebagaimana sabda Rasulullah saw, “Wanita yang paling banyak berkahnya adalah mereka yang paling mudah maharnya”. (Ahmad dan Baihaqi).

Senantiasa taat dan melayani suami mereka selama perintah mereka tidak bertentangan dengan perintah agama. Mendahulukan kepentingan suami dari pada kepentingan dirinya. Dapat menjadi pendengar yang baik, lemah lembut dalam berbicara, menghibur, mendorong hati suami ketika dalam kesulitan dan kesedihan, memberikan ketenangan dalam rumah tangga, dan senantiasa memperhatikan penampilan, kebersihan, kecantikan dan menjaga kesehatan dirinya, dan istiqomah dalam beribadah…

Ketika suami tidak dirumah, dirinya tidak akan pernah memperbolehkan lelaki yang tidak dikenal atau lelaki yang tidak disukai oleh sang suami masuk ke dalam rumahnya. Menjaga harta suami adalah bagian dari tugas istri yang sholeh, mengatur harta rumah tangga dengan tidak berlebihan dan tidak juga kikir adalah hal yang dianjurkan dalam agama. Menyelesaikan pekerjaan rumah tangga, menyediakan makanan yang sesuai dengan selera suami, memperhatikan seluruh kebutuhan suami, adalah bentuk pengabdian yang selalu bernilai pahala.

Sebesar apapun, ia senantiasa bersyukur atas apa yang diberikan oleh suaminya, tidak banyak mengeluh, sabar dalam menerima keterbatasan suami, tidak meminta sesuatu yang lebih dari kemampuan suaminya, menghormati orang tua suami, memperlakukan mereka dengan sikap terbaik, pemaaf dan pengertian, adalah sifat yang senantias ditunjukkannya.

Jika ia bekerja, maka ia akan menjaga dirinya dalam pergaulan, menjauhkan diri dari perbuatan yang sia-sia, yang dapat mengantarkan dirinya dalam kemaksiatan. Memberikan sedekah kepada keluarga dari hasil pekerjaannya. Wanita sholeh adalah panutan dari anak-anaknya, mereka akan memberikan teladan yang terbaik bagi anak-anaknya, sabar dalam mendidik anak, tidak mengeluarkan perkataan yang tidak patut di contoh oleh anak-anak…

Setidaknya, inilah ciri-ciri akhlaq wanita sholehah..tentunya, kesholehan itu tidak datang sendirinya, ia memerlukan proses…

kehidupan dunia dan akhirat..Dan wanita sholehah tentunya akan memilih lelaki pilihan Allah, yang bersama-sama mengantarkan dirinya melalui proses tersebut.. agar mencapai keberkahan dalam

Wallahu’alam.

Lelaki Pilihan Allah SWT

Tuesday, July 27, 2010 0 Comments



Banyak sekali ayat-ayat Allah dan hadits Rasulullah yang mengajarkan kepada kaum wanita, agar mereka mendapatkan laki-laki yang Allah pilihkan untuk menjadi suami mereka. Tentunya, lelaki pilihan Allah, adalah mereka yang taat dalam memperlakukan wanita sesuai dengan petunjuk Allah dan Rasul-Nya. Karena aturan yang Allah berikan kepada lelaki dalam memperlakukan wanita itulah, salah satu bentuk, bagaimana Allah memuliakan kaum wanita….

Tentunya, dengan waktu yang singkat tidaklah mungkin kita hadirkan kajian ayat dan hadits yang sangat banyak sekali jumlahnya …, tetapi dengan sangat mudah kaum wanita bisa melihat dari ciri-ciri akhlaq mereka..

Beberapa ciri yang umum dari akhlaq lelaki pilihan Allah ketika ia hendak menikahi seorang wanita adalah ;

Ketika memulai satu hubungan, ia akan menyatakan niatnya dan memperlihatkan kesungguhannya bahwa hubungan yang dilakukannya itu semata-mata hanya untuk menikah, bukan untuk hubungan yang lain seperti berpacaran atau sekedar bermain-main saja. Dalam proses perkenalan, berdua-duaan adalah hal yang selalu dihindari, menjaga pandangan mata, tidak menyentuh calon istrinya, walaupun hanya berjabat tangan.

Dan pada saat berbicara, dirinya tidak melakukan pembicaraan yang tidak bermafaat, atau perkataan yang sia-sia, tidak mengobral janji, atau berangan-angan kosong. Sikapnya tawadhu, sopan, dan menyenangkan. Tidak pula berlebihan dalam berbicara. Mengucapkan salam dan berkata yang baik, adalah kepribadiannya, memiliki sifat optimis, rajin dalam bekerja dan berusaha tampak dari cara ia menceritakan hal yang berkaitan dengan pekerjaannya. Pergaulannya dengan orang-orang yang sholeh, bisa kita lihat pada teman-teman disekelilingnya, dan pemahamannya terhadap agama, atau pada perilaku ibadahnya. Mengisi waktu senggangnya dengan hal yang bermanfaat dan berolah raga.

Menghormati orang tua calon istri, dengan niat mempercepat akad nikah dan tidak menundanya dengan jangka waktu yang lama, dan yang terlebih penting lagi, tidak mengambil pinangan orang lain.

Dan..pada saat menikah dan setelahnya, ciri mereka sebagai suami pilihan Allah setidaknya memiliki akhlaq ;

Membayarkan mahar istri dengan sempurna, jika maharnya tidak tunai, maka akan segera ditunaikan. Memberikan nafkah kepada istri, lahir dan bathin dengan cara pertengahan, tidak kikir dan tidak pula berlebihan, sikapnya konsisten seperti apa yang katakan pada saat sebelum menikah dengan memperlakukan istri dengan lemah lembut, bercanda dan bersenda gurau dengan tidak berlebihan, berkata yang baik, memanggil istrinya dengan sebutan yang menyenangkan istrinya, dan dan senantiasa menjaga rahasia istri dan kehidupan rumah tangga mereka.

Dan pada sisi lain, ia tegas jika perbuatan istri mengarah kepada hal yang dapat menjerumuskan kepada kemasiatan, kelalaian dalam beribadah, atau sikap dan perilaku yang menyimpang dari aturan Allah.

Jika menghukumnya, ia tidak akan pernah memukulnya atau menyakitinya, tetapi jika perlu melakukan hal itu dengan alasan yang dibenarkan dalam syariat, ia hanya akanmelakukannya tanpa menyakiti, atau menimbulkan bekas pada bagian tubuh manapun dari sang istri.

Pemaaf dan pengertian, adalah sifat yang senantias ditunjukkannya, berterima kasih kepada istrinya adalah bentuk penghargaan yang tidak pernah dilewatkannya. Demikian pula dengan penampilannya yang senantiasa menjaga kebersihan, rapi dan wangi.

Senantiasa bermusyawarah, berdiskusi, meminta pendapat istri dalam urusan rumah tangga dan mendidik anak-anak. Membantu istri dalam urusan rumah tangga yang tidak bisa ditangani, apakah itu dengan menyediakan berbagai fasilitas yang disanggupi seperti pembantu rumah tangga, perlatan masak, dan hal lainnya. Jika berkemampuan, pasti dirinya akan menempatkan istrinya di tempat yang baik, dengan lingkungan yang baik pula dan menjaganya dari segala hal yang dapat menibulkan fitnah bagi istrinya.

Dalam waktu luangnya, ia pasti menemani istrinya apabila bepergian, memerintahkan istrinya untuk menutup auratnya, tidak membawa istrinya ke tempat yang dapat menimbulkan maksiat. Memuliakan orang tua dan keluarga istri sama seperti keluarganya sendiri.

Dan yang paling senantiasa ia lakukan adalah memberikan teladan bagi istri dan anak-anaknya, menjadi imam dalam beribadah, memberikan bimbingan dan senantiasa mengingatkan akan tujuan pernikahan, serta terus berusaha meningkatkan ketaatan dan ibadah mereka kepada Allah..

Setidaknya, inilah ciri-ciri akhlaq lelaki dan suami pilihan Allah, walaupun ia tidak harus selalu kaya, tampan dan gagah, tetapi jika dirinya dihiasi akhlaq yang sesuai dengan petunjuk Allah dan Rasul-nya, Insya Allah kehidupan rumah tangga yang diberkahi, sakinah, mawaddah, dan warrahmah akan dicapai.

Wallahu’alam.

SYURA (MUSYAWARAH)

Tuesday, July 27, 2010 0 Comments
Di antara nilai-nilai kemanusiaan dan sosial yang dibawa oleh Islam adalah syura (musyawarah). Makna syura adalah bahwa hendaknya seseorang tidak menyendiri pendapatnya dan dalam persoalan-persoalan yang memerlukan kebersamaan fikiran dengan orang lain. Karena pendapat dua orang atau lebih dalam jamaah itu dianggap lebih mendekati kebenaran daripada pendapat seorang saja.

Sebagaimana musyawarah dalam suatu urusan itu dapat membuka pintu kesulitan dan memberi kesempatan untuk melihat urusan itu dari berbagai sudut, sesuai dengan perbedaan perhatian tiap individu dan perbedaan tingkat pemikiran serta tingkat pengetahuan mereka. Dengan demikian maka keputusan yang diperoleh adalah berdasarkan persepsi (tashawwur) yang syamil (sempurna) dan berdasarkan studi yang menyeluruh (komprehensi).

Dengan adanya aktifitas bermusyawarah, manusia akan mempunyai nilai tambah, selain dan yang bersumber dari pikirannya sendiri. Yakni pemikiran orang lain. Selain itu ilmunya juga bertambah oleh ilmu orang lain. Seorang penyair mengatakan:

“Apabila suatu ide itu telah sampai pada musyawarah, maka minta tolonglah dengan ide orang yang memberi nasihat dengan mantab, dan jangan kamu mengira bahwa musyawarah itu akan merugikan kamu, karena para pendahulu itu menjadi penguat generasi masa kini.”

Islam telah menyuruh kita untuk bermusyawarah dalam kehidupan individu, berkeluarga, bermasyarakat dan bernegara.
SYURA DALAM KEHIDUPAN INDIVIDU

Dalam kehidupan individu Islam mendidik seorang Muslim apabila hendak melakukan sesuatu urusan yang penting yang di dalamnya masih terdapat banyak perbedaan pandangan dan pendapat serta kecenderungan-kecenderungan, sehingga membuat ia ragu antara melaksanakan dan tidak, hendaknya ia menempuh dua jalan dalam rangka untuk memperoleh keputusan yang benar.

Dua jalan itu adalah, yang pertama, bersifat Rabbani; yaitu istikharah kepada Allah SWT, dengan melakukan shalat dua rakaat, setelah itu berdoa yang intinya adalah meminta pilihan kepada Allah SWT kebaikan dunia dan akhirat, untuk agama dan dunianya.

Yang kedua bersifat Insani, yaitu dengan musyawarah dengan orang yang dapat dipercaya pendapat, pengalaman, nasihat dan keikhlasannya. Dengan demikian ia menggabung antara istikharah kepada Allah dan bermusyawarah dengan manusia.

Kaum Muslimin masih hafal dengan warisannya, yaitu kata-kata Umar:

“Tidak rugi orang yang beristikharah dan tidak merugi orang yang bermusyawarah.”

Para sahabat Radhiyallahu ‘anhum dahulu sering bermusyawarah dengan Nabi SAW dalam banyak masalah yang khusus, maka Nabi SAW pun memberikan pendapatnya yang benar dan baik. Sebagaimana kita ketahui, bahwa Fatimah binti Qais pernah bermusyawarah kepada beliau tentang masalah pernikahannya, karena ada dua laki-laki yang mencintainya yaitu Mu’awiyah dan Abu Jahm. Maka Nabi SAW bersabda, “Adapun Mu’awiyah, dia adalah seorang yang pelit, tidak mempunyai harta, sedangkan Abu Jahm, dia tidak pernah meletakkan tongkatnya dari lehernya (sering memukul wanita),” kemudian Nabi SAW menawarkan untuk menikah dengan Usamah bin Zaid.

SYURA DALAM KEHIDUPAN BERKELUARGA

Dalam kehidupan berkeluarga, Islam mengajak kita untuk membina kehidupan keluarga atas dasar musyawarah dan saling ridha. Demikian itu sejak awal pembentukan terbinanya rumah tangga.

Oleh karena itu nash-nash syari’at menolak adanya paksaan seorang ayah untuk menikahkan putrinya tanpa meminta pendapatnya, walaupun putrinya itu masih gadis. Sebaliknya Islam mewajibkan sebagaimana disebutkan dalam Taujih Nabawi agar anak wanita gadis itu dimintai izin, meskipun ia merasa malu, maka izinnya adalah diamnya, karena diam ketika ditawari sesuatu itu menunjukkan ridha dan menerima.

Nabi SAW pernah menolak sebagian akad nikah yang telah terjadi, di samping karena bukan keinginan anak puteri, hukum syari’at tidak memperbolehkan kepada siapa pun untuk mempergunakan harta miliknya tanpa seizin dia. Apalagi masalah pernikahan yang itu menyangkut masa depan kehidupannya.

Bahkan Sunnah mendorong para wali wanita untuk bermusyawarah dengan ibu anak wanita tersebut dalam masalah pernikahannya, yakni seorang suami bermusyawarah dengan istrinya ketika ingin menikahkan anak gadisnya. Dalam hal ini ada hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad:

“Bermusyawarahlah dengan kaum wanita (isteri-isterimu) dalam urusan anak-anaknya.” (HR. Ahmad)

Demikian itu karena ibu lebih tahu terhadap anak perempuannya daripada ayahnya, karena seorang ibu dan anaknya itu adalah sama-sama wanita sehingga lebih faham keinginan dan perasaannya, sementara anak wanita itu sering berterus terang kepada ibunya untuk mengungkapkan rahasianya, yang itu tidak diperoleh dari ayahnya.

Setelah terbinanya rumah tangga maka wajib bagi suami isteri untuk saling memahami dan saling bermusyawarah dalam hal yang membawa kepentingan bersama, demikian juga untuk kepentingan anak-anaknya di masa depan.

Di sini kita tidak boleh meremeh kan pendapat wanita, sebagaimana masyarakat pada umumnya. Karena banyak wanita yang pendapatnya lebih baik dan membawa berkah untuk keluarga dan kaumnya (masyarakatnya).

Alangkah cemerlangnya pendapat Khadijah dan sikapnya pada awal turunnya wahyu, dan betapa peran Khadijah dalam memperkuat mentalitas Nabi SAW sampai beliau membawa pergi Rasulullah SAW kepada anak pamannya (sepupunya) yaitu Waraqah bin Naufal, semuanya demi menenangkan dan menggembirakan Nabi SAW Demikian juga pendapat Ummu Salamah ketika terjadi perdamaian Hudaibiyah (akan ada pembahasan tersendiri tentang masalah tersebut).

Di antara ayat-ayat Al Qur’an yang menarik adalah menyebutkan pentingnya bermusyawarah dan saling ridha antara suami isteri, yaitu yang berkaitan dengan menyusui anak dan menyapihnya, meskipun setelah cerai di antara keduanya. Allah SWT berfirman:

“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknnya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan persusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf (baik). Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupanrya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan juga seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduannya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya.” (Al Baqarah: 233)


SYURA DALAM KEHIDUPAN BERMASYARAKAT DAN BERNEGARA


Adapun syura dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, maka Al Qur’an memasukkannya sebagai unsur terpenting dalam berjamaah (bermasyarakat). Demikian itu disebutkan dalam Al Qur’an Makky (yang diturunkan di Mekkah) yang telah membangun kaidah-kaidah asasi dan meletakkan dasar-dasar kehidupan Islam. Maka syura itu juga dimasukkan dalam sifat-sifat orang yang beriman, disertai dengan sifat-sifat lainnya yang asasi, di mana keislaman dan keimanan seseorang tidak sempurna kecuali dengan sifat-sifat itu. Yaitu, istijabah (menyambut) seruan Allah, mendirikan shalat, dan menginfakkan apa yang diberikan Allah kepadanya. Ini disebutkan dalam surat yang membawa nama “As-Syura.” Allah SWT berfirman:

“Maka sesuatu apapun yang diberikan kepadamu, itu adalah kenikmatan hidup didunia; dan apa yang ada pada sisi Allah lebih baik dan lebih kekal bagi orang-orang yang beriman, dan hanya kepada Tuhannya, mereka bertawakkal, dan (bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan-perbuatan keji, dan apabila mereka marah mereka memberi mnaf Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannnya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka.” (Asy Syura: 36-38)

Yang dimaksud dengan firman Allah “Wa Amruhum,” di sini adalah urusan mereka yang bersifat umum, sebagai kepentingan bersama. Itulah yang diperintahkan oleh Allah SWT kepada Rasul-Nya untuk bermusyawarah. Allah SWT berfirman dalam surat Ali Imran yang turun di Madinah:

“Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu…” (Ali Imran: 159)

Perintah dalam ayat ini turun serelah perang Uhud, di mana Rasulullah SAW bermusyawarah dengan para sahabatnya, tetapi Rasulullah mengikuti pendapat mayoritas sahabat. Dan hasilnya, adalah kekalahan yang menimpa ummat Islam sehingga gugur tujuh puluh syuhada’ dari para sahabat pilihan, termasuk di antaranya Hamzah, Mush’ab, Sa’ad bin Rabbi dan lain-lain.

Meskipun demikian Allah tetap memerintahkan kepada Rasul-Nya untuk bermusyawarah dengan mereka, artinya, kita harus terus bermusyawarah, karena di dalamnya ada kebaikan dan berkah, meskipun sesekali hasilnya tidak menyenangkan (tidak menggembirakan), karena yang lebih penting adalah akibat (akhir)nya.

Rasulullah SAW adalah orang yang paling banyak bermusyawarah dengan para sahabatnya, beliau pernah bermusyawarah dengan mereka pada perang Badar menjelang dimulainya peperangan, di tengah-tengahnya perang serta setelahnya. Beliau tidak memasuki medan perang kecuali setelah merasa tenang dengan keinginan dan aspirasi para sahabatnya.

Rasulullah SAW juga pernah musyawarah dengan mereka dalam perang Uhud, sehingga beliau mengikuti pendapat mayoritas yang menginkan keluar dari Madinah untuk menemui musuh daripada tetap tinggal di dalam kota Madinah.

Rasulullah SAW juga pernah bermusyawarah dengan mereka ketika perang Khandaq, dan beliau sempat berkeinginan untuk berdamai dengan suku Ghathafan dengan memberikan sebagian dari hasil kurma Madinah untuk membatalkan perjanjian mereka dengan Quraisy. Tetapi wakil dari orang-orang Anshar menolak yang demikian itu, maka Nabi SAW pun mengikuti pendapat mereka karena dipandang lebih baik.

Ketika peristiwa “Hudaibiyah” Rasulullah SAW bermusyawarah dengan Ummu Salamah untuk melarang para sahabatnya dari tahallul ihram mereka setelah berdamai, padahal para sahabat telah serius berniat untuk berumrah. Maka Ummu Salamah mengusulkan agar Rasulullah keluar di hadapan mereka dan bertahallul di hadapan mereka tanpa berbicara. Dan benar, ketika para shahabat melihat Rasulullah berbuat demikian mereka segera melakukan hal serupa secara serentak.

Sebagaimana Islam juga memerintahkan seorang hakim (penguasa) untuk bermusyawarah di satu sisi, dan ia juga memerintahkan ummat untuk memberikan nasihat kepadanya di sisi lain. Seperti diterangkan dalam hadits shahih:

“Agama adalah Nasihat .., untuk Allah, Rasul-Nya, Kitab-Nya, para imam Muslimin dan rakyatnya (kaum Muslimin pada umumnya).” (HR. Muslim)

Kewajiban beramar ma’ruf dan nahi munkar adalah kewajiban yang bersifat umum, mencakup para pemimpin dan rakyat secara keseluruhan. Demikian juga kewajiban memberikan wasiat akan yang benar, wasiat untuk berlaku sabar, di mana tidak ada keselamatan bagi manusia dari kerugian dunia dan akhirat kecuali dengan melaksanakan semua itu. Maka tidak ada di kalangan kaum Muslimin seseorang yang lebih tua kecuali dia harus menerima wasiat dan nasihat, diperintah dan dilarang, dan tidak ada di kalangan ummat Islam yang lebih muda kecuali harus menerima wasiat dan nasihat, diperintah dan dicegah. Tidak jarang Rasulullah SAW mendapati pendapat para shahabat yang berbeda dengan pendapat beliau, maka Nabi SAW mengambil pendapat yang ditawarkan tersebut dan meninggalkan pendapatnya sendiri.

Rasulullah SAW pernah mengutus Abu Hurairah untuk memberikan kegembiraan kepada masyarakat bahwa barang siapa yang mengatakan “Laa ilaaha illallah” maka ia akan masuk syurga. Maka Umar khawatir kalau masyarakat memahaminya dengan pemahaman yang salah dan memisahkan antara kata-katanya dengan pelaksanaannya. Oleh karena itu Umar sempat menyuruh Abu Hurairah berhenti sejenak dan menjelaskan kepada Rasulullah SAW akan kekhawatirannya kalau-kalau manusia itu berpegang pada ucapannya saja sambil mengatakan, “Biarkan mereka beramal,” maka Rasulullah SAW bersabda, “Biarkan mereka beramal” (HR. Muslim)

Abu Bakar berkata dalam pidato kenegaraannya yang pertama setelah beliau diangkat sebagai khalifah, beliau menjelaskan tentang manhajnya dalam memimpin:

“Jika kamu melihat aku dalam kebenaran, maka bantulah aku, tetapi jika kama melihat aku dalam kebathilan maka luruskan aku, taatilah aku selama aku taat kepada Allah, dan jika aku bermaksiat kepada-Nya maka tidak ada lagi kewajiban atas kalian untuk taat kepadaku.”

Umar bin Khatthab RA berkata, “Wahai manusia, barangsiapa di antara kamu melihat aku dalam kesalahan maka luruskanlah aku.” Kemudian ada seseorang yang berkata kepadanya, “Kalau kami melihat kamu berbuat kesalahan maka akan kami luruskan dengan pedang kami!” Umar berkata, “Alhamdulillah yang telah menjadikan rakyat Umar orang yang mau meluruskan Umar dengan ketajaman pedangnya.”

Pada suatu hari ada seseorang yang berkata kepada Umar, “Bertaqwalah kamu wahai Umar!” maka ada sebagian orang di sisi Umar mengingkari perkataan itu, maka Umar berkata, “Biarkan dia, karena tidak ada kebaikan di tengah-tengah kamu jika kamu tidak mengatakannya (kalimat taqwa), dan tidak ada kebaikan di tengah-tengah kita apabila kita tidak mendengarkannya.”

Bahkan Rasulullah SAW memperbolehkan menentang kepada Amir (pemimpin) yang dhalim dengan dua syarat:

Pertama: karena penyimpangan yang nyata dari manhaj Islam, baik dalam masalah aqidah atau ibadah, inilah yang diistilahkan dalam hadits Nabawi sebagai “Kufrun Bawwah.”"abi SAW pernah berwasiat kepada orang-orang yang berbaitat kepadanya yaitu dari para sahabat untuk bersabar terhadap amir mereka, meskipun amir itu mengutamakan sebagian pekerjaan duniawi, Nabi SAW bersabda:

“Kecuali apabila kamu melihat kekufuran yang bawwah (nyata) yang menurut kamu ada burhan (bukti) atau dalil dari Allah.” (Muttafaqun ‘alaih)

Kedua: Apabila kita memiliki kemampuan untuk menghilangkan kemungkaran, tanpa berakibat menimbulkan kemunkaran yang lebih besar daripadanya. Jika itu tidak mungkin, maka wajib menanggung kemungkaran yang lebih ringan karena takut terjadinya kemungkaran yang lebih besar. Hal itu berdasarkan kaidah, “bolehnya memilih yang paling ringan di antara dua bahaya atau dua keburukan.”

Ketika dikhawatirkan akan terjadi kemungkaran yang lebih besar, maka perlawanan beralih dari memerangi dengan tangan kepada siasat dengan lesan dan pena, kemudian pengingkaran hati. Yang demikian itu adalah selemah-lemah iman.

Ibnu Mas’ud meriwayatkan suatu hadits, dari Rasulullah SAW beliau bersabda:

“Tiada seorang Nabi pun yang diutus oleh Allah pada ummat sebelumku kecuali ada dari kalangan ummatnya “Hawariyyun” (para pendukung) dan para sahabat yang mengikuti Sunnahnya, dan berqudwah terhadap perilakunya, kemudian akan ada generasi setelahnya, yang mengatakan sesuatu yang tidak mereka perbuat, dan melaksanakan sesuatu yang tidak diperintahkan, maka barangsiapa yang memerangi mereka dengan tangannya maka ia mahmin, dan barangsiapa yang memerangi mereka dengan lesannya maka ia mukmin, dan barangsiapa memerangi mereka dengan hatinya rnaka ia mukmin, dan tidak ada setelah demikian itu dari keimanan sebiji sawi pun” (HR. Muslim)

Al Qur’an Al Karim mengisahkan kepada kita contoh yang baik tentang suatu hukum (keputusan) yang berdasarkan musyawarah, yaitu kisah Ratu Saba’ (Bilqis), yang dikejutkan dengan surat Nabi Sulaiman AS yang dibawa oleh burung Hud-hud, lalu ratu itu mengumpulkan kaumnya dan berkata:

“Berkata dia (Bilqis), “Hai para pembesar !, berilah aku pertimbangan dalam urusanku (ini) aku tidak pernah memutuskan sesuatu persoalan sebelum kamu berada dalam majelis(ku). Mereka menjawab, “Kita adalah orang-orang yang memiliki keberanian yang sangat (dalam peperangan), dan keputusan berada di tanganmu; maka pertimbangkanlah apa yang akan kamu perintahkan. Dia berkata, “Sesungguhnya raja-raja apabila memasuki suatu negeri, niscaya mereka membina, dan menjadikan penduduknya yang mulia jadi hina; dan demikian pulalah yang akan mereka perbuat. Dan sesungguhnya aku akan mengirim utusan kepada mereka dengan (membawa) hadiah, dan (aku akan) menunggu apa yang akan dibawa kembali oleh utusan-utusan itu .” (An-Naml: 32-35)

Akhirnya perilaku syura yang bijaksana ini sampai pada masuk Islamnya ratu Bilqis di hadapan Nabi Sulaiman AS, sehingga selamatlah dia, dan kaumnya dari peperanganyang merugikan, dan dengan demikian dia memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat.

Al Qur’an juga mengisahkan bentuk lain (yang tidak benar) dari suatu hukum yang tegak di atas dasar penisbatan diri sebagai tuhan dan kediktatoran. Seperti hukum Fir’aun yang berkata kepada manusia:

“Saya adalah tuhanmu yang mulia.” (An Nazi’at: 24)

“Aku tidak mengetahui tuhan bagimu selain aku.” (Al Qashash: 38)

Fir’aun tidak mau bermusyawarah kecuali dengan para menterinya secara khusus, sebagaimana yang kita lihat dalam kisah Fir’aun dengan Musa, ketika Musa berdialog dengannya maka ia mengancamnya dengan penjara, Musa berkata:

“Apakah (kamu akan melakukan itu) kendati pun aku tunjukkan kepadamu sesuatu (keterangan) yang nyata?” Fir’aun berkata, “Datangkanlah sesuatu (keterangan) yang nyata itu, jika kamu adalah termasuk orang-orang yang benar. “Maka Musa melemparkan tongkatnya, yang tiba-tiba tongkat itu (menjadi) ular yang nyata. Dan ia menarik tangannya (dari dalam bajunya), maka tiba-tiba tangan itu jadi putih (bersinar) bagi orang-orang yang melihatnya. Fir’aun berkata kepada pembesar-pembesarnya yang berada di sekelilingnya, “Sesungguhnya Musa ini benar-benar seorang ahli sihir yang pandai, ia hendak mengusir kamu dari negerimu sendiri dengan sihirnya; maka karena itu apakah yang kamu anjurkan?” (Asy-Syu’ara: 30-35)

Ini sesungguhnya bukanlah musyawarah yang benar, karena musyawarah ini hanya dikhususkan untuk pembesar-pembesar yang ada di sekelilingnya saja (orang-orang sendiri). Selain itu musyawarah ini adalah musyawarah yang sudah terarah (disesuaikan dengan keinginannya). Fir’aun tidak mau mengambil pendapat mereka dalam masalah Musa dan sikap terhadap risalah yang dibawanya. Tetapi pada hakekatnya dia telah memutuskan sesuatu sebelum bertanya kepada mereka yaitu dengan kata-katanya yang dimuat oleh Al Qur’an

“Sesungguhnya Musa ini benar-benar ahli sihir yang pandai, ia hendak mengusirmu dari negerimu sendiri dengan sihirnya.” (Asy-Syu’ara: 34-35)

Al Qur’an telah menjelaskan hakikat hukum Fir’aun dan sikapnya terhadap rakyatnya, sebagaimana firrnan Allah SWT:

“Sesungguhnya Fir’aun telah berbuat sewenang-wenang di maka bumi dan menjadikan penduduknya berpecah belah, dengan menindas segolongan dari mereka, menyembelih anak laki-laki mereka dan membiarkan hidup anak-anak perempuan mereka. Sesungguhnya Fir’aun termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan.” (Al Qashash: 4)

Kesombongan di bumi inilah yang kita istilahkan dalam bahasa politik modern dengan “Thughyaan” (diktator). Al Qur’an juga sering mengulang-ulang dalam menyifati Fir’aun. sebagaimana dalam firman Allah SWT:

“Sesungguhnya dia (Fir’aun) adalah orang yang sornbong, salah seorang dan orang-orang yang melampaui batas.” (Ad-Dukhan: 31)

Kesombongan Fir’aun bukan hanya ditujukan kepada Bani Israil saja, tetapi juga kepada orang-orang Mesir, jika ternyata ada di antara mereka atau sekelompok dari mereka yang keluar dari rencananya dan menolak pengakuan bahwa dirinya adalah tuhan.

Itulah sikap yang nampak jelas dari Fir’aun terhadap tukang-tukang sihirnya yang diminta setiap saat untuk menolong dirinya dalam melawan Nabi Musa. Tetapi akhirnya Allah menjatuhkan Fir’aun melalui mereka juga, yaitu ketika mereka beriman kepada Rabb Musa dan Harun setelah kebenaran itu jelas di hadapan mereka dari pada kebathilan.

Allah SWT berfirman:

“Berkata Fir’aun, “Apakah kamu telah beriman kepadanya (Musa) sebelum aku memberi ijin kepadamu sekalian. Sesungguhnya ia adalah pemimpinmu yang mengajarkan sihir kepadamu sekalian. Maka sesungguhnya aku akan memotong tangan dan kaki kamu sekalian dengan bersilang secara timbal balik, dan sesungguhnya aku akan menyalib kamu sekalian pada pangkal pohon kurma dan sesungguhnya kamu akan mengetahui siapa di antara kita yang lebih pedih dan lebih kekal siksannnya.” (Thaaha: 71)

Ungkapan Fir’aun, “Mengapa kamu beriman kepadanya sebelum aku mengijinkan kamu,” ini membuktikan bahwa ia ingin memaksa pikiran dan hati manusia (untuk mengikutinya), sehingga tidak boleh akal dan hati untuk percaya kepada sesuatu kecuali atas izinnya dan mendapat keputusan darinya.

Al Qur’an mencela Fir’aun dan segala kekuatan kotor yang bersekongkol dengannya. Seperti “Qarun” yang menampilkan faham materialistis yang kejam dan kotor yang tidak memberikan kesempatan kepada orang lain untuk memiliki harta. Sikap ini tergambar dalam perkataan Qarun:

“Sesungguhnya aku diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku.” (Al Qashash: 78)

Seperti juga “Haman” yang menampilkan sosok politikus yang menjilat karena materi, di mana ia persembahkan kemampuan akal dan kreasinya untuk melayani thaghut yang sombong, Hamanlah sebagai otak pemikirnya (dalang) sekaligus pelaksananya.

Al Qur’an mencela secara keseluruhannya, yaitu Fir’aun dan para tentaranya yang dijadikan sebagai alat kekuasaan, yang ia pergunakan untuk menyiksa rakyat dan menindas mereka. Allah SWT berfirman,

“Sesungguhnya Fir’aun dan Haman beserta bala tentaranya adalah orang-orang yang bersalah.” (Al Qashash: 8)

Allah juga berfirman:

“Maka Kami binasakan Fir’aun dan bala tentaranya, lalu kami lemparkan mereka ke dalam laut. Maka lihatlah bagaimana akibat orang-orang yang zhalim.” (Al Qashash: 40)

Kata-kata “Al Junud” meliputi seluruh pendukung orang yang zhalim, baik dari kalangan militer maupun sipil.

Al Qur’an memerangi kezhaliman dan penindasan dari berbagai segi sebagai berikut:

Kelompok penguasa yang zhalim dan diktator di bumi ini, sebagaimana firman Allah SWT:

“Demikianlah Allah mengunci mata hati orang yang sombong dan sewenang-wenang.” (Al Mukmin: 35)

“Dan mereka memohon kemenangan (atas musuh-musuh mereka) dan binasalah semua orang yang berlaku sewenang-wenang, lagi keras kepala.” (Ibrahim: 15)

Kelompok para pendukung kekuasaan, seperti Haman, Qarun atau dari kalangan militer dan sipil, seperti tentara Fir’aun.

Dari kelompok rakyatyang menyerahkan ketaatannya kepada pemimpin yang zhalim, tanpa pernah bertanya kepada mereka suatu hal apa pun: mengapa?, atau bagaimana?, apalagi sampai berani mengatakan, “tidak.”

Al Qur’an juga telah mencela kaum Nabi Nuh, seperti firman Allah SWT:

“Ya Tuhanku, sesungguhnya mereka telah mendurhakaiku, dan telah mengikuti orang-orang yang harta dan anak-anaknya tidak menambah kepadanya melainkan kerugian belaka.” (Nuh: 21)

Al Qur’an pun mencela kaum Hud AS, dengan firman-Nya:

“Mereka menuruti perintah semua penguasa yang sewenang-wenang lagi menentang (kebenaran). Dan mereka selalu diikuti dengan kutukan di dunia ini dan (begitu pula) di hari kiamat.” (Huud: 59-60)

Al Qur’an juga pernah mencela kaum Fir’aun, sebagaimana dalam firman Allah SWT:

“Maka Fir’aun mempengarahi kaumnya (dengan perkataan itu) lalu mereka patuh kepadanya. Karena sesungguhnya mereka adalah kaum yang fasik.” (Az Zukhruf: 54)

Al Qur’an telah memaparkan kepada kita berbagai gambaran (contoh) yang banyak dari pemandangan kiamat, pada saat itulah terjadi saling mencela antara para pemimpin dan pembesar yang menyesatkan dengan para pengikut yang disesatkan, dan masing-masing saling berlepas tangan, saling melaknat dan berusaha untuk melemparkan tanggung jawab kepada yang lainnya. Tetapi Allah SWT memutuskan untuk semuanya bahwa mereka semua adalah termasuk ahli Neraka. Allah SWT berfirman:

“Dan mereka berkata, “Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah mentaati pemimpin pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar), Ya Tuhan kami timpakanlah kepada mereka adzab dua kali lipat dan kutuklah mereka dengan kutukan yang besar.” (Al Ahzab: 67-68)

“(Yaitu) ketika orang-orang yang diikuti itu berlepas diri dan orang-orang yang mengikutinya, dan mereka melihat siksa; dan ketika segala hubungan antara mereka terputus sama sekali. Dan berkatalah orang-orang yang mengikuti, “Seandainya kami dapat kembali (ke dunia), pasti kami akan berlepas diri dari mereka, sebagaimana mereka berlepas diri dari kami.” Demikianlah Allah memperlihatkan kepada amal perbuatannnya menjadi sesalan bagi mereka; dan sekali-kali mereka tidak akan keluar dari api neraka.” (Al Baqarah: 166-167)

Sesungguhnya diterimanya kepemimpinan politik bagi ummat dalam Islam adalah ridha dan bai’ah yang atas kehendak sendiri (kesadaran). Maka barangsiapa yang diterima oleh kaum Muslimin untuk menjadi imam, amir atau pimpinan bagi mereka dan mereka telah membai’atnya untuk yang demikian itu, berarti dia telah menjadi wali yang sah (secara syar’i) yang wajib ditaati dalam hal yang ma’ruf, dan wajib menasihatinya dengan benar serta membantunya atas setiap kebaikan.

Islam tidak menyukai seseorang yang menjadi imam shalat berjamaah, sementara para jamaah tidak menyukainya. Maka bagaimana Islam bisa menerima seseorang yang memimpin seluruh ummat dalam mengatur urusannya secara umum sedangkan ummat itu tidak suka, dan dengan itu ummat menjadi tersiksa dan marah? Rasulullah SAW pernah bersabda dalam haditsnya yang mulia:

Tiga orang yang shalatnya tidak diangkat di atas kepala mereka sejengkal pun; seseorang yang mengimami kaum sedangkan kaum itu benci padanya, wanita yang yang berdiam diri semalaman sedang suaminya marah kepadanya, dan dua bersaudara yang saling bertenghar. (HR. Ibnu Majah)