Jejak Karya

Jejak Karya

Wednesday, November 18, 2009

Selamat Hari Pahlawan, Jenderal

Saat agresi militer Belanda II, Soedirman memilih untuk menyingkir dari ibukota RI saat itu (Yogyakarta) dan memimpin perang gerilya, meski sudah diminta oleh Soekarno saat itu untuk istirahat saja di Yogyakarta, mengingat penyakit TBC yang dideritanya dalam masa penyembuhan. Jawaban Soedirman sangat tegas: ”Yang sakit adalah Soedirman, tetapi Panglima Besar tidak pernah sakit”. Sebuah semangat yang luar biasa.

Sebelumnya, komando Angkatan Perang diserahkan oleh Soedirman kepada Soekarno sebagai Panglima Tertinggi, untuk melakukan perlawanan. Tetapi Soekarno menolak dan memilih untuk tetap tinggal di Yogyakarta. Sambil berucap:”Jika Panglima Tertinggi tidak bersedia memimpin angkatan perang, maka komando akan dipegang oleh Panglima Besar”, Soedirman memutuskan menyingkir dari Yogyakarta. Dan dimulailah episode panjang kisah gerilya Panglima Besar Soedirman yang terkenal itu.

Kisah gerilya Panglima Besar mirip kisah pelarian Tan Malaka menghindari kejaran penjajah kapitalis. Selalu berpindah dari satu daerah ke daerah lain, dan tidak pernah lama tinggal di daerah yang ditempatinya. Bedanya, Tan Malaka bila tinggal di suatu daerah dalam hitungan bulan, tetapi bila Soedirman tidak pernah lebih dari satu hari. Bila Tan Malaka menghindari kejaran polisi/intelijen lintas negara (Inggris, Belanda, Perancis, AS), maka Soedirman harus menghindari kejaran militer sekutu disertai pesawat-pesawat tempur yang terus meraung-raung sambil menjatuhkan ribuan ton bom. Tapi Jenderal Soedirman selalulolos dari kejaran musuh, dan tak jarang tentara Belanda hanya menyerang daerah-daerah kosong yang sudah ditinggalkan oleh Sang Jendral. Selama gerilya inilah, dengan sakit TBC yang semakin parah (parunya hanya bekerja satu), Sang Jenderal mengoordinasi dan mengatur angkatan perang RI untuk menghadapi tekanan militer Belanda.

Prinsip Jendral Soedirman jelas: Lebih baik di bom atom daripada merdeka kurang dari 100%. Prinsip ini juga dianut oleh partner sejatinya: Tan Malaka. Maka bersama Tan Malaka (terutama dalam Persatuan Perjuangan), Soedirman menolak semua bentuk politik diplomasi yang tanpa didahului oleh pengakuan kedaulatan sebagai negara merdeka. Karena prinsip ini pula, duet ini sering berseberangan dengan politik resmi pemerintah dan negara. Tetapi karena sebagai Panglima Besar yang harus menyatukan elemen bangsa untuk tetap bersatu, maka Soedirman “terpaksa” patuh dan taat kepada politk pemerintah. Bagi Soedirman, tentara adalah alat pemerintah, maka politik tentara adalah politik pemerintah. Bagi Soedirman, posisi ini tentu dilematis. Di satu sisi harus tetap teguh mempertahankan prinsip, tapi disisi lain Soedirman harus mampu meyakinkan anak buahnya bahwa inilah yang terbaik. Hal ini wajar, karena saat itu moral tentara Republik sedang tinggi-tingginya karena kemenangan di banyak front pertempuran. Tetapi dengan kharisma dan wibawa Panglima Besar, bukan hal yang sulit untuk mendinginkan hati tentara republik.

Ternyata, meskipun hanya seorang guru SD, Soedirman memiliki naluri militer yang tajam. Naluri itu ditambah dengan jiwa kebapakan dan sosial yang tinggi (sebagai aktifis Muhammadiyah dan tokoh masyarakat), menghasilkan perpaduan yang sangat dahsyat sebagai Panglima Besar.

Ada hal yang menarik kalau kita ikuti sepak terjang Jenderal Besar Soedirman. Beliau banyak terinspirasi oleh perjuangan Nabi Muhammad SAW. Ketika pasukan Siliwangi harus ditarik mundur dari daerah kantong menuju daerah Republik, maka Soedirman mengistilahkan dengan “hijrah”, untuk menjaga moral pasukan. Bahkan Soedirman sendiri yang menyambut di stasiun Tugu Yogyakarta. Saat Soedirman terkepung di daerah Jawa Timur, beliau menggunakan trik yang sama dilakukan Nabi untuk melarikan diri, yaitu dengan mengelabui musuh dengan Soedirman palsu. Soeparjo Rustam dan Heru Kesser memakai mantel untuk mengelabui Belanda. Dan memang akhirnya Belanda dapat dikelabui.

Soedirman yang selama Gerilya tidak dapat dikalahkan oleh Belanda, akhirnya harus dikalahkan oleh sakitnya. Tetapi sejatinya dia tidak dikalahkan, karena hanya fisiknya saja yang sakit dan digerogoti penyakit, tetapi jiwa dan semangatnya akan selalu merdeka, bebas, tidak tertaklukkan, dan akan terus menginspirasi generasi muda Indonesia untuk terus mengobarkan semangat pantang menyerah berjuang demi rakyat. 29 Januari 1950, beliau menutup mata untuk selamanya di Magelang dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kusumanegara, Semaki – Yogyakarta.

Perjuangan Panglima Besar seharusnya menjadi contoh bagi kita semua. Pesan beliau yang saat ini kembali populer adalah: “Rakyat tidak boleh menderita, biarlah kami para pemimpin yang menderita”, seharusnya menjadi refleksi bagi para pemimpin bangsa sekarang. Bukannya malah mengumbar hawa nafsu tanpa malu lagi..
Selamat Hari Pahlawan, Jenderal, dari kami yang selalu mengenangmu…

Maafkan kelakuan para pemimpin kami yang tidak tahu malu itu, Jenderal!!!

RAIHLAH “JATI DIRI MANUSIA”.. untuk
MENGEMBALIKAN JATI DIRI BANGSA INDONESIA!!!

SELAMAT HARI PAHLAWAN!!!

Keisya Avicenna dalam ikhtiar merealisasikan tema November :
" MENJADI GENERASI PENUH INSPIRASI, PEWARIS JIWA-JIWA PARA GERILYA, DENGAN SEMANGAT JUANG DAN PENGORBANAN YANG LUAR BIASA !!!"

No comments:

Post a Comment

Terima kasih sudah berkunjung. Mohon untuk tidak meninggalkan link hidup.


Salam,


Keisya Avicenna