Jejak Karya

Jejak Karya

Sunday, January 27, 2013

Aksara Kembara [3]: “Hujan dan Makna Sebuah Ketegaran”

Aku dan berjuta juta manusia lainnya terlahir untuk mencintai hujan. Entah kenapa aku selalu sepakat bahwa kehadiran hujan membawa damai tersendiri di sudut hati. Hadirnya bagaikan mengantarkan tapak-tapak rindu untuk mendekat dan mencumbu di selaksa relung hati yang kering.Setiap tetesnya adalah anugerah, setiap tetesnya adalah berkah. Melati di taman merekah karnanya, padi di sawah menghijau karna curahnya. Setiap tetesnya adalah tasbih, maka seluruh alam memujanya. Hujan dan aku cinta!
***
Aku duduk di sini, awalnya sendiri. Namun lantas sekerumunan kenangan menyeruak memaksa masuk ke dalam otak, dan mendorong paksa airmata keluar Meski airmata bertahan sekuat tenaga agar tidak terjun bebas, tapi ia kalah. Kenangan itu terlalu kuat dan tak kuasa dilawannya. Airmata pun luruh seketika. Sementara kerumunan kenangan itu asyik berpesta pora, di dalam sana.

Di sana, Tuan, kita duduk bersama. Memesan minum bersoda dan sekantung kentang goreng asin. Aku asyik memandang layar laptop yang berkedip-kedip mengajakku bermain di ruang penuh kata-kata. Sementara dirimu, sesekali memijati bahuku yang letih, mengelus perut buncitku yang di dalamnya terbaring nyaman bayi kita. Sesekali pula, aku mengangkat kepala dan menoleh kepadamu, yang sigap memberikan senyum termanismu, sore itu. Senja jatuh, dalam diam di matamu yang teduh.
*mengenang almarhum, di suatu sudut Mcd Simpang Dago*

Deg! Gerimis hati ini bersamaan dengan embun di sudut mata saat aku terpaku membaca status sosok salah satu penulis favoritku. Sosok yang sangat inspiratif dan akupun menatap langit memanjatkan do’a. “Ya Rabb, suatu hari nanti izinkan aku bertemu dan belajar banyak dari beliau. Kabulkanlah pintaku…”

Hingga pagi itu, tergerak jemari ini menarikan tuts-tuts di Doralepito, mencoba menyapa di wall Fb-nya. Ajakan untuk bertemu dan Alhamdulillah, aku mendapatkan sambutan yang sangat antusias dan luar biasa. Bandung, sungguh aku sangat mencintaimu! Dan Engkau Ya Rabb… Engkaulah tempat bermuara segala pinta dan takkan lama lagi salah satu impianku Engkau izinkan menjejak nyata.

Bandung, 8 Januari 2013
Hari ke-4 aku di kota Bandung. Baru pertama kali ditinggal Mas Sis mudik, sungguh membuat fisikku menjadi lemah. Aku memutuskan selama seminggu beliau di Semarang aku nggak ingin berlama-lama di Bogor. Justru akan semakin menyiksaku dengan sebuah kata: rindu. Akhirnya, meski raga sedikit payah, aku bulatkan tekad untuk ke Bandung setelah setengah hari aku mengikuti diklat pengajar GO (tanggal 5 Januari itu). Aku terpaksa izin tidak bisa full karena fisikku yang gak bersahabat. Dan akhirnya aku larikan raga dan jiwaku ke kota Bandung. Hehe. Ah, Bandung dan aku ingin memperkaya jiwaku!

Hingga akhirnya terjadilah pertemuan istimewa di McD Simpang Dago. Pertemuan istimewa dengan sosok istimewa. Beliau adalah Bunda Lygia Pecanduhujan. Sosok yang tak asing di komunitas IIDN (Ibu-Ibu Doyan Nulis). Sosok penulis dengan karya-karya yang sangat mencerahkan dan sudah sangat banyak bertebaran di jagad perbukuan Indonesia. Bunda Lygia membawa Ipank, putra ketiganya yang baru berumur 7 bulan. Nggemesin banget deh…

Pertemuan pertama begitu menggoda, selanjutnya sungguh terasa semakin istimewa dan bertabur cinta. SUPERTWIN begitu terpesona dengan sosok bunda inspiratif satu ini. Bunda Lygia yang begitu ramah, supel, murah senyum, humoris, pokoknya enak banget deh orangnya (hihi, renyah kayak kentang goreng ^_^). Sosok bunda yang sabar, tegar, dan top abiz dah…

Langsung deh keesokan harinya aku update status:
Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?

Simpang Dago pun menjadi saksi pertemuan istimewa kita yang bertabur cinta. Tanpa terasa 3 jam kita bersama, saling bertukar cerita dan saya begitu banyak mengambil pelajaran atas apa yang engkau sampaikan, bunda...
"Allah memberikan ujian dalam hidup kita, lengkap dengan kunci jawabannya. Hanya saja kita perlu lebih jeli mencari dimana letaknya." KEEP WRITING!

Begitulah kalimat yang tersusun dari aksara-aksara penuh daya yang Bunda Lygia Pecanduhujangoreskan di catatan harian saya usai perjumpaan kita . Terima kasih, Bunda!

***
Engkau yang malam ini bersedih, dengarkanlah ini…
Ketahuilah bahwa setiap tetes dari matamu yang jujur itu bernilai satu telaga kebaikan jika engkau tetap memelihara keikhlasanmu, bahwa keburukan yang terjadi kepadamu –walau pedih dan pilu– adalah sesungguhnya kebaikan.
Bagaimana mungkin Tuhan yang sangat mencintaimu akan membiarkanmu terlukai –jika bukan karena niatNya untuk memuliakanmu?
Sesungguhnya, bagi jiwa yang ikhlas – keburukan adalah kebaikan yang belum sampai pengertiannya.Bersabarlah, sampai datang waktu di mana engkau mengerti, bahwa ini semua adalah untuk kebaikanmu. Seperti semua keburukan yang telah kau lalui sebelumnya yang ternyata menyampaikanmu kepada keadaan yang lebih baik.
Damaikanlah hatimu, serahkanlah semuanya kepada Tuhanmu, dan penuhilah hak tubuh dan jiwamu untuk beristirahat dengan baik.
Semoga engkau dibangunkan esok pagi sebagai jiwa damai yang dicintai dengan tulus dan yang baik rezekinya.Aamiin. [Mario Teguh]

***
“Cinta selalu menitipkan rindu pada hujan. Sebentuk keindahan yang mencintai kebaikan. Dan aku sangat mencintai hujan dengan segala tetes ketegaran jua ketenangan. Hujan, basahi jiwaku hingga seluruh. Aku bersyukur telah mengenalmu sebagai warna momentum yang berbeda. Namun dalam hidupku, kau sungguh indah terasa…”
[Catatan DNA Keisya Avicenna, 3 April 2012]

Inilah aksara kembaraku mencoba mendokumentasikan sepenggal kisahku bersama sosok yang kaya akan rasa sabar dan bergelimang rasa syukur. Dialah Bunda Lygia Pecanduhujan. Tak akan pernah habis tintaku untuk menceritakannya hingga aku sendiri yang akan kehabisan kata-kata untuk menceritakan segala rasa yang terendap dalam jiwa.

Terima kasih, Bunda Lygia… Semoga Allah senantiasa menitipkan bahagia untukmu dan seluruh keluarga tercinta. Aamiin…

[Keisya Avicenna, 27 Januari 2013 @Istana KYDFENS Wonogiri]


No comments:

Post a Comment

Terima kasih sudah berkunjung. Mohon untuk tidak meninggalkan link hidup.


Salam,


Keisya Avicenna