Jejak Karya

Jejak Karya

Monday, June 22, 2020

PERMATA PENGALAMAN DALAM ROMANTISME PERJALANAN




Alhamdulillah, segala puji hanyalah milik Allah Swt Sang Penggenggam Kehidupan juga Kematian. Tak ada kisah terindah yang terhampar di muka bumi ini kecuali Allah hadirkan hikmah.

Atas izin-Nya dan diri ini selalu merasa “saat Kun Fayakuun-Nya bekerja sepenuh energi cinta”.
Saat Mas Sis memberikan hadiah terindah untukku usai ijab qabul terlaksana.
Hafalan Surat Ar Rahman.

10-11-12
Tanggal impian. Ya, inilah tanggal impian pernikahan yang pernah aku tuliskan di catatan dream book Doraemon-ku. Dan Allah Swt izinkan aku menikah dengan seseorang yang sungguh: ia adalah mimpi-mimpi dan do’a-do’aku selama ini. Banyak sahabat yang kemudian bilang, “Ini buah yang sangat manis dari kesabaran dan perjuanganmu selama ini, Nung!” 

Masya Allah, Allah begitu baik, teramat sangat baik, sungguh Maha Kasih jua Maha Sayang. Terima kasih Ya Rabb… dan AMANAH menjadi seorang istri bukanlah amanah yang main-main. Maka nasihat untuk diriku: “Berjuanglah Nung! Berjuanglah untuk menjadi seorang ISTRI yang SALIHAH!”

[*]

10-11-12
Tanggal paling bersejarah dalam hidupku. Alhamdulillah, aku menikah dengan sosok laki-laki salih pilihan-Nya. Sejak hari itu, semuanya terasa semakin istimewa. Hari-hari menjadi lebih bermakna karena ada tempat labuhan segala rasa.


Sepekan setelah aqad nikah dan ada walimatul urs sederhana di Wonogiri, kami mengadakan tasyakuran “download mantu” di Klaten, di rumah suami. Sepekan setelah itu, tepatnya tanggal 22 November 2012, aku pun “diboyong” suami untuk hijrah ke Bogor. Waktu itu, suami memang sedang bekerja di Bogor. Malam tanggal 22 November itu menjadi malam yang tidak akan pernah aku lupakan.

Kami berdua sudah dibelikan tiket kereta api Semarang-Jakarta oleh kakak iparku(Mas Puji, kakak laki-lakinya Mas Sis). Malam itu pula, ada semacam farewell party di RM Padang “Sederhana” di Jalan Pandanaran. Makan malam bersama keluarga: Mas Puji, Mb Ani, Azfa, Akmal, dan Mbak Win. Setelah makan malam, kami diantar ke Stasiun Tawang. Sungguh perpisahan yang cukup mengharukan. Rasanya baru kenal dan mendapatkan keluarga baru, namun kami akan terpisah jarak dan waktu.

Pun dengan keluarga Wonogiri. Saat masih kuliah di Solo dulu dan harus ngekos, kalau misal kangen, bisa langsung segera pulang. Karena jarak Solo-Wonogiri bisa ditempuh paling lama 2 jam perjalanan dengan 2x naik kendaraan umum (angkot kuning kecil lanjut bis jurusan Solo-Wonogiri). Namun, kini? Jarak Bogor-Wonogiri terasa sangaaat jauh.

Dari awal berkenalan dengan Mas Sis sampai aqad nikah, hanya berlangsung selama 44 hari. Dan kini aku harus bertualang bersama sosok laki-laki yang bagiku masih sangat terasa asing, karena semuanya terasa begitu cepat dan singkat sehingga aku merasa belum benar-benar mengenalnya secara utuh. Tapi, inilah episode petualangan di lembar kehidupan baru yang harus aku jalani. Ini akan menjadi traveling pertamaku dengan sosok sang pangeran kunci surga.

Sambil menunggu kereta datang, aku dan Mas Sis duduk di kursi tunggu. Waktu itu, Mas Sis memakaikan jaket abu-abu kesayangannya yang hingga sekarang jaket itu masih aku pakai dan menjadi salah satu jaket kesayanganku (karena Mas Sis sekarang sudah tidak muat lagi mengenakannya. Hihihi). Adegan yang dulu hanya bisa aku lihat di sinetron kini aku merasakannya sendiri. Ihiiiir…

Ada satu episode dimana aku menceritakan kegundahan hatiku kala itu. Beragam emosi campur aduk jadi satu: sedih, takut, cemas, bahagia, optimis, juga penuh harapan baik, semuanya benar-benar nge-blend jadi satu.

Mas Sis merangkul pundakku, lalu berkata,”Bismillah, tenangkan hatimu, Sayang. Sekarang kamu punya Mas yang akan menjagamu dan selalu ada untukmu dalam suka dan duka. Kita nikmati petualangan baru bersama… Semoga Allah ridho dan mudahkan semuanya.”

Mataku pun mendadak berembun. Ya, kini dialah sosok laki-laki pengganti Babe. Tanggung jawab Babe atasku sudah beralih kepadanya sejal lafaz ijab qabul itu terucap.

Tatkala kereta mulai beranjak meninggalkan Stasiun Tawang, keharuan itu rasanya semakin membuncah. Laki-laki yang kini bahunya menjadi tempat sandaranku akan menjadi sahabat perjalananku sekarang dan selamanya, semoga sehidup sesurga. Bismillahi tawakaltu laa hawla wa laa quwwata ila billah…
            
Paginya kami tiba di Jakarta, lalu istirahat sejenak. Perjalanan kami lanjutkan dengan naik KRL jurusan Stasiun Bogor. Dari Stasiun Bogor kami naik angkot hijau, lalu sempat berjalan kaki untuk sampai rumah yang akan kami tempati.

Waktu itu, aku sama sekali belum ada bayangan nanti tempat tinggal kami seperti apa. Mas Sis hanya pernah menyampaikan kalau Alhamdulillah dapat kos-kosan yang jaraknya cukup dekat dengan tempatku bekerja nantinya. Waktu itu, aku masih berstatus sebagai pengajar di Ganesha Operation (GO) Wonogiri, setelah aku mutasi dari GO Solo. Kemudian aku pun mengajukan mutasi untuk pindah ke GO Bogor. Hanya beberapa hari sebelum mudik untuk persiapan menikah, Mas Sis mendapatkan kos-kosan itu. Katanya, dia baru sempat bersih-bersih dan memindahkan sebagian barang-barangnya dari mess dekat kantornya bekerja di Sentul. Sambil menenteng koper besar bawaan kami lalu membukakan gembok pintu gerbang, Mas Sis bilang, “Alhamdulillah, sampai. Dek, ini tempat tinggal sementara kita selama di Bogor. Semoga betah, ya.” Aku mengiyakan.

Lalu, tatkala membuka pintu masuk dan mengucapkan salam, Taraaa…!
Ada boneka Doraemon berukuran super jumbo di sana. “Dia yang akan menemanimu saat Mas harus pergi bekerja,” kata Mas Sis, lalu kupukul-pukul manja pundaknya. Kami pun tertawa bersama. Boneka Doraemon super jumbo itu langsung aku beri nama “Sisemon”. Wkwkwk.

Kos-kosan itu terdiri dari beberapa rumah kecil berderet. Ruangannya memanjang ke belakang, tidak terlalu luas. Teras sangat sempit, mungkin nanti hanya cukup untuk meletakkan sepeda motor Mas Sis. Bagian atasnya untuk jemuran. Terus ada 4 ruang utama: ruang depan, ruang tengah yang kami gunakan sebagai tempat tidur, ruang dapur, dan kamar mandi. Di bagian dapur ada space kecil untuk mencuci baju. Saat aku tiba di kosan ini, belum ada fasilitas apa-apa. Lampu belum dipasang semua, kasur belum ada, lemari pakaian belum ada, apalagi peralatan dapur. Semuanya masih benar-benar kosong. Di ruang tengah hanya ada kardus besar berisi pakaian Mas Sis dan sebuah sprei baru. Kami pun mulai beres-beres dan bersih-bersih. Karena capek, Mas Sis belum bisa ke Sentul untuk mengambil sepeda motornya. Jadi, kami belum bisa kemana-mana untuk belanja keperluan rumah. Malam itu pula, kami terpaksa tidur beralaskan lembaran kardus dan dialasi sprei baru warna ungu semu pink merk Kintakun. Selain itu, kosan kami juga masih dalam kondisi cukup gelap karena baru satu lampu di ruang depan yang menyala. Sebelum akhirnya terlelap, kami ngobrol banyak hal tentang rencana-rencana ke depan.

Keesokan harinya, kami jalan kaki untuk sarapan bubur ayam. Lanjut mampir ke sebuah toko perlengkapan rumah tangga. Kami memutuskan untuk membeli karpet (karpet Doraemon ungu) dan kasur busa tipis. Ya, kami harus berhemat karena keperluan yang harus dibeli masih sangat banyak. Barang ketiga yang kami beli yakni lampu. Mas Sis hari itu juga minta izin untuk ke Sentul mengambil sepeda motornya sekaligus mengambil beberapa barang dari mess-nya dulu (termasuk beberapa peralatan masak: wajan, panci, dan cobek yang masih awet hingga sekarang).

Sebelum akhirnya kami beli kompor gas dan magic com, kami jajan. Hari kedua di Bogor, Mas Sis sudah kembali bekerja. Sore jam 5 baru sampai rumah karena jarak dari Sentul ke kosan (daerah Baranangsiang) cukup jauh, sekitar 1 jam perjalanan. Selepas Magrib, kami keluar untuk makan malam lanjut hunting keperluan rumah. Kami belanja berbagi keperluan rumah tangga di ADA Jalan Pandanaran, lokasinya dekat Gramedia.

Aku langsung heboh sendiri dan spontan bilang ke Mas Sis, “kalau Mas Sis pas kerja, adik boleh ya mbolang ke situ,” sambil nunjuk Gramedia. Mas Sis pun mengiyakan diiringi sebuah senyuman. Duh, langsung loncat-loncat kegirangan. Tinggal naik angkot sekali, palingan nggak sampai 10 menit sudah sampai Gramedia. Uhuuuy!

Ada satu momen yang membuat kami surprise kala tiba di Bogor waktu itu. Saat kami disuruh memilih mau kado apa dari sahabat-sahabatnya Mas Sis di kantor: mesin cuci atau kulkas. Tentu saja, kami memilih kulkas. Alhamdulillah, setelah sepekan kami tinggal di kosan itu, kulkas merk LG hadiah untuk kami datang (kulkas itu masih kami gunakan hingga sekarang). Kami jadi lebih leluasa untuk nyetok bahan masakan, apalagi setiap hari ada barisan tukang sayur dorong yang lewat depan kosan.

Keseruan selanjutnya adalah saat aku harus mengakui bahwa sang suami tercinta jauuuuuh lebih jago memasak daripada istrinya ini. Wkwkwk. Mas Sis-lah orang pertama yang mengajariku cara memasak sayur asem. Dengan penuh kesabaran doi menjelaskan bahan-bahannya juga cara memasaknya. Mas Sis juga yang menemaniku berbelanja ke tukang sayur. Aku ditraining memasak sayur asem tidak hanya sekali, aku belajar  sampai mendapatkan rasa sayur asam yang pas di lidahnya. Aku bisanya masak baru menu-menu standar saja: mie rebus, nasi goreng, sop ayam, sayur bayam, telor ceplok, telor dadar, plus masak air. Hihihi. Masak tumis kangkung saja pakai acara SMS Ibuk Wonogiri nanya resep. Ya, Ibuk sangat berjasa dalam proses belajar memasakku setelah aku bergelar seorang istri. Kalau HP Nokiaku masih hidup, di Outbox-nya masih banyak tersimpan resep-resep dari Ibuk saat awal aku menikah dulu.

Difoto Mas Sis saat menikmati bubur ayam dan kemewahan pagi di Puncak-Bogor.
Aku memakai jaket abu-abu pemberian Mas Sis.


Pengalaman traveling yang istimewa bersama Mas Sis adalah saat kami motoran dari Bogor ke Bandung. Sehabis Subuh kami berangkat. Sesampai di Puncak, kami berhenti terlebih dulu untuk sarapan bubur ayam dan menikmati kemewahan pagi. So romantic moment! Walaupun ini bukan pertama kalinya aku ke Puncak, tapi bersamanya memang jadi pengalaman traveling pertama. Dulu saat kuliah, aku 2x ke Bogor. Pertama, saat jadi praktikan yang kedua saat jadi asisten mata kuliah Taksonomi Tumbuhan. Kuliah Kerja Lapangan (KKL) kami tujuannya ke Kebun Raya Bogor, Taman Bunga Cibodas, dan LIPI. Terus pernah traveling bersama keluarga Wonogiri juga. Saat perjalanan pulang dari Palembang, kita mau mampir Bandung lewat Bogor. Nah, mobil kami sempat mengalami kerusakan rem, sampai tercium bau gosong saat menanjak di jalanan Puncak. Kami pun beristirahat cukup lama di Puncak, berjam-jam, sebelum akhirnya mobil bisa diperbaiki dan kembali meneruskan perjalanan ke rumah saudara di Bandung.

Lanjut cerita mbolangku bersama Mas Sis, ya. Nah, saat tengah perjalanan menuju Bandung, aku mulai mengantuk. Hihi. Akhirnya diputuskan aku naik bis dan kami akan bertemu di pintu masuk terminal Leuwi Panjang-Bandung. Mas Sis melanjutkan perjalanannya dengan sepeda motor. Alhamdulillah, kami jumpa kembali dan perjalanan dilanjutkan ke rumah saudara kami di Bandung. Seruuu sangat kalau ingat!

Saudari kembar dan kakak ipar (Mamiko dan Papiped) yang tinggal di Jakarta Timur, beberapa kali juga ke Bogor. Kakak perempuan pertamanya Papiped tinggal di Bubulak. Kami pun pernah menginap di sana saat malam tahun baru 2013. Bakar-bakaran jagung. Terus jalan-jalan bareng.

SUPERTWIN and SUPERGUARD.
Saat kami menikmati kepiting asam manis dan ca kangkung usai keliling Bogor.

Banyak pengalaman perjalanan yang seru, menyenangkan, bahkan menegangkan yang pernah aku alami bersama Mas Sis saat kami tinggal di Bogor. Kami pernah menempuh perjalanan dengan sepeda motor ke Cileungsi yang waktu itu hujan turun sangat deras dan jalanan macet parah. Benar-benar menegangkan karena jalanan seperti banjir lumpur saaat kami melewati kawasan pabrik dan perindustrian. Pernah juga kami motoran dari Bogor ke Jakarta untuk mengantarkan pesanan bebek ungkep ke salah satu reseller. Waktu itu, salah satu usaha di perusahaan Mas Sis (yang ia rintis bersama temannya) adalah peternakan dan pengolahan bebek dari hulu ke hilir. Alhamdulillah “Spesial Bebek Ungkep” itu cukup laris manis.

Oh ya, aku baru kembali bekerja di GO Bogor sekitar pertengahan Desember. Alhamdulillah, teman-teman kerjaku yang baru sangat baik dan lingkungan kerjanya juga sangat menyenangkan. Biasanya, aku berangkat ke GO naik angkot, pulangnya baru dijemput Mas Sis. Setelah itu, biasanya kita makan malam bersama jika tidak masak.
[*]

Satu jejak istimewa petualangan kami di Bogor adalah saat aku bisa berlama-lama di Masjid Andalusia, lokasinya dekat dengan STEI Tazkia di Sentul. Aku pernah menulis pengalamanku saat ke sana di buku harianku dengan judul “JEJAK CINTA DI ANDALUSIA”. Ini cuplikannya…

Bogor, sebuah kota impian yang dulu benar-benar aku impikan (selain kota Bandung) untuk mengukir jejak cinta bersama sang kekasih tercinta di kota ini. Lagi-lagi Allah izinkan impian itu menjejak nyata. Allah Swt memilihkan BOGOR sebagai kota cintaku.

Hm, ada kisah menarik yang ingin aku ceritakan. Kemarin sore, pasca silaturahim ke rumah sahabat dan ngumpul bareng rekan kerja kekasih hatiku, kami berdua singgah di Masjid Andalusia, kompleks kampus STEI TAZKIA karena azan Asar sudah berkumandang. Kereeen euy masjidnya. Masya Allah. Ada sosok keren di balik kampus ini. Siapa lagi kalau bukan Ustaz Syafii Antonio.

 Kembali aku temukan ke-Maha Besar-an Mu, Ya Rabb. Betapa aku khusyuk tertunduk saat menikmati lukisan nan memesona yang tertangkap oleh retina. Lihatlah Nung di hadapanmu itu! Gumpalan awan hitam yang semakin lama semakin berat menahan beban. Dan selang beberapa saat kemudian, air mata langit pun tumpah tak terbendung, menjelma batang-batang air yang jatuh menghujam bumi…
Arahkan pandangan matamu bergeser ke sebelah kiri, Nung! Kau kan dimanjakan dengan hamparan permadani hijau lewat bukit-bukit yang membentang. Rapi. Sungguh rapi! Dan nikmatilah tempat berpijakmu saat ini! Kau tengah berada pada lingkungan sebuah gedung nan indah, megah, dan mewah. Dan lihatlah benda kubus hitam yang kini terguyur hujan itu Nung! Benda hitam itu adalah miniatur Ka’bah yang berdiri gagah di tengah lapangan gedung perkuliahan STEI Tazkia itu. 

Masya Allah, entah dengan aksara yang seperti apa aku melukiskan itu semua. Seketika mataku langsung terpejam, aku visualisasikan semuanya. Aku kepalkan tanganku erat. Lalu aku hadirkan satu per satu wajah orang-orang terkasih. Tergambar jelas pada imajinasiku, kita semua berpakaian serba putih. Pakaian ihram. Kemudian kalimat talbiyah pun membahana, mengagungkan asma-Nya. Kita thawaf 7x dengan hati yang hanyut akan kebesaran-Mu, dengan linangan air mata taubat yang senantiasa mendamba ampunan-Mu. Aku biarkan hening menguasai qalbuku berteman iringan orkestra hujan. Seketika hatiku pun semakin sejuk… syahdu! Aku buka mataku perlahan dan aku bangkit dari tempat dudukku kemudian dari tempatku berdiri aku tatap lekat-lekat kaligrafi besar bertuliskan “ALLAH” yang ada di mihrab masjid Andalusia itu. Lagi-lagi aku merasa sangaaat kecil, teramat kecil dan bukanlah siapa-siapa di hadapan-Mu Ya Rabb. Hatiku pun kembali sejuk dan aku dapati ada butiran kristal bening kerinduan yang perlahan mencipta jejak di kulit pipi. Aku rindu menatap wajah-Mu Ya Rabb, aku rindu perjumpaan istimewa dengan-Mu. Aku rindu…

Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?
Kepadamu Andalusia,
aku ingin kau tetap menyimpan setiap denyut nadi yang berdetak
dan degub cepat debar jantung
saat mataku memaku teduhnya pijakanmu di bumi cinta-Nya
kala itu, disela derai gerimis menyapu semesta
kala pertama kita bersua di temaram senja..."
Aku pasti merindukanmu, Andalusia...


Masjid Andalusia. Lokasi: Sentul, Bogor.


Terima kasih untuk suami tercinta yang telah mengajakku mencipta jejak kelana yang sangat istimewa di Andalusia.

[*]

Satu-satunya foto berdua dengan setting di kos-kosan. Dan hasilnya... buram. wkwkwk.
Pakai HP Blackberry-nya Mas Sis.

23 November 2012 kami memulai jejak baru di Bogor dan 23 Februari 2013 kita pulang ke Semarang.

Ada sebuah episode sebelum 23 Februari itu saat Mas Sis mengajakku jalan-jalan pagi. Di bawah sebuah pohon rindang ada bangku terbuat bambu dan kami berdua duduk di situ.

“Dek, kalau disuruh memilih, kamu lebih suka tinggal di Jawa (Jawa Tengah maksudnya) apa di sini?” tanyanya.

“Di Jawa, karena lebih dekat dengan keluarga,” jawabku.

Mas Sis pun menceritakan keinginannya untuk resign dan memulai hidup baru di Semarang. “Alhamdulillah, Mas dapat tawaran kerja lagi di Suara Merdeka, dulu sebelum Mas kuliah ke Bogor dan bekerja di sini, proyek itu sudah berjalan dan nanti Mas diminta kembali untuk melanjutkan. Tapi, kita bersiap-siap ya untuk memulai dan beradaptasi dengan banyak hal baru lagi. Maafkan jika Mas belum bisa membahagiakan adik.”

Aku baru menyadari mata suamiku itu berembun. Saat itu ada dua ekor merpati putih bertengger di atas kami, duh, benar-benar menambah suasana semakin romantis sekaligus melankolis.

“Apapun yang menjadi keputusan Mas Sis, tentu saja akan Adik dukung,” jawabku.

Tentu saja, dengan keputusan itu, deret rencana panjang berikutnya sudah menunggu untuk segera dieksekusi. Salah satunya, aku harus kembali mengajukan surat mutasi dari GO Bogor ke GO Semarang. Namun yang jelas, aku sangat bahagia karena lebih dekat dengan keluarga.
[*]

Alhamdulillah, inilah catatan sepenggal episode permata pengalamanku yang sungguh memperkaya jiwa.

Setelah hampir 7 tahun berlalu...
November 2019 kemarin kami sekeluarga (plus Dzaky dan Titi Ya),
bernostalgia mbolang ke Jakarta dan Bogor.
 Foto candid diambil Titi Ya saat di kereta perjalanan pulang ke Semarang.
Dan jaket abu-abu itu masih setia menemani perjalananku dan kamu, iya kamu!

Bagiku, selalu ada pelajaran di setiap perjalanan, ada hikmah di setiap kisah, dan ada makna di setiap cerita.




No comments:

Post a Comment

Terima kasih sudah berkunjung. Mohon untuk tidak meninggalkan link hidup.


Salam,


Keisya Avicenna