Jejak Karya

Jejak Karya

Friday, August 24, 2012

Cinta dan Benci [Kun Geia]

Friday, August 24, 2012 0 Comments
by Kun Geia on Saturday, August 18, 2012 at 10:47am ·
“Menjadi sebuah kecintaan tak terukur saat angin mengantarkan kabar ke gendang telinga bahwa, Ramadhan akan segera memeluk tanah Indonesia. Semoga tuan segera kembali ke sini, ujar seekor Anjing di pojokan rumah besar nan kosong, di perumahan Suci Permai, Garut.

Enzo, nama itu disematkan pada si Anjing oleh tuannya sepuluh tahun yang lalu, ketika mereka masih hidup bersama dalam rekatnya persahabatan dua mahluk berbeda spesies. Beberapa tahun ke belakang, sang tuan pergi tanpa mengajaknya ikut serta, Aku akan menjalankan misi ke Antartika demi kelanjutan hidup umat manusia, kau tunggu aku kembali di rumah ini. Sejak perpisahan itu, sang tuan tak pernah kembali, dan hingga kini si Anjing masih setia menungguinya pulang.

“Dalam kesendirian, aku berusaha menceburkan diri, berkhalwat bersama Ramadhan. Aku tak makan di siang hari. Aku tak mengais-ngais di tempat-tempat sampah komplek ini, bahkan aku sejenak bisa menekan kerinduanku akan kedatangan tuan dari ujung bumi selatan.”

Senyuman ringan terkembang di bibirnya. Anjing itu mencoba mencari rangkaian kalimat terbaik untuk melukiskan Ramadhan, namun setiap kali matanya berlinang karena kesyukurannya bisa merasakan bulan nan agung ini, saat itu pula ia menyerah dalam pencarian kalimat yang sepadan untuk melukiskan kecintaannya dengan Ramadhan.

[ ]

Bumi terus berputar.
Waktu tak hendak beristirahat disela derasnya arus zaman.

“Ramadhan hendak menemui ujung.”
Wajah Enzo redup.
“Adakah kesempatan lagi aku bertemu dengannya?”

Kini, dua kerinduan menelikung bersamaan. Menelusup dengan membawa ketakutan untuk kehilangan. Anjing itu merasa akan semakin rindu menanti Ramadhan kembali, juga rindu menunggu tuannya datang membawa janji untuk pulang.

Cinta, inikah rasanya?

Setelah adzan maghrib selesai berkumandang di mesjid Perum Suci Permai, Enzo melangkah menjauhi gundukan sampah, ia baru saja memakan sesuatu sebagai penanda makannya yang pertama seharian ini. Langkahnya menuju ke tempat yang lebih dekat dengan mesjid. Baginya, ada keasyikan sendiri melihat orang-orang hilir mudik masuk dan keluar dari mesjid itu untuk sebuah ketaatan.

“Hey Enzo! Ada sisa makanan untukmu. Ayo Sini!” teriak satu dari lima orang yang duduk di pos ronda, seratus meter jaraknya sebelum mesjid.

Anjing itu menghentikan langkah, ia menatap ke arah lima orang yang duduk di dalam pos ronda.

Kartu. Tumpukan uang seribuan. Botol-botol.

Melihat semua itu, dalam hitungan detik, kebencian berhasil menguasai hati Enzo. Merayap memenuhi seluruh isi selaksa rongga dada.

Seharian aku melihat mereka tak beranjak dari sana, tak lepas dari barang-barang itu semua. Batin Anjing itu membara. Ramadhan kan segera pergi, tapi pembangkangan mereka pada titah Langit tak jua sirna.

Lebih dari itu, kebencian telah berhasil menyulamkan kesumat tatkala dalam keseharian ia menyaksikan mahluk-mahluk yang bernama manusia, acuh tak acuh dengan Ramadhan.
Tak ada ketaatan untuk kebaikan. Tak ada keingkaran pada kemungkaran. Enzo meneruskan langkahnya.

“Aku benci mereka. Kenapa aku yang hanya seekor anjing, mahluk yang selalu dinajis-najiskan, ciptaan yang diharamkan untuk dimakan, bisa merasakan kecintaan pada bulan ini, kerinduan untuk selalu bersamanya. Sementara mahluk-mahluk bernama manusia itu...” gigi enzo gemeretak. Saling beradu.

“Tuan, kapan engkau kembali dari Antartika? Aku rindu Melewati Ramadhan bersamamu, seperti dulu.”

Benci, beginikah rasanya? [ ]


Garut, 18 Agustus 2012 (sehari menjelang berakhirnya bulan suci.)

CERMIN TERAKHIR [Kun Geia]

Friday, August 24, 2012 0 Comments
by Kun Geia on Sunday, August 12, 2012 at 8:42am ·
Pernahkah mendengar bunyi napas yang diseret? Bukan tarikan napas, tapi seretan napas. Jika tarikan napas bisa saja sama dengan desah napas biasa, tapi seretan napas terdengar lebih buruk dan lebih memprihatinkan ketimbang suara napas orang yang sedang terserang asma akut.

Tahukah rasana bagaimana ditatap oleh mata yang polos? Bukan tatapan kosong, bukan pula tatapan lugu, tatapan polos. Tak ada rasa, tak ada citra, tak ada apa-apa?

Baiklah, teruskan membaca tulisannya.

Hari ini, 12 agustus 2012, tidaklah aku memejamkan mata dari tadi malam untuk tidur kecuali hanya beberapa menit saja, yaitu ketika jam menunjukkan pukul 03.00 dini hari. Saat itu kutinggalkan mesjid menuju rumah, tujuannya untuk makan sahur dengan keluarga.

Selesainya dengan sahur dan berwudhu, aku kembali ke mesjid. Iqamah subuh dikumandangkan. Imam kami maju kedepan, mulailah takbir.

Ketika fatihah terlantun, pendengaranku sedikit terusik, yang lama kelamaan memang aku merasakan sesuatu yang mengusik. Awalnya kudengar suara tarikan napas yang cepat, pendek, berkejaran. Semakin suasana hening kecuali suara bacaan imam, semakin tarikan napas itu kurasakan seperti suara seretan udara di hidung.

Aku bisa merasakan bagaimana sulitnya paru-paru untuk menarik oksigen, aku tau itu karena aku punya penyakin asma, jadi sudah sangat kenal dengan yang namanya kesulitan menarik napas.

Semakin lama, tak ada kekhusuakan dalam shalatku, tak ada kekhidmatan dalam mendengar lantunan imam. Yang ada adalah pikiranku terkait terus pada suara yang datang dari saf pertama paling ujung sebelah kiri, sementara posisiku berada di saf pertama paling kanan.

Terus dan terus, seretan napas itu terdengar, hingga spontan kepalaku tak lagi berusaha mendengarkan bacaan imam, tapi malah berputar. Aku berpikir bahwa nanti setelah selesai shalat, akan kutarawarkan orang yang kesulitan bernapas itu obat ventolin inhaler, itu obat spray yang bisa menanggulangi asma dalam hitungan detik.

Kutunggu rakaat pertama usai, tapi yang terjadi adalah suara seretan napas orang di ujung sana sepertinya berasa lebih mengerikan daripada asma terakut yang pernah kurasa. Aku jadi berpikir itu seperti suara endusan napas harimau setelah keletihan mengejar-ngejar mangsangya. Selanjutnya aku malah berpikir mungkinkah orang itu kesurupan Jin? Ah tidak, toh dia tidak membuat kegaduhan, saat rukuk, saat sujud, aku tau dia mengikutinya dari tarikan dan hembusan napas yang terpantul di karpet mesjid. Tinggi rendahnya kurasakan.

Semakin jauh shalat, semakin suara itu terdengar lebih berat, terus berkejaran. Aku sampai merasa sesak sendiri. Terlebih ketika sujud, sangat kurasakan kesulitannya bernapas, karena napas yang ditarik dan dihembuskannya terpantul sangat dekat ke karpet mesjid dan posisi kepalaku pastinya sejajar dengan dia karena keningku sedang menempel di karpet, sehingga itu membuat seretan napasnya terdengar lebih jelas.

Salam pun berakhir ke sebelah kiri. Aku segera mengambil ventolin inhaler dari dalam kantong.
 Aku dekati dia.

“Dek ...”
 Kupanggil dia begitu karena terlihat usianya belum melebihi kepala dua. Aku tak kenal dia, sepertinya memang bukan orang sini, atau aku yang tak pernah bertemu karena sembilan tahun terakhir domisiliku di luar tanah kelahiran ini.

“Kamu asma?”
 Dia menggelengkan kepala

“Sesak napas?”
 Dia kembali menggelengkan kepala. Kemudian aku sentuh pundaknya.

Dia mengangkat kepala, dan wajahnya berputar ke arahku, ia memandangku.
Saat itu juga bulu di tengkuk perlahan berdiri.

Tatapannya itu ... tidak kosaong, tidak tajam, tidak mengerikan, tapi ... ah aku tak menemukan kata untuk menggambarkannya selain;  tatapannya polos, tak berasa.

“Coba pakai obatku ini, insya Allah bisa menanggulangi sesak napasmu.”

“Tidak,” jawabnya pelan disela kesulitan menarik napas. Para jama’ah sudah sedari tadi melihat-lihat dia, bertanya ini itu, tapi karena aku yang paling dekat posisi duduknya dengan dia, wajahnya pun hanya tertuju padaku.

“Panggilkan ibu kak, tolong panggilkan ibuku,” pintanya lemah.

“Ibumu siapa? Rumahmu di mana?”

“Panggilkan saja, cepat panggilkan.”

Belum aku bertanya lagi, pintu mesjid ada yang membuka, dan masuk seorang ibu seusiaan ibuku, usianya kutaksir 50 tahunan.

“Ayo pulang nak, ayo ke rumah,” ucap si ibu pada anak yang sedari tadi menyeret napasnya itu dengan susah, payah.

“Nggak, aku mau disini.”

“Ayo pulang saja, kamu istirahat di rumah.”

“Nggak mau, aku mau di sini.”

Ibunya pun memeluk dia, dan si anak berujar lemah, “Maafin aku bu, aku minta maaf untuk semua salahku.”
 Aku semakin merinding mendengarnya.

“Anaknya kenapa Bu? Punya peyakit asma?”
 Si ibu memandangku karena pertanyaan itu.

“Sudah dua hari ini dia muntah-muntah, mengeluh kepalanya pusing, tidak bisa tidur.”
 Ibu itu memalingkan pandangan dariku ke anaknya. “Ayo kita pulang nak ....”

“Nggak, aku mau disini.”

Aku sentuh tangannya ... sedikit lebih dingin dari suhu tubuhku.

Napasnya semakin cepat. Semakin jelas terdengar. Lama-lama aku ngeri sendiri dengan kondisi ini.

Akhirnya aku berinisiatif untuk memberikan ventolin inhaler itu tanpa peduli dia mengatakan tak sesak atau tak asma, karena jelas-jelas dia kesulitan memasukkan udara ke paru-parunya.

“Buka mulutnya ya,” ucapku perlahan. “Nanti hisap napas panjang dan akan kutekan obat ini, setelah itu tahan sejenak di dada, baru keluarkan lagi napasnya.”

Dia menggelengkan kepala tanpa suara. Menolak.

Aku masa bodoh.
Kuhampirkan saja ujung obat itu ke mulutnya, dia pun membuka mulut itu. Kutekan ventolin-nya. Oksigen dari dalamnya terhembus di dalam mulutnya. Dia menahan napas, kemudian dikeluarkan.

Kutunggu reaksinya ... tak membaik juga. Kuulangi lagi. Tetapi tidak ada perubahan. Padahal sesak napas terparahku saja akan reda dalam semprotan obat kedua kalinya. Tapi, dia tidak.

“Pulang yuk, kita pulang saja,” Ibu itu kembali merajuk, dan jawaban serupa dilontarkan anaknya.

Astaghfirullah ... astaghfirullah,” lirih ucap mulutnya.

Ia kemudian memandangku.
Tatapannya polos.

“Kak, maafin aku, maafin aku.”
Ia mengambil tanganku dan menyalaminya.
Dingin. Tangannya jauh lebih dingin. Suhunya tidak seperti beberapa saat yang lalu saat kupegang. Sekarang jauh lebih dingin.

Ia kemudian menoleh ke jama’ah di belakangnya.
“Pak, maafin aku ....”

Terus memandangi semua jama’ah yang ada di mesjid.
“Semuanya, aku minta maaf.”

“Sudah dimaafkan, sekarang pulang dan istirahatlah di rumah, biar ibumu panggilkan dokter,” semua menjawab sama.
Ia menggelengkan kepala.

Anak itu lantas mendekati imam kami dan mencium tangannya, “Maafin aku pak Haji, maafin.”
Ia terisak. Bersujud di hadapan imam kami.

“Iya, sekarang pulanglah,” itu kalimat kesekian yang serupa dari imam kami.

Anak itu pun kembali dibujuk ibunya pulang, tetap tak mau.
Dia bangkit dari sujudnya, napasnya masih diseret, berat. Kemudian ia melihat ke pojok mesjid dimana tangga menuju lantai dua mesjid ada di sana.

“Kak siapa itu?” Ia menunjuk ke sudut mesjid sambil bertanya padaku.
“Mana? tak ada siapa-siapa di sana!” jawabku bingung.
“Itu yang disitu siapa?”
Ibunya pun mengatakan hal yang serupa dengan ucapanku.

Anak itu kemudian sujud lagi dan berulang-ulang membaca istighfar.

Apa ini?
Kenapa dengannya?
Apakah dia ...
Ah, aku tak berani berandai-andai. Tak lama berselang, kerabatnya datang dari luar mesjid, membujuk, merayu, dan memaksa dia keluar dari mesjid untuk pulang ke rumah sebelum dipanggilkan doketer.

Dia tidak mau. Dia terus bersujud sambil beristighfar.

“Dari semalam dia memaksa ingin shalat di mesjid, sebelumnya tak pernah, tapi sekarang dia memaksa ibu untuk mebawanya ke mesjid,” ucap ibu itu.

Kerabatnya pun berhasil mencengkeram tangan dan pundaknya. Dengan dibantu jama’ah yang lain , anak itu pun terangkat dari sujudnya. Kusaksikan warna kulit wajahnya membening. Bukan memutih, tapi membening. Lebih bersih.

Napasnya semakin cepat, berkejaran.
Diseret. Pendek. Berat.
Sepertinya udara seolah-olah berserat bagi hidung dan paru-parunya.

Dan ...
Ending kisah ini tak mampu kutuliskan.
Tak kuasa kugambarkan, karena kusaksikan sendiri ia dengan mata kepala ini.

Tak bisa, cukup sampai di sini saja.
Yang jelas ia terlentang di atas karpet mesjid.

Tubuhnya melemah.
Matanya sayu, meredup.

Aku menangis menyaksikannya.
Meski aku tak mengenalnya, tapi batinku ciut  melihat kejadian apa yang dialaminyai.

Cukup selesai sampai di sini.
Berakhir.
[ ]

Apakah kalian berfikir aku menulis cerita fiksi?
Apakah kalian menyangka kisah di atas hanya omong kosong belaka?

Bacalah sekali lagi dari atas, perhatikan apakah aku membumbui tulisan ini dengan bahasa-bahasa hiperbola ala khayangan?

Apakah penggamabaran setting tempat begitu detail kulukiskan?
Apakah nama-nama tokoh kumunculkan dengan karakter masing-masing?
Apakah konflik yang ada terkesan diada-adakan?
Maka kalian akan menemukan jawabannya adalah, TIDAK!

Lantas untuk apa kutulis ini?
Apa sekedar untuk menghibur kalian?
Atau untuk menakuti-nakuti para?

Demi Allah, tidaklah aku tulis ini semua, kecuali ketakutanku mendapatkan pertanyaan serupa ini nanti di akhirat:

Apakah engkau menyaksikan pelajaran berujungnya kehidupan di tanggal sekian, bulan sekian, tahun sekian, jam sekian, atas seorang anak di mesjid Al-Hidayah, Garut?
Aku pasti menjawab “Iya, saya menyaksikan.”

Apakah engkau bisa mengambil pelajaran dari kekuasaan Tuhanmu pada kejadian itu?
“Ya, saya memahaminya?”

Lantas, kenapa engkau tidak menyampaikan pelajaran itu pada orang-orang di sekitarmu?
Kenapa engkau tidak memberikan peringatan atas kejadian itu sebagai pelajaran bagi mereka yang masih diberi kesempatan hidup di dunia?

Maka, jika tak kutuliskan ini, aku khawatir mendapat pertanyaan seperti itu dan tak dapat menjawabnya. Sungguh, pertanggungjawaban di akhirat beribu kali lipat lebih berat dari pada di dunia.
Maka ingin kugugurkan kewajiban penyampaian itu lewat tulisan ini.

Dan sekarang, tahukan bagaimana rasanya ditarik ruh dari jasad?

Jawabannya pasti tidak, karena aku (kalian) belum merasakannya, tapi Allah memberikan gambarannya lewat-orang-orang yang selesai masa hidupnya di dunia untuk menuju alam setelahnya. Salah satunya,  ketika Rasulullah shalallahu alaihi wassalam dicabut nyawa;

... ....
Malaikat Maut pun mulai mencabut nyawa Rasulullah. Ketika roh baginda sampai di pusat perut, baginda berkata: “Wahai Jibril, alangkah pedihnya maut.”

Mendengar ucapan Rasulullah itu, Fatimah terpejam, Ali yang disampingnya menunduk semakin dalam, Jibril as memalingkan mukanya.

Lalu Rasulullah SAW bertanya: “Wahai Jibril, apakah engkau tidak suka memandang mukaku? Jibril menjawab: “Wahai kekasih Allah, siapakah yang sanggup melihat muka baginda, sedangkan baginda sedang merasakan sakitnya maut?”
... ....

Itu gambaran kesakitan bagaimana proses dicabutnya ruh, Rasulullah saja yang notabene mahluk paling dicintai dan disayangi Allah, merasakan sakit tak terperi, apatah lagi aku (kalian) yang ... ah tak ada apa-apanya dibandingkan Rasulullah dalam ketaatan, kemuliaan, kedudkannya dihadapan Allah. Beliau shalallahu alaihi wassalam dicabut ruh nya dengan sangat pelan, lembut, berhati-hati, penuh kasih sayang, merasakan sakitnya begitu hebat. Lantas, seperti apakah yang akan aku (kalian) rasakan? Adakah dicabut dari ubun-ubun dengan kasar tanpa belas kasihan?

Oleh karena itu, aku berharap tulisan ini memberi manfaat, bisa dijadikan CERMIN untuk diriku (kalian) dalam usaha mempersiapkan diri, karena aku (kalian) tidak pernah tahu kapan napas TERAKHIR itu tiba.

Bisa jadi tahun depan, mungkin bulan depan, bisa saja beberapa jam lagi, atau mungkin setelah selesai membaca tulisan ini? Wallahu a’lam bishawab.

Maka dari itu ...

“Wahai orang-orang yang beriman, jagalah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (At-Tahrim: 6)

“Setiap kali nyala api Jahannam itu akan padam, Kami tambah lagi nyalanya bagi mereka.” (Al-Isra’: 97)

“Setiap kali kulit mereka hangus, Kami ganti kulit mereka dengan kulit yang lain, supaya mereka terus merasakan azab.” (An-Nisa’: 56)

“Mereka tidak dibinasakan dengan siksa yang dapat mengantarkan mereka kepada kematian (mereka tidak mati dengan siksaan di neraka bahkan mereka terus hidup agar terus merasakan siksa) dan tidak pula diringankan azabnya dari mereka.” (Fathir: 36) [Al-Khuthab Al-Minbariyyah fil Munasabat Al-‘Ashriyyah, Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan, dengan sub judul Fit Tahdzir minan Nar wa Asbab Dukhuliha, 2/164-165]

Sekian.
Wassalamu ‘alaikum warahmatullah wabarakatuh.

Catatan: Jika tulisan ini memberi manfaat dan pelajaran, sampaikanlah pada orang disekitarmu, karena tidak semua orang punya kesempatan dan mau membaca.

Rabb, aku mohon maaf atas terbaginya hati dan pikiranku dalam shalat. Aku memohon padamu untuk memberikan anak itu akhir yang baik, dan tempat tepuji di sisi-Mu
Garut, 12 Agustus 2012,
Kun Geia.

CATATAN KUN GEIA

Friday, August 24, 2012 0 Comments

MELATI [29]: “SEMAKIN DEKAT TUNTASKAN PENANTIAN…”

Friday, August 24, 2012 0 Comments


by Norma Keisya Avicenna on Saturday, August 18, 2012 at 10:42am ·
Jika Allah  masih mentakdirkan kita bersama melewati hari-hari berharga di Bulan Ramadhan, terimalah sekelumit pesan ini, sebagai persembahan tanda cinta dan bukti pemenuhan kewajiban kepada saudaranya.

          Saat sahur pertama pada Bulan Ramadhan lalu, siapa yang ada di sekeliling kita, saudara, ayah, ibu, kakek, nenek, mungkin bersama keluarga besar. Tapi saat ini, masihkah semua berkumpul utuh seperti kemarin? Siapa yang pergi dan siapa yang tinggal?
“Sungguh setiap jiwa itu akan merasakan kematian.” [Q.S. Ali Imran [3] : 185]. “Dan tidak satu jiwa pun yang mengetahui di bumi mana ia akan mati.” [Q.S. Luqman [31] : 34]. Jika tidak ada apapun yang menjamin kita akan tetap hidup hingga esok hari, masihkah ada pilihan untuk menyia-nyiakan kesempatan emas ini?
          Jika Ramadhan ini adalah jatah terakhir di usia kita, semoga kesungguhan dalam beramal, kekhusyukan dalam ibadah dan keikhalasan yang menyertai semua aktivitas, serta jalan meraih taqwa, menggapai ridho Rabbul Izzati.
          Dan akhir dari hari-hari yang penuh kemuliaan, teriring ucapan selamat. Sambut kegembiraan dan kesyukuran pada hari raya yang agung. Hari kemenangan untuk orang-orang yang menang, yang memang layak untuk bergembira.
          “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah  disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam syurga, maka sungguh ia telah beruntung.” [QS. Ali Imran [3]: 185].

          Kepada Allah SWT semata kita berharap dan hanya kepada-Nya pula semua kembali. Salam serta shalawat kepada uswatun hasanah kita Rasulullah Shalallahu'alaihi wassalam, keluarga, sahabat, dan orang-orang yang mengikuti jalannya. Semoga masih ada usia untuk bersua kembali dengan Ramadhan tahun depan yang semoga jauh lebih istimewa… Aamiin Ya Rabb…

 “Akhir penantian itu adalah seumpama kupu-kupu yang siap terbang menikmati taman bumi dengan bunganya yang indah dan harum mewangi. Ia hanya akan muncul setelah melalui proses metamorphosis. Dimulai dengan wujud “TELUR” sebagai “potensi”, lalu berubah menjadi “LARVA”, yang harus bekerja keras untuk mengumpulkan bekal –makanan- sebab tanpa bekal ia akan mati. Setelah itu, ia masuk ke fase penantian akhir yaitu menjadi “KEPOMPONG”. Lalu dengan satu usaha untuk membongkar kulit kepompong, muncullah ia menjadi “KUPU-KUPU” yang siap menjelajahi taman. Ketika ia menjadi telur, larva, dan kepompong, ia tahu wujud akhirnya kupu-kupu yang indah itu. Tetapi tentu saja ia tidak bisa memaksakan fase-fase itu untuk dilewati sehingga tiba-tiba sampai di titik akhir."
[Novel “Rembulan di Langit Hatiku” karya Dan’s (SEISMIC)]

Semoga Allah Yang Maha Menyaksikan senantiasa melimpahkan inayah-Nya sehingga setelah 'kepompong' Ramadhan ini kita masuki, kita kembali pada ke-fitri-an bagaikan bayi yang baru lahir. Sebagaimana seekor ulat bulu yang keluar menjadi seekor kupu-kupu yang teramat indah dan memesona. Aamiin.

 “Selamat datang wahai jiwa-jiwa yang bercahaya. Kita ‘kan raih fajar kemenangan dengan qolbu yang bening, bersinar, dan berenergi untuk melanjutkan perjuangan menuju-Nya, merengkuh jannah-Nya. Ya Rabbi, jiwaku takkan lelah menghitung lembaran yang telah terlewati, hati takkan risau, jua tak ingin berkeluh…” 

TAQOBALALLAHU MINNA WA MINKUM... 

[Keisya Avicenna, lembar ke-29 Ramadhan… T_T]

MELATI [28]: "INI CERITA LEBARANKU, MANA CERITA LEBARANMU?"

Friday, August 24, 2012 0 Comments
by Norma Keisya Avicenna on Saturday, August 18, 2012 at 8:54am ·
Berhubung kemarin saya tidak bisa menulis (beneran, hanya bisa terkapar tak berdaya.hehe) karena harus berjuang untuk satu kata: SEMBUH. Nah, di MELATI [28] ini saya hanya ingin mengenang kembali episode LEBARAN saya tahun lalu yang pastinya akan sangat berbeda dengan lebaran tahun ini. Berbeda karena mbah Kakung sekarang sudah dipanggil Yang Maha Kuasa, berbeda karena lebaran kali ini keluarga kita sudah bertambah (saya punya kakak ipar, saya punya keponakan mungil yang bernama "Keisya Restu Ramadhani"), berbeda karena lebaran tahun ini tanpa kehadiran mysupertwin karena ia lebaran di Bengkulu... Sipp, simak ya. Ada harunya, ada ketawanya, dan yang pasti semoga dapat diambil manfaatnya...

LEBARAN 1432 H
Episode Seharu BIRU
Akhirnya, setelah merenung semalam suntuk, Nungma nemu juga singkatan BIRU buat melengkapi tema KYDEN di hari Lebaran. Kenapa BIRU? Karena setelah tahun kemarin kita kompakan pake baju Lebaran warna merah marun, tahun ini kita kompakan pake kostum warna BIRU. Kalau MERAH MARUN tahun kemarin juga ada maknanya. MERAH MARUN: “[ME]nuntun ke a[RAH] mata angin bahagia : sebuah [M]et[A]mo[R]fosa kehid[U]pa[N]”.
Hehe…(agak maksa dikit tak apalah)

Kalau BIRU tahun ini:
[B]erpendar cahaya kemenangan
[I]ringi gema takbir berkumandang
[R]aih kebahagiaan sejati di hari nan fitri
[U]cap kata MAAF dari kami, tulus dari hati…
Yah, kami keluarga besar dari Istana 5 Cinta, KYDEN, mau ngucapin
Taqabalallahu minna waminkum…
Selamat Hari Raya Idul Fitri 1432 H
Mohon maaf lahir dan batin

Tanggal 31 Agustus 2011, Lebaran euy! Sedih juga karena harus berpisah dengan bulan mulia, bulan yang akan senantiasa kita rindukan setiap tahunnya. Semoga semangat Ramadhan senantiasa membara dalam hati-hati kita pasca Ramadhan. Dan semoga kita bisa bertemu lagi dengan Ramadhan tahun depan dalam kondisi yang lebih “ISTIMEWA”. Semoga…

Setelah sholat Ied, saatnya Halal Bihalal sederhana di rumah Pak RT. Nung sempat menangkap 2 pasang mata yang sembab. Duh, benar-benar ada yang menderas di hati. Sepasang mata dari seorang laki-laki paruh baya yang Nung yakin ada kerinduan mahahebat melanda hatinya. Kerinduan pada anak laki-laki bungsunya yang 3 bulan lalu meninggal dunia karena kecelakaan. Sepasang mata lagi dari seorang ibu paruh baya yang tengah menggandeng seorang anak perempuan dengan rok muslim yang Nung kira dulu gak bakalan cukup, ternyata cantik sekali setelah Denis –nama anak kecil- itu kenakan. Ah, Nung yakin ada kerinduan mahahebat pula yang melanda hati ibu itu. Kerinduan pada anak perempuan yang setahun lalu pergi untuk selamanya menjemput kehidupan abadi (Almh.Erna). Erna adalah sahabat kecilnya SUPERTWIN. Anak yang tengah digandeng ibu itu adalah anaknya Erna. Denis, yang belum sempat mengenal lebih dekat sosok ibu kandungnya. Denis yang kini menjadi anak yatim, wajahmu mengingatkan kami dengan mendiang ibumu, teman sepermainan kami dulu… Hikzhikz, lagi-lagi ada yang harus menderas di hati.

Suasana haru episode perdana, seharu BIRU episode selanjutnya saat KYDEN saling “sungkeman”. Seperti tahun-tahun sebelumnya, urutan perdana Ibuk sungkem Babe, Mas Dhody-Babe-Ibu, Mbak Thicko-Babe-Ibuk-Mas Dhody, dan yang terakhir si bontot lah… Huaaa, nangis kenceng banget!!! ^^v.

Terus sarapan part 2 di rumah Budhe (mbaknya Ibuk) dengan menu yang khas: sambel goreng ati sapi’i. Mantabz! Silaturahim ke rumah beberapa tetangga deket rumah, tyuz foto-foto berlima di depan rumah. Guayeng puol! Full ketawa-ketiwi. KYDEN memang kompak konyolnya. Hihi…

Episode Pulang Kampung KYDEN
Jam 08.45 semuanya dah siap. Para pengantar (keluarga Pakdhe Sastro, likes: anak, menantu, putu) sudah siap di depan rumah dengan sepeda motor masing-masing (kayak arak-arakan aja. Hehe). SUPERTWIN sama Babe ‘n Ibuk dianter sampai cegatan bis. Sempat foto-foto dulu. Haha, dasar! Tak perlu nunggu lama, kami ber-4 pun dapat minibus yang akan membawa kami menuju Terminal Baturetno. Duduklah kami di deretan jok paling belakang dan kemudian asyik dengan kesibukan masing-masing. SUPERTWIN seperti biasa tangan kiri pegang HP tangan kanan ngemil. Babe dan Ibuk juga asyik ngobrol kadang-kadang ikutan ngemil juga. Haha, seru banget lah! Kalau Mas Dhody lebih memilih mudik dengan si Vega Merah kesayangannya.

Kurang lebih satu jam-an kemudian, sampailah kami ber-4 di Terminal Baturetno. Sudah ada ponakan yang njemput di sana. Uhuy… perjalanan pun dilanjutkan dengan mobil jemputan menuju sebuah desa kecil sebelah selatan Kota Wonogiri. Namanya Desa Nawangan, Platarejo. Medan yang kami lalui tidak seberat tahun-tahun sebelumnya. Duluuu banget masih nggronjal-nggronjal gitu sekarang dah lebih alusan.

Catatan Lebaran Hari Pertama di Rumah Simbah
 Alhamdulillah, sampai juga di halaman depan rumah simbah. Rumah simbahnya SUPERTWIN (bapak dan ibuknya Babe Alhamdulillah masih komplit lho!) itu letaknya pualing puojok puol. Dikelilingi perbukitan, gunung, dan alas (hutan). Sekitar 5 meter dari depan rumah ada sungai kecil tapi kali ini sedang kering. Banyak pohon buah di pekarangan simbah. Romantisme alam raya yang sungguh eksotis!

Simbah sekarang dah gak punya sapi, ternaknya tinggal beberapa ekor kambing, ayam, burung perkutut, dan dua ekor kucing. Hm, pasti salah satu namanya si Manis. Hehe. Si mbek juga tengah berbahagia karena habis melahirkan dua ekor anak mbek yang warnanya sungguh awesome. Hitam legam, cuma ada bagian putih di dekat bantalan kakinya. Kayak bersepatu gitu… Trus ada warna putih juga di jidatnya (tapi bukan bekas sujud.. hehehe)

Lanjut deh sungkeman dengan simbah berdua, om-om, bulik-bulik (cantik-cantik dengan jilbab model kembaran ^^v), main-main dengan para ponakan. ‘n adegan paling favorit pas nggendhong dedek bayi. Dah patut, ya? Babe ‘n Ibuk pun bilang ‘n minta doa kepada semua yang ada di situ, semoga lebaran tahun depan anggota keluarga KYDEN dah bertambah. (huaaaaa…Aamiin. Ngamininya banter banget ‘n penuh semangat. Hehe)

Seru-seruan selanjutnya pas makan siang bareng. Lauk spesial olahan daging enthog hasil ternak sendiri buah karya kolaborasinya Babe ‘n Ibuk. Mantabz dah... (keuntungan luar biasa punya babe ‘n ibuk yang jago masak, kalau anaknya jago nyicip soalnya bakat “master chef”-nya belum maksimal terexplore ^^v).

Sore hari, kita door to door silaturahim ke keluarga dekat sambil menghirup aroma sore menjelang senja, menikmati suasana pedesaan. Uhuy! Foto-foto bergaya “aneh”… :)

Satu lagi hal unik, di tempat simbah tu sinyal IM3 masih sulit, kadang ada kadang nggak (kenapa ya tadi pas berangkat gak beli sinyal dulu?). Haha, sangat mempengaruhi keterbalasan sms yang masuk serta keupdatean dunia facebook. Yadah, dinikmatin saja. Malah lebih tenang bisa jauh-jauhan bentar ma HP. Kalau Mas Dhody ribut cari sinyal dengan naruh HP-nya di atas genting rumahnya Om Moel (depan rumah simbah). Emang bener jadi ada sinyal ogh! Haha. Ada satu cara lagi yang konon dipercaya oleh penduduk desa itu kalau bisa manggil sinyal (hah, kayak apa aja). HP ditaruh di dalam gelas dengan posisi terbalik. Percaya gak percaya, ternyata cara ini pun kadang ampuh juga. Dan kakak SUPERTWIN yang super jangkung itu pun berhasil membuktikannya. So, bisnis pulsanya tetap jalan meski kita sedang “naik gunung”. Ckikik… sinyal oh sinyal…

Ohya, jadwal nonton film hari ini: Laskar Pelangi, Rumah Tanpa Jendela, dan Rindu Purnama. Wah, mantabz!

Catatan Lebaran Hari Kedua di Rumah Simbah
Ada rutinitas pagi pasca semua sudah shalat Subuh, tepatnya jam 05.00 pagi. “Wedangan”. Semuanya berkumpul di meja makan yang terletak di dapur. Ada perapian di sana alias simbah masih pake “blarak” (daun kelapa kering) dan kayu bakar sebagai bahan bakar di pawon. Padahal sudah ada subsidi kompor gas. Tapi lebih suka pake kayu bakar.
 Si Manis lagi asyik menghangatkan diri sambil duduk di potongan kayu. Damai gitu tampangnya. Nungma colek deh tu kucing. Kaget! Hahaha…(tampang damainya jadi semrawut…)

Setelah semua ngumpul, ditemani gelas-gelas yang berisi teh panas, beberapa toples berisi penganan khas Lebaran, dan mulailah bercerita. Simbah bernostalgia tentang masa lampau.

Nung baru tahu kalau Mbah Kakung itu lahir tahun 1925. Nungma rekam dengan manis dan rapi di memori buat nambah referensi penulisan novel Istana Lima Cinta ^^v. Mbah Putri pun cerita tentang kehidupan sebelum kemerdekaan saat terjadi “bencana pagebluk” yang mengakibatkan saudara-saudaranya meninggal dunia secara bersamaan dalam tempo yang cukup singkat. Babe pun tak mau kalah urun suara. Selalu saja Babe bikin suasana pagi itu heboh dan penuh gelak tawa. Babe cerita tentang perjuangan hidupnya di masa kecil, tentang keusilan dan kenakalannya yang masih dikenang orang (teman-temannya) sampai sekarang. Pokoknya seruuu bangeeeeet!!!

Kelar obrolan pagi jam 06.00, semuanya bangkit dari tempat duduk masing-masing dan mulai beraktivitas. SUPERTWIN bersih-bersih rumah, sarapan, dan bersiap silaturahim ke rumah Gestin di Giritontro. Sambil nunggu kakanda tercinta bersiap ‘n sepupu yang mau njemput, akhirnya SUPERTWIN pun asyik cari obyek yang unik dan cocok buat mengabadikan moment alias poto-poto. Paling seru ya pas poto bareng bayi mbek yang warnanya item itu. Lucu banget deh! ^^v

Episode silaturahim di Giritontro pun tak kalah hebohnya. Hm, akhirnya banyak SMS masuk, bisa update status karena sinyal full. Bernostalgila bareng Gestin dan keluarga Kepala Suku sampai jam 13.30. Pulangnya mampir toko di pinggir jalan, beli es krim. Pas mantabz dah, apalagi cuaca panas…
Makan sore bareng dan lanjut baca novel 5 cm…

Catatan Lebaran Hari Ketiga di Rumah Simbah (Episode Huru-Hara)
Ngeteh sambil ngobrol bersama lagi dengan topik yang berbeda.
Pagi ini KYDEN packing karena hari ini harus kembali ke rumah. Sarapan pagi bareng kemudian pamit-pamitan. Heuheu… pasti bakal kangen semua, bakal kangen sambel terasinya Mbah Putri, kangen nasihatnya Mbah Kakung, kangen olok-olokan sama Om-Om, kangen ledek-ledekan sama Bulik-Bulik, kangen gojekan sama para sepupu ‘n ponakan, kangen ma si mbek item, banyak deh yang bakalan dikangenin.

Mbah Kakung dan Mbah Putri pun duduk di kursi bambu depan rumah saat SUPERTWIN bersalaman, minta doa restu, dan pamitan. Heuheu…

Inget pesen Mbah Kakung, “Sopo sing temen bakal tinemu, sing tekun bakale tekan. Sing eling lan waspodo! Ojo melik barang sing melok. Kesusu selak muluk malah keselak.” Huah, so filosofis dan berbobot. Pas Mas Dhody nasihatnya ditambah juga, “jejodhoan kie angel, nek wis wancine bakal ketemu jodhone.” Kalau Nung dulu juga dapat nasihat soal jodoh, “Sing penting imane. Ojo nganti bedho agama!”. Siiip, siap Mbah! Yang penting sholeh dan AMANAH… ^^v Kalau versi mbak Thicko : SMART! Uhuy!

SUPERTWIN salut banget dengan simbah, meski usianya dah 86 tahun beliau sangat rajin sholat, puasanya Ramadhan kemarin sama sekali gak bolong, Mbah Kakung dan Mbah Putri yang sangat inspiratif!

Akhirnya, saatnya berpisah. Ups, ada satu tas berisi “bekal SUPERTWIN” yang masih tertinggal di depan TV. Buru-buru Nung melepas sandal dan mengambil tas itu. Bergegas keluar rumah, pake sandal, salaman dengan Bulik Ruli dan Om Moel kemudian mbonceng sepupu yang dah siap di motor. Uhuy…

Nung sempat menangkap salah seekor dari mbek item (yang belum sempat kita namain) duduk manis di samping kandang. Kayaknya tu bayi mbek pengin ngungkapin sesuatu, namun tak terucap. “Kelayu” alias berat berpisah mungkin. Ngik!
Terjadilah iring-iringan super heboh menuju rumah Bulik Asih sebelum nyegat mini bis. Lha pada mainin klakson sepeda motor je… (termasuk Babe.haha)
***
Dan kehebohan pun terjadi…

Babe, Ibuk dan Om Wid -yang bantu bawain travel bag- dah sampai di rumah bulik dan duduk-duduk di teras. Suasana yang semula datar-datar saja mendadak hebring setelah Bulik Asih berdiri kemudian tanya sambil menunjuk ke arah Nungma. “Kui thik sandale bedho?”. (Baca : Kok itu sandalnya beda?)

 Nung pun melihat ke arah bawah. Sontak semuanya ketawa ngakakngikikngukukngekekngokok. Ngik! Semuanya kepingkel-pingkel. Tak terkecuali Nungma. Sumpah, sandal yang Nung pake selen, sodara-sodara! What is the meaning about “SELEN”? Selen is ketuker, kebalik, bukan pasangannya. Begitu arti yang terdapat dalam kamus bahasa gaul karangan Tatang Sutarman. Gek selen-e parah! Masak “sandal cantik” selen sama sandal jepit warna merah. Selen-nya di sebelah kanan tapi selen-an sandal yang Nung pake malah sandal sebelah kiri. Suer sodara-sodara, Nung sejak awal bener-bener gak nyadar. Nung baru inget pasti kejadian ini bermula pas Nung buru-buru ngambil tas yang ketinggalan tadi.

Mbak Thicko dan Mas Dhody pun ikutan ketawa meskipun ketawa mereka telat! Gara-garanya mereka tadi agak jauh dari rombongan yang datang awal karena harus ngambil barang Mas Dhody yang ketinggalan. (Nah, di episode ngambil barang yang ketinggalan ini, berdasarkan cerita dari Mbak Thicko, Mas Dhody pun bikin kekonyolan waktu markir si vega merah. Tu motor dia parkir bukan di tempat yang “wajar” namun malah di dekat kandang kambing. Kakaknya SUPERTWIN itu memang punya kekonyolan di atas rata-rata, di ambang batas normal ^^v).

 Hah, pagi-pagi dah bikin heboh orang sekampung! Babe aja ketawa gak berhenti-berhenti. Wah, nambah koleksi cerita konyol pas Lebaran nih! Apalagi saat Putut –sepupu SUPERTWIN- yang didelegasikan ngambil sandal yang sebelah, balik lagi ke rumah Simbah (yang jaraknya lumayan jauh). Dia cerita kalau di rumah Simbah pun jadi heboh banget, simbah juga mpe kepingkel-pingkel. Haha… Seruuuuu! Tragedi “sandal selen” ini pasti bakalan kita kenang setiap tahunnya. Tahun depan pasti bakal jadi salah satu topik dan bahan obrolan pagi di rumah simbah. Sendal oh selen... Uhuy…
***

Permudikan yang super asoy geboy dah…
Akhirnya, perjalanan KYDEN sampai juga di Istana 5 Cinta setelah sebelumnya mampir nge-bakso bareng-bareng dulu di warung baksonya Pak Doel depan Pom Bensin Mawar.
Hm… Lapeeeeer! (bergaya ala bocah rambut keriting di iklan minyak goreng).

Hyaaaaaaa, ini cerita lebaranku…mana cerita lebaranmu?

[Keisya Avicenna, personil paling bungsu-nya KYDEN]
Pembaca Pertama + Editor : Aisya Avicenna personil “E” –nya KYDEN ^^v

Kangen petuah bijak Mbah Kakung... T_T